Ahza turun dari taxi dan langsung berjalan cepat ke dalam restoran, entah yang ke berapa kalinya Wirda membuat lelaki itu kesal."Mas!" Wirda melambaikan tangan."Berapa juta lagi sih?" Ahza mencebik kesal, ingin sekali ia mendamprat istrinya saat itu juga agar Wirda merasa jera."Cuma 3 juta kok, Mas, cepetan bayar aku malu dari tadi diem di sini terus, mana ibu-ibu tadi menghinaku lagi, uhhh sebell!" Wirda menghentakkan sebelah kakinya."Aku sudah bilang saldo Atm-nya sedikit lagi, pake so-soan nraktir temen lagi," bisik Ahza penuh penekanan, lalu lekas ia menghampiri kasir yang sedang sibuk menonton pertengkaran kecilnya dengan Wirda dan langsung membayar tagihan itu dengan uang cash."Ayo pergi!" tegas Ahza sambil berjalan cepat tanpa menggandeng Wirda seperti biasanya, amarah dalam dadanya sudah bergejolak."Kamu tahu yang dipake bayar itu uang apa?!" tanya Ahza sesaat mereka sudah sampai di dalam mobil.Wirda menggelengkan kepala pelan, perasaan kesal pada ibu-ibu tadi dan kasih
"Aku rindu Uwais dan Fatimah tapi kamu selalu menghalangi dan bodohnya aku nurut begitu saja, mulai sekarang kamu jangan halangi aku untuk bertemu mereka!" tegas Ahza tanpa menoleh, ia fokus menatap jalan di hadapannya.Wirda tersenyum getir. "Bilang aja rindu Fatma.""Kalau kamu masih terus berbicara mendingan sekarang turun!" Ahza menepikan mobilnya karena risih dengan ocehan Wirda yang selalu menyudutkannya."Iya-iya aku diem."Ahza kembali menginjak gas melajukan mobilnya, selama perjalanan tak ada lagi perdebatan diantara mereka, bahkan suasana berubah menjadi hening.30 menit kemudian mobil Ahza sudah terparkir di jalanan dekat rumah Fatma, Ahza segera turun dan mengambil semua belanjaan di bagasi, tanpa mengajak Wirda, ia melenggang masuk ke dalam gerbang rumah Fatma.Wirda mendengus memperhatikan Ahza yang pergi begitu saja tanpa mengajaknya turun, keterlaluan!.Sebenarnya ia malas untuk masuk tapi, rasa takut menghantui hati, bagaimana jika Fatma menggoda Ahza dan membuatnya
Di balik gorden Wirda celingukan, mengintip dan berusaha menguping pembicaraan Ahza dengan Fatma, tubuhnya sudah bergetar dan mengeluarkan keringat dingin saking cemburunya, ia sudah tak tahan.Ingin sekali Wirda menyeret tubuh Ahza dan membawanya pulang ke rumah, tapi tak mungkin ia lakukan, mengingat keadaan diantara mereka sedang renggang saat ini.Ia memutar badan, berusaha untuk duduk setenang mungkin, lalu pandangannya tertuju pada sosok Fatan yang sedang sibuk berbincang dengan Daijah.Pesona lelaki itu cukup menyejukkan hati Wirda yang sedang memanas, wajah klemis nan bersih, dipadukan dengan busana casual membuat Fatan terlihat berwibawa dan macho.Bibir kemerahan dengan belahan di tengah itu cukup sensual, membuat Wirda terus menatap dan enggan berpaling, ketampanannya justru dua kali lipat dibanding Ahza.Selain tampan dia juga kaya raya, uhh pokoknya sempurna, gumam Wirda dalam hati.Setelah beberapa menit berfantasi akhirnya ia tersadar saat mata Fatan balik menatap dirin
"Sudah hentikan! Aku mau masuk, dan kamu, Mas, urusan kita sudah selesai, jika kamu peduli pada anak-anak maka, temui mereka ke sini dan jika tidak, aku ga akan maksa, nanti juga kamu akan tanggung sendiri akibatnya." Fatma mendelik, lalu melengos dan masuk ke dalam rumah."Maafkan aku, Fatma!" Lagi-lagi Ahza memegang pergelangan Fatma."Aku menyesal." Air mata lelaki berbadan kekar itu menitik, sebagai pertanda bahwa dirinya memang digulung oleh rasa penyesalan sebesar gunung.Fatma tersenyum getir seraya menggelengkan kepala. "Apa yang kamu sesali." Fatma mengibaskan tangannya."Bercerai dariku? atau ... menikahi wanita ini? yang mana yang kamu sesali?!"Kering tenggorokan Ahza, tentu saja ia menyesali kedua perbuatannya itu."Mas!" Teriak Wirda"Ayo katakan!" Tegas Fatma sekali lagi."A-aku menyesali semuanya, Fatma," ucap Ahza tanpa ragu. Kini, air matanya luruh sempurna hingga kedua bahunya terguncang akibat tangisan itu, ternyata derita Ahza jauh lebih dalam."Hemmm, rasakanlah
"Minggir!" Ahza menepis kasar tangan Wirda, ia bergegas keluar lalu berlari dengan penuh khawatir menghampiri Fatma."Astaghfirullah! Darah, Bu, kita ke rumah sakit ayo." Rasa panik menyelimuti hati Ahza.Dengan cepat ia menggendong Fatma, raganya yang semula lemah kini telah kuat kembali, menyaksikan Fatma yang sedang kesakitan merupakan sebuah awal kekuatannya."Ughhh! Sakiiit!" erangan Fatma terdengar memilukan."Ahza, pake mobilku saja ya, dan Ibu lebih baik titipkan anak-anak dulu ke tetangga terus nanti baru nyusul ke rumah sakit." Usul Fatan ia pun tak kalah paniknya dengan Ahza."I-iya Fatan, cepat bawa Fatma nanti Ibu nyusul sekalian bawa barang-barangnya." Tubuh renta wanita itu bergetar hebat, pasalnya baru kali ini ia menyaksikan Fatma dalam kondisi seburuk ini.Mobil milik Fatan melaju dengan kencang, di dalam mobil Fatma terus merintih di pangkuan Ahza, rasa sakit benar-benar telah membuatnya lupa.Sedangkan Fatan nampak serius mengemudikan mobilnya dengan kecepataan tin
Semua orang tengah dilanda rasa cemas, hanya Wirda yang sibuk berpesta dalam hatinya.Setelah ini takkan kuizinkan kamu menemui Fatma lagi, Mas, karena diantara kian sudah selesai dan tak ada lagi ikatan."Terus gimana keadaan Kakak saya, Bu?" tanya Fatan dengan suara nyaris tercekat."Insya Allah sudah membaik dan tak perlu dikuret karena janin beserta plasentanya sudah keluar, hanya perlu meminum beberapa obat-obatan saja agar rahimnya pulih," ucap Dokter tersebut, setelah berpamitan ia bergegas pergi memeriksa pasien yang lain.Kedua pria itu berbondong-bondong menerjang masuk menemui Fatma, tak berselang lama Daijah datang membawa satu tas besar perlengkapan Fatma."Fatan, bagaimana keadaan kakakmu?" Daijah khawatir saat melihat Fatma menangis memegangi perutnya."Janinnya ga bisa diselamatkan, Bu," jawab Fatan sambil memandang iba pada kakak sepupunya."Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un, sabar ya, Nak, ini sudah ketetapan Allah dan ini yang terbaik." Daijah menghampiri tubuh Fatm
"Fatma, aku minta maaf gara-gara aku bayi kita sampai meninggal," ucap Ahza sambil duduk di kursi khusus penunggu pasien, kali ini di ruangan hanya ada mereka berdua, Daijah dan Fatan sedang keluar sebentar."Ini takdir Allah, sudahlah ga usah lebay." Suara Fatma terdengar sangat dingin.Sementara di hadapan pintu Wirda berdiri mematung, dadanya mulai panas lagi, ia ingin pergi. Namun, hatinya tak rela jika harus membiarkan Ahza berduaan dengan mantan istrinya.Bagiamana kalau mereka sampai balikan kembali?"Kita sudah resmi bercerai baik secara agama maupun secara negara, tinggal menunggu surat dari pengadilan keluar saja jadi, lebih baik kamu pulang, Mas.""Aku harus apa untuk menebus semua kebodohanku selama ini, Fatma?" Ahza gusar ia mengusap wajahnya berkali-kali."Yang harus kamu lakukan adalah pergi dari hidupku sejauh mungkin, dan jangan pernah menggangguku lagi.""Kenapa begitu? apa karena kamu mau menikah lagi?" Fatma melirik merasa heran dengan perkataan mantan suaminya itu
Dengan tegak Ahza melangkah perlahan, kedua pasangan itu terkejut. Namun, mereka berusaha untuk terlihat biasa saja, mencoba mengulas senyum walau secara paksa."Kamu bilang apa tadi?!" Suara Ahza pelan tapi penuh penekanan, kedua pasangan itu saling beradu pandang."He he he, kami lagi ngobrol aja kebetulan kita baru belanja, kamu sudah pulang biasanya 'kan suka malam pulangnya?" Adiguna berusaha mengalihkan perhatian, akan tetapi, Ahza sama sekali tak terkecoh."Ga usah basa-basi! Aku sudah dengar semuanya tadi!" Mata Ahza tajam menyorot mereka berdua.Sepasang suami istri itu menunduk dengan mata yang terus mendelik ke kiri dan kanan.Sial! Adiguna merutuk dalam hati."Kamu denger apa, Ahza?" Ardila berusaha bersikap setenang mungkin."Aku dengar jika kamu yang sudah menipu ayahku hingga dia kena serangan jantung, setelah itu kamu bisa menikmati uang Ayahku dan seluruh hartanya, begitu 'kan?" Ahza bertepuk tangan perlahan, hari ini ia merasa beruntung karena dengan mudah bisa meng
"Oke kalau gitu, saya nggak akan ambil uangnya lagi, Bapak ambil aja.""Baiklah, Pak."Saat itu juga Uwais langsung pergi ke kos-kosan tempat Anisa, dia menemui pemilik rumah kos kosan untuk bertanya perihal gadis yang membuat perasaannya tidak tenang "Saya nggak tahu soal itu, lagi pula Anisa juga nggak ada bilang apa apa sama saya, kirain dia masih di dalam kamarnya.""Ya ampun." Uwais mengusap wajahnya, dia benar benar merasa khawatir."Memangnya ada apa gitu?""Saya curiga Anisa diculik seseorang, Bu.""Hah, masa sih?""Saya pergi dulu, Bu.""Nak, kau telpon saja polisi."Uwais hanya menoleh sekilas.Ribet banget harus telepon polisi segala, belum harus nunggu 24 jam Setelah Anisa pergi lalu harus ada bukti kuat, lebih baik kucari sendiri.Naik ojek online, Uwais pergi ke rumah salah satu temannya yang paham IT, dia memberikan nomor ponsel Anisa untuk melacak keberadaan saat ini, tentunya sebelum itu Uwais melakukan basa basi."Di sini nih tempatnya."Akhirnya nomor ponsel gadis
Ayah dan anak yang selama ini nampak akrab itu kini mulai saling memandang dengan tajam, Uwais kecewa karena ternyata semua ayah di dunia ini sama, baik itu ayah kandung yang dulu sudah menelantarkannya, juga ayah tiri yang kini boleh mengungkit ngungkit pemberiannya.Kalau tahu akan begini lebih baik dahulu Aku tidak pernah mengizinkan ibuku menikah dengan siapapun, lagi pula kau sanggup menghidupinya sebagai balas jasa karena ia sudah membesarkan seorang diri, begitu pikir Uwais."Nak, tenangkan dirimu ya." Fatma berdiri lalu mengelus bahu Uwais.Amarah yang akan meledak itu seketika pudar mendengar suara lembut yang keluar dari bibir Fatma, sejak dulu Jika ada masalah apapun dia memang tidak pernah mengeluarkan suara tinggi ataupun bicara kasar."Baiklah, Bi, aku akan pergi nggak bawa apa-apa, termasuk supermarket yang selama ini disokong oleh Abi, ambil aja, aku masih bisa cari uang dengan cara lain yang penting itu halal dan tidak menzalimi orang lain." Uwais tersenyum tipis.Sej
"Gimana Zhafran? Apa penyesalanmu itu ada gunanya?"Lelaki itu mengalihkan pandangannya, dia juga seorang lelaki normal, satu tahun yang lalu ketika bisnis mereka untung besar, kantor mengadakan pesta yang dihadiri oleh karyawan penting saja, Zhafran sempat mabuk berat dan dibawa ke sebuah kamar hotel lalu dengan lancangnya Selly masuk ke kamar pria itu, menggodanya mati Matian hingga dia mau mengga gahi Selly untuk pertama kali.Perempuan itu tidak bo doh, dia mengabadikan momen itu dengan ponselnya lalu menyimpan rapi dalam sebuah folder untuk dijadikan senjata, Selly yang ambisius sangat ingin menjadi Nyonya Zhafran yang kaya raya, tidak peduli walaupun dia sudah beristri, toh dia tidak pernah melihat wajah istrinya seperti apa karena selalu tertutup cadar, Selly berpikir jika Fatma adalah perempuan tua seperti kebanyakan ibu ibu lainnya karena sudah memiliki anak gadis dan bujang yang beranjak dewasa.Namun, ternyata Zhafran tidak sebodoh itu, sedikit pun dia tidak tertarik menjad
27Hiruk pikuk orang orang di pelabuhan ini membuat Uwais bisa melangkah perlahan tanpa takut dilihat oleh Zhafran dan yang lainnya, bagaimana pun juga Uwais ingin tahu sebenarnya untuk apa Anisa berada di tempat ini? Dirangkul lelaki pula? Apakah memang wanita itu tidak baik seperti kata ayahnya?Dia terus mengendap ngendap bahkan sekarang sudah mulai memakai masker walau wajahnya berkeringat banyak karena terkena teriknya sinar matahari di siang hari.Setelah hampir mendekat Uwais hampir mendengar jelas percakapan mereka, diabtidka terima seorang pria yang berada di hadapan Anisa menyentuh pipi gadis itu, entah kenapa ada rasa cemburu menyelusup ke dalam hatinya, dia pun melangkah lebih dekat lagi "Beneran dia masih pe ra wan ini?""Masih lah segelan, kalau ternyata udah jebol nanti duit kembali lima puluh persen.""Beneran nih ya duit kembali.""Kapan sih gua bohong."Uwais tercekat saat mendengar percakapan Zhafran dan lelaki itu, ternyata Anisa memang benar akan dijual dan mungk
"Tunggu!" Orang orang yang menyeret Anisa langsung menoleh, sementara gadis itu masih meronta ronta sambil menatap Uwais, untuk beberap detik mereka saling berpandangan."Ngapain kalian kasar sama perempuan? Dia itu temanku!"Lalu salah satu lelaki menyorotkan senter ke wajah Uwais hingga lelaki itu merasa silau."Kau kan anaknya Tuan, ngapain di sini?""Mau nyusul temenku, lepaskan dia."Beberapa orang lelaki itu saling berpandangan nampak bingung karena bagaimanapun juga perintah Zhafran pantang dilanggar."Bicarakan saja sama Tuan, urusanku cuma menangkap perempuan ini, dia masuk ke dalam ingin mencuri.""Hah?"Uwais langsung menatap Anisa, rasanya tidak mungkin gadis selembut dia harus mencuri, begitu pikir Uwais."Aku nggak mencuri! Aku mau menyelamatkan ….""Diam! Masuk ke dalam sekarang juga! Silakan Anda bicara dengan Tuan Zhafran, saya nggak mau disalahkan."Melihat Anisa kembali diseret Uwais langsung masuk ke dalam berlarian entah ke mana, beberapa kali dia menghadang para
Pagi itu Wirda sudah tak sabar menanti kedatangan Uwais, pasalnya malam tadi dia langsung pulang ke rumah karena sudah kemalaman dan kelelahan."Mbak, aku sudah agak enakan kalau mau pulang silakan, aku bisa sendiri kok."Fatma menatap Wirda dengan getir, pagi ini Wirda memang terlihat lebih bugar, baru satu malam saja sudah ada perubahan pada tubuhnya lain lagi ketika dirawat di rumah sakit kemarin Wirda lebih banyak tidur dan susah bergerak."Besok deh aku pulang ya, biar yang jaga gantian sama Uwais, hari ini dia ngajar dulu nanti siang baru kemari katanya.""Ngajar di mana, Mbak?" "DI sebuah universitas, Wir, ini hari pertamanya setelah kembali dari Madina, kamu sabar ya.""Oh hebat banget ya anak Mbak, punya bisnis jadi dosen lagi, iya deh aku sabar, tapi gimana suami Mbak?""Tidak hebat tapi Allah yang karuniakan kelebihan itu padanya." Dia tersenyum.Sejak dulu Fatma memang tidak pernah membanggakan dirinya ataupun prestasi anak anaknya pada orang lain, itu semua untuk menjaga
Uwais yang baru datang ke rumahnya mendadak merasa lemas, Serapi itu sang ayah tiri menyembunyikan kebusukannya hingga dia dan ibunya tidak tahu apa apa, dia benci dibohongi sekaligus bingung harus bagaimana karena Uwais bukan tipe pemarah yang meledak ledak, dia cenderung seperti Fatma yang menghadapi segala masalah dengan kepala dingin, begitulah didikan ibunya.Tidak ada suara lagi di dalam sana entah sedang apa Zhafran di dalam, Uwais pun memilih masuk ke kamar, dia membuka laptop dan mulai melakukan pencarian tentang bisnis sang ayah.Malam harinya dia mendatangi Fatma di rumah sakit, untuk saat ini Uwais hanya bisa menghindar dari pada bertatap muka."Mau ke mana, Nak?""Nyusul Umi, aku mau nyuruh dia pulang dulu.""Nggak makan malam dulu?" "Aku makan di luar aja, pergi dulu ya, Bi." Seperti biasanya Uwais selalu mencium tangan orang tua jika hendak bepergian, Zhafran pun tidak curiga jika anaknya itu telah mengetahui kebusukannya"Iya hati hati, pakai mobil Abi aja ya.""Aku n
Mobil Uwais masuk ke jurang tetapi beruntung sekali mobil itu tersangkut di sebuah batu besar, para warga yang sedang di kebun dan pengendara mobil lain berbondong-bondong turun ke bawah "Sepertinya kita harus lapor polisi.""Iya lapor saja."Sementara yang lain berusaha menyelamatkan Faisal yang terjepit di dalam mobil, lelaki itu tidak sadarkan diri, beberapa orang membuka paksa pintu mobil mulai dari memecahkan kacanya, tetapi setelah pintu terbuka Faisal masih belum bisa dievakuasi karena tubuhnya terjepit body mobil."Susah ini, tunggu polisi saja."Orang orang saling bertanya bagaimana kejadian kecelakaan itu bisa terjadi pada saksi mata."Mobil itu bunyiin klakson keras banget, entah dia lagi mabok atau mengalami rem blong saya nggak tahu, yang jelas dia menghindar," ujar sopir mobil pick up yang tadi hampir saja bertabrakan dengan Faisal.Tidak lama kemudian polisi datang bersama tim evakuasi, mereka menyuruh warga untuk naik ke atas jurang agar tim evakuasi bisa menyelamatka
Gadis muda itu membawa nampan berisi air putih dingin, dia tidak tersenyum hanya menganggukan kepalanya sedikit sebagai tanda hormat."Silakan diminum.""Terima kasih, Teh.""Iya.""Kalian ini abis ngapain di atas bukit sana?" Tanya perempuan itu."Oh itu, kita tersesat, oh ya apa kamu tahu tentang bangunan besar di atas bukit itu?' Uwias balik nanya "Bangunan?" Gadis itu nampak tak mengerti "Iya bangunan gede.""Aku nggak tahu, soalnya bukan asli orang sini, aku dan beberapa teman lagi melakukan penelitian buat skripsi.""Oh kirain kamu ustazah di sini." "Bukan lah, saya masuk dulu, nggak enak berduaan.""Eh tunggu." Gadis itu kembali menoleh, hingga mereka saling berpandangan beberapa detik"Iya?""Kita mau pergi sekarang, terima kasih ya.""Oh mau pergi lagi? Sama sama, kalau gitu hati hati.""Iya." Uwais tersenyum sungkan, dia menatap wanita itu, hatinya berontak ingin kenalan."Om, tanya dong nama dia siapa ya?" "Ah tanya aja sendiri, masa gitu aja nggak berani," ledek Faisal