Senopati Daksa sama sekali tidak sadar sebelumnya, ketika lelaki asing bernama Setho Gentala itu menggotongnya, dan kini membawanya ke sebuah gubuk tua yang entah milik siapa. Ia terbangun dalam keadaan yang amat lapar. Bahkan air liurnya hingga menetes-netes ketika mendengar suara manusia. Ia sama sekali tidak mengerti mengapa hal itu terjadi padanya.
Ketika langkah kaki seseorang datang, Senopati Daksa merasa gelisah, dan rasa laparnya mendorong ia untuk menggebrak-gebrak pintu kamar yang berasal dari kayu jati kuat itu.
“Keluarkan aku! Keluarkaaaan!” tanpa terasa ia menggeram, dan Senopati Daksa baru menyadari kalau geramannya ini sama sekali tidak masuk akal. Ia pun makin terkejut ketika tangannya menyeka ludah serta air liur yang menetes dari sudut bibirnya, tangannya meraba sesuatu yang runcing dari mulutnya. “Apa yang terjadi padaku?!” gumam Daksa tampak panik.
Di saat itulah, muncul seraut wajah yang sangat ia kenal. Wajah yang sempat membuatnya tercengang karena kemunculannya begitu ganjil. Dialah Setho Gentala, seorang pendekar sekaligus pengembara, yang mengaku bangkit dari kematiannya. Lamat-lamat, ingatan Senopati Daksa kembali pulih pada pertarungan terakhir mereka, ia masih bisa melihat betapa lelaki yang berperawakan cukup kurus untuk seorang pendekar ini berhasil mengalahkan Nyi Jetayu, yang merupakan siluman Butodurga (sebutan siluman pemakan daging dan darah bagi perempuan).
Setho Gentala membiarkan bagian tubuh perempuan yang sudah terpisah itu tergeletak di atas tanah. Ketika matahari terbit dari ufuk timur, secara bertahap kepala dan bagian tubuh Butodurga itu menjadi asap kelabu pekat, lalu hilang begitu saja, hanya tersisa jelaga dan kerak hitam di tanah.
“Hey, Kisanak...a-apa yang terjadi padaku!” pekik Senopati Daksa dari celah jendela kecil di bagian atas pintu yang menyerupai jeruji kayu.
“Air liurmu menetes...”
Setho Gentala memberikan sebuah kain. Senopati Daksa langsung menyeka air liurnya lagi dan nampaklah gigi taringnya muncul lebih panjang seiring rasa lapar menggerayangi di perutnya. Setho bahkan mendengar suara perut dari Senopati Daksa.
“Biarkan aku keluar, Kisanak... aku tidak mengerti apa yang terjadi padaku, tapi kau telah menyelamatkanku... sesungguhnya tanpa bantuanmu barangkali aku sudah tewas di sana, karena panah kawanku sangat beracun... tapi, aku sama sekali tidak tahu mengapa aku bisa selamat, Kisanak...” kata Senopati Daksa tampak kesulitan bicara dengan kondisi gigi taringnya.
“Kalau kau keluar sekarang... kau akan mati... aku akan mengeluarkanmu nanti malam. Tapi, kalau kau sampai tidak tenang nanti ketika kau dikeluarkan, aku akan membunuhmu...” kata Setho Gentala dengan gaya yang santai, sementara Senopati Daksa masih tidak mengerti apa yang terjadi dengan dirinya.
“A-Aku sama sekali tidak mengerti, Kisanak,” ujar Daksa.
Gentala lalu bersender di dinding sembari berpangku tangan. Di bibirnya ada ilalang yang ia gigiti secara iseng. Sementara tatapannya tampak tajam menatap paras Senopati Daksa yang kini tampak pasi.
“Kau sama sekali tidak mengerti?”
“Y-Ya...”
“Air liurmu menetes lagi... detak jantungmu berdegup lebih kencang dari yang seharusnya, tepatnya saat mendengar suara orang di luar gubuk ini... tentu saja hal ini terjadi karena kau belum diberi makan, dan kami berencana tidak akan memberikan makan untukmu...” kata Setho Gentala.
“A-Apa maksudmu, Kisanak?” kata Senopati Daksa tampak terpaku mendengar pernyataan lelaki asing ini. Tapi, salah satu firasat buruk telah mulai menguasai dirinya, melihat keadaan dirinya semakin jauh dari yang biasanya ia rasakan. “A-Aku sama sekali tidak mengerti.”
“Kau jelas mulai memahami keadaannya, Senopati... ah, kau bukan lagi senopati.”
“Aku benar-benar tidak tahu...hrrrrr.....hhrrr...” tiba-tiba lelaki itu menggeram lagi. Senopati Daksa merasa seperti ada sesuatu yang bergejolak dari dalam perutnya, hingga akhirnya ia tak tahan lagi dan muntahlah senopati Majapahit itu. Ia nampak terkejut ketika dilihatnya darah hitam keluar dari dalam mulutnya. Bibirnya pun menghitam, dan ketika ia melihat tangannya yang pucat, urat-urat biru lantas bergeronjal keluar dari lengannya. “HRRRR! Uhhhrrhh! Apa yang terjadiiii! Uhhrrr!”
“Kau sepenuhnya menyadari, kalau racun di panah kawanmu itu benar-benar mematikan. Itu tipe racun yang lantas menyerang sistem saraf di otakmu. Alhasil, tanpa penawar kau sudah pasti mati...”
“A-Apa kau salah memberikan penawarnya?!”
Sesaat, Setho Gentala tersenyum dan lebih mendekat lagi ke depan pintu. Wajahnya di depan jendela kecil pintu itu hanya berjarak sepuluh sentimeter saja. Di saat itu pula Senopati Daksa lantas mencengkeram jeruji kayu di jendela kecil itu. Ia menggeram seperti hewan buas kepada Setho Gentala sembari mengendus-endus ke arahnya. Tingkahnya benar-benar seperti serigala yang kelaparan. Dan ia melakukan itu tanpa sadar.
“Lihatlah... kau mengerti kan... kau melakukan itu tanpa mengerti mengapa kau melakukannya...”
“Apa yang kau lakukan padaku! Hey!”
“Kau bukan manusia lagi...”
“Jangan bohong!”
“Kami akan melatihmu untuk menjadi siluman yang tidak memakan daging dan darah manusia...” belum selesai Setho Gentala menjelaskan, Senopati Daksa yang tidak percaya dengan pernyataan tersebut lantas berteriak seperti serigala yang memanggil komunitasnya. Ia bahkan tanpa sadar mencabik-cabik dinding hingga nampaklah bekas cakaran tersebut begitu dalam ceruknya di dinding bilik. Terlihat pula kuku-kukunya pun tumbuh semakin panjang dan memerah.
Setho Gentala sama sekali tidak bereaksi. Ia masih santai saja melihat kemarahan Senopati Daksa yang makin terlihat seperti hewan buas saja. Teriakannya tentu saja membuat beberapa orang di luar gubuk itu terdiam sesaat, lalu terburu-buru warga Dusun Turen menjauh dari gubuk, dan lebih mementingkan kehidupan mereka. Sementara seorang tabib tua bernama Ki Singojadi, lantas datang menghampiri Setho Gentala. Ya, gubuk tersebut merupakan kediaman dari tabib tersebut.
Ketika Ki Singojadi muncul, tampak hasrat lapar Senopati Daksa tak bisa terkendali. Ia bahkan mulai menabrak berkali-kali pintu hingga jendela pintu rusak dan kayu-kayunya rontok.
BRAK! BRAK! BRAAAK!
“Kalau dibiarkan dia akan keluar dan memakan manusia...” ujar Ki Singojadi.
“Apa boleh buat... sebelum ajalnya pergi dari jasadnya, tak ada cara lain untuk menyelamatkannya.”
“Seharusnya kau biarkan saja dia tewas... apa yang membuatmu berusaha menyelamatkannya? Ini benar-benar merepotkan. Asal kau tahu, dia diberikan darah Butodurga yang kau kalahkan itu, dan menjadi siluman selayaknya manusia-manusia lain yang sama sekali tidak bisa mengendalikan nafus makannya. Tidak sepertimu yang bisa menjadi manusia pada umumnya meski memiliki darah buto,” ujar Ki Singojadi sembari menyodok wajah Senopati Daksa yang sudah tidak sadar itu dengan tongkat kayunya.
“Aku sendiri tidak mengerti, apa yang membuatku menyelamatkannya... kupikir, dia masih pantas hidup... entah... aku benar-benar tidak paham...”
“Saatnya kita membuatnya tertidur,” ujar Ki Singojadi.
“Baiklah...” ujar Setho Gentala yang tampak menarik golok panjangnya. Namun, ia sama sekali tidak mengeluarkan golok itu dari sarungnya, ia menggunakan senjata itu masih dalam keadaan tertutup sarungnya.
Tak lama, pintu kamar tersebut pun dibuka oleh Setho Gentala.
Saat pintu dibuka tentu saja Senopati Daksa yang parasnya sudah serupa serigala liar yang amat lapar langsung menyerbu Setho Gentala dan Ki Singojadi. Dengan cekatan, Ki Singojadi segera menotok dua bahu Senopati Daksa dengan tongkat kayu galihnya, hingga kedua tangan senopati itu tidak mampu digerakkan. Tapi, itu hanya sementara dan tampaknya senopati Majapahit itu semakin buas tatkala Ki Singojadi berjarak cukup dekat dengannya. Lelaki itu sudah kehilangan kemanusiaannya. Ia telah melihat lelaki tua itu sebagai makanan empuk yang harus mengisi lambungnya. Lihat saja bagaimana taring itu tetap tumbuh dan berusaha menggeram ke arah lelaki tua itu. Seraya itu pula, air liurnya makin membanjir dari celah-celah gigi Senopati Daksa, yang hampir seluruhnya berubah menjadi taring. “Tak lama lagi dia akan pulih... regenerasinya cepat,” kata Setho Gentala yang tengah bersiap untuk memukul tengkuknya agar lelaki yang sehari sebelumnya masihlah manusia itu tak sadarkan d
Gunung-gunung mayat bertebaran di sekitar Alas Kertasana. Hujan pun turun dari langit yang menggelap. Beberapa senopati Majapahit tampak melempar mayat-mayat prajurit ke gunungan mayat yang menggunduk di bawah pohon beringin dan pohon maja, untuk selanjutnya akan mereka bakar demi menghemat tempat. Di salah satu gunungan mayat, tiga senopati Majapahit tampak tercenung ketika melihat mayat-mayat itu bergerak: seolah ada suatu energi yang menggerakkan mayat-mayat yang tertumpuk di paling bawah sampai ke deretan tengah gunungan tersebut. “A-Apa masih ada yang hidup?” kata Senopati Sugrawa. Wajahnya tampak kuyup dan pucat. Noda darah di pakaiannya tampak banyak sekali yang sudah mengerak. “Aku ingat sekali saat menggotong pendekar-pendekar itu, mereka semua sudah tidak bernyawa! Bahkan beberapa dari mereka tubuhnya sudah tidak utuh lagi, entah karena sabetan parang atau sabit raksasa yang dibawa oleh pasukan Ranawijaya...” ujar Senopati Wedan. “Kita per
Mata Senopati Daksa sungguh membelalak ketika melihat kedua kawannya tercerai berai. Terutama bagian atas tubuhnya. Kepala dua kawannya—yang beberapa menit lalu masih mengobrol dengannya, kini sudah hancur diremuk oleh kedua tangan siluman perempuan itu. Tentu saja, ini pertama kalinya bagi Senopati Daksa melihat sosok siluman di depan matanya langsung. Sejauh ini ia hanya menganggapnya sebagai rumor belaka. Sebuah isu yang diembuskan sengaja oleh pasukan dan simpatisan Dyah Ranawijaya, yang sudah cukup lama ingin merebut tahta Majapahit dari Prabu Kertabhumi. Sebelumnya, ia sangat percaya isu penuh teror itu untuk menciptakan ketakutan dan memanfaatkannya demi melemahkan orang-orang yang masih tetap setiap kepada raja. Namun, ia tak menyangka sosok siluman—yang layaknya manusia biasa itu benar-benar muncul di hadapannya. Tubuhnya ramping, sekilas saja bila tidak punya kepekaan yang kuat siapapun akan terkecoh oleh kecantikannya, yang sama sekali tidak sebandin
“Setho Gentala?! Siapa itu! Aku tidak kenal!” pekik Nyi Jetayu sembari terkekeh-kekeh. Kini, luka terbuka di perut dan punggungnya sudah menutup, hal itu cukup membuat siluman perempuan itu percaya diri untuk melancarkan serangannya lagi ke arah Gentala. Dengan tanpa perhitungan perempuan itu berlari cepat ke arah sang pendekar lusuh dan ringkih itu, kemudian setelah kedua tangannya tumbuh sempurna lagi, ia segera mencakarnya dengan kuku-kuku yang lebih tajam dari ujung keris ataupun pisau badik. SREANG! SREEANG! SREANG! Ke kanan kiri, kedua tangan siluman itu melancarkan serangan ke arah seorang lelaki yang mengaku pengembara tersebut, tapi si lelaki sama sekali belum melayangkan goloknya lagi. Ia malah terus menghindar dengan gerakan yang tak kalah cepatnya.Ketika cakarannya mengenai batang pohon dan batu, bekas cakarannya bisa menghancurkan batang dan pohon. Tanah yang sempat terkena cakarnya pun tampak rompal dan membentuk ceruk baru.“Sial! Sial! Sial! Ke
Saat pintu dibuka tentu saja Senopati Daksa yang parasnya sudah serupa serigala liar yang amat lapar langsung menyerbu Setho Gentala dan Ki Singojadi. Dengan cekatan, Ki Singojadi segera menotok dua bahu Senopati Daksa dengan tongkat kayu galihnya, hingga kedua tangan senopati itu tidak mampu digerakkan. Tapi, itu hanya sementara dan tampaknya senopati Majapahit itu semakin buas tatkala Ki Singojadi berjarak cukup dekat dengannya. Lelaki itu sudah kehilangan kemanusiaannya. Ia telah melihat lelaki tua itu sebagai makanan empuk yang harus mengisi lambungnya. Lihat saja bagaimana taring itu tetap tumbuh dan berusaha menggeram ke arah lelaki tua itu. Seraya itu pula, air liurnya makin membanjir dari celah-celah gigi Senopati Daksa, yang hampir seluruhnya berubah menjadi taring. “Tak lama lagi dia akan pulih... regenerasinya cepat,” kata Setho Gentala yang tengah bersiap untuk memukul tengkuknya agar lelaki yang sehari sebelumnya masihlah manusia itu tak sadarkan d
Senopati Daksa sama sekali tidak sadar sebelumnya, ketika lelaki asing bernama Setho Gentala itu menggotongnya, dan kini membawanya ke sebuah gubuk tua yang entah milik siapa. Ia terbangun dalam keadaan yang amat lapar. Bahkan air liurnya hingga menetes-netes ketika mendengar suara manusia. Ia sama sekali tidak mengerti mengapa hal itu terjadi padanya. Ketika langkah kaki seseorang datang, Senopati Daksa merasa gelisah, dan rasa laparnya mendorong ia untuk menggebrak-gebrak pintu kamar yang berasal dari kayu jati kuat itu. “Keluarkan aku! Keluarkaaaan!” tanpa terasa ia menggeram, dan Senopati Daksa baru menyadari kalau geramannya ini sama sekali tidak masuk akal. Ia pun makin terkejut ketika tangannya menyeka ludah serta air liur yang menetes dari sudut bibirnya, tangannya meraba sesuatu yang runcing dari mulutnya. “Apa yang terjadi padaku?!” gumam Daksa tampak panik. Di saat itulah, muncul seraut wajah yang sangat ia kenal. Wajah yang sempat membua
“Setho Gentala?! Siapa itu! Aku tidak kenal!” pekik Nyi Jetayu sembari terkekeh-kekeh. Kini, luka terbuka di perut dan punggungnya sudah menutup, hal itu cukup membuat siluman perempuan itu percaya diri untuk melancarkan serangannya lagi ke arah Gentala. Dengan tanpa perhitungan perempuan itu berlari cepat ke arah sang pendekar lusuh dan ringkih itu, kemudian setelah kedua tangannya tumbuh sempurna lagi, ia segera mencakarnya dengan kuku-kuku yang lebih tajam dari ujung keris ataupun pisau badik. SREANG! SREEANG! SREANG! Ke kanan kiri, kedua tangan siluman itu melancarkan serangan ke arah seorang lelaki yang mengaku pengembara tersebut, tapi si lelaki sama sekali belum melayangkan goloknya lagi. Ia malah terus menghindar dengan gerakan yang tak kalah cepatnya.Ketika cakarannya mengenai batang pohon dan batu, bekas cakarannya bisa menghancurkan batang dan pohon. Tanah yang sempat terkena cakarnya pun tampak rompal dan membentuk ceruk baru.“Sial! Sial! Sial! Ke
Mata Senopati Daksa sungguh membelalak ketika melihat kedua kawannya tercerai berai. Terutama bagian atas tubuhnya. Kepala dua kawannya—yang beberapa menit lalu masih mengobrol dengannya, kini sudah hancur diremuk oleh kedua tangan siluman perempuan itu. Tentu saja, ini pertama kalinya bagi Senopati Daksa melihat sosok siluman di depan matanya langsung. Sejauh ini ia hanya menganggapnya sebagai rumor belaka. Sebuah isu yang diembuskan sengaja oleh pasukan dan simpatisan Dyah Ranawijaya, yang sudah cukup lama ingin merebut tahta Majapahit dari Prabu Kertabhumi. Sebelumnya, ia sangat percaya isu penuh teror itu untuk menciptakan ketakutan dan memanfaatkannya demi melemahkan orang-orang yang masih tetap setiap kepada raja. Namun, ia tak menyangka sosok siluman—yang layaknya manusia biasa itu benar-benar muncul di hadapannya. Tubuhnya ramping, sekilas saja bila tidak punya kepekaan yang kuat siapapun akan terkecoh oleh kecantikannya, yang sama sekali tidak sebandin
Gunung-gunung mayat bertebaran di sekitar Alas Kertasana. Hujan pun turun dari langit yang menggelap. Beberapa senopati Majapahit tampak melempar mayat-mayat prajurit ke gunungan mayat yang menggunduk di bawah pohon beringin dan pohon maja, untuk selanjutnya akan mereka bakar demi menghemat tempat. Di salah satu gunungan mayat, tiga senopati Majapahit tampak tercenung ketika melihat mayat-mayat itu bergerak: seolah ada suatu energi yang menggerakkan mayat-mayat yang tertumpuk di paling bawah sampai ke deretan tengah gunungan tersebut. “A-Apa masih ada yang hidup?” kata Senopati Sugrawa. Wajahnya tampak kuyup dan pucat. Noda darah di pakaiannya tampak banyak sekali yang sudah mengerak. “Aku ingat sekali saat menggotong pendekar-pendekar itu, mereka semua sudah tidak bernyawa! Bahkan beberapa dari mereka tubuhnya sudah tidak utuh lagi, entah karena sabetan parang atau sabit raksasa yang dibawa oleh pasukan Ranawijaya...” ujar Senopati Wedan. “Kita per