Di balik gorden Wirda celingukan, mengintip dan berusaha menguping pembicaraan Ahza dengan Fatma, tubuhnya sudah bergetar dan mengeluarkan keringat dingin saking cemburunya, ia sudah tak tahan.Ingin sekali Wirda menyeret tubuh Ahza dan membawanya pulang ke rumah, tapi tak mungkin ia lakukan, mengingat keadaan diantara mereka sedang renggang saat ini.Ia memutar badan, berusaha untuk duduk setenang mungkin, lalu pandangannya tertuju pada sosok Fatan yang sedang sibuk berbincang dengan Daijah.Pesona lelaki itu cukup menyejukkan hati Wirda yang sedang memanas, wajah klemis nan bersih, dipadukan dengan busana casual membuat Fatan terlihat berwibawa dan macho.Bibir kemerahan dengan belahan di tengah itu cukup sensual, membuat Wirda terus menatap dan enggan berpaling, ketampanannya justru dua kali lipat dibanding Ahza.Selain tampan dia juga kaya raya, uhh pokoknya sempurna, gumam Wirda dalam hati.Setelah beberapa menit berfantasi akhirnya ia tersadar saat mata Fatan balik menatap dirin
"Sudah hentikan! Aku mau masuk, dan kamu, Mas, urusan kita sudah selesai, jika kamu peduli pada anak-anak maka, temui mereka ke sini dan jika tidak, aku ga akan maksa, nanti juga kamu akan tanggung sendiri akibatnya." Fatma mendelik, lalu melengos dan masuk ke dalam rumah."Maafkan aku, Fatma!" Lagi-lagi Ahza memegang pergelangan Fatma."Aku menyesal." Air mata lelaki berbadan kekar itu menitik, sebagai pertanda bahwa dirinya memang digulung oleh rasa penyesalan sebesar gunung.Fatma tersenyum getir seraya menggelengkan kepala. "Apa yang kamu sesali." Fatma mengibaskan tangannya."Bercerai dariku? atau ... menikahi wanita ini? yang mana yang kamu sesali?!"Kering tenggorokan Ahza, tentu saja ia menyesali kedua perbuatannya itu."Mas!" Teriak Wirda"Ayo katakan!" Tegas Fatma sekali lagi."A-aku menyesali semuanya, Fatma," ucap Ahza tanpa ragu. Kini, air matanya luruh sempurna hingga kedua bahunya terguncang akibat tangisan itu, ternyata derita Ahza jauh lebih dalam."Hemmm, rasakanlah
"Minggir!" Ahza menepis kasar tangan Wirda, ia bergegas keluar lalu berlari dengan penuh khawatir menghampiri Fatma."Astaghfirullah! Darah, Bu, kita ke rumah sakit ayo." Rasa panik menyelimuti hati Ahza.Dengan cepat ia menggendong Fatma, raganya yang semula lemah kini telah kuat kembali, menyaksikan Fatma yang sedang kesakitan merupakan sebuah awal kekuatannya."Ughhh! Sakiiit!" erangan Fatma terdengar memilukan."Ahza, pake mobilku saja ya, dan Ibu lebih baik titipkan anak-anak dulu ke tetangga terus nanti baru nyusul ke rumah sakit." Usul Fatan ia pun tak kalah paniknya dengan Ahza."I-iya Fatan, cepat bawa Fatma nanti Ibu nyusul sekalian bawa barang-barangnya." Tubuh renta wanita itu bergetar hebat, pasalnya baru kali ini ia menyaksikan Fatma dalam kondisi seburuk ini.Mobil milik Fatan melaju dengan kencang, di dalam mobil Fatma terus merintih di pangkuan Ahza, rasa sakit benar-benar telah membuatnya lupa.Sedangkan Fatan nampak serius mengemudikan mobilnya dengan kecepataan tin
Semua orang tengah dilanda rasa cemas, hanya Wirda yang sibuk berpesta dalam hatinya.Setelah ini takkan kuizinkan kamu menemui Fatma lagi, Mas, karena diantara kian sudah selesai dan tak ada lagi ikatan."Terus gimana keadaan Kakak saya, Bu?" tanya Fatan dengan suara nyaris tercekat."Insya Allah sudah membaik dan tak perlu dikuret karena janin beserta plasentanya sudah keluar, hanya perlu meminum beberapa obat-obatan saja agar rahimnya pulih," ucap Dokter tersebut, setelah berpamitan ia bergegas pergi memeriksa pasien yang lain.Kedua pria itu berbondong-bondong menerjang masuk menemui Fatma, tak berselang lama Daijah datang membawa satu tas besar perlengkapan Fatma."Fatan, bagaimana keadaan kakakmu?" Daijah khawatir saat melihat Fatma menangis memegangi perutnya."Janinnya ga bisa diselamatkan, Bu," jawab Fatan sambil memandang iba pada kakak sepupunya."Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un, sabar ya, Nak, ini sudah ketetapan Allah dan ini yang terbaik." Daijah menghampiri tubuh Fatm
"Fatma, aku minta maaf gara-gara aku bayi kita sampai meninggal," ucap Ahza sambil duduk di kursi khusus penunggu pasien, kali ini di ruangan hanya ada mereka berdua, Daijah dan Fatan sedang keluar sebentar."Ini takdir Allah, sudahlah ga usah lebay." Suara Fatma terdengar sangat dingin.Sementara di hadapan pintu Wirda berdiri mematung, dadanya mulai panas lagi, ia ingin pergi. Namun, hatinya tak rela jika harus membiarkan Ahza berduaan dengan mantan istrinya.Bagiamana kalau mereka sampai balikan kembali?"Kita sudah resmi bercerai baik secara agama maupun secara negara, tinggal menunggu surat dari pengadilan keluar saja jadi, lebih baik kamu pulang, Mas.""Aku harus apa untuk menebus semua kebodohanku selama ini, Fatma?" Ahza gusar ia mengusap wajahnya berkali-kali."Yang harus kamu lakukan adalah pergi dari hidupku sejauh mungkin, dan jangan pernah menggangguku lagi.""Kenapa begitu? apa karena kamu mau menikah lagi?" Fatma melirik merasa heran dengan perkataan mantan suaminya itu
Dengan tegak Ahza melangkah perlahan, kedua pasangan itu terkejut. Namun, mereka berusaha untuk terlihat biasa saja, mencoba mengulas senyum walau secara paksa."Kamu bilang apa tadi?!" Suara Ahza pelan tapi penuh penekanan, kedua pasangan itu saling beradu pandang."He he he, kami lagi ngobrol aja kebetulan kita baru belanja, kamu sudah pulang biasanya 'kan suka malam pulangnya?" Adiguna berusaha mengalihkan perhatian, akan tetapi, Ahza sama sekali tak terkecoh."Ga usah basa-basi! Aku sudah dengar semuanya tadi!" Mata Ahza tajam menyorot mereka berdua.Sepasang suami istri itu menunduk dengan mata yang terus mendelik ke kiri dan kanan.Sial! Adiguna merutuk dalam hati."Kamu denger apa, Ahza?" Ardila berusaha bersikap setenang mungkin."Aku dengar jika kamu yang sudah menipu ayahku hingga dia kena serangan jantung, setelah itu kamu bisa menikmati uang Ayahku dan seluruh hartanya, begitu 'kan?" Ahza bertepuk tangan perlahan, hari ini ia merasa beruntung karena dengan mudah bisa meng
Satu bulan sudah semenjak Ahza kehilangan calon bayinya, sejak itu ia tak pernah mengunjungi Fatma dan kedua anaknya lantaran bergelut dengan kesibukan.Hari-hari dilalui dengan rasa sepi, hadirnya Wirda tak dapat mengeluarkannya dari ruang kesunyian. Tak dapat dipungkiri Wirda begitu ceria. Namun, itu tak bisa membuat hati Ahza berbunga.Wirda memilih bertahan dengan Ahza walau kedua orang tuanya selalu menyuruh untuk berpisah, apalah daya cinta dalam hatinya sangat besar, hingga ia tak peduli dengan hasutan kedua orang tuanya."Mas, aku tuh pengen banget momong bayi, aku sudah rindu.""Mas juga pengen banget di rumah ini ada canda dan tawa anak-anak." Permasalahan bisnis yang menghabiskan waktu, juga kasus kematian sang ayah beberapa tahun silam masih belum jua menemukan titik terang, itu semua cukup menguras fikirannya, menjadikan jiwa dan raganya menjadi lelah, hingga ia tak sempat berkunjung menemui sang buah hati."Gimana kalau kita ke dokter kandungan, Mas, aku mau promil, sup
Senja sudah mulai muncul. Namun, Ahza tak kenal lelah mencari tahu keberadaan Fatma, hampir semua kerabatnya ia datangi, tapi tak ada satupun yang tahu di mana keberadaannya, tak dihiraukan ponsel yang sejak tadi berdering, entah berapa puluh kali ia merijek panggilan Wirda.Ia sudah berusaha mengunjugi appartemen Fatan, tetapi semuanya tetap sia-sia, lelaki itu sudah lama mengosongkan appartemennya.Tidak kenal lelah, Ahza pun mendatangi kantor milik Fatan, dan lagi-lagi ia harus menelan kekecawaan saat karyawannya mengatakan jika Fatan sudah dua minggu tidak ke kantor semua pekerjaan di handle oleh orang kepercayaannya.Seribu cara Ahza membujuk Pak Danu--orang kepercayaan Fatan-- akan tetapi, pria itu tetap mengatakan jika dirinya tak mengetahui keberadaan Fatan, entah dia berbohong atau memang benar-benar tidak mengetahui.Fatma benar-benar pergi tanpa meninggalkan jejak sedikitpun, Ahza merutuk dirinya sendiri, begitu bodoh! dan begitu tak tahu diri, seharusnya ia menemui Fatma s