"Hallo, assalamualaikum, Fatan," ucap Fatma menelpon adik sepupunya, suara Fatma terdengar memilukan disertai dengan tangisan. "W*'alaikumus'salam, Kak kenapa nangis?" nada suara Fatan terjelas sangat cemas, lalu ia bangkit dan meninggalkan laptopnya yang masih menyala. "Fatan ...." Isak tangis yang menjeda ucapan Fatma, permasalahan hidupnya terlalu pelik hingga membuat mulutnya terbungkam oleh tangisan. "Kenapa, Kak? apa Ahza menyakitimu lagi?" Fatan semakin cemas kala tangisan sang kakak tak juga terhenti, beberapa kali ia merubah posisi duduknya. "Mereka sudah mendzalimi Mbak, Tan ...." Lagi-lagi tangisan itu membungkam bibir Fatma, lidahnya kelu untuk meneruskan ucapannya. Fatma menangis tersedu-sedu, kedua bahunya terguncang, juga kedua telapak tangan yang basah oleh keringat, rasa sedih, marah dan kecewa bergulung menjadi satu dalam rongga dadanya. Luka yang ditorehkan Ahza seakan tak berhenti, lelaki itu terus memahat hati Fatma dengan derita dan air mata. "Tenang ya,
Suara Fatan penuh dengan penegasan, sedangkan Fatma sibuk menyeka tetesan demi tetesan yang enggan berhenti membasahi pipinya, hingga lembaran tissue berserakan di lantai."Kak Fatma, tunggu di rumah aku akan segera ke sana, dan ya aku akan mengabarkan pada Ibu mengenai keadaan Kak Fatma, apa Kakak setuju?"Fatma terdiam kala mengingat sosok Daijah, ibu kandung yang memilki hati setegar karang, ia tak sanggup melihat air mata sang ibu karena menangisi kegagalan rumah tangganya.Namun, sampai kapan aku akan menyembunyikan ini? jika ini saatnya maka aku ridho, gumam Fatma dalam hati."Iya, Fatan katakan saja pada Ibu yang sebenarnya," ucap Fatma dengan yakin."Ok, Kak, aku langsung on the way ke rumah Ibu," jawab Fatan lalu ia bergegas meninggalkan apartemen yang merupakan rumah kedua setelah rumah Daijah.Apartemen itu memudahkan dirinya karena letak kantor dan rumah Daijah lumayan jauh. Namun, begitu setiap akhir pekan lelaki itu selalu mengunjungi seorang ibu yang sudah merawatnya s
"Ma-maaf ... jangan pecat saya, Pak," ucap Adiguna mengiba.Sedangkan Ahza dan Wirda tercenung bagaikan sebuah patung, kedua alisnya mengkerut dengan mulut sedikit menganga."Keputusan saya tidak bisa di ganggu gugat, Anda telah menyakiti kakak saya, dan kalian juga sama, sama-sama serakah!" Jari telunjuk Fatan menunjuk Ahza dan Wirda."Kamu jangan gitu dong, kami sudah berdiskusi sebelumnya dengan kakakmu," sela Ahza membela diri, sesekali ia celingukan melihat mobil Lamborghini milik Fatan."Ngomong-Ngomong kamu dapat uang dari mana bisa beli mobil itu?" tanya Ahza mengalihkan perhatian.Ia begitu penasaran terhadap mobil dan barang-barang mewah yang Fatan kenakan, pasalnya selama ini Fatan selalu tampil sederhana dalam bergaya."Kamu mau tahu aku ini siapa?"Kedua alis Ahza saling bertaut begitu pula dengan Wirda, rasa penasaran kian menggebu menyeruak dalam hatinya."Aku ini pemilik perusahaan PT Angkasa Properti, sudah dua tahun aku memimpin perusahaan itu, beli mobil begitu mah
Ahza memohon seraya mencium kening kedua anaknya, melihat itu Fatma melengos, ia muak menyaksikannya."Tolong ridhoi aku untuk pergi, terlalu lama tinggal di sini hanya akan membuat batinku sakit" jemari Fatma meremas kuat dadanya.Manik mata teduh itu mulai mengembun mengingat jika rumah tangga yang dibina sepuluh tahun lamanya harus kandas, tinggal menunggu hakim mengetuk palu maka semuanya benar-benar telah usai."Sudahlah ga usah banyak drama, mentalak Kak Fatma adalah keputusan mutlak yang sudah kamu buat, jadi biarkan dia pergi sekarang, toh kamu juga memiliki istri lain," sela Fatan, ia merasa jengah dengan sikap kepura-puraan Fatan."Fatma, aku minta maaf, soal uang pinjaman itu kita bagi dua ya, kamu jangan khawatir.""Aku ga butuh uang itu, silakan saja kalian makan sepuasnya! Tapi yang jelas aku tidak ridho dan berlepas diri dari perbuatan riba yang kalian lakukan.""Sudah ayo kita pergi, Kak, Pak Bejo sudah datang tuh," ujar Fatan seraya mengangkat koper lalu mulai melanju
Pintu rumah terbuka nampak Ardila--ibunya Wirda-- muncul dengan mengenakan kimono di tubuhnya, dari matanya terpancar raut keheranan saat melihat Wirda berdiri di hadapannya."Wirda, Sayang, kamu kesini?"Wanita berumur menjelang senja. Namun, masih tetap cantik dan modis itu membuka pintu lebar-lebar, lalu celingukan ke arah luar ia juga memandangi mobil Wirda beberapa saat."Suamimu mana?" "Ada di rumah."Kedua alis Ardila saling bertaut, ia heran dan perasaannya mengatakan jika Puteri semata wayangnya itu sedang diterpa badai masalah."Oh, ya sudah masuk." Ardila menggandeng bahu Wirda, lalu mereka berjalan beriringan masuk."Ma, aku mau masuk kamar dulu ya.""Iya, Sayang." Ardila mengangguk, matanya tak henti menatap punggung putrinya yang mulai menapaki anak tangga, ia merenung beberapa saat lalu kembali ke lantai atas menuju kamarnya.Di dalam kamar Wirda menangis di bawah bantal, belum sempat mengganti pakaian ataupun membuka hijab, begitu tiba ia langsung menghempaskan diri d
Sudah sepuluh menit Ahza mondar-mandir di hadapan rumah sederhana dan minimalis itu, rumah ibunya Fatma nampak sepi, tentu saja mereka semua sedang terlelap tidur siang.Ia ingin sekali mengetuk pintu rumah itu. Namun, bayangan dirinya ketika mentalak dan merampas sertifikat rumah berkelebatan menghentikan langkahnya, rasa sungkan dan malu adalah penghalang yang begitu kokoh.Teriknya matahari yang sangat menyengat tak membuatnya jera, ia masih tetap setia berdiri berharap jika Fatma akan keluar walau hanya mengangkat jemuran, di saat itulah Ahza bersiap menghampiri.Sudah hampir setengah jam, Fatma tak juga keluar menampakkan dirinya, terpaksa ia melangkah walau terasa berat.Pagar setinggi satu meter terbuka sedikit memudahkan dirinya untuk terus melangkah, jemarinya mengepal lalu perlahan mengetuk pintu.Ia berdiri seraya memasukkan kedua tangannya ke saku celana, dengan jantung yang berdebar ia memandangi knop pintu, berharap benda itu akan berputar secepatnya.Karena tak ada yang
"Aku janji, akan sering menjenguk anak-anak dan memberi nafkah sampai waktunya melahirkan nanti.""Itu memang sudah kewajiban kamu, Mas, permisi aku mau istirahat." Fatma beranjak menuju kamar dengan maksud ingin menumpahkan seluruh air matanya.Ahza hanya memandangi tubuh Fatma yang berlalu, ingin sekali ia mengajak Fatma untuk rujuk kembali. Namun, lelaki itu merasa tahu diri dan malu, lagipula Fatma tidak mungkin mau kembali, fikiranya."Maas!""Maas!"Terdengar suara cempreng Wirda di luar sana, dengan sigap Ahza berlari keluar, sedangkan Fatma dan ibunya hanya berdiri di dekat pintu, enggan membuat keributan."Ngapain kamu ke sini hah?!" bisik Ahza penuh penekanan, jemarinya mencengkram erat pergelangan tangan Wirda.Wirda menatap dalam wajah suaminya penuh amarah, pasalnya sudah hampir satu jam wanita itu berdiri di hadapan gerbang rumahnya yang terkunci, ia menepis kasar cekalan Ahza. Tak dipedulikan orang-orang sekitar yang berkerumun akibat mendengar suara lengkingannya, par
"Uwais, Nak, jaga Bunda ya, Ayah janji akan sering-sering kesini," ucap Ahza seraya berjongkok mengimbangi tubuh bocah itu.Uwais hanya mengangguk tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya, perlakuan Ahza yang kerap kali membuat ibundanya menangis membuat bocah itu menjadi tidak suka terhadap ayah sendiri."Maafkan Ayah, Nak." Ahza merangkul bocah itu membawa ke dalam dekapannya.Lagi-lagi Uwais diam tak bergeming, tangannya memegang jari telunjuk Fatma dengan erat, tak dapat dipungkiri jika anak itu sangat rindu terhadap ayahnya. Namun, derita dan air mata sang bunda membuat rasa rindu itu terkubur dalam-dalam, dan menumbuhkan benih kebencian."Fatimah, Sayang, jangan nakal ya, kasian Bunda nurut sama Bunda ya, Nak." Bocah berumur tiga tahun itu hanya melongo memperhatikan wajah Ahza."Fatma aku pulang dulu ya, titip anak-anak, aku akan sering kemari dan memberi nafkah untuk kalian, jangan khawatir," ucap Ahza seraya memandang kedua bola mata Fatma."Uwais, Fatimah Ayah pergi dulu
"Oke kalau gitu, saya nggak akan ambil uangnya lagi, Bapak ambil aja.""Baiklah, Pak."Saat itu juga Uwais langsung pergi ke kos-kosan tempat Anisa, dia menemui pemilik rumah kos kosan untuk bertanya perihal gadis yang membuat perasaannya tidak tenang "Saya nggak tahu soal itu, lagi pula Anisa juga nggak ada bilang apa apa sama saya, kirain dia masih di dalam kamarnya.""Ya ampun." Uwais mengusap wajahnya, dia benar benar merasa khawatir."Memangnya ada apa gitu?""Saya curiga Anisa diculik seseorang, Bu.""Hah, masa sih?""Saya pergi dulu, Bu.""Nak, kau telpon saja polisi."Uwais hanya menoleh sekilas.Ribet banget harus telepon polisi segala, belum harus nunggu 24 jam Setelah Anisa pergi lalu harus ada bukti kuat, lebih baik kucari sendiri.Naik ojek online, Uwais pergi ke rumah salah satu temannya yang paham IT, dia memberikan nomor ponsel Anisa untuk melacak keberadaan saat ini, tentunya sebelum itu Uwais melakukan basa basi."Di sini nih tempatnya."Akhirnya nomor ponsel gadis
Ayah dan anak yang selama ini nampak akrab itu kini mulai saling memandang dengan tajam, Uwais kecewa karena ternyata semua ayah di dunia ini sama, baik itu ayah kandung yang dulu sudah menelantarkannya, juga ayah tiri yang kini boleh mengungkit ngungkit pemberiannya.Kalau tahu akan begini lebih baik dahulu Aku tidak pernah mengizinkan ibuku menikah dengan siapapun, lagi pula kau sanggup menghidupinya sebagai balas jasa karena ia sudah membesarkan seorang diri, begitu pikir Uwais."Nak, tenangkan dirimu ya." Fatma berdiri lalu mengelus bahu Uwais.Amarah yang akan meledak itu seketika pudar mendengar suara lembut yang keluar dari bibir Fatma, sejak dulu Jika ada masalah apapun dia memang tidak pernah mengeluarkan suara tinggi ataupun bicara kasar."Baiklah, Bi, aku akan pergi nggak bawa apa-apa, termasuk supermarket yang selama ini disokong oleh Abi, ambil aja, aku masih bisa cari uang dengan cara lain yang penting itu halal dan tidak menzalimi orang lain." Uwais tersenyum tipis.Sej
"Gimana Zhafran? Apa penyesalanmu itu ada gunanya?"Lelaki itu mengalihkan pandangannya, dia juga seorang lelaki normal, satu tahun yang lalu ketika bisnis mereka untung besar, kantor mengadakan pesta yang dihadiri oleh karyawan penting saja, Zhafran sempat mabuk berat dan dibawa ke sebuah kamar hotel lalu dengan lancangnya Selly masuk ke kamar pria itu, menggodanya mati Matian hingga dia mau mengga gahi Selly untuk pertama kali.Perempuan itu tidak bo doh, dia mengabadikan momen itu dengan ponselnya lalu menyimpan rapi dalam sebuah folder untuk dijadikan senjata, Selly yang ambisius sangat ingin menjadi Nyonya Zhafran yang kaya raya, tidak peduli walaupun dia sudah beristri, toh dia tidak pernah melihat wajah istrinya seperti apa karena selalu tertutup cadar, Selly berpikir jika Fatma adalah perempuan tua seperti kebanyakan ibu ibu lainnya karena sudah memiliki anak gadis dan bujang yang beranjak dewasa.Namun, ternyata Zhafran tidak sebodoh itu, sedikit pun dia tidak tertarik menjad
27Hiruk pikuk orang orang di pelabuhan ini membuat Uwais bisa melangkah perlahan tanpa takut dilihat oleh Zhafran dan yang lainnya, bagaimana pun juga Uwais ingin tahu sebenarnya untuk apa Anisa berada di tempat ini? Dirangkul lelaki pula? Apakah memang wanita itu tidak baik seperti kata ayahnya?Dia terus mengendap ngendap bahkan sekarang sudah mulai memakai masker walau wajahnya berkeringat banyak karena terkena teriknya sinar matahari di siang hari.Setelah hampir mendekat Uwais hampir mendengar jelas percakapan mereka, diabtidka terima seorang pria yang berada di hadapan Anisa menyentuh pipi gadis itu, entah kenapa ada rasa cemburu menyelusup ke dalam hatinya, dia pun melangkah lebih dekat lagi "Beneran dia masih pe ra wan ini?""Masih lah segelan, kalau ternyata udah jebol nanti duit kembali lima puluh persen.""Beneran nih ya duit kembali.""Kapan sih gua bohong."Uwais tercekat saat mendengar percakapan Zhafran dan lelaki itu, ternyata Anisa memang benar akan dijual dan mungk
"Tunggu!" Orang orang yang menyeret Anisa langsung menoleh, sementara gadis itu masih meronta ronta sambil menatap Uwais, untuk beberap detik mereka saling berpandangan."Ngapain kalian kasar sama perempuan? Dia itu temanku!"Lalu salah satu lelaki menyorotkan senter ke wajah Uwais hingga lelaki itu merasa silau."Kau kan anaknya Tuan, ngapain di sini?""Mau nyusul temenku, lepaskan dia."Beberapa orang lelaki itu saling berpandangan nampak bingung karena bagaimanapun juga perintah Zhafran pantang dilanggar."Bicarakan saja sama Tuan, urusanku cuma menangkap perempuan ini, dia masuk ke dalam ingin mencuri.""Hah?"Uwais langsung menatap Anisa, rasanya tidak mungkin gadis selembut dia harus mencuri, begitu pikir Uwais."Aku nggak mencuri! Aku mau menyelamatkan ….""Diam! Masuk ke dalam sekarang juga! Silakan Anda bicara dengan Tuan Zhafran, saya nggak mau disalahkan."Melihat Anisa kembali diseret Uwais langsung masuk ke dalam berlarian entah ke mana, beberapa kali dia menghadang para
Pagi itu Wirda sudah tak sabar menanti kedatangan Uwais, pasalnya malam tadi dia langsung pulang ke rumah karena sudah kemalaman dan kelelahan."Mbak, aku sudah agak enakan kalau mau pulang silakan, aku bisa sendiri kok."Fatma menatap Wirda dengan getir, pagi ini Wirda memang terlihat lebih bugar, baru satu malam saja sudah ada perubahan pada tubuhnya lain lagi ketika dirawat di rumah sakit kemarin Wirda lebih banyak tidur dan susah bergerak."Besok deh aku pulang ya, biar yang jaga gantian sama Uwais, hari ini dia ngajar dulu nanti siang baru kemari katanya.""Ngajar di mana, Mbak?" "DI sebuah universitas, Wir, ini hari pertamanya setelah kembali dari Madina, kamu sabar ya.""Oh hebat banget ya anak Mbak, punya bisnis jadi dosen lagi, iya deh aku sabar, tapi gimana suami Mbak?""Tidak hebat tapi Allah yang karuniakan kelebihan itu padanya." Dia tersenyum.Sejak dulu Fatma memang tidak pernah membanggakan dirinya ataupun prestasi anak anaknya pada orang lain, itu semua untuk menjaga
Uwais yang baru datang ke rumahnya mendadak merasa lemas, Serapi itu sang ayah tiri menyembunyikan kebusukannya hingga dia dan ibunya tidak tahu apa apa, dia benci dibohongi sekaligus bingung harus bagaimana karena Uwais bukan tipe pemarah yang meledak ledak, dia cenderung seperti Fatma yang menghadapi segala masalah dengan kepala dingin, begitulah didikan ibunya.Tidak ada suara lagi di dalam sana entah sedang apa Zhafran di dalam, Uwais pun memilih masuk ke kamar, dia membuka laptop dan mulai melakukan pencarian tentang bisnis sang ayah.Malam harinya dia mendatangi Fatma di rumah sakit, untuk saat ini Uwais hanya bisa menghindar dari pada bertatap muka."Mau ke mana, Nak?""Nyusul Umi, aku mau nyuruh dia pulang dulu.""Nggak makan malam dulu?" "Aku makan di luar aja, pergi dulu ya, Bi." Seperti biasanya Uwais selalu mencium tangan orang tua jika hendak bepergian, Zhafran pun tidak curiga jika anaknya itu telah mengetahui kebusukannya"Iya hati hati, pakai mobil Abi aja ya.""Aku n
Mobil Uwais masuk ke jurang tetapi beruntung sekali mobil itu tersangkut di sebuah batu besar, para warga yang sedang di kebun dan pengendara mobil lain berbondong-bondong turun ke bawah "Sepertinya kita harus lapor polisi.""Iya lapor saja."Sementara yang lain berusaha menyelamatkan Faisal yang terjepit di dalam mobil, lelaki itu tidak sadarkan diri, beberapa orang membuka paksa pintu mobil mulai dari memecahkan kacanya, tetapi setelah pintu terbuka Faisal masih belum bisa dievakuasi karena tubuhnya terjepit body mobil."Susah ini, tunggu polisi saja."Orang orang saling bertanya bagaimana kejadian kecelakaan itu bisa terjadi pada saksi mata."Mobil itu bunyiin klakson keras banget, entah dia lagi mabok atau mengalami rem blong saya nggak tahu, yang jelas dia menghindar," ujar sopir mobil pick up yang tadi hampir saja bertabrakan dengan Faisal.Tidak lama kemudian polisi datang bersama tim evakuasi, mereka menyuruh warga untuk naik ke atas jurang agar tim evakuasi bisa menyelamatka
Gadis muda itu membawa nampan berisi air putih dingin, dia tidak tersenyum hanya menganggukan kepalanya sedikit sebagai tanda hormat."Silakan diminum.""Terima kasih, Teh.""Iya.""Kalian ini abis ngapain di atas bukit sana?" Tanya perempuan itu."Oh itu, kita tersesat, oh ya apa kamu tahu tentang bangunan besar di atas bukit itu?' Uwias balik nanya "Bangunan?" Gadis itu nampak tak mengerti "Iya bangunan gede.""Aku nggak tahu, soalnya bukan asli orang sini, aku dan beberapa teman lagi melakukan penelitian buat skripsi.""Oh kirain kamu ustazah di sini." "Bukan lah, saya masuk dulu, nggak enak berduaan.""Eh tunggu." Gadis itu kembali menoleh, hingga mereka saling berpandangan beberapa detik"Iya?""Kita mau pergi sekarang, terima kasih ya.""Oh mau pergi lagi? Sama sama, kalau gitu hati hati.""Iya." Uwais tersenyum sungkan, dia menatap wanita itu, hatinya berontak ingin kenalan."Om, tanya dong nama dia siapa ya?" "Ah tanya aja sendiri, masa gitu aja nggak berani," ledek Faisal