Share

Aku ada untukmu

Author: Joya Janis
last update Last Updated: 2023-12-15 22:17:27

“Home sweet home ….” bisik Terryn ketika sudah sampai di rumahnya bersama Deva di kota. Rumah yang dikiranya tidak akan ada jalan pulang kembali ke sana.

“Tunggu jangan turun dulu.” Bergegas Deva turun dari mobil dan membuka pintu untuk Terryn. Laki-laki itu pun meraih tubuh Terryn agar digendongnya masuk ke dalam rumah.

“A-aku bisa jalan sendiri, Kak!” seru Terryn terkejut melihat apa yang dilakukan Deva. Terryn menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan jika aksi Deva ini tidak dilihat oleh siapapun.

“Diam, tidak usah bergerak dan banyak bicara.” perintah Deva lagi sambil mempererat gendongannya. Deva membawanya masuk ke kamar tidurnya bukan di kamar Terryn seperti biasa.

“Mulai saat ini kamu tidur di sini agar aku bisa mengawasimu dengan mudah dari ruang kerjaku. Gak ada lagi alasan untuk memindahkan pot dan sebagainya.” Deva meletakkan tubuh Terryn di atas tempat tidurnya.

“Baik lah, Kak.” kali ini Terryn tidak membantah lagi, dia menerima semua apa yang Deva atur untuknya. Meskpun rasanya dia diperlakukan layaknya tahan rumah yang gerak geriknya selalu diawasi.

Melihat wajah murung istrinya Deva meraih kepala Terryn dan mengecup dengan dalam puncak kepalanya, dibelainya rambut serta pipi istrinya sambil meminta maaf.

“Maaf jika sikapku keras kepadamu, ini demi kebaikanmu dan kelangsungan degup jantungku. Kau tidak tahu bagaimana kacaunya organ ini di dalam sini jika mengingat kejadian tempo hari. Kau dan calon bayi kita adalah setengah dari nyawaku.” Deva meraih tangan istrinya dan mengecupnya dengan lembut.

“Aku akan menurunkan barang-barang, ingat pesan dokter untuk tidak banyak bergerak lebih dulu. Istirahatlah.” Deva membelai kepala istrinya lalu meninggalkan kamar.

Terryn menarik nafas panjang dan melihat ke sekeliling kamar Deva, masih seperti yang dulu ketika beberapa bulan yang lalu dia meninggalkan rumah ini. Tak ada yang berubah, mungkin hanya penghuninya saja yang berubah, Deva Danuarta kini menjadi sosok yang paling peduli pada dirinya, CEO Kutub Utara itu sudah bukan sosok yang dingin lagi, angkuh dan tak terjamah. Deva Danuarta kini menjadi pribadi yang hangat, sangat peduli dan lebih mandiri dan bisa mengurus rumah dengan baik. Tentu saja itu terbukti ketika dia menjadi Jang Nara ketika itu.

Terryn mengambil ponsel di dalam tas kecilnya lalu mencari kontak Ashiqa, sudah lama dia tidak memberi kabar pada sahabatnya itu.

“Hai Yiiin … Astaga kamu yaa! Kamu udah gak mau jadi sahabat aku lagi yaa?!” seru Ashiqa di ujung sana dengan nada setengah merajuk. Dia sudah duga Ashiqa akan mengatakan ini.

“Masih mau lhaa Chik, aku gak mau kehilangan sahabatku yang tajir melintir, aku masih butuh suntikan dana dari istri konglomerat untuk pengembangan kebun bungaku.” jawab Terryn sambil terkekeh.

“Iiisshh … Jadi bagaimana kabar kamu sekarang? Udah berapa bulan lho ini kamu gak pernah kasih kabar, ponsel kamu juga jarang aktif, nyebelin!” Ashiqa masih saja memarahi Terryn, suara celotehan Raka terdengar oleh Terryn, perempuan itu pun mengelus perutnya dengan lembut.

“Aku punya dua kabar, baik dan buruk, mau dengar yang mana terlebih dulu?” Terryn tersenyum pahit saat mengatak itu pada Ashiqa. Sahabatnya terdiam dan terdengar helaan nafas dari ujung telponnya.

“Kok gitu siiih … Yin? Baiklah aku mau tahu yang buruk dulu.”

“Hmmm … Kabar buruknya keadaan paru-paruku memburuk, sudah mulai ada kerutan di dalam sana yang membuat aku semakin sesak nafas di tiap harinya. Mungkin kelak aku harus transplantasi paru-paru, Chik.”

“Astagaaa … Yiin, apa memang sudah seburuk itu, Sayangku?” nada suara Ashiqa terdengar pelan di ujung kalimatnya.

“Well … Kabar baiknya adalah … Tadaaaa … aku sedang hamil lima bulan, eeh dikit lagi masuk enam bulan. Sejauh ini aku masih baik-baik saja dan saat ini aku sudah berada di rumah Deva lagi di kota.”

“Waaaah .... Terryyyn! Selamat yaa … Selamat Sayang … Akhirnya … Akhirnya Raka bakal punya teman main juga.Jadi kamu udah gak di rumah desa lagi? Kamu Kembali ke rumah itu untuk selamanya lagi kan?” berondong Ashiqa dengan pertanyaan.

“Kehamilanku harus dalam pengawasan dokter katanya, jadi aku memang harus pulang ke sini karena dekat dari rumah sakit tempatku dirawat dulu. Tadinya aku pikir aku gak bisa hamil sampai aku nekat untuk tidak meminum lagi obat-obatanku dan memulai program hamilku tanpa sepengetahuan Kak Deva. Masih rejeki aku, Chik, aku masih bisa hamil.”

“Sekali lagi selamat yaa Yiiin … Jaga diri kamu baik-baik, aku yakin suami kamu pasti akan menjagamu dengan sangat baik. Dia tidak akan menyia-nyiakan waktunya lagi untuk tetap bersama kamu.”

“Iya bener Chik, sampai-sampai CEO itu bekerja dari rumah,udah jarang banget ngantor. Jadi tinggal Kak Desta aja sama Kak Willy yang jaga gawang di kantor.”

Ashiqa masih ingin mengobrol dengan Terryn tapi Raka terdengar menangis di belakangnya.

“Yin, nanti aku main ke rumah yaa, ini Raka udah ngantuk jadinya rewel. Jaga kesehatanmu baik-baik yaa,” Ashiqa pun menutup telponnya setelah Terryn mengiyakan.

Suasana kembali sepi, Terryn mengusap bahunya. Sejenak dahinya berkerut dan dia terdiam untuk merasakan sesuatu di balik dinding perutnya. Teryyn meletakkan telapak tangannya di atas perutnya, dia merasakan gerakan yang sangat lembut dan pelan, nyaris tak terasa. Namun, Terryn yakin jika dia baru saja merasakan gerak bayinya itu.

Mata Terryn berkaca-kaca, diusapnya sekali lagi nyawa kecil yang ada dalam rahimnya.

“Sayangnya Mama, Mama cuma bisa berharap kelak kita bisa bertemu dalam keadaan sehat tak kurang satu apapun. Jika nanti Mama tidak bisa bertahan dan Tuhan memanggil Mama pulang, kamu temenin papa yaa? Kelak kamu yang akan jagain papa dan rawat papa dengan baik, Mama akan melihatmu dari jauh. Mama akan menjagamu dengan penuh cinta.” Air mata Terryn menitik jatuh dibarengi senyumnya yang ditarik lebar. Sebenranya Terryn takut mengatakan itu tapi kemungkinannya bisa saja terjadi dan dia harus bersiap dengan semua kemungkinan terburuk.

Dari balik pintu Deva mendengar kata-kata Terryn barusan, tangannya mengepal, dadanya terasanya nyeri mendengar Terryn sudah bersiap dengan kematiannya. Deva menjauh dari pintu dan memilih masuk ke kamara Terryn untuk menenangkan perasaannya.

“Kau tidak akan pergi secepat itu Terryn, tidak bisa … Kamu tidak boleh meninggalkan aku secepat itu.” Deva terduduk di pinggir ranjang sambil sambil menangis terisak. Deva adalah pria yang tangguh, dalam hal apapun dia bisa mengatasinya dengan tenang dan tegar tapi tidak dengan situasi istrinya.

Segala sesuatu yang berhubungan dengan Terryn membuat Deva tidak berdaya. Tubuh Terryn yang kian kurus, tarikan nafasnya yang berat, serta wajahnya yang kerap pucat serta ujung kuku yang gelap membuatnya sangat takut. Dia takut jika Terryn kelak akan menyerah bergitu saja dan berhenti berjuang, Deva belum siap untuk kehilangan perempuan yang telah mengubah dunianya itu.

Deva menarik nafasnya lebih dalam, dan berusaha untuk lebih tenang. Dia tidak akan menampakkan kesedihannya itu di depan Terryn.

“Ayo Deva … Kamu bisa tersenyum di depannya, kamu yang akan menjadi sumber kekuatan Terryn, istrimu sangat membutuhkanmu saat ini dan kau harus bisa menjadi sandarannya sekarang.” Deva memandangi dirinya di pantulan cermin lalu berusaha menarik senyumnya sebaik mungkin dan menyembunyikan perasaannya jauh di dalam lubuk hatinya. Deva keluar dari kamar Terryn dengan wajah jauh lebih tenang dan ceria, di tangannya ada nampan berisi bubur ayam kesukaan Terryn yang dipesan online dari dekat kantor mereka. Pesanan itu tiba sesaat setelah mereka baru saja tiba juga di rumah.

“Yin, aku pesan ini lhoo … Kamu pasti suka karena udah lama gak makan ini!” seru Deva dengan riang, lalu duduk di dekat Terryn. Seketika ingatan Deva mundur ke belakang saat penyakit maagnya kambuh dan Terryn melayaninya makan di tempat tidur.

“Aku suapin yaa?” Deva menggerakkan sendoknya untuk mengaduk tiba-tiba Terryn memekik,

“Stoop! Yin ini tim bubur ayam tidak diaduk, biarkan seperti itu dan ambil dari sisinya lalu topingnya!”

Deva tersentak kaget lalu tertawa kecil mendengar kata-kata istrinya barusan, hal itu berlawanan dengan dirinya yang tidak akan memulai makan bubur ayam tanpa diaduk hingga semuanya tercampur rata.

“Baiklah … Tim bubur ayam yang tidak diaduk, buka mulutmu lebar-lebar karena semangkuk untuh ini harus berpindah ke dalam perutmu dan anakku yang ada di dalam sana akan menyantapnya juga sebagai tim bubur yang diaduk. Sempuna ….” Deva tersenyum lebar melihat Terryn yang melongo mendengar perkataannya barusan, tapi tetap menurut disuapi oleh Deva.

“Besok kita harus kontrol lagi ke rumah sakit yaa Yin, kita akan ketemu dengan dokter yang direkomedasikan sama kak Aluna dan kak Roby. Jika kondisimu memungkinkan kita akan berangkat ke luar negeri untuk pengobatanmu.”

Terryn nyaris saja tersedak mendengar kata-kata Deva barusan, dengan sigap Deva mengambilkan Terryn air minum dan mengusap punggungnya.

“Keluar negeri, Kak?” tanya Terryn lagi, dia teringat langkahnya yang nyaris saja keluar negeri tapi terhenti karena penyakitnya dan sekarang justru karena penyakitnya itu yang akan membawanya keluar negeri.

“Iya, Yin, aku sudah memikirkan itu dan Kak Aluna beserta suaminya akan membantu kita mencarikan dokter spesialis terbaik yang akan menangani kamu.” Deva kembali mengangkat sendoknya dan menaikkan alisnya sebagai tanda Terryn harus melanjutkan makannya kembali. Terryn tidak menyahut lagi dan menikmati kembali suapan suaminya, dia yakin jika Deva pasti akan melakukan yang terbaik untuknya.

Waktu pun bergulir membawa kehamilan Terryn di usia tujuh bulan, Deva tahu Terryn selalu berjuang keras untuk keadaannya dan sebaliknya Terryn tahu persis Deva tak pernah tidur nyenyak di sisinya untuk selalu menjaga Terryn sepanjang malam. Hal itu terjadi karena di suatu malam Terryn terjaga, dadanya sangat sesak hingga merasa tercekik. Deva merasakan gerakan Terryn yang gelisan sehingga dia terbangun dan dengan sigap memberikan segera bantuan oksigen portable pada Terryn.

kini keduanya duduk di bangku taman rumah sakit, air mata Terryn meleleh pelan sementara Deva merangkul bahu Terryn dengan erat seakan hendak menyalurkan kekuatannya pada istrinya itu. Saran dari dokter yang menangani Terryn terdengar mengejutkan bagi keduanya.

“Jadi aku harus menjalani operasi secar secepatnya yaa? Anak kita harus dilahirkan lebih cepat agar keadaannya selamat.” ucap Terryn lirih.

“Semua akan baik-baik saja, Yin. Bayi kita juga bayi yang sehat dan kuat, dia pasti akan baik-baik saja, kedua tanganku masih bisa untuk menjaga kalian berdua.”

“Bagaimana jika aku yang tidak berhasil, Kak?”

“Kau akan baik-baik saja, melahirkan bayi kita dan aku yang mengurusnya, kau harus tetap ada bersamaku karena anak kita pasti akan butuh dekapan mamanya yang hangat. Bau yang pertama kali dikenalnya pasti dirimu, iya kan’?” Deva mencoba menghibur Terryn.

“Apa aku ini induk kucing dan anak kita itu kitten yang mengendus bau?” tanya Terryn sambil memaksakan senyumnya.

“Bisa jadi dan aku adalah bapak kucing yang paling tampan sedunia, karena bayi kita adalah perempuan secantik mamanya. Kau akan baik-baik saja, jangan khawatir, ada aku.” Deva meraih Terryn ke dalam dekapannya dan memejamkan matanya dengan dalam-dalam seperih nyeri yang dirasakannya jauh di balik jantungnya.

Related chapters

  • Batas Tipis Benci   Pendonor organ

    Hari yang ditentukan akhirnya tiba, Terryn harus masuk ke ruang operasi untuk melahirkan bayinya. Seorang bayi perempuan yang cantik, tapi bayi mungil itu harus mendapatkan perawatan intensif karena usianya yang lahir prematur. Deva mencium kening Terryn yang masih tak sadarkan diri di ruang perawatannya setelah dipindahkan dari ruang operasi. Berbagai alat penopang kehidupannya membalut tubuhnya yang ringkih. Nyaris tak ada lagi cahaya kehidupan di sana, Deva menahan sesak melihat wanita yang telah menjadi ibu dari putrinya itu terbaring lemah tanpa daya. “Cepatlah kembali Yin, putri kita cantik sekali, jangan iri yaa … Kata dokter dan suster putri kita sangat mirip denganku.” Deva menarik senyumnya dengan terpaksa untuk mengimbangi matanya yang basah. Dikecupnya ujung jemari Terryn lalu Deva berbalik meninggalkan ruangan Terryn untuk melihat putrinya yang juga sedang dirawat intensif di inkubator. Dari balik jendela kaca Deva menatap putrinya yang mungil dan hampir sama rapuhnya d

    Last Updated : 2023-12-15
  • Batas Tipis Benci   Harapan hidup Terryn

    Wanita itu tak pernah menduga jika suatu saat nanti putranya adalah seorang laki-laki luar biasa yang melakukan pengorbanan untuk perempuan yang dicintai oleh anaknya. Tidak ada pilihan terbaik selain menyerahkan keputusan kepada Deva sendiri untuk menjadi donor paru bagi Terryn. Ibu Imelda hanya sanggup memeluk putranya itu dan merapalkan doa-doa serta harapan terbaik untuk anak dan menantunya. Senyum Terryn mengembang ketika melihat Deva masuk ke kamarnya, tangannya terulur untuk memegang tangan Deva. Wajahnya pucat dengan bibir yang keunguan, terdengar berat di setiap tarikan nafasnya meski sudah dibantu dengan tabung oksigen. “Bagaimana kondisi anak kita, Kak? Apa dia baik-baik saja?” tanya Terryn dengan suaranya yang parau nyaris seperti tercekik. “Dia baik-baik saja, dia cantik sepertimu, Yin.” Deva mengecup ujung jari Terryn dan menempelkannya di pipinya. Tatapannya dalam memandang ke wajah Terryn. “Kenapa melihat Yin seperti itu? Yin jelek banget yaa?” seulas senyum itu be

    Last Updated : 2023-12-15
  • Batas Tipis Benci   Jangan tinggalkan aku, Yin

    Deva bergegas menyusuri lorong rumah sakit, jantungnya berdegup tidak karuan. Selain memikirkan operasi Terryn tentunya dia juga gugup dengan operasinya sendiri yang dimajukan lebih cepat dari jadwalnya. Willy tetap berusaha menenangkan Deva yang jelas terlihat cemas. Di ujung selasar matanya menangkap sosok perempuan yang sangat dikenalinya, Aluna. Kakak perempuan Deva itu merentangkan tangannya, jauh-jauh dia terbang dari San Fransisco untuk mendampingi adik dan adik iparnya yang tengah dalam masa sulit. Aluna memeluk erat Deva sambil terisak, dia tidak menyangka jika adik ipar kesayangannya itu akan terbaring dengan kondisi yang memprihatinkan. Aluna berbisik-bisik mengatakan sesuatu pada Deva yang membuatnya tersentak dan melepas pelukan Aluna sambil memandang heran. “Serius, Kak? Kok bisa?” tanya Deva dengan raut tidak percaya. “Dua pekan sebelumnya dokter yang selama ini menangani Terryn memberiku kabar tentang donor itu, aku terkejut karena kau sendiri yang akan melakukanny

    Last Updated : 2023-12-20
  • Batas Tipis Benci   Menjelang hari baru

    “Sudah berapa lama Deva tertidur, Bu?” Deva kembali memungut botol minuman yang terlepas dari tangannya. Dengan kegusaran dia menghela nafas berharap mimpinya tadi bukan pertanda buruk. “Sekitar hampir sejam, kau pastinya kelelahan, Nak. Tentang Terryn jangan khawatir, Aluna dan rekan dokter lainnya sedang mengusahakan yang terbaik untuk istrimu.” Ibu Imelda mengusap bahu anaknya dengan lembut. Deva mengangguk perlahan, dengan kekuatan yang tersisa di dalam dirinya dia berusaha untuk tetap tenang. Tak lama kemudian Aluna muncul dan Deva berdiri untuk menyambutnya serta bersiap mendengarkan apa kata kakak perempuannya itu. “Kak ….” Deva hanya mampu menyapanya pendek tak mampu untuk menanyakan lebih lanjut kondisi Terryn. “Terryn baik-baik saja, meskipun tadi dia butuh tambahan darah tapi semua bisa teratasi, Willy sudah mendonorkan darahnya untuk Terryn. Stok rumah sakit untuk golongan darah Terryn sedang kosong dan Willy bersedia untuk menyumbangkan darahnya. Deva, kamu beruntung

    Last Updated : 2023-12-20
  • Batas Tipis Benci   Pulang ke rumah

    Terryn tertawa kecil mendengar lelucon Ashiqa sahabatnya, setelah melahirkan Sheira Terryn baru sekali saja melihatnya. Selebihnya Sheira dirawat di ruang khusus anak dan dirinya pun terkulai tak berdaya di kamar ini. “Jika jodoh mereka tak akan kemana.” Terryn menyunggingkan senyumnya. “Oh yaa Yin, aku dengar dari ibu Asih kalau kak Deva nyaris saja jadi pendonor paru untukmu, gak nyangka banget kalau perjuangan cinta kak Deva memang benar-benar total sama kamu. Untungnya kakak ipar kamu, mba Aluna menemukan donor yang tepat lebih cepat hingga dia meyakinkan adiknya kalau dia tidak perlu jadi donor.” Ashiqa memandang wajah Terryn yang tiba-tiba menegang. Tentunya Terryn tidak pernah tahu tentang rencana suaminya untuk menjadi pendonor baginya. “Kamu … Tahu hal ini ‘kan, Yin?” Ashiqa menelisik lebih jauh karena Terryn terlihat terkejut. “Iya, aku tahu dan hal ini masih membuatku terkejut berkali-kali mengingat niat kak Deva itu.” mata Terryn berkaca-kaca, dia tidak ingin Ashiqa me

    Last Updated : 2023-12-20
  • Batas Tipis Benci   Papa teladan

    Jantung Terryn berdegup kencang ketika mobil sudah terhenti tepat di halaman rumah, Deva membukakan pintu mobil untuknya dan membimbingnya keluar dari mobil. Ibu Asih dan ibu Imelda sudah menyambut kedatangannya dengan penuh sukacita. Dalam gendongan ibu Asih tampak bayi Sheira yang menatap ke arahnya. Mata Terryn berkaca-kaca ketika tangan Sheira bergerak-gerak seakan ingin menggapainya. “Hey … Baby Sheira, Mama kangen banget Sayang….” Terryn mengambil tangan mungil itu dan mengecupnya, apalah daya Terryn belum bisa menggendong Sheira karena bekas operasi di dadanya itu.“Selamat datang kembali, Nak.” sambut ibu Asih sambil membelai kepala Terryn lembut. Bergantian dengan Ibu Asih kini Ibu Imelda yang hati-hati memeluknya dan mencium dahi Terryn lembut. Deva masih sibuk membawakan barang-barang Terryn dan memasukkannya ke kamar mereka. Matanya hanya mampu membaca betapa bahagianya kedua ibunya menyambut kepulangan Terryn dan betapa berbahagianya pula Terryn melihat putrinya. “Yin,

    Last Updated : 2023-12-20
  • Batas Tipis Benci   Takdir anak pungut

    Apapun bisa terjadi jika Tuhan berkehendak. Dalam kasus Terryn bisa saja dia tidak akan bisa punya bayi yang lucu dan sehat, kegigihannya untuk menjalani program hamil hanya butuh waktu yang singkat. Semua adalah kebesaran Tuhan yang tidak akan pernah berhenti disyukuri Terryn. Hidup dengan paru-paru baru juga merupakan kemurahan Tuhan lainnya, bahkan Deva suaminya yang sudah siap menjadi pendonor di detik-detik terakhir digantikan oleh pendonor lain. Manusia memang berencana dan rencana Tuhan yang akan tetap berlaku dalam hidup manusia. Terryn sedang memilihkan baju untuk Sheira, usianya kini enam bulan. Artinya sudah setengah tahun juga operasi besar yang dijalani Terryn sudah berlalu. Walaupun harus meminum obat seumur hidupnya, Terryn bisa beraktifitas seperti biasa. Hanya saja Deva mengawasi Terryn dengan ketat agar jangan sampi beraktifitas berlebih yang membuatnya kelelahan. Terryn memakaikan Sheira baju yang cantik untuk menghadiri pesta ulang tahun Raka, putra Ashiqa dan Ra

    Last Updated : 2023-12-20
  • Batas Tipis Benci   Kisah Panji dimulai

    Seorang laki-laki muda baru saja mengakhiri presentasi sangat penting dan bergengsi di hadapan para petinggi negara dan orang-orang dari perusahaan besar lainnya. Mereka bertepuk tangan dan memberi ucapan selamat serta dukungan setelah pria muda itu mendapat persetujuan dengan mega proyek pembangunan yang tidak sembarang perusahaan bisa mendapatkannya.Deva Danuarta tersenyum bangga dengan pencapaian gemilang anak muda itu dan semakin yakin jika di tangan anak itu Melda’s Constructions akan semakin maju. Dari sudut ruangan dia melihat sosoknya tengah disalami oleh beberapa orang penting dari dalam dan dari luar negeri. Semua puas dan antusias dengan penyampaiannya tadi dan mereka berharap agar usaha anak muda itu diberi kemudahan dan kesuksesan.“Ouh Papa ada di sini? Kenapa gak kasih tau Panji kalo Papa akan hadir juga, pasti panji akan jemput Papa.” Panji segera mendekati Deva dan menyalami dan mencium punggung tangan laki-laki yang dengan besar hati telah merawatnya selama tujuh be

    Last Updated : 2023-12-20

Latest chapter

  • Batas Tipis Benci   Jiwa Kecil yang Hancur

    “Viviii … sini Nak, sini sama Ibu, jangan begini Sayang. Vivi marah lagi yaa? Ayo sini… sini….” Ibu Dei mengambil alih Vivi yang masih berontak hendak menyerang Sheira. Dari wajah dan sorot anak itu betapa Vivi ingin mengatakan banyak hal tetapi gadis kecil itu hanya bisa berteriak menangis tantrum.“Sheira, kamu baik-baik saja? Astaga kepala kamu berdarah!” seru Panji panik, segera diambilnya kotak tisu yang ada di meja dan menarik cepat beberapa lembar tisu lalu menekan luka Sheira.“A-aku baik-baik saja, aku tidak apa-apa.” Sheira mengambil alih sendiri tisu itu untuk ditekan di kepalanya.“Bu, ada apa dengan Vivi? Kenapa dia tiba-tiba jadi begini?” Panji mendekati ibu Dewi yang masih menahan Vivi dalam pelukannya. Sheira yang tahu diri karena penyebab kemarahan Vivi pelan-pelan meninggalkan ruangan tanpa suara. Dia berdiri di balik pintu untuk menunggu penjelasan ibu Dewi.“Ibu

  • Batas Tipis Benci   Kemarahan Seorang Gadis Kecil

    Keadaan Sheira semakin hari semakin membaik, kesehatannya sudah pulih tetapi dia memutuskan untuk tidak kembali dulu ke lokasi syuting. Sheira masih menjalani masa berkabung dan rumah produksi sinetronnya mengerti akan hal itu. Kesempatan itu digunakan Sheira untuk berkunjung ke rumah panti asuhan Sayap Ibu. Seperti yang dijanjikan Panji, lelaki itu akan menemani kemanapun Sheira ingin pergi.Sheira membeli berbagai macam mainan yang sangat banyak serta makanan lezat. Berkotak-kotak pizza serta ayam goreng yang terkenal dengan gerainya di penjuru dunia itu dibeli Sheira penuh semangat. Panji sampai kewalahan membawa mainan dan makanan itu. Anak-anak menyambut kehadiran Panji dengan penuh suka cita pun dengan ibu Dewi, ibu pengasuh mereka.Sheira mendekat perlahan pada sosok wanita di depannya itu, meraih tangannya dan mencium tangannya seperti dia melakuk

  • Batas Tipis Benci   Perlakuan Manis Panji

    “Kau sudah bangun rupanya, aku baru saja membuat bubur ayam ceker kesukaanmu.” Panji datang sambil membawa sebuah nampan yang berisi mangkuk dengan asap yang mengepul tipis. aroma gurih menguar di udara dan menerbitkan selera Sheira meskipun lidahnya terasa sedikit pahit. Wajah Panji sudah lebih tenang dari sebelumnya.Perawat itu tersenyum lagi dan meminta pamit meninggalkan kamar mereka. Panji menyiapkan sarapan Sheira dengan cekatan. Meniup sesaat bubur di sendok itu sebelum disuapi ke mulut Sheria. Sheira menyantapnya dengan pelan, sedikit hambar mungkin karena lidahnya yang pahit terasa. Namun dia tidak ingin menyia-nyiakan usaha yang telah dilakukan Panji untuknya.“Habiskan yaa, supaya kamu punya tenaga lagi dan cepat pulih.” Panji menyendokkan kembali bubur itu kepada Sheira.

  • Batas Tipis Benci   Hati yang melunak

    Sheira membuka matanya perlahan, hal yang dilihatnya adalah Panji yang tertidur di kursi samping tempat tidurnya. Laki-laki itu menggunakan lengan untuk menopang kepalanya. Mata Sheira berkeliling dan melihat punggung lengan kirinya yang tertancap jarum infus juga tiang infus yang menggantungkan kantung cairan berisi asupan makanan serta obat untuk Sheira.Jam di dinding menunjukkan pukul tiga dini hari, Sheira merasa ingin buang air kecil. Dirasakan jika tubuhnya masih diliputi demam dan sungguh payah untuk bergerak. Dicobanya untuk menyibak selimut dan duduk tapi kepalanya masih sangat berat sementara desakannya untuk buang air kecil semakin menjadi. Terdengar rintihan kecil dari mulut gadis itu ketika jarum infus di punggung lengannya bergerak.Panji merasakan gerakan di tempat tidur Sheira dan membuat laki-laki itu terbangun.

  • Batas Tipis Benci   Janji Hati

    “Bony, tolong panggilkan dokter dan Venus tolong bantu aku mengganti baju Sheira.” Panji menatap Sheira dengan tatapan prihatin, dirinya sibuk mengurus pemakaman Terryn sehingga kondisi Sheira luput dari perhatiannya. Vero yang biasa menjaganya pun hampir datang terlambat karena pesawatnya yang delay.“Kakak ‘kan suaminya. kenapa harus cari orang buat ganti baju istri sendiri?” tanya Venus bingung.“A-aku … aku belum pernah bersama dengan Sheira, jadi aku masih … aah tolong saja kakakmu ini, Ve!” seru Panji gugup. Venus menarik sudut bibirnya mengetahui hal itu. Mereka sama sekali belum menjadi suami istri pada umumnya.“Tolong siapkan air hangat dan handuk kecil yaa, Min.” Panji menggulung lengan kemejanya, dan membantu Venus melepaskan sepat

  • Batas Tipis Benci   Setelah Kepergian Terryn

    Suasana pemakaman tampak begitu suram dengan aura kesedihan bagi keluarga yang ditinggalkan. Langit pun seakan menegaskan jika ini adalah waktu yang paling gelap untuk mereka dengan mengirimkan gumpalan awan gelap kelabu.Ashiqa yang datang bersama Rama dan putranya Raka, sahabat Terryn itu tak menyangka jika Terryn sudah tiada. Lama Ashiqa memeluk Sheira yang tampak antara bernyawa dan tidak bernyawa. Juga pada Panji, berangkai kata penghiburan diucapkan pada pemuda yang telah menjadi bagian hidup Terryn. Sejarah tentang Panji pun diketahui oleh Ashiqa sehingga dia tahu jika Panji ikut larut dalam duka yang besar atas kepergian perempuan baik hati itu.Vero yang hadir turut merasakan kesedihan, dirinya ikut menanggung rasa bersalah seperti yang Sheira rasakan sekarang. Oma Imelda menangis meraung meratapi menantu kesayangannya yang kini telah berku

  • Batas Tipis Benci   Kepergian Malaikat Pelindung

    Dokter keluar dari ruangan,usai memeriksa Terryn, buru-buru Panji dan Deva mendekat. Dokter mengatakan jika Terryn sudah sadar dan ingin menemui suami dan anak dan menantunya secara bergantian. Deva pun masuk terlebih dahulu untuk menemui istrinya.“Yin Sayang, ada apa denganmu? Kamu berangkat dari rumah baik-baik saja, apa ada hubungannya dengan putri kita?” Deva menggenggam tangan Terryn dengan erat. Terryn hanya menggeleng dan meneteskan air mata.“Waktuku akan habis sebentar lagi, Kak. Terima kasih selama ini sudah berada di sisiku, mencintaiku dan tak pernah jauh dariku,” jawab Terryn lemah.“Tolong jangan bicara seperti itu, Yin. Kau akan tetap bersamaku dan anak-anak dalam waktu yang lebih lama lagi.”“Kak, aku ingin bicar

  • Batas Tipis Benci   Mama Yin Kritis

    “Apa yang telah kulakukan? Ma, Mama,bangun Ma, maafkan Shei, Mama’” ucap Sheira berulang kali sambil mengguncang bahu Terryn pelan. Tak ada respon dari perempuan paruh baya itu.“Yaa Tuhan … jangan ambil Mamaku sekarang … jangan ….” Sheira menutup wajahnya sambil mengulang-ngulang kalimat itu. Setelah Terryn menampar wajahnya dan terjatuh pingsan, Sheira sesaat kebingungan lalu menelpon ambulans dan membawa Terryn ke rumah sakit. Dia sempat menelpon Deva, Panji dan Oma Imelda. Semua yang ditelponnya tentu saja terkejut dan menanyakan mengapa Terryn bisa kolaps lagi seperti itu.Derap langkah terburu-buru terdengar mendekat, Sheira berharap itu adalah papanya, Deva, tetapi yang tiba lebih dulu adalah Panji. Dengan wajah cemas laki-laki muda itu menghampiri Sheira yang terlihat mengkerut takut

  • Batas Tipis Benci   Tak ada rahasia yang abadi

    Mata Sheira terpejam rapat, kebenciannya selama ini yang tertanam begitu kuat mulai dikhawatirkannya sedikit demi sedikit terkikis oleh sikap Panji yang selalu baik kepadanya. Andai saja hari itu di mana saat Sheira berulang tahun yang ke tujuh Panji tidak merusak kado pemberian omanya. Asal muasal percikan benci bermula. Kenangan Sheira di masa kecil terulang di dalam kepalanya. Bahkan ketika Sheira mencoba berbaring, kejadian rusaknya kado itu masih saja berputar-putar dalam ingatannya. Betapa dirinya saat itu sangat marah karena Panji tidak sengaja merusak kotak musik pemberian omanya. Hal itu juga yang menjadi pemicu pertengkaran ayahnya dengan oma Imelda.Ayahnya kala itu membela Panji dari serbuan amarah oma Imleda dan Sheira. Ayahnya pun melindungi Panji yang akan dipukul oma Imelda memakai payung. Suara ketukan pintu terdengar membuyarkan lamunan Sheira dan Mimin muncul dari balik pintu sambil membawa nampan setelah dipersilakan masuk.“Itu apa, Min?” Sheira mengambil posis

DMCA.com Protection Status