Langit sudah mulai menghitam menyisakan warna jingga yang memudar perlahan, tapi sama sekali tak terlihat tanda-tanda Rachel sudah pulang. Antonio tampak gelisah, kedua tangannya mengepal sembari berjalan mondar-mandir di teras depan rumahnya.
Netranya terus mengedar ke segala arah. Firasat buruk terus menghantui, mengingat posisinya sebagai Bos Mafia tentu tak mudah baginya menjaga Rachel yang notabene akan menjadi generasi penerusnya. Rintangan dan ancaman akan selalu ada dari berbagai pihak yang merupakan musuhnya. Raut wajahnya yang tenang dan sangar, tak mampu menutupi kepanikannya yang berharap anak angkatnya baik-baik saja. Di tengah kepanikan, tiba-tiba ponselnya berdering yang menandakan ada sebuah panggilan masuk. Antonio yang berharap telepon dari putrinya itu pun langsung mengangkat tanpa melihat nama kontaknya. “Putriku, cepatlah pulang. Dimana kau sekarang? Apa kau baik-baik saja!” ujar Antonio yang tampak khawatir dengan keadaan putrinya. “Wow! Sepertinya ada yang baru saja mengkhawatirkan putri barunya. Apa kau baru saja belajar menjadi ayah yang baik, Antonio?” “Kau..!” Suara tak asing itu mengingatkan Antonio pada peristiwa penembakan beberapa puluh tahun lalu yang melibatkan dirinya. “Akhirnya kau mengingatku.” “Apa yang kau inginkan!!” bentak Antonio pada sosok misterius itu. “Hahaha... Tenanglah, tak ada yang kuinginkan selain membuatmu merasakan apa yang pernah ku rasa.” “Huuft! Apa kau baru saja mengancamku?” “Apa kau menganggap itu sebuah ancaman? Aku rasa kita harus merayakan Reoni kita melalui putri barumu.” “Jangan sentuh putriku! Atau kau akan kubunuh!!” “Kau mau menyerahkan diri atau putrimu yang akan kuhabisi! Aku rasa itu cukup adil untuk mengulas masa lalu kita. Bagaimana? Apa kau tertarik?” “Apa maksudmu, Bajingan!! Urusanmu adalah denganku, bukan putriku!!!” Antonio yang sudah naik pitam tak mampu lagi membendung amarahnya. Ia tak hanya melontarkan umpatan untuk sosok misterius itu, tapi juga memukul meja di teras depan hingga beberapa pengawalnya datang menghampirinya. Mereka tampak siaga dengan segala kemungkinan yang akan terjadi dengan Tuannya. “Apa kau pernah berfikir seperti itu beberapa tahun lalu?” pungkas sosok misterius itu. Tak sepatah kata pun terucap dari bibir Antonio, raut wajahnya sudah tampak menjelaskan apa yang sedang ia rasakan. Lidahnya mendadak kelu mengingat apa yang pernah terjadi. “Aku rasa itu masalah yang berbeda!” “Hahaha... Kenapa? Apa kau kira aku tidak tahu putri barumu yang bekerja di restoran cepat saji itu?” “Jangan macam-macam jika kau tak ingin kembali berhadapan denganku!!” “Hahahahaaa.... Aku rasa kau sudah terlambat.” Sebuah telepon misterius yang baru saja diterima Antonio. Raut wajahnya yang semula tenang kini tampak memerah mengingat Rachel yang masih dalam bahaya. Dadanya bergemuruh sesak memikirkan nasib gadis malang yang kini menjadi putrinya itu. Antonio yang merupakan bos mafia tentu sudah menjadi hal yang biasa jika mendapatkan ancaman, terlibat kasus pembunuhan dan sebagainya. Sangat sulit baginya menjaga Rachel kecuali jika Rachel mau menggantikan posisinya. “Rudiiii....!!” teriak Antonio memanggil pengawal pribadinya. “Siaap Tuan!” “Jemput Rachel pulang!” “Bagaimana jika ini belum waktunya pulang?” “Paksa dia pulang. Dan kalau perlu paksa dia berhenti bekerja di restoran itu sekarang juga!” “Baik Tuan...!” Sekian detik kemudian Rudi dan beberapa pengawal lainnya bergegas menjemput Rachel di tempat kerjanya. Tak berselang lama sampailah mereka di restoran itu. Tampak seorang gadis sedang mau berangkat mengirim barang. “Rachel, Tuan memintamu untuk pulang”. “Apa. Tapi aku belum selesai....” “Hari ini juga kau harus mengundurkan diri dari pekerjaanmu!” “Ta-tapi....” Belum sempat Rachel berpamitan dengan teman-temannya. Seketika lengannya langsung ditarik keluar dan dipaksa masuk mobil. “Maaf Kak, ini sebenarnya ada apa ya?” Tak seorang pun dari mereka yang mau menjawab. Hingga akhirnya di perjalanan, tiba-tiba mobil mereka dihadang oleh beberapa kelompok bersenjata. Bermula dari dua motor yang mulai mendekat sebelum akhirnya melakukan penembakan yang mengarah pada Rachel. Namun dengan cepat Rudi langsung mendorong Rachel dan menyuruhnya untuk merunduk di bawah. Rachel yang panik pun mengikuti perintah pengawal pribadi Ayahnya itu. Tak berselang lama beberapa motor itu berhasil mengepung mobil mereka hingga terjadi baku tembak dan sempat mengenai salah satu kaca mobil yang mengarah pada Rachel. Melihat kejadian itu raut wajah Rachel seketika berubah. Semua terjadi begitu cepat. Bahkan tangannya tampak bergetar dengan napas sedikit tersengal. Teriakan demi teriakan seketika menggema usai kaca mobil terpecah karena peluru yang ditembakkan salah satu kelompok bersenjata itu. Untunglah Rachel berhasil selamat hingga sampai di rumah. Bibirnya tampak bungkam dan kembali teringat dengan apa yang sudah pernah dilontarkan Pak Dio dan Mang Udin. Apakah selama ini ayah angkatku? Ah tidak, tidak mungkin! Pasti mereka salah.. Karena selama ini beliau sangat menyayangiku bahkan aku dianggap seperti anak kandungnya sendiri. Beliau pasti orang baik, aku yakin itu! gumam Rachel dalam hati. Seketika cairan bening itu kembali mengalir dari netranya hingga menghampiri sang Ayah yang tampak cemas menunggu putrinya di depan Rumah. “Ayaaaaaaaahhhh...” DORR!! Seketika ada sebuah tembakan mengarah pada Rachel saat hendak menghampiri ayahnya. Dan dihadang ayah Rachel yang seketika menarik Rachel hingga jatuh tersungkur di hamparan tanah untuk menghindari tembakan. “TIDAK!!! Ayaaaaaaahhh....” Melihat ayahnya jatuh terkapar membuat Rachel sangat terpukul hebat. Benda padat yang keluar dari pistol itu berhasil mengenai dada Antonio. Cairan merah kental pun seketika mengalir deras. Ia langsung membawa ayahnya ke rumah sakit bersama beberapa pengawal. Sementara pengawal lainnya saling baku tembak dan mengejar pelaku itu. Selama perjalanan di rumah sakit. Isak tangis Rachel terus menggema sembari memohon Ayahnya agar tetap kuat sampai tujuan. “Ayah... Tetaplah kuat ya! Aku yakin Ayah bisa”. Isak tangis Rachel semakin kencang kala ia melihat kelopak mata sang Ayah semakin menutup. Sama sekali tak terdengar deru napasnya. Rachel langsung meraih pergelangan tangan Antonio sembari memeriksa denyut nadi sang Ayah. Deg Denyut nadinya sama sekali tak ada. Seketika Rachel pun semakin panik. Sesampainya di rumah sakit, Antonio langsung mendapatkan perawatan instens. Isak tangis Rachel terus menggema. “Yakinlah bahwa Tuan akan baik-baik saja“ ujar Rudi salah seorang pengawal kepercayaan Antonio. “Tapi tadi tidak ada denyut nadinya!” Rudi seketika langsung duduk lemas di samping Rachel. Raut wajahnya yang sangar kini terlihat tampak sayup. Tak sepatah katapun terucap dari bibirnya yang tipis. “Apa Tuan sudah menceritakan semua padamu?” Rachel perlahan mengangkat wajahnya dan menoleh ke arah Rudi, matanya yang sembab kini menatap serius pada pria berbadan besar yang merupakan pengawal pribadi ayah angkatnya. “Cerita apa?” Rudi tampak menghela napasnya perlahan. Namun lidahnya mendadak kelu saat terdengar gagang pintu depan kamar Antonio terbuka. Tampak seorang pria paruh baya berjas putih dan beberapa suster itu menghampiri mereka. Tak berselang lama Rudi dan Rachel pun berdiri untuk menanyakan keadaan Antonio yang sedang terkapar di tempat tidur rumah sakit itu. Raut wajahnya tampak pucat dan sama sekali tak ada pergerakan dari sekujur tubuhnya. Semua tampak kaku. Begitu banyak selang oksigen yang mengitari tubuh Antonio. Tak hanya itu, pergelangan tangannya juga terlihat beberapa infus masih menancap di sana. Terbesit dalam pikiran Rachel. Apakah Ayah bisa diselamatkan?“Bagaimana keadaan ayah saya, dok?” tanya Rachel dengan cemas, matanya terpaku pada dokter yang menangani Antonio, berharap ada harapan untuk sang ayah.“Mari masuk, saya akan jelaskan di dalam,” jawab dokter itu, wajahnya terlihat enggan.“Baiklah…” Rachel mengikuti langkah dokter dengan langkah ragu.Di dalam ruangan, dokter itu tampak berat hati untuk berbicara. Wajahnya tampak lelah dan sayup. “Dok! Tolong katakan padaku! Apa yang sebenarnya terjadi?” desak Rachel, menarik lengan dokter bername tag Heri itu dengan tangan gemetar.Akhirnya, dengan suara lirih, dokter itu mengungkapkan yang paling ditakuti Rachel.“Maafkan kami, Ayahmu…”“Ayah saya kenapa, dok?!” Rachel hampir tidak bisa menahan firasat buruknya.“Ayahmu telah berpulang…”“TIDAK! Ayaaaaah!!” teriak Rachel, merasakan dunia runtuh seketika. Ia langsung memeluk tubuh Antonio yang terbaring kaku, wajahnya pucat. Sang dokter dengan perlahan menutup tubuh ayahnya dengan selimut.Beberapa petugas rumah sakit mulai bersiap
Keesokan harinya, usai melaksanakan sholat Subuh, Rachel dikejutkan dengan derap langkah kaki yang terdengar berhenti di depan pintu kamarnya, diikuti oleh ketukan pintu yang perlahan.“Ayah?” tanya Rachel, tampak terkejut melihat ayahnya yang berdiri mematung di depan pintu kamarnya.“Boleh ayah masuk? Ada yang ingin ayah bicarakan padamu,” ujar Antonio, menatap serius dengan sedikit tergesa, lalu menghampiri putrinya.“Iyaa, Ayah. Ada apa?”“Nak, Ayah sudah sangat tua. Ayah tidak bisa terus-menerus menjagamu dengan tenaga Ayah. Ayah hanya bisa melindungimu dengan ilmu yang akan Ayah wariskan padamu.”“Maksud Ayah? Apakah para penjahat itu akan datang lagi? Kenapa kita tidak lapor polisi saja, Ayah?”Antonio tak menjelaskan siapa dirinya secara gamblang. Ia hanya ingin melindungi putrinya dengan caranya sendiri, tanpa menanamkan rasa curiga yang lebih dalam.Mungkin akan terdengar berat, atau bahkan bisa menimbulkan lebih banyak pertanyaan ketika nanti Rachel mulai menjalani pelatiha
Seiring berjalannya waktu, latihan Rachel semakin intens. Setiap pukulan, tendangan, dan gerakan yang dilakukan dengan penuh kesungguhan membawa perubahan pada tubuh dan pikirannya. Keringat terus mengucur, otot-ototnya terasa pegal, tapi di balik itu, ada sesuatu yang tumbuh, sesuatu yang jauh lebih kuat dari sekadar fisik. Semangat balas dendam itu makin menggema di dalam hatinya.Setiap kali Rudi memerintahkannya untuk bangkit setelah terjatuh, setiap kali ia berhasil mematahkan serangan yang lebih kuat dari sebelumnya, rasa ingin membalas semua penderitaannya pun semakin membara. Namun, bukan hanya latihan fisik yang menguji Rachel. Ingatan-ingatan gelap dari masa lalunya terus menghantuinya. Rumah saudaranya yang lebih menyerupai neraka daripada tempat tinggal, kenangan diperlakukan seperti sampah, dan perselingkuhan Dafa dan Aliya yang meninggalkan luka menganga di hatinya selalu hadir, seolah waktu tak pernah berjalan maju.Terlebih suara itu."Iya... suara desahan itu," pikir
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Rachel menarik napas lega, melirik jam tangannya yang sudah mulai longgar karena tali yang aus. Ia segera membereskan pekerjaannya, melipat seragam dengan rapi, dan mengganti pakaian dengan kaus lusuh yang nyaman. Dengan langkah santai, ia keluar dari restoran cepat saji tempatnya bekerja. Udara sore terasa hangat, namun angin dingin mulai berembus pelan, menandakan malam segera tiba. Ketika berjalan menuju halte, matanya tanpa sadar tertuju pada sebuah mobil hitam mengilap yang terparkir di depan restoran. Mobil itu terlihat sangat familiar. Kaca depannya gelap, memantulkan langit sore yang mulai berubah warna. “Kok mirip mobilnya Kakek itu ya?” pikir Rachel dalam hati. Ia mencoba mengabaikan pikirannya, menenangkan diri dengan logika sederhana. “Ah, mungkin perasaanku saja. Tidak mungkin dalam satu negara hanya satu orang yang punya mobil seperti itu. Tentu ada lebih dari satu.” Namun, rasa penasaran tetap menggelitik pikirann
Sebuah kotak kayu yang terbungkus kertas berwarna cokelat muda itu terasa sedikit berat. Rachel memiringkan kotak itu ke kiri dan ke kanan, mencoba menebak apa yang ada di dalamnya. Tidak ada alamat pengirim, hanya namanya yang tercetak di bagian atas kertas dengan tinta hitam yang agak pudar. Entah apa yang ada di dalamnya, pikirnya, sambil merasa semakin bingung. Rachel memutar-mutar kotak itu di tangannya, merasakan tekstur kayu yang kasar di ujung-ujungnya. Tak ada tulisan apapun yang memberitahunya apa isi paket ini. Hanya ada label dengan namanya yang membuatnya semakin curiga. Kenapa hanya ada namaku? Pikirnya, bertanya-tanya. Dengan hati-hati, ia mulai membuka paket itu, memutuskan untuk memberanikan diri. Sebelum melanjutkan, ia menyeka sedikit peluh yang muncul di dahinya, merasa cemas meski ia tidak tahu kenapa. Begitu kertas cokelat itu terlepas, Rachel menatap dalam-dalam kotak kayu itu. Dan... Deg Jantung Rachel seakan berhenti sejenak. Matanya mengerjab, tidak perc
Rachel menyingkap sedikit tirai kosnya, jantungnya berdegup kencang. Dari balik celah itu, terlihat bayangan seseorang yang melintas di depan kosnya. Gerak-geriknya pelan, hampir seperti mengintai. Bayangan itu samar, hanya terlihat seperti sosok hitam yang bergerak di antara redupnya lampu jalan. “Siapa dia?” Rachel berbisik pelan, nyaris tak terdengar. Ia mencoba menajamkan pandangannya, berharap bisa mengenali wajah atau ciri-ciri orang tersebut, tetapi bayangan itu terlalu cepat menghilang di ujung gang. Rachel melangkah mundur perlahan dari jendela. Perasaannya semakin tak menentu. “Apa dia orang yang sama dengan yang tadi malam?” pikirnya. Kekhawatiran menyelubungi hatinya, membuat bulu kuduknya meremang. Tiba-tiba, suara sesuatu jatuh terdengar dari luar pintu. Braak! Rachel tersentak, tubuhnya kaku. Ia mengintip lagi dari tirai, tapi tak ada siapa pun. Dengan gugup, ia memandangi pintu depan. Hening. Seketika, bunyi ketukan keras menghentak pintu kosnya. TOK! TOK! TOK!
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Rachel akhirnya bisa mencairkan gajinya, hasil dari kerja keras selama sebulan terakhir. Saat amplop berisi uang itu berpindah ke tangannya, rasa lega seketika terpancar di wajahnya. Beban yang selama ini ia pikul terasa sedikit lebih ringan. Sepanjang perjalanan pulang, Rachel tersenyum tipis. Meski sederhana, ini adalah salah satu momen yang membuatnya merasa lebih baik. Gaji ini bukan hanya sekadar uang, tapi juga simbol perjuangan dan usahanya untuk bertahan di tengah segala rintangan. Namun, tak lama, pikirannya kembali dihantui oleh masalah baru yang perlahan mulai menyergap. Rencana menggunakan gaji itu untuk kebutuhan hidup sehari-hari mulai terganggu oleh rasa bersalah. Di satu sisi, Rachel tahu ia harus memprioritaskan kebutuhannya. Di sisi lain, ada Mang Udin dan Mbak Sri yang sedang menghadapi kesulitan. “Haruskah aku membantu mereka? Tapi bagaimana jika aku kehabisan uang sebelum gajian berikutnya?” gumamnya dalam hati. Rachel m
Derap napasnya seketika menderu sesak begitu mendengar suara lirih dari belakang. Rachel berdiri membeku, tubuhnya terasa kaku, seolah udara di sekitarnya mendadak menjadi beku. Ia sama sekali tidak berani menoleh, apalagi merespons suara itu.Namun, rasa penasaran perlahan menguasainya. Dari sudut matanya, ia mencoba melirik ke arah sumber suara. Bayangan samar itu terlihat familiar, tapi tak cukup jelas untuk memastikan siapa atau apa yang ada di sana. Suara lirih itu seperti memanggil namanya, tapi terdengar jauh dan bergetar, seperti datang dari ujung lorong gelap yang tak berujung.Pikirannya berkecamuk. Apakah aku harus ketahuan secepat ini? Pikirnya. Ketakutan yang selama ini ia tekan mulai mencuat ke permukaan. Ia memegang erat tepi meja di sebelahnya, mencoba menenangkan diri. Tapi, suara itu terus bergema di telinganya, membuatnya sulit bernapas dengan normal.“Aku tahu kamu ada di sana, Rachel...” Suara itu terdengar lebih jelas, dan kali ini disertai langkah kaki yang sema
Dalam dingin dan gelapnya malam yang mencekam di penjara, Rachel meringkuk di sudut sel. Dinding-dinding lembap memantulkan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Penjara itu tidak menyediakan lampu di setiap sel, hanya bergantung pada kilatan cahaya redup dari lorong utama setiap kali seorang napi melewati jalannya. Rachel, yang ditempatkan di sel paling ujung, merasakan keheningan yang jauh lebih pekat dibandingkan tempat lainnya. Aura gelap menyelimuti ruangan kecil itu, seolah menyembunyikan sesuatu yang tidak kasat mata. Sesekali ia merasa seperti ada bayangan bergerak di sudut pandangnya, membuat bulu kuduknya meremang tanpa alasan. Setiap kali langkah kaki berat terdengar di kejauhan, cahaya lampu lorong menari-nari di jeruji besinya. Namun, alih-alih merasa aman, kilatan itu justru menambah kesan mencekam. “Kenapa aku harus ada di sini?” pikir Rachel, sembari merapatkan tubuhnya pada dinding dingin. Di tengah keheningan itu, suara samar-samar dari sel sebelah mula
Di sela-sela interogasi yang melelahkan, Rachel mulai merasa seperti terjebak di labirin tanpa jalan keluar. Kebenaran yang ia tahu seperti tak berdaya melawan dugaan yang mereka bangun. Tekanan itu membuat tubuhnya gemetar, dan hatinya dipenuhi rasa putus asa. Namun, satu hal yang pasti Rachel tahu ia harus bertahan. Jika ia menyerah sekarang, maka semuanya benar-benar akan berakhir buruk baginya. "Baiklah, untuk sementara ini kamu akan kami tahan sampai ada seseorang yang mampu membuktikan bahwa kamu benar-benar tidak bersalah,” ujar salah seorang polisi dengan nada dingin, tatapannya tajam menusuk ke arah Rachel. Rachel hanya mampu menatap kosong, tubuhnya terasa lemas. Kalimat itu menghantamnya seperti palu godam. Seketika matanya berkaca-kaca, dan air mata yang selama ini ia tahan kini jatuh berlinang tanpa bisa dihentikan. “Bagaimana mungkin ada seseorang yang bisa menolongku?” pikir Rachel dalam hati, rasa putus asa mulai menyelimuti dirinya. Kejadian malam itu hanya mel
“Angkat tangan! Jangan bergerak!!” Suara bentakan yang tegas dan memekakkan telinga membuat Rachel terhenyak. Beberapa pria berpakaian hitam mengacungkan pistol ke arahnya tanpa ragu sedikit pun.“Hari ini, kamu resmi kami tangkap!” ucap salah satu dari mereka dengan nada dingin yang tak menyisakan ruang untuk pembelaan.Rachel berdiri terpaku, tubuhnya gemetar hebat. Tangannya perlahan terangkat, mengikuti perintah mereka. Tapi matanya sudah mulai memanas, penuh dengan air mata yang siap jatuh kapan saja. Ia merasa seperti seorang narapidana yang divonis tanpa sempat membela diri.“Aku tidak bersalah... Aku tidak tahu apa-apa,” gumamnya, hampir tak terdengar. Kata-kata itu lebih ditujukan untuk dirinya sendiri, seolah mencoba menguatkan hati yang kini terasa remuk.Tubuh Rachel yang semula bergetar kini mulai kehilangan tenaga. Lututnya melemah, dan ia perlahan jatuh ke lantai dengan napas yang tersengal. Apakah ini akhirnya? Pikirnya, sambil menatap wajah-wajah dingin di depannya.C
Mengingat apa yang dilontarkan polisi itu, Rachel merasa pikirannya semakin kacau. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terus berputar di benaknya, menggema tanpa henti. Malam itu, meski tubuhnya sudah berbaring di tempat tidur, pikirannya tak kunjung tenang. Bahkan setelah berkali-kali mencoba memejamkan mata, rasa cemas itu tetap tak mau pergi.Bayangan tentang penjara dan status sebagai narapidana menghantuinya. Ia membayangkan jeruji besi yang dingin, tatapan penuh kecurigaan dari orang-orang di sekitarnya, dan hidup yang berubah selamanya. Sesuatu yang ia tak pernah bayangkan sebelumnya kini terasa begitu nyata dan menakutkan.Rachel memutar tubuhnya, mencoba menemukan posisi yang nyaman. Namun, setiap kali ia mencoba mengalihkan pikiran, bayangan itu kembali muncul. Seolah-olah ada kekuatan tak kasat mata yang terus menariknya kembali pada mimpi buruk itu.Sesekali, matanya mengerjap, dan ia menatap langit-langit kamar kosnya yang redup. Ia mencoba mengingat apa yang sebenarny
Mendengar suara langkah mendekat dan sebuah tepukan di pundaknya, jantung Rachel mulai berdegup kencang. Suara itu seolah menggema di telinganya, membangkitkan kembali ingatan mimpinya yang mengerikan semalam. Ia merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya, meskipun cuaca siang itu terik. Tangannya mulai bergetar, dan ia menggenggam erat tas kecil yang dibawanya, seolah itu adalah satu-satunya pegangan yang bisa membuatnya tetap berdiri. Rasa takut perlahan merayap naik, mencengkram dirinya dalam ketegangan yang tak tertahankan. Rachel tidak langsung menoleh ke arah orang yang menepuknya. Ada keraguan yang begitu besar di hatinya sebagian dari dirinya takut bahwa orang itu adalah salah satu sosok dari mimpi buruknya. Namun, rasa penasaran perlahan mendorongnya untuk melirik. Perlahan, ia memutar kepalanya sedikit, cukup untuk melihat dari sudut matanya. Sosok itu tampak berdiri tenang di belakangnya, mengenakan pakaian biasa, tapi Rachel tidak bisa menyingkirkan rasa khawat
Ketegangan di udara semakin terasa, membuat suasana mencekam. Hingga akhirnya, dengan tubuh gemetar, Rachel menyerah pada keadaan. Ia mengangkat kedua tangannya perlahan, tanda menyerah yang mengiris harga dirinya. “Baiklah... saya ikut,” gumamnya dengan suara parau, seolah kehilangan semangat. Salah satu dari mereka memegang pergelangan tangannya dengan tegas, tapi tidak kasar. Rachel mengikuti langkah mereka, matanya sesekali menatap sekeliling, berharap ada seseorang yang datang membantu atau setidaknya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi malam tetap sunyi, hanya jejak langkah mereka yang menggema di lorong kos yang sempit. Rachel tahu, hidupnya baru saja memasuki babak yang jauh lebih gelap dari yang pernah ia bayangkan. Saat Rachel melangkah keluar dari kos, diapit oleh para polisi, pandangannya tertuju pada mobil yang menunggu di ujung jalan. Namun, tiba-tiba, dari kejauhan, sebuah kehadiran menarik perhatiannya. Sepasang mata tajam memancarkan sorot dingin,
Di tengah malam yang sunyi, Rachel terbangun kaget setelah mendengar ketukan di pintu depan kosnya. Awalnya ketukan itu terdengar pelan, namun lama-kelamaan semakin keras, seperti menuntut untuk dibuka. Ketukan itu terus terjadi, berulang-ulang, hingga akhirnya diakhiri dengan suara penggebrekkan keras.BRAAAK!Rachel yang setengah terjaga langsung tersentak. Jantungnya berdetak kencang, ketakutan menyelimuti tubuhnya. Dia merasakan udara di sekitarnya tiba-tiba berubah dingin, seolah malam yang hening berubah menjadi panggung teror.Langkah-langkah cepat terdengar jelas dari depan, seperti seseorang yang masuk dan mengitari setiap ruangan kosnya. Telinga Rachel menangkap suara pintu-pintu dibuka dan ditutup secara kasar, menandakan ada yang sedang mencari sesuatu... atau seseorang.Tubuh Rachel menegang. Ia tak berani bergerak, bahkan untuk bernapas dalam pun terasa seperti mempertaruhkan nyawanya. Langkah itu kini semakin dekat, menuju pintu kamarnya. Ia menatap ke arah pintu dengan
Keesokan harinya, Rachel memaksakan diri untuk berangkat kerja seperti biasa, meskipun pikirannya masih kalut dan dipenuhi kegelisahan. Sesampainya di restoran tempat ia bekerja. Rachel langsung disambut tatapan penuh tanya dari beberapa rekan kerjanya. Terutama mereka yang satu bagian dengan Mang Udin. Salah seorang rekannya, Dita, mendekat dengan ekspresi penasaran. “Rachel, kenapa Mang Udin beberapa hari ini tidak masuk kerja?” tanyanya sambil melipat tangan di dada.“Aku tidak tahu,” ujar Rachel sembari terus memalingkan wajah berusaha menutupi apa yang terjadi sebelum Mang Udin menghilang. “Bukankah kosmu sangat dekat dengan kontrakan Mang Udin? Kenapa bisa tidak tahu?” balasnya lagi sembari menatap heran ke arah Rachel. “Aku mohon tinggalkan aku. Aku tidak mau mengingat kejadian itu lagi!” pungkas yang kembali teringat kejadian malam itu. “Kejadian? Maksud kamu kejadian apa Rachel? Karena sebelumnya Mang Udin hanya izin tidak masuk kerja selama dua hari karena ibunya masuk
Di dinding kamar Mang Udin dan Mbak Sri, tergurat sebuah kata sederhana, tetapi penuh teror. “Maaf.” Tulisan itu dibuat menggunakan cairan merah kental yang terlihat masih segar, mengalir perlahan ke bawah, meninggalkan jejak mengerikan. “Astaghfirullahalazim! Ya Allah...” Rachel terpaku, tubuhnya gemetar melihat pemandangan di depannya. Suaranya tercekat, napasnya tersengal, seolah udara mendadak hilang dari ruang itu. Rachel mendekat dengan langkah gontai. Isaknya semakin keras, tangisnya pecah, tapi tubuhnya terasa semakin berat, seolah energi hidupnya terkuras habis oleh ketakutan. Saat matanya terpaku pada tulisan itu, bulu kuduknya meremang, tubuhnya limbung. Ada sesuatu di bawah dinding itu sebuah bercak cairan yang membentuk pola aneh. Rachel memandang tulisan di tembok dengan dahi berkerut. Jika diperhatikan, pola itu... pikirnya, sembari mengingat detail topeng pria berjubah hitam yang sempat ia lihat malam itu. Polanya tampak begitu mirip. Apakah ini petunjuk? Batinny