“Aku sedang memperbaiki kesalahanku, apa kamu nggak bisa sedikit saja menghargainya?” Kala kini menatap istrinya dengan tatapan penuh keresahan. “Kamu tahu, aku marah dengan diriku sendiri dan menyalahkannya setiap hari. Aku belum mendapatkan pekerjaan dan menjadi pengangguran yang tidak berguna. Tapi saat aku pulang, justru kamu bertemu dengan lelaki lain yang membuatku merasa semua hal yang aku lakukan ini sia-sia.” Kala melemparkan semua keresahan di dalam hatinya kepada Binar tanpa sisa. Kerendahan dirinya menguap membentuk kesensitifan yang menyelubungi hatinya. Kala, benar-benar merasa berada di titik terendah dalam hidupnya. “Kamu mengatakan itu seolah akulah yang bersalah karena kamu kehilangan pekerjaanmu, Mas.” Sumbu kemarahan dalam tubuh Binar nyala seketika saat Kala mengatakan itu kepadanya. “Kalau kamu ingin menyalahkan kondisimu sekarang, maka salahkan saja perempuan yang kamu banggakan dan kamu cintai itu.” “Bukan itu poinnya, Bi!” Kala meninggikan suaranya. “Aku
“Ada yang ingin Papa bicarakan kepada kamu, Bi.” Malam ini, orang tua Kala kembali datang ke rumah Binar. Selain ingin melihat keadaan Binar dan Kala, mereka juga ingin berbicara dengan serius kepada sang menantu. Binar tampak mengangguk saat ayah mertuanya mengatakan tujuannya. “Iya, Pa. Ingin bicara apa?” Kala juga ada di sana bersama dengan mereka. Tapi seperti sebelumnya, keberadaan Kala seperti tidak penting sama sekali. “Kamu masih punya keinginan untuk bekerja di kantor nggak?” Binar tidak segera menjawab. Dia menatap kedua mertuanya itu dengang lekat seolah tampak berpikir. Padahal, dia hanya menahan kebingungannya. Karena Binar tak kunjung bersuara, maka ibu Kala yang mengambil alih.“Begini, Bi. Papa beberapa hari ini berpikir dan membicarakan kepada Mama tentang ini. Posisi manajer keuangan di kantor kamu masih kosong. Jadi Papa pikir kamu bisa menempati posisi tersebut. Karena kamu jelas sangat kompeten dalam bidang itu.” “Apa?” Kala bersuara dengan terkejut. Tentu s
Seberapa besar cinta yang Kala miliki untuk Widi? Se-istemewa apa Widi bagi Kala? Pertanyaan itu segala muncul dan memenuhi hati Binar. Sesak itu terasa menyakitkan, tapi dia berusaha untuk mengabaikan. Binar tidak tahu bagaimana sekarang hubungan Kala dengan Widi, karena setelah perempuan itu datang ke rumahnya, tidak ada huru-hara yang terjadi. Dia tak mendapati Widi menelpon Kala, atau bahkan Kala keluar secara diam-diam di malam hari seperti yang pernah dilakukan. Kala sudah berjanji kepadanya jika lelaki itu akan berubah dan memperbaiki hubungannya dengan Binar. Tapi sejauh ini, mereka masih jalan di tempat. Binar masih memerlakukan Kala seperti orang asing. “Ternyata memang Mbak Binar.” Binar tidak menyangka kalau dia akan bertemu dengan Widi di kafe. Niat awal Binar adalah untuk bertemu dengan Ramon dan Saka, tapi mereka telat datang sehingga Binar harus menunggu. Melihat sosok pengganggu di depannya, tentu saja membuat Binar sangat kesal, namun dia tetap mengangguk dengan s
Binar tidak pernah sekalipun merundingkan apa pun dengan Kala. Entah itu untuk bisnisnya, atau bahkan tentang kehamilannya. Namun dia justru mengatakan apa pun kepada Ramon. Berdalih kalau Ramon selalu ada untuk dia sejak dulu. Hal itu membuat Kala merasa tersingkirkan. Setelah kepulangan Ramon dengan Saka, Kala segera berbicara dengan Binar. Membicarakan banyak hal. Kala bisa mengingat bagaimana Ramon bereaksi ketika dia mendengar jika Binar menggantikannya sebagai manajer di perusahaannya. Kala kalah, dia mengaku itu. “Sampai kapan kamu akan menjadikan Ramon sebagai poros dalam hidupmu?” Kala mengawali. “Aku yang berada di sini bersama denganmu, tidak pernah sekalipun kamu ajak bicara tentang rencana, keputusan, atau apa pun yang telah kamu ambil. Tapi kamu mengatakan semuanya kepada Ramon. Akan sampai kapan kamu menganggap aku nggak ada di dalam kehidupan kamu?” Binar terdiam. Mencerna semua hal yang dikatakan oleh Kala. Ada muncul pertanyaan di dalam kepala Binar. Selama mereka
Kala menyadari satu hal. Dulu dia pernah kehilangan Widi karena kurangnya dia memberikan perhatian kepada mantan istrinya tersebut. Sehingga perempuan itu mencari perhatian dan kasih sayang kepada orang lain. Sekarang, Kala bertekad untuk tidak melakukan kesalahan yang sama dan membuat dirinya kehilangan Binar. Kasih sayang sangat dibutuhkan untuk seorang perempuan, maka dia akan memberikannya kepada Binar. “Kamu aku antar ke kantor ya.” Setelah sarapan, Kala segera mengajukan penawaran kepada sang istri. Dimulai dari hal yang kecil lebih dulu, baru akan melakukan hal yang besar. Ngomong-ngomong, semalam Kala tidur dengan nyenyak karena Binar sepanjang malam ada di dalam pelukannya. Perasaannya menghangat dan dia bangun dengan senyum bahagia. “Mas nggak ada kerjaan?” tanya Binar sambil memasukkan ponselnya ke dalam tas. “Kamu lupa aku pengangguran?” Kala mengedikkan bahunya tak acuh. “Aku rencananya akan bertemu dengan pemilik ruko. Dan memersiapkan beberapa hal yang diperluk
Kala menelungkupkan kepalanya di atas setir mobil ketika Binar tidak terlihat lagi dari pandangannya. Perasaannya seolah dijepit oleh benda berat dan membuatnya sakit luar biasa. Kenyataan yang didengar dari Binar tentang masa lalunya, membuat Kala merasa sangat bersalah. Itulah kenapa Ramon sangat membenci dirinya saat ini karena sudah membuat Binar sakit hati. “Sorry, Bi,” gumamnya pada keheningan. “Aku sungguh-sungguh akan memperbaiki semua kesalahan yang sudah pernah aku lakukan kepadamu.” Kala menatap sekali lagi kantor milik ayahnya sebelum dia pergi meninggalkan tempat itu. Dia harus segera bertemu dengan chef yang akan bekerja sama dengannya. Kala bersemangat untuk membuka bisnis baru demi istri dan anaknya. Sekarang dia tak bisa mengandalkan siapa pun kecuali dirinya sendiri. Kala bahkan hanya sekali komplain kepada sang ayah ketika dia dikeluarkan dari perusahaan. Yaitu saat dirinya digantikan oleh Binar. Tapis setelah dia berpikir lagi dan lagi, dia bisa memahaminya. Jad
“Gue pergi dulu.” Alih-alih menjawab pertanyaan Binar, Ramon justru memilih pergi dari restoran tersebut. Meninggalkan Binar yang dipenuhi rasa penasaran. Binar menatap punggung Ramon yang semakin menjauh sebelum menghilang tak terlihat. “Kapan Mas dan Ramon kelahi? Apa yang wajah Mas babak belur waktu itu?” Binar tidak bisa menahan dirinya yang sudah penasaran. Binar pikir saat itu adalah ayah mertuanya yang menghajar Kala, ternyata Ramon? Binar sungguh tidak menyangka. Bagaimanapun Kala adalah saudaranya, mereka memiliki ikatan darah yang sama. Ada rasa terharu yang muncul di dalam pikiran Binar. “Udah lama. Saat aku mau pergi ke luar negeri.” Kala menjawab dengan jujur. Ada raut sedih ketika Kala mengatakan itu. Binar mengingat hari itu adalah hari yang sangat menyedihkan buatnya. Dia bahkan mengingat saat itu dia tidak bisa menghentikan air matanya untuk keluar. Terlalu sakit bagi Binar. Apa pun alasan yang Kala berikan, benar-benar tidak bisa diterima. “Dia cari Mas ke
“Sebagai seorang suami, aku berhak melarang kamu berdekatan dengan lelaki lain.” Kala kali ini berujar lebih serius. “Jangan melanjutkan sesuatu yang membuat hubungan kita kembali merenggang.” “Kalau Mas lupa, selama ini yang merenggangkan hubungan kita adalah Mas sendiri. Aku berada di tempat yang semestinya. Tapi Mas menghindariku dan bimbang dengan perasaan Mas sendiri.” Binar bangkit dari sofa. “Kita sudah memulai hidup kita yang baru. Kita sudah berdamai dan aku sudah mencoba menyingkirkan rasa sakit yang Mas berikan ke aku. Jadi stop. Kita tidak perlu membahas sesuatu yang tidak seharusnya.” Binar mengimbuhkan. “Jangan menyamaratakan sifat orang Mas. Aku, nggak akan selingkuh karena aku tahu bagaimana rasa sakitnya diselingkuhi. Dan jangan berpikir Saka seperti Mas yang akan melakukan perbuatan yang tidak seharusnya. Sekali lagi aku tekankan, aku dan dia hanya sebatas teman dan rekan kerja. Jangan buat aku membuat dia sebagai opsi kedua dan menerimanya.” Apa yang diharapkan
“Istriku.” Ancala baru saja sampai rumah ketika melihat penampilan Gemi yang sudah cantik. Meskipun hanya mengenakan daster rumahan kebanggaannya, kecantikan perempuan itu selalu terpancar. Dan inilah yang selalu disukai oleh Ancala, Gemi akan selalu menunggu kepulangannya di teras rumah sambil membaca buku. Tidak di rumah Kala, atau bahkan di rumah mereka sendiri, Gemi memiliki perpustakaan sendiri dengan koleksi buku-bukunya. Gemi tersenyum melihat Ancala yang berjalan ke arahnya. Perempuan itu beranjak untuk menerima tas kerja lelaki itu. “Suamiku capek banget kayaknya.” Ancala memeluk Gemi sambil mencium pipi perempuan itu. Bagi Ancala, energinya akan kembali ketika sudah bertemu dengan sang istri setelah seharian bekerja. Rasa lelah itu seolah menguap begitu saja. Pelukan mereka terurai. Masih dengan memeluk pinggang sang istri, Ancala sedikit menjauhkan tubuhnya untuk menatap wajah Gemi yang halus. “Makan apa malam ini?” tanyanya, “lama nggak ke angkringan. Kangen nasi
“Kalian udah datang?” Ancala mendekati istri dan kedua adiknya dengan senyum kecil. Meskipun pagi tadi dia sempat kesal, tetapi setelah Gemi sekarang datang ke kantor, perasaannya menjadi sedikit membaik. Tatapannya mengarah pada ‘tiga tamunya’ yang tidak membawa apa pun. “Jadi belanjanya?” tanyanya. Perempuan yang dimaksud oleh Laksa tadi tidak mengikuti Ancala dan kembali lebih dulu. Gemi tidak bertanya siapa perempuan tersebut karena dia tahu kalau itu adalah sekretaris Ancala. Laksa pun sebenarnya juga tahu, tetapi dia hanya pura-pura untuk mengerjai Gemi. “Bang, aku laper banget, lho.” Laksa mengadu. “Aku laper, Bang.” Ulangnya lagi. “Kalian nggak makan dulu tadi?” Ancala mengernyit aneh menatap satu per satu saudaranya. “Istri Abang ngambek karena diajak desak-desakan. Jadi, nggak memedulikan aku yang kelaparan. Tapi, aku nggak mau makan di kantin ini. Abang tolong pesankan aku makanan yang enak, ya.” Laksa memang benar-benar membuat kakak-kakaknya kesal kalau sudah me
“Gem, bangun!” Ancala menepuk paha sang istri pelan ketika sudah sampai di rumah. Mereka baru saja sampai rumah ketika Gemi tidak sadarkan diri, tidur. Sepanjang jalan, Ancala memegangi tangan Gemi takut-takut kalau istrinya itu terjatuh. Bukannya apa-apa, Gemi tidur sepanjang jalan sedangkan mereka menggunakan motor. Kebanyakan makan kepala ayam membuat Gemi lemas sepertinya. “Bang, aku nggak sanggup jalan. Gendong.” Dengan suara lemas, perempuan itu masih memeluk pinggang Ancala dengan erat takut jatuh. Matanya masih tertutup erat enggan untuk terjaga. Napas panjang Ancala terbuang kasar. Menikahi Gemi adalah impiannya, tetapi kalau sifat manja perempuan keluar, maka habislah dia. “Iya, tapi tunggu dulu deh. Aku turun dulu.” Ancala melepaskan tangan Gemi dari pinggangnya sebelum dia turun dengan pelan dari motor. Baru setelahnya menarik tangan Gemi agar istrinya itu naik ke gendongannya. Diam-diam Ancala tersenyum kecil. Terkadang istrinya itu memang menyebalkan, tetapi juga me
Perdebatan yang terjadi malam itu dianggap bukan apa-apa. Pernikahan antara Gemi dan Ancala bahkan akan segera dilakukan dalam waktu dua hari lagi. Pernikahan mewah itu akan dilakukan di outdoor di pinggir pantai. Tidak banyak yang diundang karena Gemi dan Ancala benar-benar memilih orang-orang terdekat mereka saja yang datang. Kabar pernikahan yang sudah merebak itu membuat banyak orang terkejut. Tidak pernah menyangka kalau Gemi dan Ancala akan menikah. Semua orang tahu jika Abimanyu dan Sambara group adalah saudara. Tentu saja hal itu menjadi perbincangan banyak orang. “Gimana rasanya mau menikah?” Denta datang ke rumah Ancala untuk sekedar menemani sahabatnya itu mengobrol. “Dan menikah dengan perempuan yang lo cintai?” “Setelah semua yang terjadi, tentu saja gue bahagia, Den.” Ancala memainkan kakinya yang ada di kolam renang, menimbulkan bunyi kecipak air. “Gue kira akan sulit mendapatkan restu dari para tetua.” Denial mengatakan itu merujuk pada nenek dan kakek Ancala, lela
“Kamu sudah benar-benar yakin akan menikah dengan Gemi, Bang?” Ramon meyakinkan sekali lagi kepada sang putra atas keputusan untuk meminang sang pencuri hati. Para tetua, nenek kakeknya sudah memberikan izin untuk mempersatukan dua keluarga yang seharusnya tetap menjadi keluarga yang sesungguhnya. Namun, mereka memilih untuk memberikan restu dan menyingkirkan segala ego yang ada. Dua anak manusia itu sudah tidak bisa dipisahkan, untuk apa lagi mereka menahannya dan akan berakhir buruk. “Aku udah yakin, Yah. Aku sudah berbicara dengan Gemi dan dia menerima lamaranku.” Senyum lebar tersemat di bibir Ancala dan wajah sumringah itu tidak bisa berbohong jika dia sangat bahagia. “Kalau begitu, Ayah dan Bunda akan berbicara kepada Papa Kala kalau kami akan segera melamar Gemi. Pikirkan juga kamu ingin menikah di mana? Outdoor atau indoor, masalah biaya jangan khawatir, semua biaya Ayah yang urus.” Rasa sayang Ramon yang diberikan kepada Ancala tidak surut sedikitpun sejak dulu. Lelaki it
Setelah obrolan semalam, Gemi bangun tidur dengan perasaan yang terasa ringan. Hubungannya dengan sang ayah sudah membaik dan dia sudah memaafkan apa pun yang pernah sang ayah lakukan. Semua yang dilakukan oleh sang ayah semata untuk melindungi keluarganya. Suasana hati Gemi pun terlihat sangat baik seharian ini. Meskipun Ancala sejak tadi tak kunjung menghubunginya seperti yang sudah dijanjikan semalam, dia masih baik-baik saja. Seperti yang sudah Ancala bilang semalam, lelaki itu akan membicarakan masalah kerjaan dengan sang ayah. “Jadi, kamu mau balik kerja lagi?” Gemi yang baru saja duduk di sofa di samping sang bunda, segera mendapatkan pertanyaan tersebut. “Aku akan pikirkan lagi, Ma.” Sudah kebiasaan berada di rumah selama beberapa bulan, menjadikan Gemi enggan untuk kembali beraktivitas. “Tapi, Ma, Papa ngeluarin aku dari kantor dengan alasan apa, ya?” Benar, Binar pun tampaknya belum tahu tentang masalah tersebut karena dia tak pernah bertanya dengan Kala. “Mama juga
Binar dan Kala mendengar dengan jelas ucapan putri mereka meskipun kata-kata yang diucapkan terbata-bata. Mereka mendengarkan di balik dinding hanya untuk mengetahui reaksi Gemi ketika bertemu dengan Ancala. Nyatanya, Gemi mengatakan sesuatu yang membuat orang tuanya menahan kesedihannya. “Jangan bicara yang tidak-tidak. Sekarang fokuslah pada kesembuhanmu dulu. Papa bilang, kamu masih perlu bertemu dengan psikiater. Kapan jadwalnya? Aku temani ya?” “Aku nggak butuh psikiater lagi, Bang. Obatku udah ada di sini.” Kala mendesah pasrah mendengar jawaban Ancala atas ucapan sang putri. Sudah pasti perasaan Kala sekarang dipenuhi oleh rasa penyesalan yang amat besar. Di ruang tamu, Gemi dan Ancala melepaskan pelukan mereka. Ancala mengusap air mata Gemi yang mengalir menganak sungai di wajahnya. “Aku nggak akan ke mana-mana lagi, Gemi. Aku udah pulang sekarang. Jadi, kamu nggak perlu takut aku pergi lagi.” “Memangnya, Abang dari mana kemarin?” Ancala menyodorkan minuman yang disiapka
Kala pasti tidak pernah menyangka jika Ramon akan menurunkan egonya untuk meminta putranya pulang. Dia tahu betul bagaimana Ramon menolak permintaannya saat itu. Namun, sekarang tiba-tiba Ancala sudah ada di rumahnya dan menanyakan kabar Gemi. Hal itu tentu saja membuat Kala sedikit bingung. Apa pun itu, Kala tentulah merasa senang dengan kedatangan Ancala ke rumahnya. “Keadaan Gemi sudah lebih baik. Dia sekarang sedang istirahat.” Tepat setelah itu, Binar datang dan segera duduk di samping Ancala. Perempuan paruh baya itu mengelus punggung Ancala tanpa berbicara. Kelegaan terpancar dari matanya. “Kamu dari mana saja, Bang?” tanyanya setelah itu, “Mama cariin kamu.” “Aku jalan-jalan, Ma,” jawab Ancala dengan lembut, “Mama baik-baik aja ‘kan?” “Mama baik. Anca, kamu masih mau nemuin Gemi ‘kan? Setelah waktu itu, dia murung dan tidak ingin berurusan dengan siapa pun.” “Tentu saja aku mau, Ma. Gemi adalah adikku. Kalau memang perlu, aku akan menemaninya sampai dia sembuh.” “Apa mak
“Aku harus pulang, Den. Sorry, ya.” Gemi memilih menghindar daripada harus menjawab ucapan Denta. Gadis itu berdiri, lalu buru-buru pergi meninggalkan Denta yang tampak kebingungan. “Gem!” Denta berteriak memanggil gadis itu, tetapi seolah tuli, Gemi tetap berjalan dan sesekali berlari untuk menghindari sahabat Ancala tersebut. Setelah memasuki komplek perumahannya, barulah dia berjalan dengan tenang. Gemi berpikir, kalau Denta saja tidak tahu keberadaan Ancala, itu artinya, kepergian lelaki itu dirahasiakan. Sepertinya, masalah ini benar-benar serius. Gemi berhenti di pinggir jalan, terpaku di tempatnya, lalu berpikir sejenak. Apa dia harus menghubungi Ancala? Apa lelaki itu akan menerima panggilannya kalau dia melakukannya? Kebingungan itu melanda dirinya. Gara-gara kedatangan Denta, menjadikannya berpikir lebih keras tentang Ancala. Gadis berdaster coklat itu kembali melangkah untuk kembali ke rumah. Meskipun dia banyak memikirkan banyak hal, tapi beruntung kini halusinasinya ti