“Setho Gentala?! Siapa itu! Aku tidak kenal!” pekik Nyi Jetayu sembari terkekeh-kekeh. Kini, luka terbuka di perut dan punggungnya sudah menutup, hal itu cukup membuat siluman perempuan itu percaya diri untuk melancarkan serangannya lagi ke arah Gentala. Dengan tanpa perhitungan perempuan itu berlari cepat ke arah sang pendekar lusuh dan ringkih itu, kemudian setelah kedua tangannya tumbuh sempurna lagi, ia segera mencakarnya dengan kuku-kuku yang lebih tajam dari ujung keris ataupun pisau badik.
SREANG! SREEANG! SREANG!
Ke kanan kiri, kedua tangan siluman itu melancarkan serangan ke arah seorang lelaki yang mengaku pengembara tersebut, tapi si lelaki sama sekali belum melayangkan goloknya lagi. Ia malah terus menghindar dengan gerakan yang tak kalah cepatnya.
Ketika cakarannya mengenai batang pohon dan batu, bekas cakarannya bisa menghancurkan batang dan pohon. Tanah yang sempat terkena cakarnya pun tampak rompal dan membentuk ceruk baru.
“Sial! Sial! Sial! Kenapa gerakanku malah melambat! Uhhkk! Rasa sakit bekas tusukan bedebah ini pun belum lenyap! Sialan!” gerutu Nyi Jetayu. “Jurus apa yang sebenarnya kau lancarkan kepadaku lelaki tengik!”
Siluman perempuan itu lantas berhenti menyerang karena tampak ia sudah sangat kelelahan. Napasnya seperti habis, dan karena hal tersebut gerakannya melambat. Dari arah pepohonan, ingin sekali Senopati Daksa membantu pria yang katanya baru bangkit dari kematian itu. Namun, racun dari anak panah kawannya sudah terlanjur menyebar di sekujur tubuhnya, membuat ia kini terduduk. Kedua kakinya terasa sudah kebas dan kaku.
“Aku akan mati.... “ gumam Senopati Daksa penuh rasa pesimistik.
Sementara itu, kini tampak pendekar tak dikenal bernama Setho Gentala itu mulai membuat gerakan kuda-kuda, dengan mengacungkan golok panjangnya ke arah siluman perempuan itu.
“Aku sama sekali belum mengeluarkan satu jurus pun,” katanya mengejutkan siluman perempuan itu. Tentu, Nyi Jetayu jadi semakin geram dan ia segera memaksakan dirinya. Tubuhnya melenyap dan sekejap muncul di hadapannya. Tanganya secepat kilat langsung menghantamkan cakar ke arah sisi kanan tubuh Gentala, tapi dengan cekatan golok itu kembali memotong tangannya untuk kedua kali.
Mata Nyi Jetayu membelalak melihat tangan kirinya putus lagi. Tapi, kini ia masih punya satu tangan. Alih-alih melancarkan cakaran mematikan lagi, Nyi Jetayu segera menurunkan kukunya jadi normal lagi kemudian menghantam perut pendekar ringkih itu dengan pukulan keras dan amat bertenaga.
Bahkan Senopati Daksa yang tengah merasak ajal siap merebut jiwanya itu masih bisa meraskaan betapa besarnya energi gelap yang dilepaskan oleh Nyi Jetayu ketika meninju perut pendekar itu, hingga muntah darah dan terpental ke arah gunungan mayat lain. Bahkan pohon sempat bergetar ketika tubuh Setho Gentala menabrak gunungan mayat yang jadi tumpah itu.
“Urghhh...urghh... kuat juga pukulanmu... huurrhhh!” Setho Gentala lantas menancapkan golok tersebut di tanah sebagai penopangnya, bersama itu pula ia tampak menarik napas dalam-dalam demi melakukan sebuah teknik pernapasan untuk melepaskan energ gelap yang masih menggerayang di dalam tubuhnya—menambah dampak pukulan itu lebih fatal.
Tapi, belum selesai lelaki itu melakukan pemulihan, siluman permepuan itu sudah muncul lagi di hadapannya dan bersiap menendangnya. Kali ini, pendekar itu mampu menahan tendangan yang tak kalah bertenaga itu dengan tendangan lainnya. Ia menendang balik tubuh Nyi Jetayu, hingga terlontar beberapa tindak.
Nyi Jetayu menyeringai.
“Sama sekali tidak ada rasanya! HYAAARGHH!” kuku-kuku setajam badik itu muncul lagi di tangan kanannya yang masih ada. Ia bersiap mencakar pendekar itu. Dengan cepat Setho Gentala mundur dan hanya baju depannya saja yang terkena cakaran. Lalu, perempuan itu meloncat dan salto di udara, sebelum akhirnya kakinya menukik cepat serupa elang yang hendak mencengkeram ular tanah.
DAAAAR!
Tanah langsung rompal dan bebatuan kecil sempat terangkat sesaat, sebelum akhirnya, tubuh siluman itu menghilang lagi dan sudah muncul di belakang Setho Gentala, siap mencakarnya lagi dengan kekuatan yang tak kalah besarnya. Namun, alangkah terkejutnya Nyi Jetayu ketika cakaran itu bisa ditepis dengan tangan sang pendekar—tepat seusai Setho Gentala berputar cepat.
Kali ini, giliran pria itu yang melancarkan tinjuan ke tubuh siluman perempuan itu.
“Satu pukulan, dua pukulan, tiga pukulan...” gumam Setho Gentala, sebelum ia melancarkan pukulan beruntun dan lebih cepat. Pukulan terakhir ia lakukan dengan menggunakan ujung gagang pegangan golok, tepat terkena keningnya.
“Bajingaaaaan! Hurrrhhh! Urgghh!” siluman itu benar-benar tidak sabar. Alih-alih memulihkan diri dari serangan beruntun Setho Gentala, ia langsung melompat dan berusaha mencakar pria itu lagi. Sayang, kali ini Setho Gentala terlihat lebih cepat. Ia kembali memotong tangan kanan siluman perempuan itu, seusai memainkan goloknya dengan diputarkan oleh kedua tangan kurusnya. Tak lepas disitu saja, golok kemudian berpindah tangan dengan indahnya, kemudian melukai bagian depan tubuh siluman perempuan itu.
“Jurus Tebasan Jagad Penghisap Nyawa... Dewa Yama... berkatilah golok Uragajathi ini,” ujar Setho Gentala baru saja mengucapkan satu jurus pembuka yang cukup mematikan. Ia segera membuat gerakan menyerang dengan golok yang lantas menebas kaki kanan dan kiri siluman itu, dan setiap tebasannya yang menyerupai pola lingkaran mengayun, membuat musuh tak bisa bergerak sama sekali.
Mata Nyi Jetayu hanya melongo melihat pria yang sama sekali belum pernah dilihatnya kini membelah tubuhnya satu-persatu, sebelum akhirnya gerakan mematikan itu menebas lehernya, yang mana membuat kepala siluman perempuan itu terjatuh dan menggelinding.
Melihat hal itu Senopati Daksa takjub sekaligus ngeri sebab meski tubuhnya sudah terpisah, perempuan itu belum juga mati. Ia masih meneriaki pendekar itu. Menghardiknya dengan sumpah serapah yang penuh dendam.
“Kau akan kukutuk! Kau akan kukutuk menjadi bangsa siluman sepertiku! Biadab! Benar-benar brengsek! Hurrrghhh! Ayo! Beregenerasilah! Ayo!”
Namun, seberapa kali ia berusaha untuk menumbuhkan kembali anggota tubuhnya yang sudah terpotong-potong, Nyi Jetayu tetap tidak bisa utuh lagi. Angota-anggota tubuh lainnya secara perlahan berubah membiru. Lalu membuusuk seketika.
“Siapa kau sebenarnya, biadab! Kau bajingan tengik! Kau bajingan! Setelah tubuhku tumbuh dan utuh kembali, kau benar-benar akan kuncincang, Gentala! Kemarilah! Akan kugigit kau supaya kau menjadi siluman Butokala seperti kami! Ayo! Sini brengsek!”
“Percuma saja kau mengharapkan seluruh tubuhnmu tumbuh dan utuh... golok Uragajathi-ku memiliki keistimewaan dari semua golok parang yang ada... golok ini agaknya memang tercipta untuk menghabisi Butokala dan Butodurga. Siluman-siluman berjenis terkuat yang tak pernah bisa mati meski dibelah tubuhnya, dikubur, bahkan dibakar.. kecuali oleh sinar matahari...”
“Apa maksudmu, bajingan tengik!” pekik Nyi Jetayu yang kini tersisa kepalanya saja. Mulutnya menganga, menunjukkan gigi taring yang tampak makin memanjang. Belum lagi lidahnya kini malah terlihat bercabang: benar-benar serupa ular. “Kalau maksudmu serangan golok tadi tidak akan membuat kami beregenerasi kembali... kau salah besar... Butokala dan Butodurga punya tingkatan, dan siapapun yang menyerap darah hitam dari Ratu Kalacitra dengan mantera keramat dari pendita Nagini keturunan Calon Arang, siluman-siluman itu akan abadi di bawah cahaya rembulan...”
“Kalau hanya malam saja itu tidak abadi,” kata Setho Gentala seraya terkekeh. “Aku pun akan mencari pendita itu...”
“Kau tidak akan mampu mengalahkannya!”
Setho Gentala hanya tersenyum saja.
“Menetaplah di sini sampai caya matahari membakarmu.”
Senopati Daksa sama sekali tidak sadar sebelumnya, ketika lelaki asing bernama Setho Gentala itu menggotongnya, dan kini membawanya ke sebuah gubuk tua yang entah milik siapa. Ia terbangun dalam keadaan yang amat lapar. Bahkan air liurnya hingga menetes-netes ketika mendengar suara manusia. Ia sama sekali tidak mengerti mengapa hal itu terjadi padanya. Ketika langkah kaki seseorang datang, Senopati Daksa merasa gelisah, dan rasa laparnya mendorong ia untuk menggebrak-gebrak pintu kamar yang berasal dari kayu jati kuat itu. “Keluarkan aku! Keluarkaaaan!” tanpa terasa ia menggeram, dan Senopati Daksa baru menyadari kalau geramannya ini sama sekali tidak masuk akal. Ia pun makin terkejut ketika tangannya menyeka ludah serta air liur yang menetes dari sudut bibirnya, tangannya meraba sesuatu yang runcing dari mulutnya. “Apa yang terjadi padaku?!” gumam Daksa tampak panik. Di saat itulah, muncul seraut wajah yang sangat ia kenal. Wajah yang sempat membua
Saat pintu dibuka tentu saja Senopati Daksa yang parasnya sudah serupa serigala liar yang amat lapar langsung menyerbu Setho Gentala dan Ki Singojadi. Dengan cekatan, Ki Singojadi segera menotok dua bahu Senopati Daksa dengan tongkat kayu galihnya, hingga kedua tangan senopati itu tidak mampu digerakkan. Tapi, itu hanya sementara dan tampaknya senopati Majapahit itu semakin buas tatkala Ki Singojadi berjarak cukup dekat dengannya. Lelaki itu sudah kehilangan kemanusiaannya. Ia telah melihat lelaki tua itu sebagai makanan empuk yang harus mengisi lambungnya. Lihat saja bagaimana taring itu tetap tumbuh dan berusaha menggeram ke arah lelaki tua itu. Seraya itu pula, air liurnya makin membanjir dari celah-celah gigi Senopati Daksa, yang hampir seluruhnya berubah menjadi taring. “Tak lama lagi dia akan pulih... regenerasinya cepat,” kata Setho Gentala yang tengah bersiap untuk memukul tengkuknya agar lelaki yang sehari sebelumnya masihlah manusia itu tak sadarkan d
Gunung-gunung mayat bertebaran di sekitar Alas Kertasana. Hujan pun turun dari langit yang menggelap. Beberapa senopati Majapahit tampak melempar mayat-mayat prajurit ke gunungan mayat yang menggunduk di bawah pohon beringin dan pohon maja, untuk selanjutnya akan mereka bakar demi menghemat tempat. Di salah satu gunungan mayat, tiga senopati Majapahit tampak tercenung ketika melihat mayat-mayat itu bergerak: seolah ada suatu energi yang menggerakkan mayat-mayat yang tertumpuk di paling bawah sampai ke deretan tengah gunungan tersebut. “A-Apa masih ada yang hidup?” kata Senopati Sugrawa. Wajahnya tampak kuyup dan pucat. Noda darah di pakaiannya tampak banyak sekali yang sudah mengerak. “Aku ingat sekali saat menggotong pendekar-pendekar itu, mereka semua sudah tidak bernyawa! Bahkan beberapa dari mereka tubuhnya sudah tidak utuh lagi, entah karena sabetan parang atau sabit raksasa yang dibawa oleh pasukan Ranawijaya...” ujar Senopati Wedan. “Kita per
Mata Senopati Daksa sungguh membelalak ketika melihat kedua kawannya tercerai berai. Terutama bagian atas tubuhnya. Kepala dua kawannya—yang beberapa menit lalu masih mengobrol dengannya, kini sudah hancur diremuk oleh kedua tangan siluman perempuan itu. Tentu saja, ini pertama kalinya bagi Senopati Daksa melihat sosok siluman di depan matanya langsung. Sejauh ini ia hanya menganggapnya sebagai rumor belaka. Sebuah isu yang diembuskan sengaja oleh pasukan dan simpatisan Dyah Ranawijaya, yang sudah cukup lama ingin merebut tahta Majapahit dari Prabu Kertabhumi. Sebelumnya, ia sangat percaya isu penuh teror itu untuk menciptakan ketakutan dan memanfaatkannya demi melemahkan orang-orang yang masih tetap setiap kepada raja. Namun, ia tak menyangka sosok siluman—yang layaknya manusia biasa itu benar-benar muncul di hadapannya. Tubuhnya ramping, sekilas saja bila tidak punya kepekaan yang kuat siapapun akan terkecoh oleh kecantikannya, yang sama sekali tidak sebandin
Saat pintu dibuka tentu saja Senopati Daksa yang parasnya sudah serupa serigala liar yang amat lapar langsung menyerbu Setho Gentala dan Ki Singojadi. Dengan cekatan, Ki Singojadi segera menotok dua bahu Senopati Daksa dengan tongkat kayu galihnya, hingga kedua tangan senopati itu tidak mampu digerakkan. Tapi, itu hanya sementara dan tampaknya senopati Majapahit itu semakin buas tatkala Ki Singojadi berjarak cukup dekat dengannya. Lelaki itu sudah kehilangan kemanusiaannya. Ia telah melihat lelaki tua itu sebagai makanan empuk yang harus mengisi lambungnya. Lihat saja bagaimana taring itu tetap tumbuh dan berusaha menggeram ke arah lelaki tua itu. Seraya itu pula, air liurnya makin membanjir dari celah-celah gigi Senopati Daksa, yang hampir seluruhnya berubah menjadi taring. “Tak lama lagi dia akan pulih... regenerasinya cepat,” kata Setho Gentala yang tengah bersiap untuk memukul tengkuknya agar lelaki yang sehari sebelumnya masihlah manusia itu tak sadarkan d
Senopati Daksa sama sekali tidak sadar sebelumnya, ketika lelaki asing bernama Setho Gentala itu menggotongnya, dan kini membawanya ke sebuah gubuk tua yang entah milik siapa. Ia terbangun dalam keadaan yang amat lapar. Bahkan air liurnya hingga menetes-netes ketika mendengar suara manusia. Ia sama sekali tidak mengerti mengapa hal itu terjadi padanya. Ketika langkah kaki seseorang datang, Senopati Daksa merasa gelisah, dan rasa laparnya mendorong ia untuk menggebrak-gebrak pintu kamar yang berasal dari kayu jati kuat itu. “Keluarkan aku! Keluarkaaaan!” tanpa terasa ia menggeram, dan Senopati Daksa baru menyadari kalau geramannya ini sama sekali tidak masuk akal. Ia pun makin terkejut ketika tangannya menyeka ludah serta air liur yang menetes dari sudut bibirnya, tangannya meraba sesuatu yang runcing dari mulutnya. “Apa yang terjadi padaku?!” gumam Daksa tampak panik. Di saat itulah, muncul seraut wajah yang sangat ia kenal. Wajah yang sempat membua
“Setho Gentala?! Siapa itu! Aku tidak kenal!” pekik Nyi Jetayu sembari terkekeh-kekeh. Kini, luka terbuka di perut dan punggungnya sudah menutup, hal itu cukup membuat siluman perempuan itu percaya diri untuk melancarkan serangannya lagi ke arah Gentala. Dengan tanpa perhitungan perempuan itu berlari cepat ke arah sang pendekar lusuh dan ringkih itu, kemudian setelah kedua tangannya tumbuh sempurna lagi, ia segera mencakarnya dengan kuku-kuku yang lebih tajam dari ujung keris ataupun pisau badik. SREANG! SREEANG! SREANG! Ke kanan kiri, kedua tangan siluman itu melancarkan serangan ke arah seorang lelaki yang mengaku pengembara tersebut, tapi si lelaki sama sekali belum melayangkan goloknya lagi. Ia malah terus menghindar dengan gerakan yang tak kalah cepatnya.Ketika cakarannya mengenai batang pohon dan batu, bekas cakarannya bisa menghancurkan batang dan pohon. Tanah yang sempat terkena cakarnya pun tampak rompal dan membentuk ceruk baru.“Sial! Sial! Sial! Ke
Mata Senopati Daksa sungguh membelalak ketika melihat kedua kawannya tercerai berai. Terutama bagian atas tubuhnya. Kepala dua kawannya—yang beberapa menit lalu masih mengobrol dengannya, kini sudah hancur diremuk oleh kedua tangan siluman perempuan itu. Tentu saja, ini pertama kalinya bagi Senopati Daksa melihat sosok siluman di depan matanya langsung. Sejauh ini ia hanya menganggapnya sebagai rumor belaka. Sebuah isu yang diembuskan sengaja oleh pasukan dan simpatisan Dyah Ranawijaya, yang sudah cukup lama ingin merebut tahta Majapahit dari Prabu Kertabhumi. Sebelumnya, ia sangat percaya isu penuh teror itu untuk menciptakan ketakutan dan memanfaatkannya demi melemahkan orang-orang yang masih tetap setiap kepada raja. Namun, ia tak menyangka sosok siluman—yang layaknya manusia biasa itu benar-benar muncul di hadapannya. Tubuhnya ramping, sekilas saja bila tidak punya kepekaan yang kuat siapapun akan terkecoh oleh kecantikannya, yang sama sekali tidak sebandin
Gunung-gunung mayat bertebaran di sekitar Alas Kertasana. Hujan pun turun dari langit yang menggelap. Beberapa senopati Majapahit tampak melempar mayat-mayat prajurit ke gunungan mayat yang menggunduk di bawah pohon beringin dan pohon maja, untuk selanjutnya akan mereka bakar demi menghemat tempat. Di salah satu gunungan mayat, tiga senopati Majapahit tampak tercenung ketika melihat mayat-mayat itu bergerak: seolah ada suatu energi yang menggerakkan mayat-mayat yang tertumpuk di paling bawah sampai ke deretan tengah gunungan tersebut. “A-Apa masih ada yang hidup?” kata Senopati Sugrawa. Wajahnya tampak kuyup dan pucat. Noda darah di pakaiannya tampak banyak sekali yang sudah mengerak. “Aku ingat sekali saat menggotong pendekar-pendekar itu, mereka semua sudah tidak bernyawa! Bahkan beberapa dari mereka tubuhnya sudah tidak utuh lagi, entah karena sabetan parang atau sabit raksasa yang dibawa oleh pasukan Ranawijaya...” ujar Senopati Wedan. “Kita per