"Bagaimana Maira, boleh Papa sama Mama ikut kalian?"Maira menoleh ke arah suaminya, ia tak bisa memutuskan khawatir Farel melarang."Boleh, Pa, kalau memang gak keberatan ayo ke sana bersama-sama." Farel mengajak dua orang yang dianggap layaknya mertua.Keempat orang itu pergi bersama-sama menggunakan mobil Farel. Di sepanjang perjalanan, wajah lelaki itu sangat gusar dan terus memikirkan ibunya.Ponselnya berdering, Abizar kembali menghubunginya untuk memberi informasi terkait ibu mereka. Namun, karena Farel tengah menyetir, Maira lah yang menerimanya."Kenapa, Bizar?" tanya Maira."Kak, udah di jalan belum? Mama sekarang gak sadarkan diri. Pihak rumah sakit langsung membawanya ke ruang ICU." Suara Abizar di seberang sana terdengar sangat gusar."Ini kita lagi di perjalanan, kamu sama siapa di sana?" tanya Maira."tanya Papa udah pulang belum?" Farel berbisik, sementara Maira menganggukkan kepala, siap untuk menjadi penyalur antara pertanyaan suami dan adik iparnya."Aku sama Bibi,
"Oh, Mama sama Papa sudah kenal sama keluargaku?" tanya Farel takjub."Iya, kalau Papa dulu memang pernah meminta Papamu menjadi pengacara, kalau Mama Firda katanya pernah kenal sama Papa kamu di kampus, ya?"Radit memberi jawaban. Ucapan lelaki itu penuh penekanan saat menyatakan kalimat terakhir. Ia pun menatap istrinya dengan menahan rasa cemburu."Oh, seperti itu," balas Farel sembari menganggukkan kepala.Seperti halnya sang suami, Maira yang telah selesai menelpon Dian pun merasa terkejut karena seluruh keluarganya sudah begitu akrab dengan keluarga suaminya. Padahal, keduanya menikah disebabkan oleh ketidaksengajaan."Dunia yang luas ini terasa sangat sempit, ya?" gerutu Maira, ia menatap suaminya dengan memutar bola mata malas.Sementara Firda merasa sangat tak enak dan merasa bersalah pada suaminya lantaran harus bertemu lagi dengan lelaki yang selama ini sangat dicintainya.Firda takut, Radit yang memiliki sifat cemburuan itu akan salah faham saat dirinya bertemu dengan Beni
Sarah menghembuskan napas berat saat cucu satu-satunya itu menatapnya. Meski waktu sudah berlalu lama, tetapi kepedihan hati lantaran kepergian Stella yang tragis masih membuatnya trauma. Hanya saja, kini cucunya bukanlah anak kecil lagi. Sarah tahu inilah waktu yang tepat mengatakan semuanya pada Boy."Ayo masuk dulu, Nak." Sarah membuka pintu kamarnya lebar, ia melangkah lebih dulu dan duduk di kasur, sementara Boy mengikuti langkahnya lalu duduk di kursi tempat neneknya merias wajah."Oma, aku tadi iseng cari-cari tentang Citra di internet, tapi yang aku dapatkan malah informasi tentang kematian Mama," terang Boy. Wajah lelaki itu nampak gelisah, keingintahuan tentang masa lalu membuatnya semakin gusar.Sarah merasa aneh sebab akhir-akhir ini cucunya sering membicarakan Citra, tetapi semua rasa penasaran itu ia pendam saat melihat wajah Boy yang sangat berambisi ingin tahu."Oma, tolong ceritakan semua tentang Mama dengan sedetail-detailnya. Juga tolong ceritakan apa hubungan Mama
Beni melirik sekilas ke arah Ustaz Yusuf. Hati dan pikirannya tak karuan mendengar perkataan dokter Fattah."Mari, kita bicarakan di ruangan," ajak dokter Fattah.Dengan langkah penuh tanya Beni mengekor di belakang dokter Fattah dan berjalan di sampingmu Ustaz Yusuf. Lelaki itu terus merapalkan doa dalam hati agar tak terjadi sesuatu pada istrinya. Sungguh, entah akan seperti apa hidupnya tanpa sang istri.Sesampainya di ruangan, dokter Fattah memperlihatkan hasil pemeriksaan Nengsih pada suaminya yang duduk bersebelahan bersama Ustaz Yusuf."Pak Beni, melihat dari hasil pemeriksaan, ternyata Bu Nengsih mengalami varises esofagus, atau adanya pembuluh darah abnormal di bawah tenggorokan dan perut. Ini yang menyebabkan aliran darah ke hati sedikit terhambat. Jadi, saya menyimpulkan seringnya muntah darah disebabkan oleh varises ini," jelas dokter Fattah sembari menunjukkan gambar tenggorokan Nengsih yang mengerikan."Oh, tapi setahu saya penyakit itu gak membuat darah keluar begitu ba
Nengsih sudah dibawa ke ruang operasi. Di luar, Beni bersama anak-anak dan kerabat lainnya menunggu dengan perasaan gelisah.Indira berdoa untuk kesembuhan besannya. Pun Dian bersama dua anaknya turut hadir di rumah sakit untuk menunjukkan kepedulian pada mertuanya Maira.Lebih dari tiga jam Ibunya Abizar berada di ruang operasi. Dokter mengatakan paku-paku itu terus bermunculan. Sehingga, membuat tim medis harus bekerja lebih ekstra.Ustaz Yusuf dan Adi menenangkan Beni yang nampak gusar akan keselamatan istrinya. Begitupun Farel, ia bersama sang adik mendoakan ibunya yang tengah berjuang untuk kesembuhannya.Tak lama kemudian dokter Fattah keluar dari ruang operasi dan mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan pada Nengsih berhasil.Mendengar pernyataan itu, Beni sujud syukur karena istrinya mampu melewati masa-masa sulitnya, lelaki itupun menangis penuh keharuan.Meski sudah berhasil dan dipastikan Nengsih bisa kembali normal, tetapi istrinya Beni itu masih harus diawasi dan dikontr
"Sudah selesai, Ma."Maira membersihkan tangan pada keran yang berada di halaman rumah. Wanita itupun dengan perhatian memapah Nengsih menuju kamarnya. Meskipun ibu mertuanya itu sudah nampak sehat, tetap saja Maira merasa takut membiarkannya sendiri."Nak, Terima kasih ya," ujar Nengsih pada menantunya, air mata Nengsih seketika saja berderai melihat wajah Maira. Ia ingat dengan Raya dan hari kematiannya."Mama kenapa nangis? Kan kita mau berobat sekarang, aku yakin Mama sehat sempurna setelah ini." Maira menatap dalam netra Nengsih yang nampak kemerahan."Bukan, tapi Mama keingat Mama kamu. Mama kangen sama Mbak Raya," jawab Nengsih.Mendengar jawaban sang mertua, tiba-tiba saja hati Maira menghangat. Ia pun tertarik ingin mendengarkan cerita sang ibu dari sudut pandang orang lain."Kalau boleh tahu, seberapa dekat Mama sama Mamaku dulu?" tanya Maira, ada sedikit rasa takjub di hati karena ternyata kedua orang tuanya sudah sangat dekat. Padahal, sebelumnya Maira menganggap Farel dan
"Ya sudah, ayo."Nengsih yakin kalau Maira belum bisa mencintai putranya. Wanita itupun tak bisa memaksa sebab cinta adalah perrkara hati yang tak bisa diintervensi oleh pihak lain kendatipun itu oleh orang tua dan mertua.Maira bangkit, dari ekor matanya, ia menyadari ada Farel yang tengah berdiri tak jauh dari kamar ibu mertuanya."Ayo siap-siap, mau antar Mama, gak?" tanya Maira pada Farel."Ya."Farel hanya menganggukkan kepala kemudian melangkah lebih dulu ke kamarnya untuk berganti baju. Lelaki itu sangat memperhatikan penampilan, sehingga ia tak mau keluar rumah dalam keadaan tidak layak. Sebab, penampilan akan membuat Farel semakin percaya diri."Ya sudah, kalau begitu aku ganti baju dulu ya Ma," ujar Maira kemudian ia pun bangkit dan meninggalkan kamar Nengsih.Sesampainya di kamarnya dengan Farel, Maira melihat sang suami hanya mengenakan celana boxer pendek dan juga bertelanjang dada. Sontak hal itu membuat Maira menjerit."Aaaaaa ...." Maira langsung menutup matanya dengan
Maira terdiam, ia tak langsung meraih kertas berbahan lembut itu dari tangan suaminya. Ia merasa ragu sebab tak enak hati pada Farel.Melihat istrinya yang hanya diam seakan-akan tak percaya dengan perhatiannya, Farel pun berinisiatif menyeka air mata Maira dengan tangannya sendiri."Aku memang gak tahu siapa yang sudah membuatmu menangis. Tapi, aku gak suka lihat air mata kamu jatuh begitu."Maira sangat tersentuh dengan apa yang Farel lakukan. Selama ini, Farel lah orang pertama yang menyentuhnya. Sebab, memang hanya lelaki itulah yang halal untuknya."Maaf, biar aku aja, aku bisa sendiri," kata Maira, ia mengambil tisu dari jari tangan suaminya. Namun, jarinya justru menggenggam tangan Farel, sedangkan tisu bekas seka air mata itu tak sengaja terlepas dari genggaman suaminya."Maaf, aku gak sengaja." Maira melepaskan tangannya di jemari Farel, meskipun status mereka adalah pasangan sah dalam pandangan agama dan negara, tetap saja keduanya merasa sangat asing karena sebelumnya pun t
"Sayang."Beni menghampiri Nengsih yang masih tersedu-sedu. Air mata wanita itu sulit terhenti. Hatinya masih saja nyeri membayangkan masalah yang menimpa keluarganya."Hmmm."Nengsih hanya berdehem, setelah jarak suaminya dekat, ia pun justru mengalihkan pandangan. Kondisi mood sedang buruk lantaran tengah premenstrual syndrom. Sehingga, hormonnya sangat berpengaruh terhadap masalah yang tengah dihadapi.Biasanya, Nengsih akan berpikir rasional. Namun, entah mengapa kali ini seakan-akan ia membenarkan ucapan Abizar bahwa semua yang terjadi antara keluarganya dengan keluarga Tiara disebabkan oleh pengkhianatan suaminya.Beni yang lelah, lantas mencoba diam, lelaki itu mencerna sikap istrinya kemudian instrospeksi diri. Namun, setelah diperhatikan sekian lama ia baru peka bahwa istrinya tengah mengalami mood swing. Sehingga, ia memeluk istrinya dari belakang, tak peduli Nengsih mengamuk, ia hanya ingin menunjukkan bahwa dirinya sangat mencintai sang istri dibandingkan orang lain."Apaa
"Ya udah, sambil nunggu Kak Citra masuk aja dulu, yuk."Kedua insan itu lantas masuk ke rumah Dian. Di dalam, Abizar langsung disambut hangat oleh Dian."Abizar, apa kabar?" tanya Dian begitu pandangannya bersitatap dengan putra kedua Beni."Alhamdulillah, aku sehat Tante, Tante Dian apa kabar?"Abizar meraih tangan Dian lalu menciumnya takzim. Lelaki itu kemudian duduk di sofa, sementara Syadea pergi ke dapur untuk mengambilkan jamuan untuk sahabatnya."Katanya mau berangkat siang, ini masih pagi, lho," ujar Dian, ia menoleh ke arah jam dinding yang baru menunjukkan pukul sembilan.Belum sempat Abizar menjawab, Syadea yang baru kembali dari dapur sembari membawa air dan kudapan itu menyahut."Biasa Ma, dia gak sabar," ujar Syadea dengan menaikkan sebelah alisnya.Dian tersenyum, wanita itu kemudian menganggukkan kepala dan pergi ke halaman rumah untuk mengurus semua tanaman hias kesayangannya.Setelah Dian berlalu, wajah Abizar kembali pias kala mengingat sang ayah. Rasa kecewa kemba
Beni mengejar istrinya yang tengah dikuasai emosi. Lelaki itu tahu betul bukan seperti ini karakter Nengsih. Namun, ia pun memaklumi apa yang dirasakan sang istri."Sayang, tunggu!"Beni menyeru istrinya yang baru saja membuka pintu kamar. Sedangkan Nengsih yang baru saja memutar kenop pintu itu menghentikan langkahnya sejenak. Wanita itu terisak, kemudian menyeka air mata yang berkejaran di pipinya.Melihat butiran kristal yang terus meluruh dari manik belahan jiwanya, Beni lantas memeluk sang istri erat. Ia tak mengatakan apapun meski ada yang ingin dikatakan.Beni memilih untuk membiarkan Nengsih mengekspresikan perasaannya. Sedih, marah, kecewa adalah rasa yang sangat manusiawi. Sebaik apapun sang istri, lelaki itu sadar wanitanya bukanlah malaikat. Sama seperti dirinya, kendatipun sudah berusaha menjadi orang baik, tetap saja ia selalu melakukan kesalahan."Mungkin benar kata Abizar, aku yang membuat semua jadi begini, andai aku gak menikahi Tiara untuk membantunya, andai aku jug
Mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Asih, Beni dan istrinya lantas saling pandang. kedua insan itu mengerutkan dahi sebab rasa penasaran."Maksud Bu Asih?" tanya Nengsih tak mengerti.Begitupun dengan Beni, ia menatap mata mantan mertuanya penuh selidik. Entah, lelaki itu merasa ada makna tersirat dari kalimat yang diucapkan oleh Asih.Tak langsung menjawab, Asih justru menangis semakin kencang hingga membuat Abizar yang sebelumnya tak peduli dengan tamu kedua orang tuanya pun ikut menghampiri."Ma, Pa, ada apa?" tanya Abizar setengah berlari, ia takut ada orang kesurupan di rumahnya mengingat sang ibu pernah diganggu makhluk halus."Ssst, gak ada apa-apa," jawab Beni dengan meletakkan jari telunjuk di bibirnya.Namun, bukannya pergi, Abizar justru tertarik ingin mendengar obrolan mereka. Sehingga, lelaki kelas tiga sekolah menengah atas itu duduk di kursi lainnya yang kosong.Asih yang tengah menangis tak memedulikan kehadiran putra Beni, ia tak lagi malu untuk mengemis maaf."Be
Alarm berbunyi di pukul empat pagi. Sehingga, membuat Citra dan suaminya terperanjat. Boy yang masih merasa lelah itupun meraih ponsel di atas meja, kemudian ia mematikan alarmnya. Namun, bukannya bangkit, lelaki itu justru merebahkan lagi kepalanya ke atas bantal."Kok tidur lagi?"Citra yang juga terbangun karena mendengar alarm lantas menoleh ke arah suaminya. Tubuh keduanya masih polos dan hanya ditutupi oleh selimut saja."Masih ngantuk," jawab Boy dengan suara parau. Matanya seakan-akan sulit terbuka karena rasa lelahnya."Ish, bangun yuk, sebentar lagi kan subuh," ajak Citra.Wanita yang baru saja melepas kegadisannya itu bangkit kemudian duduk di samping Boy, ia menutup dadanya dengan selimut yang dikenakan."Hufft, ayo."Meskipun masih terasa lelah karena pertarungan semalam, tetapi Boy masih selalu ingat dengan kewajibannya. Kendatipun mengantuk dan kerap dihantui rasa malas, tetapi ia selalu bangun untuk bersih-bersih sebelum subuh.Lelaki itu lantas ikut bangkit lalu menci
"Kamu siap, gak?" tanya Boy.Lelaki itu berbisik di daun telinga sang istri dengan suara lembut dan berat. Sementara Citra hanya mengangguk dengan wajah tersipu."Tapi kita harus berdoa dulu," ujar Citra.Ia hampir tak berani melihat mata suaminya sebab malu, takut dan gelisah terus menghantuinya. Namun, tak dipungkiri ia pun sangat menginginkan malam ini."Iya, aku tahu, yuk kita berdoa dulu," jawab Boy.Keduanya saling melempar senyum, kemudian melafalkan doa sebelum berhubungan. Keduanya berharap semoga setelah malam ini akan lahir keturunan yang sholeh dan sholehah.Namun, setelah berdoa keduanya justru merasa kaku dan malu. Citra bingung begitupun Boy, sehingga lelaki dengan janggut tipis itu menggaruk-garuk kepala sebab salah tingkah yang membuat keduanya tertawa.Tak ingin gagal, Boy yang sangat senang dengan bibir istrinya lantas kembali melabuhkannya di sana. Pun Citra, ia sudah merasa terbiasa sehingga tak lagi malu seperti saat pertama menikah.Lama Boy memainkan bibirnya d
"Aku sakit karena membaca surat kamu sama Maira," jawab Citra, bukannya sedih, gadis itu justru tertawa mengingat kekonyolannya. Namun, tidak bagi Boy, ia justru semakin merasa bersalah dan menyadari betapa besar cinta sang istri padanya."Iya kah?" tanya Boy."Iya, kamu tahu gak, kamu adalah orang pertama yang aku cintai."Citra melanjutkan perjalanan, sementara Boy terus menatapnya dengan perasaan kagum juga bahagia."Aku berasa terbang karena dicintai begitu dalam," jawab Boy sembari tertawa. Lelaki itupun meraih kembali jemari Citra dan menuntunnya keluar dari area makam.Setelah sampai di parkiran, Boy meraih helm dan membantu Citra mengenakannya."Aku juga bisa pakai sendiri," tolak Citra, tetapi tak dipungkiri hatinya meleleh dengan perlakuan Boy yang begitu manis."Gak apa-apa, kamu cantik kalau pakai helm," puji Boy sembari menepuk-nepuk benda penutup kepala itu lembut."Ya sudah, sekarang kita cari masjid dulu yuk, habis itu kita makan, aku laper," ajak Citra."Ayok," balas
"Kak Farel, ada Oma sama Opa."Maira berbisik di telinga suaminya. Ia malu sebab ketahuan bermesraan di dapur. Sehingga, keduanya yang tengah berhadapan dengan jarak yang sangat dekat itu lantas menjauh."Gak usah malu, justru kita senang ya, Mas," ujar Indira pada suaminya.kedua pasangan berusia lanjut itu saling melempar senyum. Indira tanpa ragu menggandeng lengan suaminya di hadapan pengantin baru itu."Iya, gak apa-apa, jangan kalah sama kita yang udah tua," sahut Adi sembari tertawa kemudian berlalu meninggalkan Maira dan suaminya di sana.Saat langkah Adi menjauh, Farel masih tersenyum lebar. Ia sangat bahagia karena melihat keromantisan nenek dan kakek Maira meski sudah berusia lanjut."Oma sama Opa romantis banget, ya. Pasti dulu mereka saling mencintai," puji Farel saat kedua orang yang merawat istrinya pergi."Enggak, justru di masa lalu mereka pernah bercerai. Bahkan, kehadiran Mama pun belum bisa membuat Oma mencintai suaminya," balas Maira."Yang benar?"Farel terkejut,
Di rumah Indira, Maira tengah memasak untuk sarapan. Sementara nenek dan kakeknya tengah berjalan-jalan pagi. Mereka sadar sudah tak muda lagi dan harus memerhatikan kesehatan agar tak menjadi pesakitan."Masak apa?"Farel yang baru saja keluar kamar itu menghampiri sang istri, ia memeluk Maira dari belakang sehingga membuat istrinya sedikit terkejut."Eh, aku masak nasi goreng buat sarapan," jawab Maira.Wanita itu membiarkan tangan suaminya melingkar di pinggang. Sehingga, Maira bisa merasakan kehangatan di punggungnya yang menempel dengan dada Farel."Baunya enak," puji Farel.Melihat rambut Maira yang diikat ke belakang dan menampilkan leher jenjang membuat kecantikan wanita itu kian paripurna. Sehingga, membuat Farel semakin senang bermanja-manja dengannya."Oh ya, hari ini mau temani aku ke kantor, enggak?" tanya Maira.Saat libur kuliah, ia memang sering menghabiskan waktu untuk mengurus perusahaan Mega. Maira yang memang mengambil jurusan manajemen dan administrasi bisnis itu