Hari yang ditentukan akhirnya tiba, Terryn harus masuk ke ruang operasi untuk melahirkan bayinya. Seorang bayi perempuan yang cantik, tapi bayi mungil itu harus mendapatkan perawatan intensif karena usianya yang lahir prematur. Deva mencium kening Terryn yang masih tak sadarkan diri di ruang perawatannya setelah dipindahkan dari ruang operasi. Berbagai alat penopang kehidupannya membalut tubuhnya yang ringkih. Nyaris tak ada lagi cahaya kehidupan di sana, Deva menahan sesak melihat wanita yang telah menjadi ibu dari putrinya itu terbaring lemah tanpa daya.
“Cepatlah kembali Yin, putri kita cantik sekali, jangan iri yaa … Kata dokter dan suster putri kita sangat mirip denganku.” Deva menarik senyumnya dengan terpaksa untuk mengimbangi matanya yang basah. Dikecupnya ujung jemari Terryn lalu Deva berbalik meninggalkan ruangan Terryn untuk melihat putrinya yang juga sedang dirawat intensif di inkubator.Dari balik jendela kaca Deva menatap putrinya yang mungil dan hampir sama rapuhnya dengan ibunya kini. Hati Deva seakan sudah retak-retak menunggu waktu untuk pecah berkeping karena kesedihan yang menghantamnya berkali-kali.Sebuah tepukan hangat di bahu Deva menyadarkannya kembali, di lihatnya Desta dan Willy sudah berdiri di sampingnya.“Selamat yaa Bro … Lu udah jadi bapak sekarang, gue doain Terryn lekas pulih dan kondisinya jauh membaik.” Willy ikut memperhatikan kotak inkubator yang ada di dalam ruang perawatan bayi. Deva hanya menggumam pelan untuk mengucapkan terima kasih.“Sebagai hadiah atas kelahiran putri lu, gue bawa kabar baik. Perusahaan kita memenangkan tiga tender proyek raksasa, salah satu lawan terberat kita Seven Seas, si Arkhana berhasil kita singkirkan!” ucap Desta dengan bangga.Deva mengangguk puas mendengar itu dan menepuk bahu Desta serta Willy bergantian, wajah Deva terlihat sangat lelah dan letih.“Terima kasih banget yaa atas kerja keras lu berdua, gue gak tahu bakal jadi apa Melda’s kalo gak ada lu berdua yang handle semuanya.”“Melda’s itu bagian hidup kita bertiga juga Va dan lu juga, selama kita masih bisa berjuang buat lu dan Melda’s sejauh itu juga gue ada buat lu.” sahut Desta yang diikuti anggukan mantap Willy.“Gue mau ajak lu makan Va, kata ibu lu dari pagi lu belum makan, jangan sampai lu sakit, sekarang tanggung jawab lu nambah lagi dengan kehadiran dia.” Willy menunjuk kotak inkubator bayinya.Deva pun membenarkan perkataan temannya dan mengikuti kemana kedua sahabatnya itu akan mengajaknya makan malam.“Sepertinya Terryn memang harus transplantasi paru, pihak rumah sakit sudah mulai mencari donor paru untuk dia.” ujar Deva usai mereka menghabiskan seporsi nasi goreng kambing di rumah makan tidak jauh dari rumah sakit.“Berarti kondisi Terryn emang udah parah yaa?” Desta menyeruput habis sisa es jeruknya. Willy hanya melipat tangan di dadanya seperti sedang memikirkan sesuatu.“Sayang gue suka masih terkadang suka minum kalo lagi ngumpul sama kerabat gue di acara keluarga dan Desta perokok aktif jadi gue dengan dia gak bisa jadi donor.”Desta yang hendak menyulut sebatang rokok pun tidak jadi dan menyimpan batang rokoknya itu kembali ke dalam tempatnya.“Sejak dokter bilang kemungkinan transplantasi paru, gue udah kepikiran akan mendonorkan paru-paru gue. Toh Terryn hanya butuh satu untuk bertahan hidup dan gue masih mampu untuk bertahan dengan satu paru-paru saja. Gue juga bukan perokok dan peminum, gue rasa gue bisa jadi pendonornya, semoga aja bisa.”Perkataan barusan sukses membuat kedua melongo terkejut. Mereka tidak menyangka jika Deva akan bertindak sejauh itu mengorbankan satu paru-parunya untuk Terryn.“Serius lu?” tanya Desta yang tiba-tiba merasa tenggorokannya menjadi kering.“Terryn saat ini sedang berpacu bertaruh dengan waktu, dia harus hidup lebih lama untuk melihat putri kami tumbuh. Gue akan lakukan apapun untuk itu Guys.”Willy dan Desta hampir menghela nafas bersamaan, mereka paham dengan perasaan Deva dan keputusan yang akhirnya dipilih Deva. Ketika cinta telah bicara maka pengorbanan dalam bentuk apapun akan dilakukan.“Kalau emang itu menurut lu yang terbaik buat keluarga lu, gue dukung lu sepenuhnya Va, gue dan Desta akan selalu ada buat lu dan Melda’s. Soal kantor lu gak usah khawatir, ada orang-orang kepercayaan ibu lu juga yang udah bantuin kita selama ini.”“Yuuup … Gue sepakat dengan apa yang Willy bilang barusan, gue bakal tetap ada buat lu kapanpun itu Bro. Tapi gue juga mau minta tolong niih sama lu berdua, kalo bisa gue minta waktu sehariiii aja buat temenin gue.”“Maksud lu?” tanya Deva tidak mengerti, begitu pula Willy yang juga menatap ke arah Desta.“Dua minggu dari sekarang lu berdua harus siap-siap jadi Best Man gue di nikahan gue sama Mega.” Desta mengembangkan senyumnya dengan lebar.“Woooo hooo … Mau juga yaa Mega jadi bini lu?” Willy tertawa sambil meninju kecil bahu Desta.“Weeeih … Selamat yaa Des, akhirnya berakhir juga masa jomblo lu!” seru Deva dengan gembira dan juga mendaratkan tinju di bahu Desta seperti yang dilakukan Willy.“Tapi acaranya di mana? Gue gak bisa tinggalin Terryn dan anak gue jauh-jauh.” sahut Deva lagi yang mendadak teringat kondisi istrinya.“Gak jauh, di hotel ibu lu, gue dikasih diskon sama ibu Imelda waktu tahu kalo gue yang mau nikah.” Desta tertawa senang dan membuat Willy dan Deva saling berpandangan lalu tertawa bersama.“Dasar lu gak modal!” ejek Willy dengan bercanda.“Yeeey … Dari pada lu ditinggal nikah mulu sama pacar lu, buruan nyusul tanggal kedaluarsa lu dikit lagi habis!” balas Desta dengan tawa yang terkekeh.Deva melihat jam tangannya, dia sudah cukup lama bersama kedua kawannya,“Gue harus balik sekarang ke rumah sakit lagi, makasih udah temenin gue makan malam. Lu, Desta, kalo lu butuh apa-apa buat persiapan pernikahan lu, ngomong aja ke gue yaa, lu siapkan momen terbaik dalam hidup lu, gue bakal bantu sebisa gue, apapun itu.”Desta menatap penuh haru sahabatnya dan menjabat erat tangannya.“Sori yaa Va, gue gak tunggu Terryn sampai pulih dulu, orang tua Mega udah tetapkan tanggalnya untuk hari baik kami. Terima kasih juga buat kepercayaan lu selama ini buat gue di Melda’s bareng Willy.” Desta pun meraih bahu Deva memeluknya sesaat dan menepuk-nepuk bahunya. Kemudian Deva meninggalkan kedua di rumah makan, Deva berjalan kaki sambil menghirup udara malam. Hari ini cukup melegakan, dia sudah resmi menjadi seorang ayah dan salah satu sahabat terbaiknya akan menikah.“Deva, kamu dari mana, Nak?” tanya ibu Imelda yang baru saja keluar dari kamar perawatan Terryn. Ibu Imelda menyongsong puteranya dengan wajah yang terlihat lebih bahagia.“Deva habis makan di rumah makan samping rumah sakit ini, Bu, bareng Desta dan Willy.”“Ouh, baguslah, kamu jangan sampai sakit juga yaa, Nak. Oh iya, Terryn baru saja siuman tapi saat ini sedang diperiksa oleh dokter.”Wajah Deva terlihat ikut cerah, dia memanjangkan lehernya untuk melihat dari jendela kecil di pintu kamar ruangan Terryn. Sekilas dia melihat dokter dan beberapa orang perawat tengah memeriksa tekanan darah serta ventilator yang digunakan Terryn. Mata istrinya sudah terbuka tapi masih terlihat lemah.“Deva mau masuk, Bu.” Deva hendak mendorong pintu tapi ibunya mencegahnya.“Tunggu, biarkan dulu dokternya bekerja, nanti kalau sudah selesai baru kamu masuk.”Deva pun mundur dan menuruti perkataan ibunya meski dia sudah tidak sabar untuk menyapa Terryn.“Ibu sudah dengar 'kan tentang rencana transplantasi paru untuk Terryn?” tanya Deva ketika keduanya duduk di bangku depan kamar pasien.“Akhirnya dokter memutuskan untuk mengambil langkah itu ya?” Ibu Imelda justru balik bertanya pada puteranya.“Jika kondisi paru Terryn semakin memburuk maka dibutuhkan satu paru pengganti, Bu. Pihak rumah sakit sedang memeriksa donor organ itu.”“Kasihan menantuku harus menghadapi masa sulit seperti ini, terlebih di saat dia baru saja menjadi seorang ibu.” tatapan ibu Imelda menerawang jauh ke arah lorong rumah sakit yang sepi.“Bu, jika donor itu tidak bisa ditemukan dalam waktu cepat, maka Deva akan mengajukan diri sebagai pendonor. Deva minta restu dan doa Ibu untuk keputusan Deva ini dalam menyelamatkan nyawa Terryn.”Kalimat yang baru saja terdengar di telinga ibu Imelda sukses membuat perempuan paruh baya itu tersentak kaget dan menatap putranya dengan tatapan tidak percaya.“Deva mohon, Bu ….”Wanita itu tak pernah menduga jika suatu saat nanti putranya adalah seorang laki-laki luar biasa yang melakukan pengorbanan untuk perempuan yang dicintai oleh anaknya. Tidak ada pilihan terbaik selain menyerahkan keputusan kepada Deva sendiri untuk menjadi donor paru bagi Terryn. Ibu Imelda hanya sanggup memeluk putranya itu dan merapalkan doa-doa serta harapan terbaik untuk anak dan menantunya. Senyum Terryn mengembang ketika melihat Deva masuk ke kamarnya, tangannya terulur untuk memegang tangan Deva. Wajahnya pucat dengan bibir yang keunguan, terdengar berat di setiap tarikan nafasnya meski sudah dibantu dengan tabung oksigen. “Bagaimana kondisi anak kita, Kak? Apa dia baik-baik saja?” tanya Terryn dengan suaranya yang parau nyaris seperti tercekik. “Dia baik-baik saja, dia cantik sepertimu, Yin.” Deva mengecup ujung jari Terryn dan menempelkannya di pipinya. Tatapannya dalam memandang ke wajah Terryn. “Kenapa melihat Yin seperti itu? Yin jelek banget yaa?” seulas senyum itu be
Deva bergegas menyusuri lorong rumah sakit, jantungnya berdegup tidak karuan. Selain memikirkan operasi Terryn tentunya dia juga gugup dengan operasinya sendiri yang dimajukan lebih cepat dari jadwalnya. Willy tetap berusaha menenangkan Deva yang jelas terlihat cemas. Di ujung selasar matanya menangkap sosok perempuan yang sangat dikenalinya, Aluna. Kakak perempuan Deva itu merentangkan tangannya, jauh-jauh dia terbang dari San Fransisco untuk mendampingi adik dan adik iparnya yang tengah dalam masa sulit. Aluna memeluk erat Deva sambil terisak, dia tidak menyangka jika adik ipar kesayangannya itu akan terbaring dengan kondisi yang memprihatinkan. Aluna berbisik-bisik mengatakan sesuatu pada Deva yang membuatnya tersentak dan melepas pelukan Aluna sambil memandang heran. “Serius, Kak? Kok bisa?” tanya Deva dengan raut tidak percaya. “Dua pekan sebelumnya dokter yang selama ini menangani Terryn memberiku kabar tentang donor itu, aku terkejut karena kau sendiri yang akan melakukanny
“Sudah berapa lama Deva tertidur, Bu?” Deva kembali memungut botol minuman yang terlepas dari tangannya. Dengan kegusaran dia menghela nafas berharap mimpinya tadi bukan pertanda buruk. “Sekitar hampir sejam, kau pastinya kelelahan, Nak. Tentang Terryn jangan khawatir, Aluna dan rekan dokter lainnya sedang mengusahakan yang terbaik untuk istrimu.” Ibu Imelda mengusap bahu anaknya dengan lembut. Deva mengangguk perlahan, dengan kekuatan yang tersisa di dalam dirinya dia berusaha untuk tetap tenang. Tak lama kemudian Aluna muncul dan Deva berdiri untuk menyambutnya serta bersiap mendengarkan apa kata kakak perempuannya itu. “Kak ….” Deva hanya mampu menyapanya pendek tak mampu untuk menanyakan lebih lanjut kondisi Terryn. “Terryn baik-baik saja, meskipun tadi dia butuh tambahan darah tapi semua bisa teratasi, Willy sudah mendonorkan darahnya untuk Terryn. Stok rumah sakit untuk golongan darah Terryn sedang kosong dan Willy bersedia untuk menyumbangkan darahnya. Deva, kamu beruntung
Terryn tertawa kecil mendengar lelucon Ashiqa sahabatnya, setelah melahirkan Sheira Terryn baru sekali saja melihatnya. Selebihnya Sheira dirawat di ruang khusus anak dan dirinya pun terkulai tak berdaya di kamar ini. “Jika jodoh mereka tak akan kemana.” Terryn menyunggingkan senyumnya. “Oh yaa Yin, aku dengar dari ibu Asih kalau kak Deva nyaris saja jadi pendonor paru untukmu, gak nyangka banget kalau perjuangan cinta kak Deva memang benar-benar total sama kamu. Untungnya kakak ipar kamu, mba Aluna menemukan donor yang tepat lebih cepat hingga dia meyakinkan adiknya kalau dia tidak perlu jadi donor.” Ashiqa memandang wajah Terryn yang tiba-tiba menegang. Tentunya Terryn tidak pernah tahu tentang rencana suaminya untuk menjadi pendonor baginya. “Kamu … Tahu hal ini ‘kan, Yin?” Ashiqa menelisik lebih jauh karena Terryn terlihat terkejut. “Iya, aku tahu dan hal ini masih membuatku terkejut berkali-kali mengingat niat kak Deva itu.” mata Terryn berkaca-kaca, dia tidak ingin Ashiqa me
Jantung Terryn berdegup kencang ketika mobil sudah terhenti tepat di halaman rumah, Deva membukakan pintu mobil untuknya dan membimbingnya keluar dari mobil. Ibu Asih dan ibu Imelda sudah menyambut kedatangannya dengan penuh sukacita. Dalam gendongan ibu Asih tampak bayi Sheira yang menatap ke arahnya. Mata Terryn berkaca-kaca ketika tangan Sheira bergerak-gerak seakan ingin menggapainya. “Hey … Baby Sheira, Mama kangen banget Sayang….” Terryn mengambil tangan mungil itu dan mengecupnya, apalah daya Terryn belum bisa menggendong Sheira karena bekas operasi di dadanya itu.“Selamat datang kembali, Nak.” sambut ibu Asih sambil membelai kepala Terryn lembut. Bergantian dengan Ibu Asih kini Ibu Imelda yang hati-hati memeluknya dan mencium dahi Terryn lembut. Deva masih sibuk membawakan barang-barang Terryn dan memasukkannya ke kamar mereka. Matanya hanya mampu membaca betapa bahagianya kedua ibunya menyambut kepulangan Terryn dan betapa berbahagianya pula Terryn melihat putrinya. “Yin,
Apapun bisa terjadi jika Tuhan berkehendak. Dalam kasus Terryn bisa saja dia tidak akan bisa punya bayi yang lucu dan sehat, kegigihannya untuk menjalani program hamil hanya butuh waktu yang singkat. Semua adalah kebesaran Tuhan yang tidak akan pernah berhenti disyukuri Terryn. Hidup dengan paru-paru baru juga merupakan kemurahan Tuhan lainnya, bahkan Deva suaminya yang sudah siap menjadi pendonor di detik-detik terakhir digantikan oleh pendonor lain. Manusia memang berencana dan rencana Tuhan yang akan tetap berlaku dalam hidup manusia. Terryn sedang memilihkan baju untuk Sheira, usianya kini enam bulan. Artinya sudah setengah tahun juga operasi besar yang dijalani Terryn sudah berlalu. Walaupun harus meminum obat seumur hidupnya, Terryn bisa beraktifitas seperti biasa. Hanya saja Deva mengawasi Terryn dengan ketat agar jangan sampi beraktifitas berlebih yang membuatnya kelelahan. Terryn memakaikan Sheira baju yang cantik untuk menghadiri pesta ulang tahun Raka, putra Ashiqa dan Ra
Seorang laki-laki muda baru saja mengakhiri presentasi sangat penting dan bergengsi di hadapan para petinggi negara dan orang-orang dari perusahaan besar lainnya. Mereka bertepuk tangan dan memberi ucapan selamat serta dukungan setelah pria muda itu mendapat persetujuan dengan mega proyek pembangunan yang tidak sembarang perusahaan bisa mendapatkannya.Deva Danuarta tersenyum bangga dengan pencapaian gemilang anak muda itu dan semakin yakin jika di tangan anak itu Melda’s Constructions akan semakin maju. Dari sudut ruangan dia melihat sosoknya tengah disalami oleh beberapa orang penting dari dalam dan dari luar negeri. Semua puas dan antusias dengan penyampaiannya tadi dan mereka berharap agar usaha anak muda itu diberi kemudahan dan kesuksesan.“Ouh Papa ada di sini? Kenapa gak kasih tau Panji kalo Papa akan hadir juga, pasti panji akan jemput Papa.” Panji segera mendekati Deva dan menyalami dan mencium punggung tangan laki-laki yang dengan besar hati telah merawatnya selama tujuh be
Panji berdiri di dekat pintu kedatangan, Sheira hari ini tiba dari luar negeri. Seperti janjinya kepada ayahnya angkatnya dia akan menjemput gadis yang punya seribu macam cara untuk menyusahkan dirinya. Entah di mana letak salah Panji sehingga dari awal Sheira langsung membencinya. Mungkin karena saat pertama mereka bertemu Panji terlihat lusuh, gembel dan wajahnya sembab karena menangis. Minggu-minggu awal dia sangat kesulitan beradaptasi dengan lingkungannya yang baru. Juga betapa judes dan manjanya Sheira. Mama Yin selalu menegur sikap Sheira yang tidak sopan, mulai dari cara halus hingga cara kasar. Gadis kecil yang cantik seperti boneka itu tidak peduli karena sikap omanya yang selalu membelanya. Deva menjadi sangat pusing dengan ulah Sheira yang kian hari kian menjadi. Tahun berlalu Panji akhirnya jadi terbiasa dengan sikap kasar Sheira. Meskipun diperlakukan seperti babu, Panji tidak pernah keberatan dan menjalani semuanya dengan lapang dada. Toh dia masih memiliki cinta kasih
“Viviii … sini Nak, sini sama Ibu, jangan begini Sayang. Vivi marah lagi yaa? Ayo sini… sini….” Ibu Dei mengambil alih Vivi yang masih berontak hendak menyerang Sheira. Dari wajah dan sorot anak itu betapa Vivi ingin mengatakan banyak hal tetapi gadis kecil itu hanya bisa berteriak menangis tantrum.“Sheira, kamu baik-baik saja? Astaga kepala kamu berdarah!” seru Panji panik, segera diambilnya kotak tisu yang ada di meja dan menarik cepat beberapa lembar tisu lalu menekan luka Sheira.“A-aku baik-baik saja, aku tidak apa-apa.” Sheira mengambil alih sendiri tisu itu untuk ditekan di kepalanya.“Bu, ada apa dengan Vivi? Kenapa dia tiba-tiba jadi begini?” Panji mendekati ibu Dewi yang masih menahan Vivi dalam pelukannya. Sheira yang tahu diri karena penyebab kemarahan Vivi pelan-pelan meninggalkan ruangan tanpa suara. Dia berdiri di balik pintu untuk menunggu penjelasan ibu Dewi.“Ibu
Keadaan Sheira semakin hari semakin membaik, kesehatannya sudah pulih tetapi dia memutuskan untuk tidak kembali dulu ke lokasi syuting. Sheira masih menjalani masa berkabung dan rumah produksi sinetronnya mengerti akan hal itu. Kesempatan itu digunakan Sheira untuk berkunjung ke rumah panti asuhan Sayap Ibu. Seperti yang dijanjikan Panji, lelaki itu akan menemani kemanapun Sheira ingin pergi.Sheira membeli berbagai macam mainan yang sangat banyak serta makanan lezat. Berkotak-kotak pizza serta ayam goreng yang terkenal dengan gerainya di penjuru dunia itu dibeli Sheira penuh semangat. Panji sampai kewalahan membawa mainan dan makanan itu. Anak-anak menyambut kehadiran Panji dengan penuh suka cita pun dengan ibu Dewi, ibu pengasuh mereka.Sheira mendekat perlahan pada sosok wanita di depannya itu, meraih tangannya dan mencium tangannya seperti dia melakuk
“Kau sudah bangun rupanya, aku baru saja membuat bubur ayam ceker kesukaanmu.” Panji datang sambil membawa sebuah nampan yang berisi mangkuk dengan asap yang mengepul tipis. aroma gurih menguar di udara dan menerbitkan selera Sheira meskipun lidahnya terasa sedikit pahit. Wajah Panji sudah lebih tenang dari sebelumnya.Perawat itu tersenyum lagi dan meminta pamit meninggalkan kamar mereka. Panji menyiapkan sarapan Sheira dengan cekatan. Meniup sesaat bubur di sendok itu sebelum disuapi ke mulut Sheria. Sheira menyantapnya dengan pelan, sedikit hambar mungkin karena lidahnya yang pahit terasa. Namun dia tidak ingin menyia-nyiakan usaha yang telah dilakukan Panji untuknya.“Habiskan yaa, supaya kamu punya tenaga lagi dan cepat pulih.” Panji menyendokkan kembali bubur itu kepada Sheira.
Sheira membuka matanya perlahan, hal yang dilihatnya adalah Panji yang tertidur di kursi samping tempat tidurnya. Laki-laki itu menggunakan lengan untuk menopang kepalanya. Mata Sheira berkeliling dan melihat punggung lengan kirinya yang tertancap jarum infus juga tiang infus yang menggantungkan kantung cairan berisi asupan makanan serta obat untuk Sheira.Jam di dinding menunjukkan pukul tiga dini hari, Sheira merasa ingin buang air kecil. Dirasakan jika tubuhnya masih diliputi demam dan sungguh payah untuk bergerak. Dicobanya untuk menyibak selimut dan duduk tapi kepalanya masih sangat berat sementara desakannya untuk buang air kecil semakin menjadi. Terdengar rintihan kecil dari mulut gadis itu ketika jarum infus di punggung lengannya bergerak.Panji merasakan gerakan di tempat tidur Sheira dan membuat laki-laki itu terbangun.
“Bony, tolong panggilkan dokter dan Venus tolong bantu aku mengganti baju Sheira.” Panji menatap Sheira dengan tatapan prihatin, dirinya sibuk mengurus pemakaman Terryn sehingga kondisi Sheira luput dari perhatiannya. Vero yang biasa menjaganya pun hampir datang terlambat karena pesawatnya yang delay.“Kakak ‘kan suaminya. kenapa harus cari orang buat ganti baju istri sendiri?” tanya Venus bingung.“A-aku … aku belum pernah bersama dengan Sheira, jadi aku masih … aah tolong saja kakakmu ini, Ve!” seru Panji gugup. Venus menarik sudut bibirnya mengetahui hal itu. Mereka sama sekali belum menjadi suami istri pada umumnya.“Tolong siapkan air hangat dan handuk kecil yaa, Min.” Panji menggulung lengan kemejanya, dan membantu Venus melepaskan sepat
Suasana pemakaman tampak begitu suram dengan aura kesedihan bagi keluarga yang ditinggalkan. Langit pun seakan menegaskan jika ini adalah waktu yang paling gelap untuk mereka dengan mengirimkan gumpalan awan gelap kelabu.Ashiqa yang datang bersama Rama dan putranya Raka, sahabat Terryn itu tak menyangka jika Terryn sudah tiada. Lama Ashiqa memeluk Sheira yang tampak antara bernyawa dan tidak bernyawa. Juga pada Panji, berangkai kata penghiburan diucapkan pada pemuda yang telah menjadi bagian hidup Terryn. Sejarah tentang Panji pun diketahui oleh Ashiqa sehingga dia tahu jika Panji ikut larut dalam duka yang besar atas kepergian perempuan baik hati itu.Vero yang hadir turut merasakan kesedihan, dirinya ikut menanggung rasa bersalah seperti yang Sheira rasakan sekarang. Oma Imelda menangis meraung meratapi menantu kesayangannya yang kini telah berku
Dokter keluar dari ruangan,usai memeriksa Terryn, buru-buru Panji dan Deva mendekat. Dokter mengatakan jika Terryn sudah sadar dan ingin menemui suami dan anak dan menantunya secara bergantian. Deva pun masuk terlebih dahulu untuk menemui istrinya.“Yin Sayang, ada apa denganmu? Kamu berangkat dari rumah baik-baik saja, apa ada hubungannya dengan putri kita?” Deva menggenggam tangan Terryn dengan erat. Terryn hanya menggeleng dan meneteskan air mata.“Waktuku akan habis sebentar lagi, Kak. Terima kasih selama ini sudah berada di sisiku, mencintaiku dan tak pernah jauh dariku,” jawab Terryn lemah.“Tolong jangan bicara seperti itu, Yin. Kau akan tetap bersamaku dan anak-anak dalam waktu yang lebih lama lagi.”“Kak, aku ingin bicar
“Apa yang telah kulakukan? Ma, Mama,bangun Ma, maafkan Shei, Mama’” ucap Sheira berulang kali sambil mengguncang bahu Terryn pelan. Tak ada respon dari perempuan paruh baya itu.“Yaa Tuhan … jangan ambil Mamaku sekarang … jangan ….” Sheira menutup wajahnya sambil mengulang-ngulang kalimat itu. Setelah Terryn menampar wajahnya dan terjatuh pingsan, Sheira sesaat kebingungan lalu menelpon ambulans dan membawa Terryn ke rumah sakit. Dia sempat menelpon Deva, Panji dan Oma Imelda. Semua yang ditelponnya tentu saja terkejut dan menanyakan mengapa Terryn bisa kolaps lagi seperti itu.Derap langkah terburu-buru terdengar mendekat, Sheira berharap itu adalah papanya, Deva, tetapi yang tiba lebih dulu adalah Panji. Dengan wajah cemas laki-laki muda itu menghampiri Sheira yang terlihat mengkerut takut
Mata Sheira terpejam rapat, kebenciannya selama ini yang tertanam begitu kuat mulai dikhawatirkannya sedikit demi sedikit terkikis oleh sikap Panji yang selalu baik kepadanya. Andai saja hari itu di mana saat Sheira berulang tahun yang ke tujuh Panji tidak merusak kado pemberian omanya. Asal muasal percikan benci bermula. Kenangan Sheira di masa kecil terulang di dalam kepalanya. Bahkan ketika Sheira mencoba berbaring, kejadian rusaknya kado itu masih saja berputar-putar dalam ingatannya. Betapa dirinya saat itu sangat marah karena Panji tidak sengaja merusak kotak musik pemberian omanya. Hal itu juga yang menjadi pemicu pertengkaran ayahnya dengan oma Imelda.Ayahnya kala itu membela Panji dari serbuan amarah oma Imleda dan Sheira. Ayahnya pun melindungi Panji yang akan dipukul oma Imelda memakai payung. Suara ketukan pintu terdengar membuyarkan lamunan Sheira dan Mimin muncul dari balik pintu sambil membawa nampan setelah dipersilakan masuk.“Itu apa, Min?” Sheira mengambil posis