"Cepat! Segera tanda tangani berkas-berkas itu!" Bentak Raisa kepada Gading. Saat ini, kepala Gading sedang ditekan keras oleh Ferdi di atas meja. Di sekelilingnya, berdiri pengacaranya Raisa bersama para bodyguard yang tiba di ruangan itu beberapa saat yang lalu (dengan tatapan mata tajam dan penuh mengintimidasi).Selain itu, anak buah Raisa yang lainnya juga ikut berada di situ dengan dilengkapi senjata, buat jaga-jaga, kalau-kalau Gading mencoba meloloskan diri. Akan tetapi, sepertinya hal itu tidak mungkin terjadi. Pasalnya Gading sudah tidak berdaya. Sudah lemah.Lagi pula, dia seorang diri sekarang ini. Kekuatannya sudah tumbang. Gading merasa dirinya begitu menyedihkan. Situasi berubah dengan cepat.Di sisi lain, ia masih terus saja merutuk karena rencana balas dendam yang telah ia susun jauh-jauh hari itu kini malah gagal total. "Nona...apa kau tidak kasihan kepadaku? Masa, Nona dan Tuan Harry juga akan menarik semua aset yang aku miliki?" Dalam keadaan wajah yang s
Belum sempat Raisa menyelesaikan kalimatnya, Gading sudah membelakakan matanya lebih dulu, mencerna dalam seperkian detik sebelum kemudian buru-buru mengangguk. Lalu berkata jika ia akan segera mendatangani berkas-berkas yang diminta, serta akan menuruti semua perintah Raisa -asalkan Nona kejam itu tidak menyiksa atau bahkan membunuhnya saja! Raisa menyeringai, sungguh puas melihat bagimana Gading sudah jadi seperti anjing yang penurut dengan majikannya. "Nah gitu kek dari tadi. Jadi aku enggak perlu susah payah menyuruh anak buahku untuk memaksamu tanda tangan menggunakan cara kasar!" Ucap Raisa. Gading mengerjap, menatap Raisa untuk beberapa saat, kemudian bergidik ngeri. Pasalnya Raisa terus-terusan membuatnya mati kutu. Kini tanpa banyak protes lagi, tanpa banyak tanya lagi, Gading segera mendatangani berkas-berkas yang disodorkan oleh Raisa sebelumnya dengan keadaan tangan bergetar dan perasaan carut marut.Tentu saja dengan sedikit kesusahan (karena tengah merasakan ket
Saat ini Aliando tengah menerima telepon dari sang Ayah di balkon kamarnya sembari menghisap rokok. "Bagimana, Yah? Ayah tidak apa-apa, kan? Ayah selamat, kan? Ayah dan pasukan Ayah berhasil menghabisi pasukan musuh, kan? Kalian menang, kan?!" Aliando langsung mencecar sang Ayah dengan pertanyaan begitu panggilan terhubung. Tidak sabaran. Sejak mendapat kabar keberangkatan mereka menyerang markas musuh, Aliando jadi tidak tenang. Meskipun ia telah memberikan pasukan yang hebat dan terlatih, berpesan kepada para letnan untuk menjaga dan melindungi Ayahnya, akan tetapi, ia masih saja merasa khawatir. Pasalnya baru pertama kali ini Ayahnya terlibat dalam masalah besar, tak tanggung-tanggung ; melawan kelompok mafia! Kalau saja hubungannya dengan Raisa dan Pak Harry baik-baik saja, tidak terjadi masalah diantara mereka, kalau saja Nadine tidak melarang dirinya dan sedang tidak hamil pula, maka, sudah pasti, ia akan turun tangan untuk membantu Ayahnya. "Haha. Kamu sangat mengkhawatir
Hari minggu dipagi yang cerah, kediaman keluarga Arjuna tampak disibukan dengan aktivitas orang-orang yang sedang hilir mudik, membawa sesuatu di tangannya, sesekali bergotongan, orang-orang itu adalah kuli yang disuruh untuk membawa barang-barang keluar dari rumah dan kemudian dimasukan ke dalam mobil.Sesekali, tampak Kinanti dan Arjuna berseru, menunjuk-nunjuk, mengomando, memberi perintah kepada para kuli tersebut. Sementara Aliando dan Nadine juga tengah disibukan dengan aktivitas yang lain, seperti mengecek, memilah-milah barang mana yang harus mereka bawa. Setelah menunggu waktu yang tepat, sambil menunggu beberapa urusan yang harus diselesaikan lebih dulu.Akhirnya, hari ini, mereka berdua akan pindah rumah dan menempati rumah baru mereka seharga 500 miliar (yang beberapa hari lalu berhasil membuat semua orang geger). Kini mereka berdua sedang merasakan bahagia sekaligus sedih begitu mengetahui jika mereka berdua akan segera pindah rumah. Bahagia karena pada akhirnya mere
Semua kepala tertoleh, mendapati sosok Bi Inah yang sedang berjalan menghampiri mereka, kemudian ikut bergabung. Bi Inah juga hendak memberikan selamat atas kepindahan ke rumah baru mereka, sekaligus ingin mengucapkan salam perpisahan kepada pasangan muda yang begitu amat ia cintai itu. Bi Inah menjadi orang yang turut bersedih dengan kepindahan mereka -karena itu berarti mereka akan segera pergi dari rumah ini. Maklum, Bi Inah sudah lama mengabdi pada keluarga Arjuna.Sehingga, Bi Inah sudah seperti menjadi bagian dari keluarga mereka. "Non ..." Ucap Bi Inah dengan suara bergetar. Kedua matanya berkaca-kaca. Nadine menggangguk. Menunggu kalimat Bi Inah selanjutnya. Namun pandangan Bi Inah sudah beralih kepada Aliando. "Tuan Al ..." Kata Bi Inah lagi. Kentara sekali jika ia jadi kelihatan canggung di hadapan Al. Berbeda dengan dulu pada saat Aliando belum mengungkapkan identitas yang sesungguhnya. Mendengar hal itu, Aliando melambaikan tangan, tergelak pelan. "Panggil saya 'M
Diikuti komentar-komentar dari anggota keluarga yang lain, mereka juga memiliki pertanyaan yang sama, yang belum bisa dijawab detik ini juga. Untuk memastikan mereka tidak salah lihat, mereka sampai mengucek mata berkali-kali. Namun rumah bak istana itu tetap berdiri kokoh di hadapan mereka. Astaga. Sesaat lamanya, semua anggota keluarga Sadewa kompak dibuat tercengang, terpelongo, berdecak kagum, mulut-mulut terbuka lebar, tubuh-tubuh seketika membeku -masih berdiri berjejeran -mematung di halaman rumah dengan pandangan menatap lurus ke arah rumah tersebut.Mereka berubah menjadi seperti patung-patung yang tak bergerak untuk beberapa saat, seperti terhipnotis, tersihir oleh rumah yang katanya adalah milik Aliando.Tenggorokan mereka juga tiba-tiba terasa kering, alhasil, mereka harus menelan ludah susah payah untuk membasahinya. Ini ...mereka sedang tidak bermimpi, bukan? Untuk memastikan mereka tidak sedang bermimpi, mereka menampar pipi dan mencubit kulit masing-masing. Dan.
Aliando dan Nadine tersenyum puas saat melihat anggota keluarga Sadewa mati kutu, tidak berani bergabung, tidak berani nimbrung obrolan. Jika biasanya, mereka akan heboh bukan main, petakilan enggak jelas, suka sekali cari ribut. Juga hinaan, caci makian, cemoohan, bicara dengan nada tinggi dan meledak-ledak -pasti selalu keluar dari mulut mereka masing-masing, hal itu seperti sudah menjadi tabiat mereka. Tapi, sekarang mendadak berbeda. Bisa dibilang, mereka semua tampak menyedihkan.Diam, hanya bicara dengan suara lirih, tidak berani banyak gerak, terlihat seperti ketakutan. Sebenarnya Nadine merasa kasihan dengan mereka (karena bagimana juga, mereka adalah keluarganya) tapi ia juga lebih kasihan dengan penderitaan yang dialami suaminya yang berasal dari mereka selama dua tahun itu. Jadi, Nadine memilih diam saja, berpihak kepada sang suami, karena ingin menjaga perasaan suaminya."Senang rasanya melihat mereka mati kutu seperti itu ...mereka memang pantas mendapatkannya karna
Karena penasaran, akhirnya Reno memutuskan berjalan menghampiri mereka berdua. Begitu menyadari kedatangan Reno, tawa Dimas dan Dion seketika itu terhenti, ekspresi wajah mereka berdua refleks berubah. Dion buru-buru memberikan kode kepada Dimas dengan kedipan mata. Dengan cepat, Dimas mengerti, lantas keduanya pun langsung mengubah topik pembicaraan. "Apa yang sedang kalian berdua bicarakan?" Tanya Reno dengan pandangan menyipit. Menatap Dion dan Dimas bergantian. Tatapan matanya penuh selidik. "Enggak, Om. Kami membicarakan Al yang sedang ngobrol sama orang-orang penting itu ..." Dion berkata seraya menunjuk ke arah Aliando yang memang saat ini sedang berbincang dengan para tamu-tamunya sejak tadi. Dion menghela napas, kemudian melanjutkan berkata. "Aku enggak nyangka, Om ... kalau Al itu ternyata mengenal orang-orang penting di Ibu kota ini ...""Iya, Pa. Dan ... astaga ... aku masih belum percaya saja ... kalau Al itu ternyata beneran membeli rumah bak istana seperti ini .