Rachel menyingkap sedikit tirai kosnya, jantungnya berdegup kencang. Dari balik celah itu, terlihat bayangan seseorang yang melintas di depan kosnya. Gerak-geriknya pelan, hampir seperti mengintai. Bayangan itu samar, hanya terlihat seperti sosok hitam yang bergerak di antara redupnya lampu jalan. “Siapa dia?” Rachel berbisik pelan, nyaris tak terdengar. Ia mencoba menajamkan pandangannya, berharap bisa mengenali wajah atau ciri-ciri orang tersebut, tetapi bayangan itu terlalu cepat menghilang di ujung gang. Rachel melangkah mundur perlahan dari jendela. Perasaannya semakin tak menentu. “Apa dia orang yang sama dengan yang tadi malam?” pikirnya. Kekhawatiran menyelubungi hatinya, membuat bulu kuduknya meremang. Tiba-tiba, suara sesuatu jatuh terdengar dari luar pintu. Braak! Rachel tersentak, tubuhnya kaku. Ia mengintip lagi dari tirai, tapi tak ada siapa pun. Dengan gugup, ia memandangi pintu depan. Hening. Seketika, bunyi ketukan keras menghentak pintu kosnya. TOK! TOK! TOK!
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Rachel akhirnya bisa mencairkan gajinya, hasil dari kerja keras selama sebulan terakhir. Saat amplop berisi uang itu berpindah ke tangannya, rasa lega seketika terpancar di wajahnya. Beban yang selama ini ia pikul terasa sedikit lebih ringan. Sepanjang perjalanan pulang, Rachel tersenyum tipis. Meski sederhana, ini adalah salah satu momen yang membuatnya merasa lebih baik. Gaji ini bukan hanya sekadar uang, tapi juga simbol perjuangan dan usahanya untuk bertahan di tengah segala rintangan. Namun, tak lama, pikirannya kembali dihantui oleh masalah baru yang perlahan mulai menyergap. Rencana menggunakan gaji itu untuk kebutuhan hidup sehari-hari mulai terganggu oleh rasa bersalah. Di satu sisi, Rachel tahu ia harus memprioritaskan kebutuhannya. Di sisi lain, ada Mang Udin dan Mbak Sri yang sedang menghadapi kesulitan. “Haruskah aku membantu mereka? Tapi bagaimana jika aku kehabisan uang sebelum gajian berikutnya?” gumamnya dalam hati. Rachel m
Derap napasnya seketika menderu sesak begitu mendengar suara lirih dari belakang. Rachel berdiri membeku, tubuhnya terasa kaku, seolah udara di sekitarnya mendadak menjadi beku. Ia sama sekali tidak berani menoleh, apalagi merespons suara itu.Namun, rasa penasaran perlahan menguasainya. Dari sudut matanya, ia mencoba melirik ke arah sumber suara. Bayangan samar itu terlihat familiar, tapi tak cukup jelas untuk memastikan siapa atau apa yang ada di sana. Suara lirih itu seperti memanggil namanya, tapi terdengar jauh dan bergetar, seperti datang dari ujung lorong gelap yang tak berujung.Pikirannya berkecamuk. Apakah aku harus ketahuan secepat ini? Pikirnya. Ketakutan yang selama ini ia tekan mulai mencuat ke permukaan. Ia memegang erat tepi meja di sebelahnya, mencoba menenangkan diri. Tapi, suara itu terus bergema di telinganya, membuatnya sulit bernapas dengan normal.“Aku tahu kamu ada di sana, Rachel...” Suara itu terdengar lebih jelas, dan kali ini disertai langkah kaki yang sema
Di dalam kamar, Rachel terbangun dari tidurnya. Kepalanya terasa berat, dan tubuhnya lemas. Ia mendengar suara gaduh dari ruang depan, seperti ada sesuatu yang terjatuh keras.“Ada apa ini?” gumamnya dengan panik.Ia berusaha bangkit, namun langkahnya terhenti saat mendengar jeritan tertahan dari Mbak Sri dan suara dentuman keras lainnya.Rachel membeku, napasnya memburu. Dari sela pintu kamar yang sedikit terbuka, ia melihat bayangan sosok bertopeng itu mendekat.“Siapa dia?” bisiknya, tubuhnya gemetar.Sosok itu berhenti di depan pintu kamar. Dengan perlahan, ia memutar kepalanya ke arah Rachel yang berdiri terpaku. Pandangan mereka bertemu, meski wajahnya tersembunyi di balik topeng.Namun pria bertopeng itu langsung memalingkan wajahnya sebelum Rachel sempat bereaksi. Tak berselang lama, lampu di rumah itu tiba-tiba padam, meninggalkan kegelapan total.***Keesokan harinya, Rachel terbangun dengan napas memburu di kamarnya yang terasa dingin meski matahari sudah meninggi. “Hah! A
Di dinding kamar Mang Udin dan Mbak Sri, tergurat sebuah kata sederhana, tetapi penuh teror. “Maaf.” Tulisan itu dibuat menggunakan cairan merah kental yang terlihat masih segar, mengalir perlahan ke bawah, meninggalkan jejak mengerikan. “Astaghfirullahalazim! Ya Allah...” Rachel terpaku, tubuhnya gemetar melihat pemandangan di depannya. Suaranya tercekat, napasnya tersengal, seolah udara mendadak hilang dari ruang itu. Rachel mendekat dengan langkah gontai. Isaknya semakin keras, tangisnya pecah, tapi tubuhnya terasa semakin berat, seolah energi hidupnya terkuras habis oleh ketakutan. Saat matanya terpaku pada tulisan itu, bulu kuduknya meremang, tubuhnya limbung. Ada sesuatu di bawah dinding itu sebuah bercak cairan yang membentuk pola aneh. Rachel memandang tulisan di tembok dengan dahi berkerut. Jika diperhatikan, pola itu... pikirnya, sembari mengingat detail topeng pria berjubah hitam yang sempat ia lihat malam itu. Polanya tampak begitu mirip. Apakah ini petunjuk? Batinny
Keesokan harinya, Rachel memaksakan diri untuk berangkat kerja seperti biasa, meskipun pikirannya masih kalut dan dipenuhi kegelisahan. Sesampainya di restoran tempat ia bekerja. Rachel langsung disambut tatapan penuh tanya dari beberapa rekan kerjanya. Terutama mereka yang satu bagian dengan Mang Udin. Salah seorang rekannya, Dita, mendekat dengan ekspresi penasaran. “Rachel, kenapa Mang Udin beberapa hari ini tidak masuk kerja?” tanyanya sambil melipat tangan di dada.“Aku tidak tahu,” ujar Rachel sembari terus memalingkan wajah berusaha menutupi apa yang terjadi sebelum Mang Udin menghilang. “Bukankah kosmu sangat dekat dengan kontrakan Mang Udin? Kenapa bisa tidak tahu?” balasnya lagi sembari menatap heran ke arah Rachel. “Aku mohon tinggalkan aku. Aku tidak mau mengingat kejadian itu lagi!” pungkas yang kembali teringat kejadian malam itu. “Kejadian? Maksud kamu kejadian apa Rachel? Karena sebelumnya Mang Udin hanya izin tidak masuk kerja selama dua hari karena ibunya masuk
Di tengah malam yang sunyi, Rachel terbangun kaget setelah mendengar ketukan di pintu depan kosnya. Awalnya ketukan itu terdengar pelan, namun lama-kelamaan semakin keras, seperti menuntut untuk dibuka. Ketukan itu terus terjadi, berulang-ulang, hingga akhirnya diakhiri dengan suara penggebrekkan keras.BRAAAK!Rachel yang setengah terjaga langsung tersentak. Jantungnya berdetak kencang, ketakutan menyelimuti tubuhnya. Dia merasakan udara di sekitarnya tiba-tiba berubah dingin, seolah malam yang hening berubah menjadi panggung teror.Langkah-langkah cepat terdengar jelas dari depan, seperti seseorang yang masuk dan mengitari setiap ruangan kosnya. Telinga Rachel menangkap suara pintu-pintu dibuka dan ditutup secara kasar, menandakan ada yang sedang mencari sesuatu... atau seseorang.Tubuh Rachel menegang. Ia tak berani bergerak, bahkan untuk bernapas dalam pun terasa seperti mempertaruhkan nyawanya. Langkah itu kini semakin dekat, menuju pintu kamarnya. Ia menatap ke arah pintu dengan
Ketegangan di udara semakin terasa, membuat suasana mencekam. Hingga akhirnya, dengan tubuh gemetar, Rachel menyerah pada keadaan. Ia mengangkat kedua tangannya perlahan, tanda menyerah yang mengiris harga dirinya. “Baiklah... saya ikut,” gumamnya dengan suara parau, seolah kehilangan semangat. Salah satu dari mereka memegang pergelangan tangannya dengan tegas, tapi tidak kasar. Rachel mengikuti langkah mereka, matanya sesekali menatap sekeliling, berharap ada seseorang yang datang membantu atau setidaknya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi malam tetap sunyi, hanya jejak langkah mereka yang menggema di lorong kos yang sempit. Rachel tahu, hidupnya baru saja memasuki babak yang jauh lebih gelap dari yang pernah ia bayangkan. Saat Rachel melangkah keluar dari kos, diapit oleh para polisi, pandangannya tertuju pada mobil yang menunggu di ujung jalan. Namun, tiba-tiba, dari kejauhan, sebuah kehadiran menarik perhatiannya. Sepasang mata tajam memancarkan sorot dingin,
Dalam dingin dan gelapnya malam yang mencekam di penjara, Rachel meringkuk di sudut sel. Dinding-dinding lembap memantulkan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Penjara itu tidak menyediakan lampu di setiap sel, hanya bergantung pada kilatan cahaya redup dari lorong utama setiap kali seorang napi melewati jalannya. Rachel, yang ditempatkan di sel paling ujung, merasakan keheningan yang jauh lebih pekat dibandingkan tempat lainnya. Aura gelap menyelimuti ruangan kecil itu, seolah menyembunyikan sesuatu yang tidak kasat mata. Sesekali ia merasa seperti ada bayangan bergerak di sudut pandangnya, membuat bulu kuduknya meremang tanpa alasan. Setiap kali langkah kaki berat terdengar di kejauhan, cahaya lampu lorong menari-nari di jeruji besinya. Namun, alih-alih merasa aman, kilatan itu justru menambah kesan mencekam. “Kenapa aku harus ada di sini?” pikir Rachel, sembari merapatkan tubuhnya pada dinding dingin. Di tengah keheningan itu, suara samar-samar dari sel sebelah mula
Di sela-sela interogasi yang melelahkan, Rachel mulai merasa seperti terjebak di labirin tanpa jalan keluar. Kebenaran yang ia tahu seperti tak berdaya melawan dugaan yang mereka bangun. Tekanan itu membuat tubuhnya gemetar, dan hatinya dipenuhi rasa putus asa. Namun, satu hal yang pasti Rachel tahu ia harus bertahan. Jika ia menyerah sekarang, maka semuanya benar-benar akan berakhir buruk baginya. "Baiklah, untuk sementara ini kamu akan kami tahan sampai ada seseorang yang mampu membuktikan bahwa kamu benar-benar tidak bersalah,” ujar salah seorang polisi dengan nada dingin, tatapannya tajam menusuk ke arah Rachel. Rachel hanya mampu menatap kosong, tubuhnya terasa lemas. Kalimat itu menghantamnya seperti palu godam. Seketika matanya berkaca-kaca, dan air mata yang selama ini ia tahan kini jatuh berlinang tanpa bisa dihentikan. “Bagaimana mungkin ada seseorang yang bisa menolongku?” pikir Rachel dalam hati, rasa putus asa mulai menyelimuti dirinya. Kejadian malam itu hanya mel
“Angkat tangan! Jangan bergerak!!” Suara bentakan yang tegas dan memekakkan telinga membuat Rachel terhenyak. Beberapa pria berpakaian hitam mengacungkan pistol ke arahnya tanpa ragu sedikit pun.“Hari ini, kamu resmi kami tangkap!” ucap salah satu dari mereka dengan nada dingin yang tak menyisakan ruang untuk pembelaan.Rachel berdiri terpaku, tubuhnya gemetar hebat. Tangannya perlahan terangkat, mengikuti perintah mereka. Tapi matanya sudah mulai memanas, penuh dengan air mata yang siap jatuh kapan saja. Ia merasa seperti seorang narapidana yang divonis tanpa sempat membela diri.“Aku tidak bersalah... Aku tidak tahu apa-apa,” gumamnya, hampir tak terdengar. Kata-kata itu lebih ditujukan untuk dirinya sendiri, seolah mencoba menguatkan hati yang kini terasa remuk.Tubuh Rachel yang semula bergetar kini mulai kehilangan tenaga. Lututnya melemah, dan ia perlahan jatuh ke lantai dengan napas yang tersengal. Apakah ini akhirnya? Pikirnya, sambil menatap wajah-wajah dingin di depannya.C
Mengingat apa yang dilontarkan polisi itu, Rachel merasa pikirannya semakin kacau. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terus berputar di benaknya, menggema tanpa henti. Malam itu, meski tubuhnya sudah berbaring di tempat tidur, pikirannya tak kunjung tenang. Bahkan setelah berkali-kali mencoba memejamkan mata, rasa cemas itu tetap tak mau pergi.Bayangan tentang penjara dan status sebagai narapidana menghantuinya. Ia membayangkan jeruji besi yang dingin, tatapan penuh kecurigaan dari orang-orang di sekitarnya, dan hidup yang berubah selamanya. Sesuatu yang ia tak pernah bayangkan sebelumnya kini terasa begitu nyata dan menakutkan.Rachel memutar tubuhnya, mencoba menemukan posisi yang nyaman. Namun, setiap kali ia mencoba mengalihkan pikiran, bayangan itu kembali muncul. Seolah-olah ada kekuatan tak kasat mata yang terus menariknya kembali pada mimpi buruk itu.Sesekali, matanya mengerjap, dan ia menatap langit-langit kamar kosnya yang redup. Ia mencoba mengingat apa yang sebenarny
Mendengar suara langkah mendekat dan sebuah tepukan di pundaknya, jantung Rachel mulai berdegup kencang. Suara itu seolah menggema di telinganya, membangkitkan kembali ingatan mimpinya yang mengerikan semalam. Ia merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya, meskipun cuaca siang itu terik. Tangannya mulai bergetar, dan ia menggenggam erat tas kecil yang dibawanya, seolah itu adalah satu-satunya pegangan yang bisa membuatnya tetap berdiri. Rasa takut perlahan merayap naik, mencengkram dirinya dalam ketegangan yang tak tertahankan. Rachel tidak langsung menoleh ke arah orang yang menepuknya. Ada keraguan yang begitu besar di hatinya sebagian dari dirinya takut bahwa orang itu adalah salah satu sosok dari mimpi buruknya. Namun, rasa penasaran perlahan mendorongnya untuk melirik. Perlahan, ia memutar kepalanya sedikit, cukup untuk melihat dari sudut matanya. Sosok itu tampak berdiri tenang di belakangnya, mengenakan pakaian biasa, tapi Rachel tidak bisa menyingkirkan rasa khawat
Ketegangan di udara semakin terasa, membuat suasana mencekam. Hingga akhirnya, dengan tubuh gemetar, Rachel menyerah pada keadaan. Ia mengangkat kedua tangannya perlahan, tanda menyerah yang mengiris harga dirinya. “Baiklah... saya ikut,” gumamnya dengan suara parau, seolah kehilangan semangat. Salah satu dari mereka memegang pergelangan tangannya dengan tegas, tapi tidak kasar. Rachel mengikuti langkah mereka, matanya sesekali menatap sekeliling, berharap ada seseorang yang datang membantu atau setidaknya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi malam tetap sunyi, hanya jejak langkah mereka yang menggema di lorong kos yang sempit. Rachel tahu, hidupnya baru saja memasuki babak yang jauh lebih gelap dari yang pernah ia bayangkan. Saat Rachel melangkah keluar dari kos, diapit oleh para polisi, pandangannya tertuju pada mobil yang menunggu di ujung jalan. Namun, tiba-tiba, dari kejauhan, sebuah kehadiran menarik perhatiannya. Sepasang mata tajam memancarkan sorot dingin,
Di tengah malam yang sunyi, Rachel terbangun kaget setelah mendengar ketukan di pintu depan kosnya. Awalnya ketukan itu terdengar pelan, namun lama-kelamaan semakin keras, seperti menuntut untuk dibuka. Ketukan itu terus terjadi, berulang-ulang, hingga akhirnya diakhiri dengan suara penggebrekkan keras.BRAAAK!Rachel yang setengah terjaga langsung tersentak. Jantungnya berdetak kencang, ketakutan menyelimuti tubuhnya. Dia merasakan udara di sekitarnya tiba-tiba berubah dingin, seolah malam yang hening berubah menjadi panggung teror.Langkah-langkah cepat terdengar jelas dari depan, seperti seseorang yang masuk dan mengitari setiap ruangan kosnya. Telinga Rachel menangkap suara pintu-pintu dibuka dan ditutup secara kasar, menandakan ada yang sedang mencari sesuatu... atau seseorang.Tubuh Rachel menegang. Ia tak berani bergerak, bahkan untuk bernapas dalam pun terasa seperti mempertaruhkan nyawanya. Langkah itu kini semakin dekat, menuju pintu kamarnya. Ia menatap ke arah pintu dengan
Keesokan harinya, Rachel memaksakan diri untuk berangkat kerja seperti biasa, meskipun pikirannya masih kalut dan dipenuhi kegelisahan. Sesampainya di restoran tempat ia bekerja. Rachel langsung disambut tatapan penuh tanya dari beberapa rekan kerjanya. Terutama mereka yang satu bagian dengan Mang Udin. Salah seorang rekannya, Dita, mendekat dengan ekspresi penasaran. “Rachel, kenapa Mang Udin beberapa hari ini tidak masuk kerja?” tanyanya sambil melipat tangan di dada.“Aku tidak tahu,” ujar Rachel sembari terus memalingkan wajah berusaha menutupi apa yang terjadi sebelum Mang Udin menghilang. “Bukankah kosmu sangat dekat dengan kontrakan Mang Udin? Kenapa bisa tidak tahu?” balasnya lagi sembari menatap heran ke arah Rachel. “Aku mohon tinggalkan aku. Aku tidak mau mengingat kejadian itu lagi!” pungkas yang kembali teringat kejadian malam itu. “Kejadian? Maksud kamu kejadian apa Rachel? Karena sebelumnya Mang Udin hanya izin tidak masuk kerja selama dua hari karena ibunya masuk
Di dinding kamar Mang Udin dan Mbak Sri, tergurat sebuah kata sederhana, tetapi penuh teror. “Maaf.” Tulisan itu dibuat menggunakan cairan merah kental yang terlihat masih segar, mengalir perlahan ke bawah, meninggalkan jejak mengerikan. “Astaghfirullahalazim! Ya Allah...” Rachel terpaku, tubuhnya gemetar melihat pemandangan di depannya. Suaranya tercekat, napasnya tersengal, seolah udara mendadak hilang dari ruang itu. Rachel mendekat dengan langkah gontai. Isaknya semakin keras, tangisnya pecah, tapi tubuhnya terasa semakin berat, seolah energi hidupnya terkuras habis oleh ketakutan. Saat matanya terpaku pada tulisan itu, bulu kuduknya meremang, tubuhnya limbung. Ada sesuatu di bawah dinding itu sebuah bercak cairan yang membentuk pola aneh. Rachel memandang tulisan di tembok dengan dahi berkerut. Jika diperhatikan, pola itu... pikirnya, sembari mengingat detail topeng pria berjubah hitam yang sempat ia lihat malam itu. Polanya tampak begitu mirip. Apakah ini petunjuk? Batinny