"Uwais, Nak, jaga Bunda ya, Ayah janji akan sering-sering kesini," ucap Ahza seraya berjongkok mengimbangi tubuh bocah itu.Uwais hanya mengangguk tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya, perlakuan Ahza yang kerap kali membuat ibundanya menangis membuat bocah itu menjadi tidak suka terhadap ayah sendiri."Maafkan Ayah, Nak." Ahza merangkul bocah itu membawa ke dalam dekapannya.Lagi-lagi Uwais diam tak bergeming, tangannya memegang jari telunjuk Fatma dengan erat, tak dapat dipungkiri jika anak itu sangat rindu terhadap ayahnya. Namun, derita dan air mata sang bunda membuat rasa rindu itu terkubur dalam-dalam, dan menumbuhkan benih kebencian."Fatimah, Sayang, jangan nakal ya, kasian Bunda nurut sama Bunda ya, Nak." Bocah berumur tiga tahun itu hanya melongo memperhatikan wajah Ahza."Fatma aku pulang dulu ya, titip anak-anak, aku akan sering kemari dan memberi nafkah untuk kalian, jangan khawatir," ucap Ahza seraya memandang kedua bola mata Fatma."Uwais, Fatimah Ayah pergi dulu
"Ya makanya belajar bersikap dewasa! Masa iya aku harus menelantarkan Uwais dan Fatimah gitu aja, jangan egois lah jadi orang.""Kamu tuh ngeselin, Mas! Ga ngerti sama perasaanku!"Perempuan itu bangkit lalu berlari menuju kamarnya.Sementara Ahza masih diam termenung memandangi tubuh istrinya yang perlahan menjauh, ia malas mengejar dan merayu karena tahu semua itu akan percuma, Wirda akan tetap merajuk sebelum Ahza menghilangkan Fatma dan kedua anaknya dari dalam hidupnya.Hal konyol dan mustahil! Mana mungkin semua itu bisa kulakukan! Ahza merutuk sendiri.*Adzan Maghrib berkumandang tiba waktunya setiap muslim berbuka melepas rasa lapar dan dahaga yang seharian penuh ditahan.Sepasang suami istri itu duduk di hadapan meja makan, hanya air putih dan dua porsi makanan siap saji yang terhidang, Wirda enggan memasak setiap hari ia lebih memilih membeli dari luar.Baginya, memasak merupakan hal merepotkan, jika di luar sana masih ada yang berjualan makanan siap saji mengapa dirinya ha
Gema takbir terdengar di seluruh penjuru negeri, semua insan tengah berbahagia merayakan hari kemenangan.Malam ini sangat ramai, selain suara takbir di masing-masing mesjid menghiasi indahnya malam, juga ada beberapa anak-anak bermain di halaman rumahnya masing-masing dengan kembang api di tangan.Begitu pula Uwais dan Fatimah, dua bocah beda usia itu teramat senang menerima banyak kado dan baju baru dari Fatan pamannya, di tangan bocah berusia enam tahun itu terdapat sebuah kembang api, lalu ia berlari di sekitar halaman rumah, diikuti oleh sang adik dengan suara gelak tawa.Fatma memandang keduanya dengan senyum mengembang, semenjak hari itu ia memilih untuk menjauhi Ahza, memblokir nomornya adalah yang terbaik untuk masa depannya.Sejak Fatimah sakit tempo hari, lelaki yang bergelar ayah itu tak pernah lagi memunculkan batang hidungnya, perbuatannya itu sungguh membuat hati Fatma teriris kembali.Di tengah suasana genting karena suhu badan Fatimah meninggi, Fatma berjuang sendiri
Sementara di sana Ahza sedang mengobrol ria bersama Wirda dan orang tuanya, kali ini rumah Adiguna terasa hidup, karena Ahza dan Wirda memutuskan untuk menginap di rumah Adiguna pada malam takbiran.Walau bibirnya dihiasi tawa, berbeda sekali dengan hatinya, pria itu masih memikirkan Fatma, ia merasa bersalah karena tempo hari lebih memilih Wirda dibanding menjenguk Fatimah.Ia bimbang, entah harus dengan cara apalagi untuk meminta maaf, Ahza putus asa dan merasa yakin jika Fatma sudah menutup pintu maafnya rapat-rapat.Aku memang bodoh! Mau-mainya disetir dan diatur oleh istri sendiri! Ahza merutukki dirinya dalam hati lalu mengusap wajahnya dengan gusar.Wajah Fatimah yang mengiba kasih sayang dan perhatiannya menari-nari di kepala, menjadikan tidurnya tak nyenyak, makanpun tak enak, galau yang Ahza rasakanAhza mengusap keningnya yang terasa berdenyut, ia merasa tak tega memakai baju baru nan mahal, sementara di sana kedua putra-putrinya tak satu potongpun ia belikan.Bagaimana l
Dua pasang manusia itu berjalan bergandengan tangan memasuki sebuah restoran mewah, kini Ahza telah berhasil kembali membangun usahanya walau di atas hutang yang menumpuk."Sayang, aku lihat ke dalam dulu ya."Mereka terpisah, Ahza menghampiri beberapa kawannya sedangkan Wirda mengecek beberapa karyawan di ruang memasak dan di dalam kantor.Sekarang Wirda adalah satu-satunya nyonya Ahza Al Faruq, nyonya besar yang harus disegani dan dihormati para pekerja, ia bangga dengan gelar itu sehingga membuatnya sombong seperti di atas angin."Pak Arif, kalau buat laporan yang betul dan akurat ya, saya ga mau ada kesalahan sedikitpun."Orang yang bernama Pak Arif hanya mengangguk segan. Namun dalam hatinya ia merasa tak suka pada Wirda.Wanita itu berjalan lagi menuju ruang masak, tas branded dan gamis mahal bertabur manik swarovski membuat kilauannya mengalihkan semua perhatian karyawan.Semua pekerja bagian dapur menunduk hormat saat menyadari sang nyonya pemilik restoran hadir menyaksikan, W
Ahza tak dapat berkutik ataupun protes lagi pada sang mertua, tak ada pilihan lagi daripada Adiguna menarik modal dari restoran yang baru saja ia buka.Andai restoran itu dibangun menggunakan modalnya tanpa ada keterkaitan dengan Adiguna pasti ia bisa mengendalikan mertuanya yang matre itu, bukan sebaliknya."Mas, kita jadi 'kan pergi ke pengajian siang ini?" ucap Wirda membuyarkan lamunan Ahza.Ahza mendesah pelan. "Hmm.""Nih baju couple kita sudah di setrika sama Bi Marni."Bi Marni adalah ART baru di rumah itu.Ahza tak menanggapi, matanya sibuk pada laptop mengamati laporan yang diberikan para karyawannya."Pokoknya nanti kita harus bareng ya, Mas, pas keluar dari mobilnya biar orang-orang pada lihat baju couple kita yang mahal dan serasi ini." Wirda mengelus manja baju itu dan menyimpannya ke dalam lemari."Dan semua orang juga harus tahu kalau kamu sekarang sudah menjadi suamiku satu-satunya," ungkapnya tanpa rasa malu sama sekali.Ia tak pernah membayangkan bagaimana tanggapan
"Oalah iya to, saya baru kepikiran, dih Mbak Wirda nih secara ga sadar sudah menghancurkan rumah tangga Mbak Fatma lho, awas nanti kena adzab kaya di sinetron itu," sambar ibu-ibu yang lain dan mereka kompak mengiyakan.Seketika Wirda merasa kesal, apa yang diucapkan ibu-ibu itu memang betul adanya. Namun, Wirda benci mendengar kebenaran itu, ia sudah berharap jika ibu-ibu tersebut akan kagum pada penampilannya, tapi ternyata mereka kompak mencemooh.Kurang ajar! Gerutunya dalam hati."Eh ngomong-ngomong kok Mbak Fatma belum datang ya, Minggu kemarin dia datang paling awal 'kan sebelum kita-kita?" ucap salah satu dari mereka."Iya bener, Minggu kemarin Mbak Fatma datang lebih awal sama anak bungsunya, pas saya masuk masjid dia lagi baca Alquran, enak banget suaranya, saya jadi kangen," sahut ibu yang lain.Seketika Wirda mencebik tak suka."Aduh di sini panas, kita masuk ke dalam yuk ibu-ibu, pulang pengajian saya traktir makan deh," tutur Wirda mengalihkan perhatian, tentu saja merek
Ahza turun dari taxi dan langsung berjalan cepat ke dalam restoran, entah yang ke berapa kalinya Wirda membuat lelaki itu kesal."Mas!" Wirda melambaikan tangan."Berapa juta lagi sih?" Ahza mencebik kesal, ingin sekali ia mendamprat istrinya saat itu juga agar Wirda merasa jera."Cuma 3 juta kok, Mas, cepetan bayar aku malu dari tadi diem di sini terus, mana ibu-ibu tadi menghinaku lagi, uhhh sebell!" Wirda menghentakkan sebelah kakinya."Aku sudah bilang saldo Atm-nya sedikit lagi, pake so-soan nraktir temen lagi," bisik Ahza penuh penekanan, lalu lekas ia menghampiri kasir yang sedang sibuk menonton pertengkaran kecilnya dengan Wirda dan langsung membayar tagihan itu dengan uang cash."Ayo pergi!" tegas Ahza sambil berjalan cepat tanpa menggandeng Wirda seperti biasanya, amarah dalam dadanya sudah bergejolak."Kamu tahu yang dipake bayar itu uang apa?!" tanya Ahza sesaat mereka sudah sampai di dalam mobil.Wirda menggelengkan kepala pelan, perasaan kesal pada ibu-ibu tadi dan kasih
"Oke kalau gitu, saya nggak akan ambil uangnya lagi, Bapak ambil aja.""Baiklah, Pak."Saat itu juga Uwais langsung pergi ke kos-kosan tempat Anisa, dia menemui pemilik rumah kos kosan untuk bertanya perihal gadis yang membuat perasaannya tidak tenang "Saya nggak tahu soal itu, lagi pula Anisa juga nggak ada bilang apa apa sama saya, kirain dia masih di dalam kamarnya.""Ya ampun." Uwais mengusap wajahnya, dia benar benar merasa khawatir."Memangnya ada apa gitu?""Saya curiga Anisa diculik seseorang, Bu.""Hah, masa sih?""Saya pergi dulu, Bu.""Nak, kau telpon saja polisi."Uwais hanya menoleh sekilas.Ribet banget harus telepon polisi segala, belum harus nunggu 24 jam Setelah Anisa pergi lalu harus ada bukti kuat, lebih baik kucari sendiri.Naik ojek online, Uwais pergi ke rumah salah satu temannya yang paham IT, dia memberikan nomor ponsel Anisa untuk melacak keberadaan saat ini, tentunya sebelum itu Uwais melakukan basa basi."Di sini nih tempatnya."Akhirnya nomor ponsel gadis
Ayah dan anak yang selama ini nampak akrab itu kini mulai saling memandang dengan tajam, Uwais kecewa karena ternyata semua ayah di dunia ini sama, baik itu ayah kandung yang dulu sudah menelantarkannya, juga ayah tiri yang kini boleh mengungkit ngungkit pemberiannya.Kalau tahu akan begini lebih baik dahulu Aku tidak pernah mengizinkan ibuku menikah dengan siapapun, lagi pula kau sanggup menghidupinya sebagai balas jasa karena ia sudah membesarkan seorang diri, begitu pikir Uwais."Nak, tenangkan dirimu ya." Fatma berdiri lalu mengelus bahu Uwais.Amarah yang akan meledak itu seketika pudar mendengar suara lembut yang keluar dari bibir Fatma, sejak dulu Jika ada masalah apapun dia memang tidak pernah mengeluarkan suara tinggi ataupun bicara kasar."Baiklah, Bi, aku akan pergi nggak bawa apa-apa, termasuk supermarket yang selama ini disokong oleh Abi, ambil aja, aku masih bisa cari uang dengan cara lain yang penting itu halal dan tidak menzalimi orang lain." Uwais tersenyum tipis.Sej
"Gimana Zhafran? Apa penyesalanmu itu ada gunanya?"Lelaki itu mengalihkan pandangannya, dia juga seorang lelaki normal, satu tahun yang lalu ketika bisnis mereka untung besar, kantor mengadakan pesta yang dihadiri oleh karyawan penting saja, Zhafran sempat mabuk berat dan dibawa ke sebuah kamar hotel lalu dengan lancangnya Selly masuk ke kamar pria itu, menggodanya mati Matian hingga dia mau mengga gahi Selly untuk pertama kali.Perempuan itu tidak bo doh, dia mengabadikan momen itu dengan ponselnya lalu menyimpan rapi dalam sebuah folder untuk dijadikan senjata, Selly yang ambisius sangat ingin menjadi Nyonya Zhafran yang kaya raya, tidak peduli walaupun dia sudah beristri, toh dia tidak pernah melihat wajah istrinya seperti apa karena selalu tertutup cadar, Selly berpikir jika Fatma adalah perempuan tua seperti kebanyakan ibu ibu lainnya karena sudah memiliki anak gadis dan bujang yang beranjak dewasa.Namun, ternyata Zhafran tidak sebodoh itu, sedikit pun dia tidak tertarik menjad
27Hiruk pikuk orang orang di pelabuhan ini membuat Uwais bisa melangkah perlahan tanpa takut dilihat oleh Zhafran dan yang lainnya, bagaimana pun juga Uwais ingin tahu sebenarnya untuk apa Anisa berada di tempat ini? Dirangkul lelaki pula? Apakah memang wanita itu tidak baik seperti kata ayahnya?Dia terus mengendap ngendap bahkan sekarang sudah mulai memakai masker walau wajahnya berkeringat banyak karena terkena teriknya sinar matahari di siang hari.Setelah hampir mendekat Uwais hampir mendengar jelas percakapan mereka, diabtidka terima seorang pria yang berada di hadapan Anisa menyentuh pipi gadis itu, entah kenapa ada rasa cemburu menyelusup ke dalam hatinya, dia pun melangkah lebih dekat lagi "Beneran dia masih pe ra wan ini?""Masih lah segelan, kalau ternyata udah jebol nanti duit kembali lima puluh persen.""Beneran nih ya duit kembali.""Kapan sih gua bohong."Uwais tercekat saat mendengar percakapan Zhafran dan lelaki itu, ternyata Anisa memang benar akan dijual dan mungk
"Tunggu!" Orang orang yang menyeret Anisa langsung menoleh, sementara gadis itu masih meronta ronta sambil menatap Uwais, untuk beberap detik mereka saling berpandangan."Ngapain kalian kasar sama perempuan? Dia itu temanku!"Lalu salah satu lelaki menyorotkan senter ke wajah Uwais hingga lelaki itu merasa silau."Kau kan anaknya Tuan, ngapain di sini?""Mau nyusul temenku, lepaskan dia."Beberapa orang lelaki itu saling berpandangan nampak bingung karena bagaimanapun juga perintah Zhafran pantang dilanggar."Bicarakan saja sama Tuan, urusanku cuma menangkap perempuan ini, dia masuk ke dalam ingin mencuri.""Hah?"Uwais langsung menatap Anisa, rasanya tidak mungkin gadis selembut dia harus mencuri, begitu pikir Uwais."Aku nggak mencuri! Aku mau menyelamatkan ….""Diam! Masuk ke dalam sekarang juga! Silakan Anda bicara dengan Tuan Zhafran, saya nggak mau disalahkan."Melihat Anisa kembali diseret Uwais langsung masuk ke dalam berlarian entah ke mana, beberapa kali dia menghadang para
Pagi itu Wirda sudah tak sabar menanti kedatangan Uwais, pasalnya malam tadi dia langsung pulang ke rumah karena sudah kemalaman dan kelelahan."Mbak, aku sudah agak enakan kalau mau pulang silakan, aku bisa sendiri kok."Fatma menatap Wirda dengan getir, pagi ini Wirda memang terlihat lebih bugar, baru satu malam saja sudah ada perubahan pada tubuhnya lain lagi ketika dirawat di rumah sakit kemarin Wirda lebih banyak tidur dan susah bergerak."Besok deh aku pulang ya, biar yang jaga gantian sama Uwais, hari ini dia ngajar dulu nanti siang baru kemari katanya.""Ngajar di mana, Mbak?" "DI sebuah universitas, Wir, ini hari pertamanya setelah kembali dari Madina, kamu sabar ya.""Oh hebat banget ya anak Mbak, punya bisnis jadi dosen lagi, iya deh aku sabar, tapi gimana suami Mbak?""Tidak hebat tapi Allah yang karuniakan kelebihan itu padanya." Dia tersenyum.Sejak dulu Fatma memang tidak pernah membanggakan dirinya ataupun prestasi anak anaknya pada orang lain, itu semua untuk menjaga
Uwais yang baru datang ke rumahnya mendadak merasa lemas, Serapi itu sang ayah tiri menyembunyikan kebusukannya hingga dia dan ibunya tidak tahu apa apa, dia benci dibohongi sekaligus bingung harus bagaimana karena Uwais bukan tipe pemarah yang meledak ledak, dia cenderung seperti Fatma yang menghadapi segala masalah dengan kepala dingin, begitulah didikan ibunya.Tidak ada suara lagi di dalam sana entah sedang apa Zhafran di dalam, Uwais pun memilih masuk ke kamar, dia membuka laptop dan mulai melakukan pencarian tentang bisnis sang ayah.Malam harinya dia mendatangi Fatma di rumah sakit, untuk saat ini Uwais hanya bisa menghindar dari pada bertatap muka."Mau ke mana, Nak?""Nyusul Umi, aku mau nyuruh dia pulang dulu.""Nggak makan malam dulu?" "Aku makan di luar aja, pergi dulu ya, Bi." Seperti biasanya Uwais selalu mencium tangan orang tua jika hendak bepergian, Zhafran pun tidak curiga jika anaknya itu telah mengetahui kebusukannya"Iya hati hati, pakai mobil Abi aja ya.""Aku n
Mobil Uwais masuk ke jurang tetapi beruntung sekali mobil itu tersangkut di sebuah batu besar, para warga yang sedang di kebun dan pengendara mobil lain berbondong-bondong turun ke bawah "Sepertinya kita harus lapor polisi.""Iya lapor saja."Sementara yang lain berusaha menyelamatkan Faisal yang terjepit di dalam mobil, lelaki itu tidak sadarkan diri, beberapa orang membuka paksa pintu mobil mulai dari memecahkan kacanya, tetapi setelah pintu terbuka Faisal masih belum bisa dievakuasi karena tubuhnya terjepit body mobil."Susah ini, tunggu polisi saja."Orang orang saling bertanya bagaimana kejadian kecelakaan itu bisa terjadi pada saksi mata."Mobil itu bunyiin klakson keras banget, entah dia lagi mabok atau mengalami rem blong saya nggak tahu, yang jelas dia menghindar," ujar sopir mobil pick up yang tadi hampir saja bertabrakan dengan Faisal.Tidak lama kemudian polisi datang bersama tim evakuasi, mereka menyuruh warga untuk naik ke atas jurang agar tim evakuasi bisa menyelamatka
Gadis muda itu membawa nampan berisi air putih dingin, dia tidak tersenyum hanya menganggukan kepalanya sedikit sebagai tanda hormat."Silakan diminum.""Terima kasih, Teh.""Iya.""Kalian ini abis ngapain di atas bukit sana?" Tanya perempuan itu."Oh itu, kita tersesat, oh ya apa kamu tahu tentang bangunan besar di atas bukit itu?' Uwias balik nanya "Bangunan?" Gadis itu nampak tak mengerti "Iya bangunan gede.""Aku nggak tahu, soalnya bukan asli orang sini, aku dan beberapa teman lagi melakukan penelitian buat skripsi.""Oh kirain kamu ustazah di sini." "Bukan lah, saya masuk dulu, nggak enak berduaan.""Eh tunggu." Gadis itu kembali menoleh, hingga mereka saling berpandangan beberapa detik"Iya?""Kita mau pergi sekarang, terima kasih ya.""Oh mau pergi lagi? Sama sama, kalau gitu hati hati.""Iya." Uwais tersenyum sungkan, dia menatap wanita itu, hatinya berontak ingin kenalan."Om, tanya dong nama dia siapa ya?" "Ah tanya aja sendiri, masa gitu aja nggak berani," ledek Faisal