"Hei...apa yang Nona lakukan?!" Aliando berseru, mengedar pandangan ke sekeliling. Kemudian, meminta Raisa untuk berdiri. Tidak perlu sampai berlutut begitu. Terlalu berlebihan. Raisa menurut, berdiri dari berlutut di depan kaki Aliando, mengusap telapak tangan dan dengkul lebih dulu yang terkena debu. "Ada apa, Nona datang menemuiku lagi?" Tanya Aliando.Belum sempat Raisa menjawab, namun Aliando sudah bicara lagi. Aliando bersidekap, memicingkan pandangan."Bukannya urusan diantara kita udah selesai, Nona? Urusanku dengan Ayahmu juga udah selesai? Kita udah enggak punya urusan apa-apa lagi. Tapi kenapa Nona tiba-tiba datang dan anehnya langsung berlutut di depanku?""Ada hal yang mau saya katakan kepada Tuan Al. S-saya tidak tahu harus menjelaskannya mulai dari mana ...tapi ...intinya Ayah saya yang menyuruh saya untuk menemui Tuan Al...dan meminta bantuan kepada Tuan Al..." Kalimat Raisa melemah di ujung kalimat. Dia tampak gugup dan tidak siap berbicara dengan Aliando. Alian
Aliando menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan kasar. Baik lah. Dia akan membantu Raisa dan Ayahnya. Air mata Raisa membuat sisi sentimenya tersentil. Mereka berdua menaruh harapan besar padanya. Maka, dia akan membantu. Membantu orang itu adalah perbuatan baik bukan?Aliando juga jadi teringat dengan masa-masa susah dulu, yang sering meminta bantuan kepada orang lain ketika dia sedang mendapat masalah. Kini dia sudah menjadi orang yang dimintai tolong, maka, dia akan membantu sebisa mungkin.(Dalam artian, orang itu memang benar-benar pantas dibantu). "Oke-oke. Aku akan ikut dengan Nona untuk bertemu dengan Pak Harry!" Tandas Aliando pada akhirnya. Dia mengiyakan permintaan Raisa karena tidak mau membuat perempuan itu menangis lebih keras lagi. Tidak enak juga karena ada banyak orang yang sedang berlalu lalang di sekitar mereka.Dikira, dirinya ngapa-ngapain Raisa lagi. Kan bisa gawat. Kedua mata Raisa melebar begitu mendengar kesanggupan Aliando yang mau ikut de
Pak Harry dan Raisa kompak menahan napas, menunggu detik-detik Aliando mengambil keputusan -antara mengiyakan permintaan mereka, bersedia membantu mereka atau tidak.Aliando menghela napas, menatap Pak Harry dan Raisa bergantian, lantas mengusap wajah. Baik lah. Dia sudah mengambil keputusan. Dia akan membantu mereka setelah sebelumnya sempat dipikir-pikir dulu dan mempertingkan segala sesuatunya dengan matang.Sepertinya mereka memang benar-benar membutuhkan bantuannya, tanpa ada rencana buruk dibaliknya. "Baik lah. Setelah saya pikir-pikir, setelah saya pertimbangkan, tadi saya juga sudah menyanggupi permintaan Pak Harry ini di depan kantor kepada Nona Raisa. Putri Bapak." Aliando menghentikan kalimat sejenak, menoleh ke arah Raisa. Pak Harry ikut menoleh, seakan bertanya kepada Raisa. Raisa mengangguk pelan. Membenarkan perkataan Aliando. Aliando kembali menghela napas untuk yang kedua kali, sebelum kemudian melanjutkan kalimatnya. "Saya tidak tahu...apakah saya bisa memban
"Sudah. Enggak apa-apa, Nona. Biarkan Ayahmu bercerita sesuka hatinya. Siapa tau, suasana hatinya yang sedang baik ini akan memulihkan kesehatannya dan siapa tau, bisa segera sembuh dan bisa menghadapi situasi yang terjadi sebelum semuanya menjadi kacau." "Lagi pula, aku kan udah bilang hal ini berkali-kali, kalau aku udah melupakan kejadian itu. Aku paham, kenapa Nona sampai nekat melakukan hal itu. Untungnya, istriku enggak sampai kenapa-napa. Kalau istriku sampai kenapa-napa, mungkin, akan lain urusannya." Aliando tersenyum di ujung kalimat. Dia serius. Tidak main-main dengan ucapannya. Kalau saja istrinya sampai kenapa-napa karena ulah Raisa, mungkin dia tidak akan mengampuni mereka. Tapi yang terjadi, bukan demikian. Jadi, Aliando masih memaklumi. Seketika tubuh Raisa menegang begitu mendengarnya, terdiam untuk beberapa saat sambil menelan ludah. Kalimat Aliando membuatnya merinding. Kemudian, Raisa buru-buru menguasai diri. "M-aafkan Ayah saya ya, Tuan. Ayah saya jadi bic
Tiba di kantin rumah sakit, Aliando dan Raisa duduk saling berhadap-hadapan satu sama lain. Pramusaji menghampiri meja mereka, memberikan buku menu. Sejenak, keduanya disibukan dengan memilih makanan dan minuman yang hendak dipesan.Tiga menit, keduanya telah selesai memilih menu masing-masing, lantas menyerahkan buku menu itu kembali kepada Pramusaji. Pramusaji menerima buku menu tersebut, mengecek sebentar, bertanya kepada mereka berdua untuk memastikan pesanan mereka terlebih dahulu.Setelah dirasa clear, Pramusaji bilang pesanan akan segera diantar, kemudian, pramusaji itu pun beranjak dari sana. "Oh ya...panggil aku Al saja...jangan panggil aku dengan panggilan Tuan..." Kata Aliando mencomot topik pembicaraan setelah pramusaji baru saja pergi. "T-tapi, Tuan..." Raisa keberatan. Aliando menghela napas. "Udah. Nurut saja sama aku. Jangan panggil aku Tuan. Panggil aku Al saja."Raisa terdiam sebentar, memikirkannya sejenak. "Bagimana kalau saya panggil Anda dengan panggilan
"Dan Pak Harry juga pernah maksa kamu dengan berbagai macam cara supaya kamu bisa bekerja padanya, kan, Mas? Terus, dia juga sempat meremehkan kamu, sebelumnya?" Nadine berseru tertahan. Dia sudah mendengar cerita itu dari Aliando. Nadine menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan kasar. Menjeda ketidaksukaaanya terhadap mereka berdua sejenak. Dia sangat tidak setuju dengan keputusan sang suami yang mau membantu orang yang dulu pernah menjahatinya. "Dan Raisa...anaknya Pak Harry itu juga udah main nyulik aku, Mas tanpa tahu masalah apa yang terjadi diantara kamu dan Pak Harry...dia juga udah pernah ngatain kamu, meremehkan kamu juga, sikapnya juga sombong banget dan ngeselin banget. Ish rasanya, sampai sekarang, aku masih belum terima aja Mas atas perlakukan mereka ke kamu. Aku jadi ikutan marah Mas kalau teringat dengan perbuatan buruk yang pernah udah mereka lakukan sama kamu!"Bukan apa-apa, mereka pernah berbuat jahat kepada suaminya. Nadine benar-benar tidak habis pik
Nadine lah yang memilih beranjak berdiri untuk membukakan pintu -yang ternyata itu adalah Bi Inah -yang baru saja mengetuk pintu kamarnya dan terdengar suara Bi Inah setelahnya. "Ada apa, Bi?" Tanya Nadine begitu pintu kamar terbuka. "Ada Mbak Lidya, Mas Dion dan Tante Luna datang ke sini, Non. Saya disuruh manggil Non Nadine dan Mas Aliando sama Nonya dan Tuan untuk segera ke bawah untuk makan malam." Kata Bi Inah. "Oh ada mereka ke sini, Bi...oke-oke...kami akan segera turun, Bi." "Iya, Non. Kalau gitu, Bibi kembali ke bawah dulu ya." "Iya, Bi." Setelah Bi Inah melangkahkan kakinya dari depan kamar, Nadine menutup pintu dan kemudian berjalan menghampiri Aliando lagi. "Ada apa, sayang?" Tanya Aliando. "Itu kata Bi Inah...Kak Lidya, Bang Dion dan Tante Luna ke sini, Mas." Aliando mangguk-mangguk begitu mendengar jika mereka bertiga ke sini. Rahangnya mendadak mengeras -seketika. Nadine menghembuskan napas. "Kayaknya, kedatangan mereka ke sini itu karna mau tanya-tanya dan m
Nadine dan Aliando tidak langsung menjawab, malah saling pandang, saling melempar senyum, lantas kembali menatap Lidya dan Tante Luna bergantian sambil mengangguk pelan. Itu benar. Anggukan kepala dari keduanya tak ayal membuat Lidya dan Tante Luna tercengang lagi. Kemudian, Nadine dan Aliando berjalan ke arah kursi, menarik kursi dan duduk bersebelahan dengan sikap tenang. Tidak mempedulikan Lidya dan Tante Luna yang kini mendadak terpelongo.Beberapa saat kemudian, Lidya dan Tante Luna langsung menerocos, bilang, jika mereka berdua tidak percaya. Nadine dan Aliando mengedikan bahu kepada mereka berdua. Ya sudah kalau mereka tidak percaya. Tak masalah. Terserah. Alhasil, walau mereka tidak percaya, tapi, tetap saja mereka berdua kembali mendesak Nadine dan Aliando untuk menjelaskan lebih detail lagi, mereka perlu bukti untuk membuat mereka berdua percaya.Belum sempat Aliando dan Nadine bicara, Dion muncul dengan keadaan yang terlihat kacau. Perhatian semua orang yang ada di me