Malam sebelum pernikahan Dian, Indira terdiam memikirkan masa lalu Raya yang sangat ia sesali seumur hidupnya. Dua tahun lalu .... "Raya, Bunda lihat akhir-akhir ini kamu sering murung, kenapa?" tanya Indira saat keduanya di dalam kamar Raya."Aku gak apa-apa, Bun," balasnya tanpa melihat wajah Indira."Bunda gak yakin kamu baik-baik saja, pasti ada yang sedang kamu sembunyikan dari Bunda, kan?" tanya Indira lagi.Wanita itu mencecar anaknya agar jujur. Firasat keibuannya mengatakan jika putrinya sedang berada dalam masalah."Enggak, Bun." Raya tetap berusaha mengelak."Raya dengar Bunda. Apa yang sebenarnya terjadi?"Indira mengguncangkan bahu putrinya, dengan sikap seperti ini membuat Indira semakin yakin kalau Raya sedang tertimpa masalah berat. Terlebih wanita itu tahu betul sifat buruk anaknya yang tak pernah cerita jujur saat memiliki masalah."Tapi janji Bunda gak akan marah kalau sudah tahu semuanya?"Raya menatap manik hitam ibunya, sementara Indira hanya mengangguk, ada se
"Nengsih, bagaimana kabar kamu, Nak?" tanya Pak Ahmad saat mengunjungi putrinya."Aku sehat Pak, bagaimana keadaan Bapak, sehat kan?"Nengsih balik bertanya, kedua matanya nampak sendu saat melihat tubuh ringkih ayahnya, wanita itu kian menyesal karena terjebak dalam permainan Raya."Bapak sehat Nak, Bapak selalu berdoa semoga ada keajaiban untuk kamu, semoga ada pertolongan untuk orang kecil seperti kita."Pak Ahmad menggenggam tangan putrinya, bulir bening menitik dari kedua netra lelaki sepuh itu, hatinya kian perih lantaran di usia yang sudah tak lagi muda ia harus hidup seorang diri, dan yang paling menyakitkan dalam hidupnya adalah ketika ia terpaksa harus menyaksikan sisa hidup putri tercintanya di balik jeruji besi."Katanya Bu Dian sama dokter itu mau bantu kita Pak, mana janji mereka?" tanya Nengsih sambil tersenyum getir, sekilas tatapan wanita itu kosong."Bapak juga gak tahu, mereka bilang mau mengumpulkan bukti bahwa kamu tidak bersalah, tapi sampai saat ini belum ada ke
"Mbak Hasna, saya pulang duluan ya."Indira bersalaman dengan kakaknya dan pada Dian. Wanita itu sakit hati melihat sang keponakan yang terus menerus tersenyum, padahal Indira sudah senang saat melihat kekacauan terjadi.Hatinya yang diliputi kebencian pada Dian mendorongnya pada sikap dengki. Indira akan menjadi orang yang paling bahagia jika pernikahan Dian kacau, tetapi kini ia harus menelan kekecewaan lantaran Dian bisa memaafkan dan mengatasi masalahnya meski sangat memalukan."Kenapa sih kok mukanya ditekuk begitu?" tanya Adi saat Indira sampai di parkiran.Lelaki itu hampir satu jam menunggu, tetapi ia tetap sabar menanti mantan istri yang masih sangat dicintai itu walaupun lama keluar."Sebel." Indira masuk ke dalam mobil Adi dengan wajah kesal. "Kenapa, merasa gak adil karena Dian sekarang bahagia sedangkan Raya menderita?" tanya Adi dengan tatapan menelisik."Bukan, hampir saja tadi aku ketawa puas saat acara akad nikah Dian hampir kacau, tapi ternyata kacaunya cuma sebenta
Di dalam sel, Radit duduk termenung, di kepalanya terbayang-bayang pengkhianatan Raya yang membuat hatinya kian sakit. Flash back :"Kan saya sudah kasih uang yang kamu minta, jadi saya mohon jangan pernah datang lagi, saya gak mau suami saya sampai tahu."Radit menghentikan langkahnya sejenak saat tak sengaja mendengar suara Raya yang sedang melakukan panggilan di kamar.Lelaki itu lantas menempelkan telinga pada pintu untuk mendengar pembicaraan Raya dengan orang yang ditelpon nya, sayang suara sang istri semakin samar sehingga Radit tak bisa menangkap perkataan Raya selanjutnya."Jangan sampai aku tahu, apa yang sebenarnya Raya rencanakan?" Sejak hari itu, Radit merasa ada sesuatu yang Raya sembunyikan darinya, ia memutuskan mencari tahu sendiri karena Raya kian mencurigakan.Namun, di depan Raya ia bersikap biasa saja. Radit menghampiri sang istri yang sudah selesai melakukan panggilan. "Aku berangkat dulu, ya."Seperti biasa, lelaki itu pamit pada Raya sebelum ke kantor, matan
Pagi menjelang, malam tadi adalah waktu terindah untuk Dian dan suami barunya. Cerita indah akan ia torehkan di setiap lembarnya. "Mas, dengar-dengar Raya sudah kembali ke rutan."Dian memulai obrolan ketika menikmati sarapan di meja makan dengan suaminya."Oh ya?" tanya dr. Rian sembari meletakkan gelas bekas minumnya ke atas meja."Iya, Mas, kasihan pak Ahmad, sampai saat ini kita belum bisa membantu Nengsih, pasti beliau menunggu."Dian menunduk, wanita itu teringat wajah keriput Pak Ahmad yang berharap kumpul lagi dengan anaknya.Otak Dian dan suaminya kini seolah-olah buntu. Saat ini Raya ditahan karena kasus pembunuhan, sedangkan ia yakin di masa lalu Raya pernah melakukan kesalahan yang sama, tetapi ia beralibi hingga akhirnya selamat."Dulu aku begitu yakin Nengsih yang membunuh ayah karena memang hanya dia yang ada di sana saat kejadian, polisi juga menemukan sidik jari dia di barang bukti. Tapi sekarang aku yakin Nengsih gak bersalah setelah melihat video tempo hari, aku ju
"Apa yang harus bunda lakukan untuk kamu?"Indira mencondongkan tubuh ke arah Raya yang menatapnya dengan pandangan serius, kedua manik hitam itu saling beradu.Raya membisikkan sesuatu pada ibunya, seketika reaksi wajah Indira berubah, wanita itu mengerutkan dahi dan menarik napas dalam lalu menghembuskan nya kasar, Indira menggelengkan kepala selama mendengar bisikan dari Raya."Huft.... tapi Bunda gak janji ya, bahkan sepertinya Bunda gak bisa, Bunda sudah terlanjur sakit hati dengan semua yang terjadi. Kamu tahu Raya, kesakitan terbesar dalam hidup Bunda adalah melihat kamu menderita, terlebih di balik jeruji besi seperti ini. Bunda gak rela mereka nanti bahagia sedangkan kamu sengsara." Indira menanggapi bisikkan Raya dengan penolakan."Tt_tapi Bun ... bukannya dulu juga Bunda mau berubah dan minta maaf sama Dian, kan? Cuma karena kehamilanku kita terpaksa menyakiti dia lagi, aku pikir mungkin sekarang saatnya untuk kita sudahi semuanya, aku capek." Raya menyela pembicaraan ibun
Dengan didampingi Ridwan, Nengsih diantar menggunakan mobil polisi ke kontrakannya.Di sepanjang jalan gadis itu terus menangis, ia merutuki nasibnya yang kian tragis. Nengsih semakin marah pada takdir karena tak adil padanya.Dulu, keluarganya hidup bahagia meski kekurangan. Senyuman ibu, kedua adiknya dan sang ayah di kepala Nengsih terus bergantian.Kenangan indah saat tertawa bersama mereka kini semakin menambah sesak di dadanya. Kini, ayahnya telah menyusul yang lain di surga, sedangkan dirinya masih harus berkutat dengan urusan dunia yang kejam.Sesampainya di rumah kontrakan, Nengsih yang tak diborgol itu langsung merangsek masuk dan memeluk sang ayah yang sudah terbujur kaku. Sementara polisi ikut duduk dan melayat sembari menjaga Nengsih agar tak kabur."Bapak, katanya bapak mau tunggu Nengsih pulang, katanya bapak mau kita bareng-bareng lagi kayak dulu, terus kenapa sekarang bapak pergi."Nengsih meraung di atas tubuh Pak Ahmad yang sudah dingin, sesekali gadis itu mencium p
Raya berusaha menahan kekesalan dalam dada. Namun, wanita bertubuh gempal dengan tato elang di lengan itu menarik mukenanya hingga berantakan."Eh, pembunuh kayak elo itu gak akan diterima tobatnya meski nangis darah sekalipun. Sudahlah, sekali jadi pembunuh ya pembunuh aja. Palingan tempat lo di neraka." Wanita itu justru menghina Raya lalu tersenyum sinis.Raya mengepalkan tangan, ia menarik napas dalam lalu melepaskan kerudung mukena yang ditarik oleh teman satu sel nya itu agar kepalanya tak sakit.Kini, Raya justru berbalik menarik ujung mukena itu dan langsung melilitkannya ke leher wanita bertubuh gempal yang sok berkuasa di lapas.Selama di dalam sel, Raya seringkali dicemooh olehnya karena anak baru, biasanya ia tak menggubris, tetapi hari ini hatinya tak tahan lagi."Oke, terus sekarang lo mau gue bunuh, hah? Lo mau sekarang kita ke neraka bareng-bareng?" tanya Raya dengan mata melotot, tangannya menarik kuat lilitan kerudung mukena berbahan parasut itu ke leher seniornya.R