Gunung-gunung mayat bertebaran di sekitar Alas Kertasana. Hujan pun turun dari langit yang menggelap. Beberapa senopati Majapahit tampak melempar mayat-mayat prajurit ke gunungan mayat yang menggunduk di bawah pohon beringin dan pohon maja, untuk selanjutnya akan mereka bakar demi menghemat tempat. Di salah satu gunungan mayat, tiga senopati Majapahit tampak tercenung ketika melihat mayat-mayat itu bergerak: seolah ada suatu energi yang menggerakkan mayat-mayat yang tertumpuk di paling bawah sampai ke deretan tengah gunungan tersebut.
“A-Apa masih ada yang hidup?” kata Senopati Sugrawa. Wajahnya tampak kuyup dan pucat. Noda darah di pakaiannya tampak banyak sekali yang sudah mengerak.
“Aku ingat sekali saat menggotong pendekar-pendekar itu, mereka semua sudah tidak bernyawa! Bahkan beberapa dari mereka tubuhnya sudah tidak utuh lagi, entah karena sabetan parang atau sabit raksasa yang dibawa oleh pasukan Ranawijaya...” ujar Senopati Wedan.
“Kita periksa,” uja satu senopati lainnya yang bernama Daksa. Ia lantas berjalan ke arah tumpukan mayat seusai meletakkan satu mayat yang semula akan dilemparnya ke tumpukan lain. Tampak saat Senopati Daksa berjalan hati-hati ke tumpukan yang masih bergerak itu, dua senopati lainnya membuntutinya. Sugrawa sudah mengeluarkan kerisnya, begitu juga Wedan yang sudah mencabut anak panahnya untuk bersiap dilontarkan melalui busur.
“Kenapa?” kata Sugrawa melihat Daksa berhenti.
“Sepertinya memang ada yang masih hidup,” ujar Daksa.
“Tidak mungkin! Mustahil! Kita semua sudah memeriksanya! Atau jangan-jangan... salah satu dari yang mati tadi telah menjadi sesosok siluman! Kau tahu, akhir-akhir ini terdengar dari warga, banyak manusia menjadi siluman Butokala yang memakan daging manusia lainnya. Mereka pasti sengaja dijadikan siluman oleh pasukan siluman yang katanya bekerja sama dengan Dyah Ranawijaya!” pekik Wedan.
“Jangan embuskan kabar yang tidak-tidak,” ujar Daksa.
“Tapi, kau mendengarnya, bukan?! Manusia yang telah menjadi Butokala masih terlihat seperti manusia pada umumnya, namun mereka tidak bisa hidup di bawah sinar matahari, seperti kebanyakan siluman lain. Tubuhnya akan mengering seperti daun yang rapuh...” ujar Wedan, tampak begitu percaya dengan isu yang sedang marak tersebar di lingkungan Majapahit saat ini.
“Itu hanyalah isu yang sengaja disebar oleh beberapa pengikuti Ranawijaya agar mereka membuat warga dan prajurit Kertabhumi lengah, dengan begitu mereka akan langsung menyerang kita dan merebut tahta Majapahit...” ujar Daksa.
Sekejap, gerakan di tumpukan mayat itu mereda. Namun, muncul suara kikikan perempuan dari arah lain. Hal itu membuat ketiga senopati itu bergidik.
“Apa kau mendengarnya?!” kata Wedan, jelas dirinya yang terlihat paling ketakutan. “M-Mungkin masih ada warga sekitar yang belum diungsikan. Ya, mungkin...” kata Senopati Wedan berusaha berpikir rasional. Akan tetapi dua temannya tampak menggeleng, terleih Senopati Daksa kini mulai mengeluarkan dua keris andalannya. Sikapnya penuh dengan kehati-hatian. Senopati Sugrawa yang berada di sampingnya pun tengah bersiap menantikan kedatangan sosok dari arah pedalaman hutan yang gelap dan lembab.
“Kalau memang warga, jelas dia tidak akan tertawa begitu... aku sudah mengiranya...” kata Senopati Sugrawa dengan suara yang agak bergetar.
“Menduga apa?!”
“Alasan pasukan kita mudah diserbu... mereka memang membawa siluman Butokala selama pertempuran tiga hari tiga malam ini... siluman-siluman pemakan daging manusia itu pasti menyamar menjadi salah satu prajurit Ranawijaya,” jelas Senopati Sugrawa berasumsi.
Tak lama, mereka mulai melihat adanya pergerakan dari arah hutan. Suara kikikan perempuan itu pun kembali terdengar lagi. Namun, kali ini suaranya datang bersamaan dengan hadirnya seorang perempuan berkain batik gelap dengan rambut terurai sampai bokong. Wajahnya begitu pucat, dan matanya berwarna merah. Perempuan itu santai saja berjalan mendekat seolah tidak takut dengan keberadaan tiga senopati yang sejak petang ditugaskan untuk merapikan mayat-mayat di bibir hutan tersebut.
“S-Siapa kau? Seharusnya kau mengungsi ke desa sebelah!” pekik Senopati Sugrawa.
“Aku bukan siapa-siapa... aku hanya ingin makan malam saja,” katanya sembari terkikik lagi.
“Sudah kuduga! Kau siluman!” pekik Sugrawa. Kakinya tampak bergetar. Begitu juga Senopati Wedan yang terlihat menggigil tatakala meletakkan anak panah di busurnya.
“Kalian sepertinya terlambat... seandainya kalian kerja lebih cepat, kalian tidak akan berjumpa denganku,” kata perempuan itu.
“Siapa kau?” kata Senopati Daksa.
“Hey, Daksa, jelas-jelas dia adalah salah satu Butokala! Dia akan memakanmu! Ayo! Sebaiknya kita lari atau mengepungnya,” bisik Senopati Sugrawa.
“Kita bunuh dia,” kata Senopati Daksa yang lantas berlari ke arah perempuan itu. Sementara Wedan kini tampak mengarahkan anak panahnya ke sosok yang diduga adalah siluman Butokala. Saat Daksa tiba dan siap menebas perempuan itu dengan salah satu krisnya, perempuan itu menghilang, lalu muncul sekejap di belakang Daksa. Sontak, anak panah yang sebelumnya sudah terarah dengan baik ke posisi perempuan itu jadi malah terkena Daksa sebab siluman itu lantas menendang punggung Daksa dengan cepat.
“URGHHH!” Daksa segera terjatuh. Ia tahu panah itu beracun, dan Wedan tentu merasa bersalah.
“D-Daksa! Tidak!”
“Ayo, Wedan! Kita lari! Kita tidak mampu melawannya! Dia bukan siluman kelas rendahan!”
“T-Tapi!”
“Lihatlah matanya. Matanya merah dengan pupil seperti hewan buas, tapi tubuhnya layaknya manusia pada umumnya. Dan lagi apakah kau pernah dengar rumornya?! Semakin siluman itu menyerupai manusia, semakin tinggi ilmu dan kedudukannya! Ayo!” pekik Sugrawa.
“T-Tapi! Daksa terkapar di sana! Dia terkena panah beracunku!”
“Dia tidak akan selamat! Ayo!”
Sementara siluman perempuan itu hanya bertolak pinggang saja seraya memiringkan kepalanya sesaat ke kiri lalu tersenyum menyeringai. “Dasar manusia rendahan... kau bahkan tak sebanding dengan kami... dan tega sekali meninggalkan kawan kalian, hihihihi...”
Wedan dan Sugrawa benar-benar lari meninggalkan Daksa yang masih bisa bangkit untuk menyerang siluman itu dari belakang.
“K-kurang ajar! Urghh! Kalian pasti bekerja sama dengan Ranawijaya untuk menghabisi kami!” pekik Daksa lantas melempar satu krisnya lagi ke arah siluman itu. Dengan deras kris segera menancap ke punggungnya, darah hitam pun segera mengalir keluar. Terlihat pula, perempuan itu menggeram ke arah Daksa karena sudah berani melukainya. Namun, seperti yang dikatakan oleh Sugrawa. Ia bukanlah siluman biasa. Luka itu sekejap menutup kembali setelah ia mencabut kris Daksa lalu membuangnya
“Ah... percuma saja aku menyerangmu... racun panah itu sudah menyebar ke peredaran darahmu... sayang sekali. Padahal aku ingin melumat jantungmu... sebaiknya aku memakan dua kawanmu saja,” kata perempuan itu lantas menghilang sekejap.
“Tidak! Jangan! Urgh!” Daksa tetap mencoba berdiri dan berjalan tunggang langgang menuju tempat penuh tumpukan mayat tadi.
Tak jauh dari tempat itu, Wedan dan Sugrawa terus berlari hingga sampai ke tempat penuh tumpukan mayat lagi, lalu berlari lagi cepat menuju arah kota dan berteriak bahwa siluman Butokala mulai menyerang. Sayang, sebelum mereka tiba di kota, siluman perempuan itu sudah muncul di hadapan mereka. Dalam sekejap kedua tangan perempuan itu lantas merengkuh kepala kedua senopati tersebut, kemudian mengangkat tubuh mereka ke udara dan sosok menyerupai manusia itu lantas meremukkan keduanya.
Darah pun berceceran.
Daksa yang sudah susah payah berjalan ke arah tempat itu lagi melihat kedua kawannya dibunuh dengan cara tragis. Tubuhnya pun bergetar, ketika mendengar perempuan itu tertawa mengikik seraya mendarat ke tanah yang kini berwarna merah.
Namun, tawa perempuan itu berhenti seketika karena melihat salah satu tumpukan mayat bergerak dan menggelinding sebagian.
“Hmm?” perempuan itu menatap tajam ke arah tumpukan mayat tersebut. “Siluman lainnya?”
Satu tangan kemudian muncul dari dalam gunungan mayat tersebut.
Mata Senopati Daksa sungguh membelalak ketika melihat kedua kawannya tercerai berai. Terutama bagian atas tubuhnya. Kepala dua kawannya—yang beberapa menit lalu masih mengobrol dengannya, kini sudah hancur diremuk oleh kedua tangan siluman perempuan itu. Tentu saja, ini pertama kalinya bagi Senopati Daksa melihat sosok siluman di depan matanya langsung. Sejauh ini ia hanya menganggapnya sebagai rumor belaka. Sebuah isu yang diembuskan sengaja oleh pasukan dan simpatisan Dyah Ranawijaya, yang sudah cukup lama ingin merebut tahta Majapahit dari Prabu Kertabhumi. Sebelumnya, ia sangat percaya isu penuh teror itu untuk menciptakan ketakutan dan memanfaatkannya demi melemahkan orang-orang yang masih tetap setiap kepada raja. Namun, ia tak menyangka sosok siluman—yang layaknya manusia biasa itu benar-benar muncul di hadapannya. Tubuhnya ramping, sekilas saja bila tidak punya kepekaan yang kuat siapapun akan terkecoh oleh kecantikannya, yang sama sekali tidak sebandin
“Setho Gentala?! Siapa itu! Aku tidak kenal!” pekik Nyi Jetayu sembari terkekeh-kekeh. Kini, luka terbuka di perut dan punggungnya sudah menutup, hal itu cukup membuat siluman perempuan itu percaya diri untuk melancarkan serangannya lagi ke arah Gentala. Dengan tanpa perhitungan perempuan itu berlari cepat ke arah sang pendekar lusuh dan ringkih itu, kemudian setelah kedua tangannya tumbuh sempurna lagi, ia segera mencakarnya dengan kuku-kuku yang lebih tajam dari ujung keris ataupun pisau badik. SREANG! SREEANG! SREANG! Ke kanan kiri, kedua tangan siluman itu melancarkan serangan ke arah seorang lelaki yang mengaku pengembara tersebut, tapi si lelaki sama sekali belum melayangkan goloknya lagi. Ia malah terus menghindar dengan gerakan yang tak kalah cepatnya.Ketika cakarannya mengenai batang pohon dan batu, bekas cakarannya bisa menghancurkan batang dan pohon. Tanah yang sempat terkena cakarnya pun tampak rompal dan membentuk ceruk baru.“Sial! Sial! Sial! Ke
Senopati Daksa sama sekali tidak sadar sebelumnya, ketika lelaki asing bernama Setho Gentala itu menggotongnya, dan kini membawanya ke sebuah gubuk tua yang entah milik siapa. Ia terbangun dalam keadaan yang amat lapar. Bahkan air liurnya hingga menetes-netes ketika mendengar suara manusia. Ia sama sekali tidak mengerti mengapa hal itu terjadi padanya. Ketika langkah kaki seseorang datang, Senopati Daksa merasa gelisah, dan rasa laparnya mendorong ia untuk menggebrak-gebrak pintu kamar yang berasal dari kayu jati kuat itu. “Keluarkan aku! Keluarkaaaan!” tanpa terasa ia menggeram, dan Senopati Daksa baru menyadari kalau geramannya ini sama sekali tidak masuk akal. Ia pun makin terkejut ketika tangannya menyeka ludah serta air liur yang menetes dari sudut bibirnya, tangannya meraba sesuatu yang runcing dari mulutnya. “Apa yang terjadi padaku?!” gumam Daksa tampak panik. Di saat itulah, muncul seraut wajah yang sangat ia kenal. Wajah yang sempat membua
Saat pintu dibuka tentu saja Senopati Daksa yang parasnya sudah serupa serigala liar yang amat lapar langsung menyerbu Setho Gentala dan Ki Singojadi. Dengan cekatan, Ki Singojadi segera menotok dua bahu Senopati Daksa dengan tongkat kayu galihnya, hingga kedua tangan senopati itu tidak mampu digerakkan. Tapi, itu hanya sementara dan tampaknya senopati Majapahit itu semakin buas tatkala Ki Singojadi berjarak cukup dekat dengannya. Lelaki itu sudah kehilangan kemanusiaannya. Ia telah melihat lelaki tua itu sebagai makanan empuk yang harus mengisi lambungnya. Lihat saja bagaimana taring itu tetap tumbuh dan berusaha menggeram ke arah lelaki tua itu. Seraya itu pula, air liurnya makin membanjir dari celah-celah gigi Senopati Daksa, yang hampir seluruhnya berubah menjadi taring. “Tak lama lagi dia akan pulih... regenerasinya cepat,” kata Setho Gentala yang tengah bersiap untuk memukul tengkuknya agar lelaki yang sehari sebelumnya masihlah manusia itu tak sadarkan d
Saat pintu dibuka tentu saja Senopati Daksa yang parasnya sudah serupa serigala liar yang amat lapar langsung menyerbu Setho Gentala dan Ki Singojadi. Dengan cekatan, Ki Singojadi segera menotok dua bahu Senopati Daksa dengan tongkat kayu galihnya, hingga kedua tangan senopati itu tidak mampu digerakkan. Tapi, itu hanya sementara dan tampaknya senopati Majapahit itu semakin buas tatkala Ki Singojadi berjarak cukup dekat dengannya. Lelaki itu sudah kehilangan kemanusiaannya. Ia telah melihat lelaki tua itu sebagai makanan empuk yang harus mengisi lambungnya. Lihat saja bagaimana taring itu tetap tumbuh dan berusaha menggeram ke arah lelaki tua itu. Seraya itu pula, air liurnya makin membanjir dari celah-celah gigi Senopati Daksa, yang hampir seluruhnya berubah menjadi taring. “Tak lama lagi dia akan pulih... regenerasinya cepat,” kata Setho Gentala yang tengah bersiap untuk memukul tengkuknya agar lelaki yang sehari sebelumnya masihlah manusia itu tak sadarkan d
Senopati Daksa sama sekali tidak sadar sebelumnya, ketika lelaki asing bernama Setho Gentala itu menggotongnya, dan kini membawanya ke sebuah gubuk tua yang entah milik siapa. Ia terbangun dalam keadaan yang amat lapar. Bahkan air liurnya hingga menetes-netes ketika mendengar suara manusia. Ia sama sekali tidak mengerti mengapa hal itu terjadi padanya. Ketika langkah kaki seseorang datang, Senopati Daksa merasa gelisah, dan rasa laparnya mendorong ia untuk menggebrak-gebrak pintu kamar yang berasal dari kayu jati kuat itu. “Keluarkan aku! Keluarkaaaan!” tanpa terasa ia menggeram, dan Senopati Daksa baru menyadari kalau geramannya ini sama sekali tidak masuk akal. Ia pun makin terkejut ketika tangannya menyeka ludah serta air liur yang menetes dari sudut bibirnya, tangannya meraba sesuatu yang runcing dari mulutnya. “Apa yang terjadi padaku?!” gumam Daksa tampak panik. Di saat itulah, muncul seraut wajah yang sangat ia kenal. Wajah yang sempat membua
“Setho Gentala?! Siapa itu! Aku tidak kenal!” pekik Nyi Jetayu sembari terkekeh-kekeh. Kini, luka terbuka di perut dan punggungnya sudah menutup, hal itu cukup membuat siluman perempuan itu percaya diri untuk melancarkan serangannya lagi ke arah Gentala. Dengan tanpa perhitungan perempuan itu berlari cepat ke arah sang pendekar lusuh dan ringkih itu, kemudian setelah kedua tangannya tumbuh sempurna lagi, ia segera mencakarnya dengan kuku-kuku yang lebih tajam dari ujung keris ataupun pisau badik. SREANG! SREEANG! SREANG! Ke kanan kiri, kedua tangan siluman itu melancarkan serangan ke arah seorang lelaki yang mengaku pengembara tersebut, tapi si lelaki sama sekali belum melayangkan goloknya lagi. Ia malah terus menghindar dengan gerakan yang tak kalah cepatnya.Ketika cakarannya mengenai batang pohon dan batu, bekas cakarannya bisa menghancurkan batang dan pohon. Tanah yang sempat terkena cakarnya pun tampak rompal dan membentuk ceruk baru.“Sial! Sial! Sial! Ke
Mata Senopati Daksa sungguh membelalak ketika melihat kedua kawannya tercerai berai. Terutama bagian atas tubuhnya. Kepala dua kawannya—yang beberapa menit lalu masih mengobrol dengannya, kini sudah hancur diremuk oleh kedua tangan siluman perempuan itu. Tentu saja, ini pertama kalinya bagi Senopati Daksa melihat sosok siluman di depan matanya langsung. Sejauh ini ia hanya menganggapnya sebagai rumor belaka. Sebuah isu yang diembuskan sengaja oleh pasukan dan simpatisan Dyah Ranawijaya, yang sudah cukup lama ingin merebut tahta Majapahit dari Prabu Kertabhumi. Sebelumnya, ia sangat percaya isu penuh teror itu untuk menciptakan ketakutan dan memanfaatkannya demi melemahkan orang-orang yang masih tetap setiap kepada raja. Namun, ia tak menyangka sosok siluman—yang layaknya manusia biasa itu benar-benar muncul di hadapannya. Tubuhnya ramping, sekilas saja bila tidak punya kepekaan yang kuat siapapun akan terkecoh oleh kecantikannya, yang sama sekali tidak sebandin
Gunung-gunung mayat bertebaran di sekitar Alas Kertasana. Hujan pun turun dari langit yang menggelap. Beberapa senopati Majapahit tampak melempar mayat-mayat prajurit ke gunungan mayat yang menggunduk di bawah pohon beringin dan pohon maja, untuk selanjutnya akan mereka bakar demi menghemat tempat. Di salah satu gunungan mayat, tiga senopati Majapahit tampak tercenung ketika melihat mayat-mayat itu bergerak: seolah ada suatu energi yang menggerakkan mayat-mayat yang tertumpuk di paling bawah sampai ke deretan tengah gunungan tersebut. “A-Apa masih ada yang hidup?” kata Senopati Sugrawa. Wajahnya tampak kuyup dan pucat. Noda darah di pakaiannya tampak banyak sekali yang sudah mengerak. “Aku ingat sekali saat menggotong pendekar-pendekar itu, mereka semua sudah tidak bernyawa! Bahkan beberapa dari mereka tubuhnya sudah tidak utuh lagi, entah karena sabetan parang atau sabit raksasa yang dibawa oleh pasukan Ranawijaya...” ujar Senopati Wedan. “Kita per