Pagi menjelang, malam tadi adalah waktu terindah untuk Dian dan suami barunya. Cerita indah akan ia torehkan di setiap lembarnya. "Mas, dengar-dengar Raya sudah kembali ke rutan."Dian memulai obrolan ketika menikmati sarapan di meja makan dengan suaminya."Oh ya?" tanya dr. Rian sembari meletakkan gelas bekas minumnya ke atas meja."Iya, Mas, kasihan pak Ahmad, sampai saat ini kita belum bisa membantu Nengsih, pasti beliau menunggu."Dian menunduk, wanita itu teringat wajah keriput Pak Ahmad yang berharap kumpul lagi dengan anaknya.Otak Dian dan suaminya kini seolah-olah buntu. Saat ini Raya ditahan karena kasus pembunuhan, sedangkan ia yakin di masa lalu Raya pernah melakukan kesalahan yang sama, tetapi ia beralibi hingga akhirnya selamat."Dulu aku begitu yakin Nengsih yang membunuh ayah karena memang hanya dia yang ada di sana saat kejadian, polisi juga menemukan sidik jari dia di barang bukti. Tapi sekarang aku yakin Nengsih gak bersalah setelah melihat video tempo hari, aku ju
"Apa yang harus bunda lakukan untuk kamu?"Indira mencondongkan tubuh ke arah Raya yang menatapnya dengan pandangan serius, kedua manik hitam itu saling beradu.Raya membisikkan sesuatu pada ibunya, seketika reaksi wajah Indira berubah, wanita itu mengerutkan dahi dan menarik napas dalam lalu menghembuskan nya kasar, Indira menggelengkan kepala selama mendengar bisikan dari Raya."Huft.... tapi Bunda gak janji ya, bahkan sepertinya Bunda gak bisa, Bunda sudah terlanjur sakit hati dengan semua yang terjadi. Kamu tahu Raya, kesakitan terbesar dalam hidup Bunda adalah melihat kamu menderita, terlebih di balik jeruji besi seperti ini. Bunda gak rela mereka nanti bahagia sedangkan kamu sengsara." Indira menanggapi bisikkan Raya dengan penolakan."Tt_tapi Bun ... bukannya dulu juga Bunda mau berubah dan minta maaf sama Dian, kan? Cuma karena kehamilanku kita terpaksa menyakiti dia lagi, aku pikir mungkin sekarang saatnya untuk kita sudahi semuanya, aku capek." Raya menyela pembicaraan ibun
Dengan didampingi Ridwan, Nengsih diantar menggunakan mobil polisi ke kontrakannya.Di sepanjang jalan gadis itu terus menangis, ia merutuki nasibnya yang kian tragis. Nengsih semakin marah pada takdir karena tak adil padanya.Dulu, keluarganya hidup bahagia meski kekurangan. Senyuman ibu, kedua adiknya dan sang ayah di kepala Nengsih terus bergantian.Kenangan indah saat tertawa bersama mereka kini semakin menambah sesak di dadanya. Kini, ayahnya telah menyusul yang lain di surga, sedangkan dirinya masih harus berkutat dengan urusan dunia yang kejam.Sesampainya di rumah kontrakan, Nengsih yang tak diborgol itu langsung merangsek masuk dan memeluk sang ayah yang sudah terbujur kaku. Sementara polisi ikut duduk dan melayat sembari menjaga Nengsih agar tak kabur."Bapak, katanya bapak mau tunggu Nengsih pulang, katanya bapak mau kita bareng-bareng lagi kayak dulu, terus kenapa sekarang bapak pergi."Nengsih meraung di atas tubuh Pak Ahmad yang sudah dingin, sesekali gadis itu mencium p
Raya berusaha menahan kekesalan dalam dada. Namun, wanita bertubuh gempal dengan tato elang di lengan itu menarik mukenanya hingga berantakan."Eh, pembunuh kayak elo itu gak akan diterima tobatnya meski nangis darah sekalipun. Sudahlah, sekali jadi pembunuh ya pembunuh aja. Palingan tempat lo di neraka." Wanita itu justru menghina Raya lalu tersenyum sinis.Raya mengepalkan tangan, ia menarik napas dalam lalu melepaskan kerudung mukena yang ditarik oleh teman satu sel nya itu agar kepalanya tak sakit.Kini, Raya justru berbalik menarik ujung mukena itu dan langsung melilitkannya ke leher wanita bertubuh gempal yang sok berkuasa di lapas.Selama di dalam sel, Raya seringkali dicemooh olehnya karena anak baru, biasanya ia tak menggubris, tetapi hari ini hatinya tak tahan lagi."Oke, terus sekarang lo mau gue bunuh, hah? Lo mau sekarang kita ke neraka bareng-bareng?" tanya Raya dengan mata melotot, tangannya menarik kuat lilitan kerudung mukena berbahan parasut itu ke leher seniornya.R
"Astagfirullah, Aaaaa...."Dian menjerit lalu menutup matanya ketakutan, bau busuk yang menyengat membuat sensasi mual di perutnya, wanita itu gegas berlari ke luar. Kejadian mengerikan yang baru saja dilihatnya itu membuat seluruh tubuhnya gemetar hebat.Dian keluar rumah yang pernah disewanya, ia berniat untuk mencari bantuan meski kakinya terasa sangat lemas. Namun, karena rumah yang letaknya di hampir paling ujung membuat ia harus berlari ke blok depan."Tolong... tolong...."Dian terus menjerit, ia tak kuat untuk jalan, bayangan mengerikan tadi menghilangkan seluruh kekuatannya, sehingga ia hanya bisa berteriak di tengah tanah lapang, kakinya yang gemetar membuat langkahnya terhenti. Tak jauh dari rumah yang pernah ditempati itu sebenarnya ada penghuninya, hanya saja saat siang hari mayoritas mereka bekerja.Mendengar suara orang berteriak meminta tolong, orang-orang yang tinggal di blok depan langsung keluar dari rumahnya. Tiga orang perempuan dan dua orang laki-laki gegas berla
"Besok sidang keputusan Raya, apa kamu sudah menyiapkan semuanya, Mas?" tanya Indira pada Adi, lelaki itu hampir setiap malam datang ke tempat tinggal Indira."Iya, sudah saya siapkan semuanya, saya sudah sewa pengacara. Ya, meskipun saya gak mampu sewa yang kondang, tetapi setidaknya dia bisa mengurus semuanya kalau ternyata keadilan tidak berpihak pada anak kita," balas Adi, mantan suami Indira itu tak tahu kalau diam-diam mantan istrinya pergi ke rumah Haris."Baiklah, aku yakin pasti Raya akan bebas," kata Indira sembari menyesap teh hangat, sementara Maira sudah tertidur lelap di dalam."Semoga saja," balas Adi lagi."Ya sudah, kamu pulang lah Mas, ini sudah malam, lagi pula Maira sudah tidur," pinta Indira sembari melangkah pergi, wanita itu hendak masuk ke rumah, ia tak mempedulikan Adi yang masih duduk di kursi teras."Indira," panggil Adi, seketika langkah wanita itu terhenti dan menoleh ke arah mantan suaminya."Kenapa lagi?" tanyanya."Apa kamu mau kalau kita rujuk?" tanya
"Mas Haris," gumam Hasna lirih, melihat reaksi wajah sang ibu, seketika Dian mengernyitkan dahi.Begitupun Haris, lelaki yang usianya lebih tua dari Hasna itu menatap wajah mantan kekasihnya dalam, seolah-olah ada rasa bersalah yang seketika timbul di sana."Hey Bapak tua, kenapa malah bengong? Ayo tanggungjawab," pinta dr. Rian yang sangat kesal.Sementara Haris masih terpaku menyadari wanita masa lalu yang sengaja ia tinggalkan kini berada di hadapannya."Hey anak muda gak tahu sopan santun, memang harus seperti itu cara bicara dengan orang yang lebih tua."Mega yang jengah, keluar dari mobil dan tak terima mendengar suaminya dimarahi oleh anak muda."Sudah lah, Rian. Lebih baik kita pulang saja, nanti kita saja yang bawa ke bengkel," ajak Hasna sembari menarik lengan putranya.Wanita itu melirik ke arah istri sah Haris sebentar kemudian menatap lelaki masa lalunya itu dengan penuh kebencian."Tapi Bun, dia tetap harus tanggung jawab. Coba bunda lihat, kepala istriku bahkan benjol k
Raya sujud syukur sembari menangis, wanita itu lantas berpelukan dengan kedua orangtuanya. Hari ini, hakim telah menyatakan bahwa dirinya bebas. Indira bahagia, wanita itu tak henti-hentinya memeluk anak kesayangannya. Begitupun Adi, lelaki itu mengusap kepala Raya dan terus menciumnya.Kehidupan Raya sebenarnya sempurna, kedua orangtuanya begitu menyayangi dia. Bahkan sejak kecil hidupnya selalu beruntung dari Dian.Di saat sepupunya tak tahu di mana sang ibu, ia justru bisa memeluk ibunya setiap saat. Sejak kecil ia begitu dimanja, begitupula oleh Ayahnya, ketika Dian tak pernah tahu siapa ayahnya dan jua di mana rimbanya, ia justru bisa bermain dan bergelantungan di pundak sang ayah.Raya juga memiliki banyak teman dibandingkan Dian, wanita itu memiliki kepribadian yang mudah dekat dengan orang meski terkadang sedikit judes.Didikan sang ibu yang konsumtif dan hedon, membuat Raya tumbuh dengan rasa ketidakpuasan dengan apa yang dimiliki. Indira selalu membuat Raya merasa kurang, se