Ada apa sebenarnya?
Mengapa akhir-akhir ini Rosemaya merasa hidupnya sedang terancam. Gangguan kecemasan, insomnia dan tak jarang wanita itu mengalami delusi. Melihat bayangan atau kejadian yang tidak nyata. Semacam halusinasi yang berlebihan. Semenjak kematian Welly, Rosemaya memang nampak sangat terguncang. Ia masih menyimpan kecurigaan yang besar bahwa ada orang-orang yang sengaja membunuh putra semata wayangnya itu. "Ikhlaskan, Rose. Apapun yang terjadi dalam hidupmu, semua sudah menjadi kehendak sang pencipta," nasihat Bu Widi, ibu kandungnya. Wanita lemah lembut itu terus mendampingi Rosemaya semenjak cucunya meninggal. Bu Widi sengaja datang dari Surabaya untuk menghadiri pemakaman cucunya. Sebagai seorang ibu, ia memahami bahwa Rosemaya, putrinya sedang butuh pendampingan."Aku tidak bisa mengikhlaskannya begitu saja, Bu! Ibu tahu bagaimana aku memiliki Welly. Ibu tahu bagaimana perjuanganku!" isak Rosemaya tergugu. "Ibu tahu, Nak! Percayalah Allah lebih menyayangi Welly," ujar Bu Widi. Ia mengusap pundak Rosemaya yang tengah bersimpuh dalam dekapannya."Welly! Ya Allah, Welly anakku! Mengapa kamu pergi meninggalkan bunda, Nak!" tangis Rosemaya sambil menepuk-nepuk dadanya yang terasa sesak. Wanita itu kerap menangisi kepergian anaknya, meski telah berlalu tujuh hari sejak kematian Welly. "Mana Bang Leo, Bu? Apakah dia tidak pulang lagi hari ini?" tanya Rosemaya setelah sedikit reda tangisnya. "Suamimu belum pulang sejak dua hari ini. Pamitnya sedang promosi klinik kecantikan kalian. Cabang baru itu sedang ramai, ia tak bisa meninggalkannya begitu saja," jawab Bu Widi. Aneh! Bagaimana bisa seorang ayah malah larut dalam kesibukan bekerja dibanding mengurus kematian anaknya? Apakah Leo tidak merasa kehilangan Welly?Rosemaya meraih gawainya dan mengirim pesan pada suaminya. [Malam ini pengajian tujuh harinya Welly. Abang tidak pulang?]Rosemaya bertanya pada suaminya. [Abang sibuk, Rose! Kau urus saja semuanya! Biar nanti abang transfer biayanya. Klinik ketiga kita sedang dalam masa promosi. Tak bisa kita abaikan begitu saja bisnis yang sedang berkembang pesat ini.]Balasan dari Leo tak urung membuat Rosemaya makin nelangsa. Bagaimanapun ia wanita, ia butuh bahu kekar itu untuk sekedar bersandar. Sekedar berbagi derita karena kematian putra semata wayang mereka. "Sudahlah, Rose! Ibu mertuamu juga banyak membantu kita kok. Biarlah Leo sibuk mengurus bisnis kalian. Toh nanti kalau kamu hamil lagi, anak kalian butuh biaya untuk masa depannya," nasihat Bu Widi menenangkan putrinya. Rosemaya kembali tergugu dalam pelukan ibunya. "Oh iya, Rose. Setelah peringatan tujuh harinya Welly, ibu akan pamit pulang ke Surabaya. Kakakmu, Sastia juga sedang hamil besar dan tinggal menunggu kelahiran. Ibu tidak tega membiarkannya menghadapi persalinan sendirian. Kamu tahu, suami kakakmu juga baru saja meninggal enam bulan yang lalu," ujar Bu Widi panjang lebar.Berat rasa hati Rosemaya mendengar ucapan Bu Widi tersebut. Sebetulnya ia ingin Bu Widi menemaninya sampai empat puluh hari kepergian Welly. Namun Rosemaya juga menyadari bahwa Sastia, kakaknya, butuh pendampingan sang ibu. "Baiklah, Bu. Kalau memang itu yang Ibu inginkan. Maka biar Rose ditemani Ibu mertua saja di sini," ujar Rosemaya berusaha legowo."Tak apa, Rose. Nanti Ibu bantu membereskan semuanya. Ada Helen juga kok nanti yang bisa bantu-bantu di sini," usul Bu Gina. Wanita setengah abad lebih itu ikut menimpali saat tak sengaja mendengar obrolan Rosemaya dan Bu Widi. "Iya, Bu besan. Saya titip putri saya ya. Maaf kalau putri saya merepotkan," ujar Bu Widi sedikit tak enak. Bagaimana juga ia takut merepotkan besannya itu. "Ah, tak apa! Rosemaya sudah saya anggap anak saya sendiri," ujar Bu Gina. ***"Tidak! Ya Allah! I-ibu! Ibu ... kenapa harus secepat ini? Mengapa ibu harus menysul Welly? Ajak Rose, Bu! Kenapa ibu pergi sendirian menemani Welly tanpa mengajak, Rose?" jerit batin Rosemaya histeris.Air mata Rosemaya tumbah ruah. Wanita itu kembali menangis histeris manakala mendapat telepon dari petugas kepolisian bebeapa saat yang lalu. "Betul dengan ibu Rosemaya?""Iya! Benar, Pak. Ini dengan saya sendiri, Rosemaya.""Ibu, kamu mohon maaf sebelumnya. Kami harus mengabarkan berita duka ini pada ibu. Mobil travel dengan nomor polisi B 34** SW telah mengalami kecelakaan di jalan tol."Dunia Rosemaya seketika gelap. Wanita itu merasa dalam kondiai terpuruknya, ia terus saja dihantam masalah bertubi-tubi. Sanggupkah dirinya menghadapi semua ini?"Ba-bagaimana kejadiannya, Pak? Sa-saya harus ke mana mengurus jenazah i-ibu saya?" tanya Rosemaya yang masih shock atas berita yang baru saja diterimanya. "Kejadian di tol Cipali, Ibu. Silahkan ibu mendatangi rumah sakit ASWX. Semua korban kami rujuk ke sana," jawab petugas polis tersebut. "Ba-baik, Pak! Saya akan segera ke sana," ujar Rosemaya. Perempuan itu berusaha menguatkan diri dan menyeka air matanya yang tak pernah surut. Dipakainya hijab hitam, serasi dengan gamis hitam panjang yang tengah digunakannya, untuk menemui para pelayat yang masih berdatangan menyampaikan bela sungkawa pada Welly. "Kamu mau ke mana, Rose?" tanya Bu Gina yang tengah sibuk merapikan beras, minyak dan bahan mentah yang dibawa para pelayat. "Bu, Ibu saya baru saja mengalami kecelakaan di tol. Saya akan mengurus jenazahnya untuk dibawa pulang dan dikebumikan," pamit Rosemaya. Wanita itu menghela nafas berat menahan bening air mata yang menyeruak. "Rose! Apa maksudnya? Kamu jangan bercanda, Rose!" tegas Bu Gina tak paham.Bersamaan dengan pertanyaan Bu Gina. Sebuah televisi swasta yang menyala di ruangan tersebut mengabarkan bahwa telah terjadi kecelakaan mobil travel yang menewaskan semua penumpang beserta sopirnya."Breaking News! Pemirsa telah terjadi sebuah kecelakaan tunggal di arah jalur tol Cipali. Sebuah mobil travel yang mengangkut tiga orang penumpang dan seorang sopir travel dikabarkan mengalami kecelakaan. Mobil travel lepas kendali dan menghantam bahu jalan. Mobil sempat terguling sehingga tiga penumpang di dalamnya tak dapat diselamatkan. Diduga sopir kendaran mengantuk sehingga tidak mampu menguasai laju kendarannya hingga terjadi kecelakaan."Tanpa menunggu penjelasan dari Rosemaya, bu Gina langsung mendapatkan berita terakuratnya. "Ya Allah, Rose! Cobaan apa lagi yang menimpamu? Mengapa harus seberuntun ini semuanya terjadi?" Wanita itu seketika terisak memeluk Rosemaya. Bagaimana selanjutnya kehidupan Rosemaya setelah ditinggal ibunya? Ke mana juga Leo? Mengapa tak mendampingi istrinya yang sedang begitu kehilangan?Bagaimana selanjutnya kehidupan Rosemaya setelah ditinggal ibunya? Ke mana juga Leo? Mengapa tak mendampingi istrinya yang sedang begitu kehilangan?Tanah pemakaman Welly dan Bu Widi masih basah. Rosemaya bersimpuh dan menangis sejadi-jadinya di antara dua gundukan tanah merah tersebut.Agama memang melarang kita menangisi mereka yang telah berpulang. Akan menjadi pemberat langkah mereka menuju fase kehidupan di alam selanjutnya.Namun kehilangan kali ini adalah pukulan telak yang sangat berat dalam hidup Rosemaya. Perempuan ini harus merasakan duka berkalang nestapa yang mengguncang jiwa. Sungguh begitu dalam kesedihan yang dirasakannya.Dua orang dari sumber semangat hidup Rosemaya telah direnggut paksa dari hidupnya. Mereka pergi dan tak akan pernah kembali."Mengapa semua ini begitu beruntun terjadi padaku? Apa salah dan dosaku, ya Allah," keluh Rosmaya di sela isak tangisnya.
"Cindy! Jemput aku di lokasi yang tadi kukirimkan. Wanita gila itu mulai berbahaya dan menyerangku!"Mata Rosemaya membelalak tak percaya. Leo itu menelepon wanita lain untuk menjemput setelah berkonflik dengannya. Berani betul Leo melakukan hal itu?Apakah dia sudah tidak ingin bersama Rosemaya lagi? Sungguhkah sejijik itu Leo padanya? Salah apa Rosemaya pada lelaki itu?Ketika dahulu seorang Leonardo Suniarta melamarnya hanya dengan modal uang seratus ribu, wanita itu menurut saja. Ketika lelaki itu berkata bahwa dia terpaksa di usir keluarganya yang non muslim karena menikahainya. Rosemaya dan keluargannya menerima pria itu dengan tangan terbuka. Bahkan ayah dan ibu Rosemaya mau menampung pasangan muda itu dalam rumah mereka yang sederhana di Surabaya.Harusnya Leo sama seperti Rosemaya. Turut merasakan kehilangan yang sanga
Hei, apa ini? Benarkah aku gila?"Rosemaya membuka mata dan ia telah berada dalam ruang serba putih dengan bau desinfektan serta obat-obatan yang menyengat. Sebuah tempat yang familiar, namun berbeda dengan kondisi kamar di istananya. Rosemaya menyadari ia tengah berada di tempat lain, bukan di rumahnya."Ah, aku di mana? Pukul berapa ini? Mengapa tak terlihat sinar mentari yang masuk dari sela-sela jendela?" tanya Rosemaya dalam hati.Ia ingin beranjak bangun untuk mengambil wudu serta melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslimah. Namun tubuh Rosemaya terasa kaku dan tak bisa digerakkan. Wanita itu yakin saat ini pasti telah subuh atau zuhur."Ah, mengapa tubuhku begitu kaku dan sulit di gerakkaan?" Kembali Rosemaya hanya bisa membatin tanpa bersuara.Dalam ruangan serba putih berukuran 3 x 5 meter persegi itu terdapat semua fasilitas lengkap. Ada televisi yang menyala dan sedang m
Leo menoleh dan memicingkan matanya tak percaya. Apakah Rosemaya, istrinya telah sadar?Perlahan Leo memeriksa tubuh Rosemaya yang terkulai tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Tubuh yang tengah tak sadarkan diri itu tertutup selimut hingga dada. Nampak tenang dan lelap. Sesekali matanya bergerak-gerak."Ah ... mungkin ini fase tidur REMnya. Bisa jadi otaknya aktif bekerja saat mimpi buruk itu kembali mengganggunya," pikir Leo menenangkan diri. Pria itu menghela napas dan meninggalkan Rosemaya di atas ranjangnya.Leo tak curiga meski melihat mata Rosemaya bergerak. Lelaki itu paham betul tentang fase tidur seseorang. Pada fase REM (RapidEyeMovement), mata akan bergerak-gerak akibat aktifitas otak dan detak jantung yang meningkat.Lelaki itu lalu memeriksa ke sekeliling ruangan untuk melihat benda apa yang
"Pergi ...! Larilah sejauh mungkin! Berhati-hatilah dengan mer ...."Suara bu Widi terdengar sangat lirih, terputus-putus dan tidak jelas. Berkali-kali Rosemaya berusaha mendengarkan dengan saksama. Namun kalimat demi kalimat yang terpotong membuat Rosemaya tidak dapat merangkainya dengan tepat.Rosemaya yang panik terus menangis. Menggenggam erat tangan bu Widi yang denyut nadinya semakin melemah. Samar-samar ia mulai dapat membaca gerak bibir bu Widi."Pergi, selamatkan dirimu! Larilah sejauh mungkin! Berhati-hatilah dengan mereka!"Setelah mengucapkan pesan kematiannya, bu Widi menghembuskan napas terakhirnya. Seketika itu juga genggaman tangannya pada jemari Rosemaya mengendur dan terlepas."Ibu! Ibu! Tidak, Bu! Jangan pergi! Jangan tinggalkan, Rose!" jerit Rosemaya histeris.Bersamaan itu sebuah sinar putih menyilaukan kembali membungkus tubuh Rosemala. Menyeret wanita itu
"Halo! Leo! Kamu di mana?"Bu Gina menghubungi suami Rosemaya yang kini entah berada di mana. Ia terdengar mengobrol dengan anak lelakinya itu. Mengabarkan berita bahagia yang baru saja dilihatnya."Leo! Leo! Rose, istrimu sudah sadar! Datanglah kemari, Nak," ujar bu Gina bahagia.Hening! Bu Gina terdiam untuk beberapa saat. Seperti sedang mendengarkan ucapan Leo di seberang sana."Jenguklah dia sebentar, bagaimanapun Rose adalah istrimu," ujarnya lirih. Sorot muka kecewa tampak jelas di wajahnya.Sayangnya obrolan bu Gina dan Leo hanya sayup-sayup saja tertangkap telinga Rosemaya. Ia jadi tidak paham apa yang sedang mereka bicarakan. Yang Rosemaya tahu meski kabar bahagia itu datang, Leo tak akan datang menjenguknya malam ini.Lelaki itu telah be
Sementara di tempat lain. Istana itu kini tampak sepi. Hanya Bu Gina sendiri yang tinggal di sana. Wanita paruh baya itu terlihat tegar meski mungkin hatinya banyak menyimpan luka.Sambil menyesap teh madunya, Bu Gina melihat mobil Leo meluncur memasuki gerbang istana yang lengang. Tak butuh waktu lama bagi Leo untuk turun dari mobilnya dan memasuki rumah."Bu! Aku pulang," ujar Leo sambil tersenyum dikulum.Lelaki itu mencium tangan Bu Gina takzim. Lalu duduk di hadapan Bu Gina dan meminta pelayan menyiapkan minuman untuknya."Kau dari mana?" tanya Bu Gina."Aku baru saja menghadiri peresmian klinik ketujuku, Bu," jawab Leo berbinar. Anak lelaki Bu Gina itu memang selalu nampak bahagia saat membicarakan kesuksesan bisnisnya."Tujuh? Bagaimana bisa sepesat itu? Bersama Rose, kalian masih mengelola tiga klinik saja," ucap Bu Gina. Ada rasa bangga terselip pada putra semata
Sebenarnya apakah ini benda yang terbungkus rapi itu? Mereka rupanya tak ada yang menyadari bahwa bungkusan putih yang bagi mereka tak berharga itu adalah sebuah kunci. Kunci yang suatu saat akan menguak tabir kejahatan mereka. Nanti ketika mereka harus membayar dosa-dosa yang mereka perbuat. Kejahatan akan kalah, ketika kebenaran telah menampakkan sinarnya. *** Leo turun dari mobil SUV hitam miliknya. Kali ini bukan Rosemaya yang turun dari kursi penumpang seperti biasanya. Melainkan telah berganti seorang wanita muda yang tengah menggandeng bocah kecil berusia tiga tahun. "Papa, Papa! Ini rumah baru kita, Pa? Papa belikan rumah ini untuk Gio dan Mama?" tanya Giovani terbelalak bahagia. Bocah berusia tiga tahun itu begitu girang melihat istana mereka yang baru. Ia sampai tak sabar turun dari mobil dan berlarian di halaman. "Iya, sayangnya papa. Semua ini untuk Gio, hadiah untuk dua kesayangan papa,
"Gue akan memeriksa legalitas hukum status kepemilikan perusahaan. Gue yakin masih ada hak gue di sana," jawab Mayyanti. "Ya ampun, May. Kenapa, kenapa hidup elo bisa serumit ini. Padahal dulu, kita mulai semuanya dengan bahagia. Beneran ya, uang bisa merubah segalanya," keluh dr. Patricia iba. "Enggak apa-apa, Patric. Semuanya sudah terlanjur bergulir seperti ini. Gue harus tuntaskan semuanya. Bagaimanapun sudah terlalu banyak nyawa yang dikorbankan. Andail Leo enggak serakah dan menghancurkan semuanya, mungkin kami enggak perlu harus sampai seperti ini," ujar Mayyanti sambil menatap dr. Patricia nanar. Mayyanti sengaja berjalan memutar agar tidak ada yang mengawasinya lagi. Semenjak kejadian di klinik dr. Patricia, ia merasa semakin banyak mata-mata yang mengawasinya. Di kantor ia melihat Leo telah memeriksa berkas miliknya di bagian personalia. Pria itu juga semakin intens menghabiskan waktu dengan Mayyanti. Entah apa maksudnya. L
"Dendam itu menghancurkan hati, sebagaimana racun menghancurkan tubuh."Mayyanti memandang Ben aneh. Dalam hatinya ia berpikir, "Bagaimana Ben bisa tahu aku jijik dengan sikapnya barusan? Apakah dia telah mengenaliku?"Ben membalikkan tubuhnya, pria itu memandang Mayyanti dan tersenyum ramah. "Apakah ada yang bisa kubantu lagi?" tanya Ben. "Tidak, Pak Ruben. Semua sudah siap. Te-terima kasih. Permisi," pamit Mayyanti bergegas pergi. Ben tersenyum penuh arti sambil memandang kepergian Mayyanti memasuki klinik kecantikan yang dikelola oleh dr. Patricia. Pria itu kini sudah sangat yakin dengan firasatnya."Instingku tidak pernah salah untuk dapat mengenalimu," desis Ben. Pria itu meregangkan tubuhnya bersiap memejamkan mata.Sementara Mayyanti merasa jantungnya berdebar-debar. Ada banyak kecemasan yang dirasa saat diperlakukan Ben seperti tadi. Untung saja kali ini ia sangat sibuk sehingga tak punya banyk waktu untuk memikirk
Dada Ben terasa sesak, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Ia bisa merasakannya. Aura yang sama dalam balutan fisik yang berbeda. Tidak! mata Ben tak akan bisa dibohongi."Mungkinkah, wanita itu ...?" Ben tak berani berspekulasi lebih jauh. Ia hanya diam dan terus mengamati. Belum saatnya untuk mengambil kesimpulan. Lebih baik diam dan mengamati.Ketika duduk di mejanya, Ben terus mengawasi Mayyanti. Kewaspadaan dalam dirinya seketika meningkat dua kali lipat. Ada rasa penasaran yang belum terpuaskan dalam diri seorang Ruben."Kau pesan apa, Mayya?" tanya Leo ramah. Ia mengangsurkan buku menu pada Mayyanti."Samakan dengan pesanan Tuan saja," jawab Mayyanti kikuk. Entah mengapa sejak bersirobok dengan Ben, Mayyanti jadi merasa tidak nyaman.Mayyanti dan Leo duduk pada sebuah meja yang berbeda dengan Ben. Membuat Ben lebih mudah mengawasi gerak-gerik mereka dengan lebih teliti. Ben tidak makan, hanya terus me
"Kau bisa menipu semua orang, membungkus rapi dirimu dengan segala penyamaran terbaikmu, tapi aku tak akan pernah tertipu (Ben)."Mayyanti jadi makin dilema dibuatnya. Sesungguhnya ia tak nyaman. Namun menolak Leo dalam posisi seperti ini adalah hal yang mustahil. Mau tak mau Mayyanti jadi harus menurut dan mengikuti kehendak Leo. Ia mengangguk dengan setengah hati pada Leo yang menunggu jawaban sambil tetap menjaga jarak.'Tenanglah, ini hanya sebuah makan malam.' Mayyanti menenangkan diri di tengah kerisauan yang meliputinya. Mengingat bagaimana Cindy begitu cemburu pada sekretaris sang suami itu, Mayyanti merasa harus berhati-hati."Ayo, Mayya. Aku sudah sangat lapar.""Baik, Tuan. Saya jalan di belakang Anda." Mayyanti mengekor Leo. Sengaja menjaga jarak agar mereka tak terlihat sedang berjalan beriringan.Leo lalu mengajaknya turun ke lantai basement menuju parkiran mobil. Di sa
Namun kali ini berbeda. Leo bergeming dan tak merespon Cindy sama sekali. Pria itu dingin dan tetap sibuk dengan dokumen-dokumennya. Bahkan bagian tubuh Leo yang seharusnya bangkit juga tak terlihat bangkit. "Pulanglah, Cindy! Aku benar-benar sangat sibuk dan tidak punya waktu. Aku janji setelah lembur, besok akan membawamu dan Giovani jalan-jalan," tolak Leo tetap teguh pada pendiriannya. Cindy mencebik kesal. Ia lalu melihat pintu ruang kerja Leo sedikit terbuka dan Mayyanti akan mengetuknya untuk minta ijin masuk. Sekonyong-konyong Cindy langsung mendekap kepala Leo dan melumat bibir itu penuh gelora. Leo yang diserang begitu panas jadi merasa berkewajiban membalas. Terjadilah pertukaran saliva dengan ritme yang menggelora. Mayyanti yang hampir mengetuk pintu jadi mengurungkan niatnya. Wanita itu menjadi jijik melihat tingkah istri bosnya yang norak dan kampungan itu. Bagaimana bisa, di kantor, mereka melakukan hal seperti itu?"Ap
"Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik pula (QS : An-Nur, 26)."Leo yang sempat melihat mata sekretaris barunya itu sembab karena habis menangis menjadi tersentuh hatinya. Ada gelombag rasa bersalah tak biasa yang menghantam jantungnya. Mengapa?Mayyanti meninggalkan pasangan suami-istri tersebut begitu saja. Hatinya perih diperlakukan begitu kejam oleh sang nyonya yang cemburu. Apakah serendah itu dirinya dihadapan wanita kaya istri bosnya tersebut?Pandangan mata Mayyanti memburam oleh genangan air mata yang tak terbendung lagi. Setetes hangat mengalir di pipinya. Namun segera diusap oleh punggung tangan karena takut akan ada yang melihatnya menangis."Kau kenapa, Mayya? Apa kau habis menangis?" tanya Hiro yang tiba-tiba datang
"Ah ... sa-saya hanya terbiasa meneliti setiap hal yang akan saya siapkan kepada anda, Tuan. Saya pikir tugas saya juga untuk memastikan tiap dokumen telah benar-benar rapi dan tidak ada kesalahan sedikitpun," kilah Mayyanti. Leo mengernyitkan dahinya, namun kemudian tersenyum dan mengabaikan sebuah firasat aneh dalam dirinya. 'Tidak, ini hanya sebuah kebetulan.' Pria itu membatin yakin."Sudah pukul sebelas. Saya akan pesankan Tuan makan siang. Anda ingin makan apa Tuan?" tanya Mayyanti setelah mereka saling diam untuk beberapa saat. "Apa saja, Mayya. Tapi jangan yang terlalu pedas dan tanpa sayur," jawab Leo. "Baik, saya siapkan. Silahkan Tuan melanjutkan pekerjaan," ujar Mayyanti paham. Wanita itu lalu melangkah mundur dari ruangan Leo dan bergegas memesankan makanan lewat aplikasi online. Setelah memastikan makan siang Leo sudah diantarkan kurir menuju kantor, Mayyanti kemudian beralih kembali pada pekerjaannya.
"Pada akhirnya, aku akan selalu berlari kembali padamu, bukan karena aku lemah tapi karena aku jatuh cinta padamu lagi dan lagi (Leo)."Rasa apa? Buatan siapakah kopi itu?Leo serasa dibawa berkelana menuju sebuah kenangan indah tentangnya di masa lalu. Sebuah memori yang kembali mengingatkan ia pada wanita yang pernah disia-siakan di akhir hidupnya."Aku tidak suka kopi, Rose! Tapi harus meminumnya agar tetap bisa menjaga mataku tidak terpejam. Aku sebenarnya sangatlelah. Tetapi kau tahu kan, banyak pekerjaan yang harus kita selesaikan!""Apa ada jenis tertentu yang bisa kamu minum? Aku akan belikan.""Aku tidak suka yang terlalu asam. Juga yang rasanya terlalu pekat dan kuat. Hanya yang memiliki rasa ringan saja, namun cukup membuat aku bisa tetap terjaga.""Baiklah, aku akan mencari cara bagaimana kamu bisa menikmati kopi yang nyaman.""Terima kasih, Rose. Kau yang terbaik."Lalu kali ini, Leo seras
"Tiga sendok makan sambel kacang yang diletakkan di atas bihun tanpa tempe oreg?" tanya dr. Patricia yang sukses membuat Leo berkaca-kaca."Ah ... kau masih ingat, dr. Patric. Kau masih ingat bagaimana wanita itu menyediakan sarapan spesial kita dulu ya," ujar Leo dengan suara serak menahan air mata. Wajah dr. Patricia tersenyum penuh makna. Dalam hati ia berkata, "Andai kau tahu bagaimana dia masih mengingat kebiasanmu hingga sedetil mungkin. Andai saja kau tahu bagaimana dulu Rose begitu mencintaimu sampai paham semua kebiasaan seorang Leonardo Suniarta. Kau bahkan tak akan tega mendua."***Leo tiba di kantornya dengan mood melankolis yang manis. Ia merasa telah cukup mengenang Rosemaya hari ini dan harus kembali ke dunia nyata. Berjibaku dengan rutinitas kesibukannya mengurus bisnis. Ia memasuki gedung mewah yang kini telah menjadi miliknya. Gedung yang disewanya dengan menjaminkan asuransi kesehatan milik Rosema