Beni melirik sekilas ke arah Ustaz Yusuf. Hati dan pikirannya tak karuan mendengar perkataan dokter Fattah."Mari, kita bicarakan di ruangan," ajak dokter Fattah.Dengan langkah penuh tanya Beni mengekor di belakang dokter Fattah dan berjalan di sampingmu Ustaz Yusuf. Lelaki itu terus merapalkan doa dalam hati agar tak terjadi sesuatu pada istrinya. Sungguh, entah akan seperti apa hidupnya tanpa sang istri.Sesampainya di ruangan, dokter Fattah memperlihatkan hasil pemeriksaan Nengsih pada suaminya yang duduk bersebelahan bersama Ustaz Yusuf."Pak Beni, melihat dari hasil pemeriksaan, ternyata Bu Nengsih mengalami varises esofagus, atau adanya pembuluh darah abnormal di bawah tenggorokan dan perut. Ini yang menyebabkan aliran darah ke hati sedikit terhambat. Jadi, saya menyimpulkan seringnya muntah darah disebabkan oleh varises ini," jelas dokter Fattah sembari menunjukkan gambar tenggorokan Nengsih yang mengerikan."Oh, tapi setahu saya penyakit itu gak membuat darah keluar begitu ba
Nengsih sudah dibawa ke ruang operasi. Di luar, Beni bersama anak-anak dan kerabat lainnya menunggu dengan perasaan gelisah.Indira berdoa untuk kesembuhan besannya. Pun Dian bersama dua anaknya turut hadir di rumah sakit untuk menunjukkan kepedulian pada mertuanya Maira.Lebih dari tiga jam Ibunya Abizar berada di ruang operasi. Dokter mengatakan paku-paku itu terus bermunculan. Sehingga, membuat tim medis harus bekerja lebih ekstra.Ustaz Yusuf dan Adi menenangkan Beni yang nampak gusar akan keselamatan istrinya. Begitupun Farel, ia bersama sang adik mendoakan ibunya yang tengah berjuang untuk kesembuhannya.Tak lama kemudian dokter Fattah keluar dari ruang operasi dan mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan pada Nengsih berhasil.Mendengar pernyataan itu, Beni sujud syukur karena istrinya mampu melewati masa-masa sulitnya, lelaki itupun menangis penuh keharuan.Meski sudah berhasil dan dipastikan Nengsih bisa kembali normal, tetapi istrinya Beni itu masih harus diawasi dan dikontr
"Sudah selesai, Ma."Maira membersihkan tangan pada keran yang berada di halaman rumah. Wanita itupun dengan perhatian memapah Nengsih menuju kamarnya. Meskipun ibu mertuanya itu sudah nampak sehat, tetap saja Maira merasa takut membiarkannya sendiri."Nak, Terima kasih ya," ujar Nengsih pada menantunya, air mata Nengsih seketika saja berderai melihat wajah Maira. Ia ingat dengan Raya dan hari kematiannya."Mama kenapa nangis? Kan kita mau berobat sekarang, aku yakin Mama sehat sempurna setelah ini." Maira menatap dalam netra Nengsih yang nampak kemerahan."Bukan, tapi Mama keingat Mama kamu. Mama kangen sama Mbak Raya," jawab Nengsih.Mendengar jawaban sang mertua, tiba-tiba saja hati Maira menghangat. Ia pun tertarik ingin mendengarkan cerita sang ibu dari sudut pandang orang lain."Kalau boleh tahu, seberapa dekat Mama sama Mamaku dulu?" tanya Maira, ada sedikit rasa takjub di hati karena ternyata kedua orang tuanya sudah sangat dekat. Padahal, sebelumnya Maira menganggap Farel dan
"Ya sudah, ayo."Nengsih yakin kalau Maira belum bisa mencintai putranya. Wanita itupun tak bisa memaksa sebab cinta adalah perrkara hati yang tak bisa diintervensi oleh pihak lain kendatipun itu oleh orang tua dan mertua.Maira bangkit, dari ekor matanya, ia menyadari ada Farel yang tengah berdiri tak jauh dari kamar ibu mertuanya."Ayo siap-siap, mau antar Mama, gak?" tanya Maira pada Farel."Ya."Farel hanya menganggukkan kepala kemudian melangkah lebih dulu ke kamarnya untuk berganti baju. Lelaki itu sangat memperhatikan penampilan, sehingga ia tak mau keluar rumah dalam keadaan tidak layak. Sebab, penampilan akan membuat Farel semakin percaya diri."Ya sudah, kalau begitu aku ganti baju dulu ya Ma," ujar Maira kemudian ia pun bangkit dan meninggalkan kamar Nengsih.Sesampainya di kamarnya dengan Farel, Maira melihat sang suami hanya mengenakan celana boxer pendek dan juga bertelanjang dada. Sontak hal itu membuat Maira menjerit."Aaaaaa ...." Maira langsung menutup matanya dengan
Maira terdiam, ia tak langsung meraih kertas berbahan lembut itu dari tangan suaminya. Ia merasa ragu sebab tak enak hati pada Farel.Melihat istrinya yang hanya diam seakan-akan tak percaya dengan perhatiannya, Farel pun berinisiatif menyeka air mata Maira dengan tangannya sendiri."Aku memang gak tahu siapa yang sudah membuatmu menangis. Tapi, aku gak suka lihat air mata kamu jatuh begitu."Maira sangat tersentuh dengan apa yang Farel lakukan. Selama ini, Farel lah orang pertama yang menyentuhnya. Sebab, memang hanya lelaki itulah yang halal untuknya."Maaf, biar aku aja, aku bisa sendiri," kata Maira, ia mengambil tisu dari jari tangan suaminya. Namun, jarinya justru menggenggam tangan Farel, sedangkan tisu bekas seka air mata itu tak sengaja terlepas dari genggaman suaminya."Maaf, aku gak sengaja." Maira melepaskan tangannya di jemari Farel, meskipun status mereka adalah pasangan sah dalam pandangan agama dan negara, tetap saja keduanya merasa sangat asing karena sebelumnya pun t
Untuk beberapa detik Boy hanya memandangi Citra tanpa berkata apa pun, wajah itu jauh lebih cantik dari biasanya di dalam balutan gaun pengantin yang membalut tubuh ramping Citra.Meski menggunakan hijab, tetap saja keanggunan itu tidak bisa dihilangkan begitu saja dari Citra. Justru kecantikan Citra meningkat drastis di mata Boy.Syadea sendiri terlihat begitu antusias, saat Citra bertanya pendapat pada dirinya, “Dea, gimana, bagus kan?”“Sumpah, Kakak cantik banget!” seru Syadea.“Kamu lagi nggak cuma nyenengin kakak dengan kata-kata doang kan? Ibaratnya formalitas, sebetulnya aku tuh jangan-jangan nggak cocok dan nggak pantas dengan gaun ini,” kata Citra sembari memanyunkan bibirnya. Citra terlihat menggemaskan di mata Boy dengan ekspresinya yang seperti itu.“Ya ampun, seriusan Kak, Kakak itu cantik banget, mana bajunya juga pas di Kak Citra. Kalau udah begini, Kak Boy pasti makin cinta sama Kakak,” goda Syadea pada Citra, membuat gadis itu tersipu malu.Tidak terasa perjuangan Bo
Di rumah peninggalan Stella, Radit berbicara dengan Boy sebagai seorang ayah dengan calon menantu. Radit memberikan wejangan pada lelaki muda itu agar tak salah jalan saat mengarungi rumah tangga, ia tak mau Boy melakukan kesalahan seperti saat dirinya muda dulu. Sebab, adakalanya kesempatan itu tak akan pernah terulang kembali kendatipun harus menangis darah."Boy, mungkin saya memang bukan ayah yang baik buat Citra. Bahkan mungkin saya pun jauh dari kata panutan. Tapi, satu hal yang saya minta sama kamu, tolong jaga Citra sebaik mungkin. Setelah akad terucap, jangan pernah kamu sakiti hatinya, ya. Jangan biarkan dia menangis. Jika suatu hari nanti kamu sudah gak menginginkan anak saya, tolong kembalikan dia pada keluarganya dengan cara baik-baik."Boy menganggukkan kepala saat mendengar kalimat yang diucapkan Radit. Suara lelaki itu terdengar serak karena dalamnya rasa kekhawatiran."Iya, Pak. InsyaAllah saya akan menjaga Citra sebaik mungkin," jawab Boy dengan penuh percaya diri. M
Di ruang tamu rumah Nengsih, Asih duduk sembari menautkan jemari kasarnya. kedua pahanya bergetar lantaran perasaan yang tak karuan. Malu, itulah yang Ia rasakan saat ini.Namun, ia akan menanggalkan rasa itu demi putrinya. Selama Beni dan Nengsih tak tahu apa yang telah keluarganya perbuat pada mereka, ia akan bersikap selayaknya orang yang patut dikasihani.Hatinya sudah terlanjur sakit melihat penderitaan Tiara setelah diceraikan oleh Beni. Akalnya telah tertutup oleh kerakusan juga dengki."Bu Asih," sapa Nengsih, ia bergegas menghampiri wanita sepuh yang tengah duduk.Sementara Beni berjalan dengan perasaan tak menentu saat melihat mantan mertuanya. Ia menjabat tangan itu sebagai bentuk sopan santun. Jauh dalam hatinya, Beni sangat keberatan dengan kedatangan Asih, ia takut kalau kehadiran wanita tua itu akan menghancurkan kembali rumah tangganya."Maaf sebelumnya karena lancang datang ke sini," ujar Asih seraya menunduk, ia menampakkan wajah gelisah yang dilancarkan wajah tuanya