"Pergi ...! Larilah sejauh mungkin! Berhati-hatilah dengan mer ...."
Suara bu Widi terdengar sangat lirih, terputus-putus dan tidak jelas. Berkali-kali Rosemaya berusaha mendengarkan dengan saksama. Namun kalimat demi kalimat yang terpotong membuat Rosemaya tidak dapat merangkainya dengan tepat. Rosemaya yang panik terus menangis. Menggenggam erat tangan bu Widi yang denyut nadinya semakin melemah. Samar-samar ia mulai dapat membaca gerak bibir bu Widi."Pergi, selamatkan dirimu! Larilah sejauh mungkin! Berhati-hatilah dengan mereka!" Setelah mengucapkan pesan kematiannya, bu Widi menghembuskan napas terakhirnya. Seketika itu juga genggaman tangannya pada jemari Rosemaya mengendur dan terlepas. "Ibu! Ibu! Tidak, Bu! Jangan pergi! Jangan tinggalkan, Rose!" jerit Rosemaya histeris. Bersamaan itu sebuah sinar putih menyilaukan kembali membungkus tubuh Rosemala. Menyeret wanita itu dalam sebuah pusara."Tidaaaak!" jerit Rosemaya tanpa suara. Lagi-lagi wanita itu terbangun dalam kondisi basah kuyup penuh keringat. Namun kali ini lebih menyiksa karena sekujur tubuhnya terasa ngilu. Luka-luka dan patah tulang yang dialaminya mulai bereaksi. "Ngh! Ngh!" Hanya itu suara yang mampu dikeluarkan Rosemaya dari mulutnya. Rosemaya ingin diambilkan minum. Namun rupanya tidak ada siapapun yang menunggunya di sana. Kemana bu Gina? Juga para asisten rumah tangga. Harusnya ada yang menungguinya di ruangan ini."Belum juga aku mati, mereka memperlakukan aku sudah seperti ini. Bagaimana jika aku mati? Berapa lama mereka akan mengingat dan memperingati kematianku?" geram Rosemaya kesal. Wanita itu harus menahan haus dan amarah dalam wakti bersamaan. Sebuah hentakan di pintu masuk sontak membuat Rosemaya terkejut. Entah mengapa kembali ia melakukan tindakan memejamkan mata dan pura-pura tidur. Sebuah langkah-langkah kaki terdengar mendekat. Lalu menarik kursi dan duduk di bangku dekat tempat tidur Rosemaya. Hening sesaat. Entah siapa yang melakukan itu. Ingin rasa Rosemaya membuka sedikit matanya untuk melihat siapa yang datang. Separuh hatinya menyesal tadi telah memaki-maki karena tidak ada yang menjaganya di rumah sakit."Jangan mati, tetaplah bertahan walau dalam kondisi tersulit sekalipun," ucap suara yang entah milik siapa itu. Rosemanya terhenyak. Mengapa ada yang berkata demikian padanya yang sedang terbaring tak berdaya? Segenting itukah situasinya? "Kau harus tetap hidup! Berusahalah, bangkitlah dan lawanlah semua musuh yang diam-diam melemahkan dan menghancurkanmu tanpa kau sadari. Kumohon, bangkitlah Rosemaya, bangun dan pulihlah segera seperti sedia kala!" Suara itu kembali berujar lirih di hadapan tubuh Rosemaya.Tangan itu lalu mengelus lembut bingkai wajah Rosemaya. Menggenggam tangannya dan menyelipkan sesuatu. Apakah itu?Andai Rosemaya dalam keadaan baik-baik saja. Tentu wanita itu akan segera bangkit dan menahan tangan itu. Ia sungguh ingin tahu siapa yang masih peduli padanya dan ingin dirinya tetap hidup. "Kumohon sekali lagi! Hiduplah dan lawan mereka. Cukup lima nyawa saja yang telah mereka habisi. Jangan biarkan mereka juga membunuhmu!" desis suara itu penuh dendam. Lima nyawa? Siapa saja? Benarkah memang ada orang-orang yang mengincar Rosemaya dan keluarganya? Tapi mengapa?"Aku akan selalu ada untuk mendukung dan menjagamu. Bangkitlah Rosemaya! Tetaplah bertahan sedikit lagi untuk terus hidup hingga saat itu tiba. Saat di mana kebenaran terungkap dan kejahatan mendapatkan ganjarannya."Untaian kalimat yang terdengar seketika membuat dada Rosemaya berdetak lebih cepat. Nafasnya tersengal dan wanita itu harus berusaha sekuat tenaga untuk dapat tetap terlihat tidak sadar. Setelah mengelus tangan Rosemaya, orang itu seperti bangkit dari tempat duduknya dan melangkah menjauh. Ia hendak membuka pintu dan pergi dari sana. Gegas Rosemaya membuka sedikit matanya. Ia ingin melihat siapa orang itu. Siapa yang telah berkata padanya dan menginginkannya untuk terus hidup. Namun sayangnya usaha Rosemaya itu terlambat. Sesosok itu baru saja membuka pintu dan keluar dengan sangat hati-hati dari kamar Rosemaya. "Tidak! Jangan pergi! Kumohon jangan pergi!" jerit Rosemaya. Sayangnya suaranya masih tak keluar dan wanita itu hanya mampu membelalakkan matanya sebagai sebuah tanda. "Tidak! Tidak! Sungguh jangan pergi! Jika Kau begitu peduli tolong aku!" ujar Rosemaya lagi. Namun kembali, hanya lenguhan tak wajar dan dan air mata yang keluar. Air mata Rosemaya berderai meratapi nasipnya. Mengapa begitu tragis dan penuh misteri. Takdir apa yang sesungguhnya sedang ia jalani? "Ya Allah! Tolong! Kumohon tolong aku agar aku tetap hidup hingga semuanya terungkap," pinta Rosemaya berdoa. Kembali pintu ruangan rawat inapnya dibuka. Kali ini Rosemaya tak sempat kembali menutup mata dan pura-pura tertidur."Rose! Ya Allah, Rose! Alhamduliah akhirnya kamu sadar juga! Masha Allah, Rose! Kamu mau apa, Nak? Ibu ambilkan ya. Ka-katakan, Rose!" pekik bu Gina bahagia. Wanita itu mendekati Rosemaya dan berusaha melayani menantunya itu. Rosemaya menggerakkan bibirnya untuk berbicara. "Ungh, ngh ... ah ... nguh!" Sayangnya kembali Rosemaya hanya bisa mengeluarkan lenguhan tak jelas.Bu Gina mengernyitkan alisnya sesaat. Sebelum sadar menantunya itu mungkin menginginkan sesuatu. "Kamu tidak bisa berbicara, Rose? Apa tanganmu bisa menunjuk? Tolong tunjuk apa yg kamu mau, Nak. Nanti ibu ambilkan," ujar bu Gina lagi. Rosemaya yang sadar ada yang menggenggamkan sesuatu di sela jemarinya tak ingin bu Gina tahu. Ia lalu membuat gerakan bibir yang jelas agar bu Gina hanya terfokus saja pada wajahnya. "Ingin minum. Rose ingin minum, Bu," ujarnya tanpa suara. Bu Gina segera paham dengan apa yang diinginkan Rosemaya. Ia lalu dengan cekatan mengambilkan segelas air dan sendok. Perlahan wanita itu memberikan sesendok demi sesendok air pada Rosemaya. Tepat pada sendokan ke sekian wanita itu berhenti. Ia melihat lagi bibir Rosemaya bergerak mengatakan, "Sudah cukup.""Ya Allah, Rose! Mengapa begitu malang nasipmu, Nak. Mengapa harus seberat ini takdir yang harus kamu jalani?" sesal bu Gina. Wanita itu lalu membenahi letak bantal di kepala Rosemaya. Merapikan selimut yang setengah berantakan di atas tubuh Rosemaya lalu duduk di sofa dan memainkan gawainya. Dalam genggaman tangan Rosemaya, masih ada benda yang diberikan sosok itu. Namun ia tak dapat melakukan apa-apa selain menyembunyikannya. Menyembunyikannya dari semua orang. Bahkan dari bu Gina, sekalipun. Meski wanita itu sangat baik padanya. Entah mengapa ia merasa sebaiknya semua cukup ia simpan sendiri sampai semuanya menjadi nyata. Tabir akan terbuka dan menunjukkan siapa-siapa yang sungguh tulus pada Rosemaya. "Halo! Leo! Kamu di mana?""Halo! Leo! Kamu di mana?"Bu Gina menghubungi suami Rosemaya yang kini entah berada di mana. Ia terdengar mengobrol dengan anak lelakinya itu. Mengabarkan berita bahagia yang baru saja dilihatnya."Leo! Leo! Rose, istrimu sudah sadar! Datanglah kemari, Nak," ujar bu Gina bahagia.Hening! Bu Gina terdiam untuk beberapa saat. Seperti sedang mendengarkan ucapan Leo di seberang sana."Jenguklah dia sebentar, bagaimanapun Rose adalah istrimu," ujarnya lirih. Sorot muka kecewa tampak jelas di wajahnya.Sayangnya obrolan bu Gina dan Leo hanya sayup-sayup saja tertangkap telinga Rosemaya. Ia jadi tidak paham apa yang sedang mereka bicarakan. Yang Rosemaya tahu meski kabar bahagia itu datang, Leo tak akan datang menjenguknya malam ini.Lelaki itu telah be
Sementara di tempat lain. Istana itu kini tampak sepi. Hanya Bu Gina sendiri yang tinggal di sana. Wanita paruh baya itu terlihat tegar meski mungkin hatinya banyak menyimpan luka.Sambil menyesap teh madunya, Bu Gina melihat mobil Leo meluncur memasuki gerbang istana yang lengang. Tak butuh waktu lama bagi Leo untuk turun dari mobilnya dan memasuki rumah."Bu! Aku pulang," ujar Leo sambil tersenyum dikulum.Lelaki itu mencium tangan Bu Gina takzim. Lalu duduk di hadapan Bu Gina dan meminta pelayan menyiapkan minuman untuknya."Kau dari mana?" tanya Bu Gina."Aku baru saja menghadiri peresmian klinik ketujuku, Bu," jawab Leo berbinar. Anak lelaki Bu Gina itu memang selalu nampak bahagia saat membicarakan kesuksesan bisnisnya."Tujuh? Bagaimana bisa sepesat itu? Bersama Rose, kalian masih mengelola tiga klinik saja," ucap Bu Gina. Ada rasa bangga terselip pada putra semata
Sebenarnya apakah ini benda yang terbungkus rapi itu? Mereka rupanya tak ada yang menyadari bahwa bungkusan putih yang bagi mereka tak berharga itu adalah sebuah kunci. Kunci yang suatu saat akan menguak tabir kejahatan mereka. Nanti ketika mereka harus membayar dosa-dosa yang mereka perbuat. Kejahatan akan kalah, ketika kebenaran telah menampakkan sinarnya. *** Leo turun dari mobil SUV hitam miliknya. Kali ini bukan Rosemaya yang turun dari kursi penumpang seperti biasanya. Melainkan telah berganti seorang wanita muda yang tengah menggandeng bocah kecil berusia tiga tahun. "Papa, Papa! Ini rumah baru kita, Pa? Papa belikan rumah ini untuk Gio dan Mama?" tanya Giovani terbelalak bahagia. Bocah berusia tiga tahun itu begitu girang melihat istana mereka yang baru. Ia sampai tak sabar turun dari mobil dan berlarian di halaman. "Iya, sayangnya papa. Semua ini untuk Gio, hadiah untuk dua kesayangan papa,
Sementara di tempat lain Rosemaya tengah berjibaku kengeriannya sendiri."Hihihi ... Rosemayaaaa! Hihihihi ... Rosemaya! Hihihi! Rosemayaaaa!"Malam itu, suasana kamar pasien 304 kembali mencekam. Suara-suara tawa dan panggilan mengerikan kembali dialami Rosemaya.Perempuan itu sampai harus bersembunyi di dalam gulungan selimut. Ia menangis ketakutan setiap suara-suara itu mengganggunya."Tidak! Tidak! Pergi jangan mendekat! Aku tidak bersalah! Aku bukan orang jahat!" jerit Rosemaya di setiap tengah malam hingga menjelang dini hari.Wanita itu jadi semakin kurus dengan kantung mata menghitam tebal. Ia tak pernah bisa tidur. Malam-malamnya diliputi ketakutan dan kecemasan."Roseee! Rosemaya hihihihi!"Rosemaya yang bersembunyi di balik selimut, menutup telinganya rapat-rapat agar tidak mendengar panggilan itu.
Hening, cukup lama pesannya tak di balas.Suster Vina melirik jam digital di sudut kiri atas gawainya. Sudah pukul 12.45 malam.Pantas saja, ini sudah larut malam, ibunya mungkin sudah tertidur pulas.Suster Vina lalu tersenyum maklum dan memejamkan matanya. Sekedar melepas penat dan menenangkan diri. Setidaknya setelah melaksanakan tugas malam kesekiannya, suster Vina ingin beristirahat dengan tenang.Sesungguhnya separuh hati suster Vina masih tak tenang melakukan segala kejahatan yang nantinya mungkin harus mempertaruhkan profesinya itu. Namun keadaan mendesak membuatnya nekat menerima pekerjaan khusus dari seorang Nyonya kaya beberapa bulan yang lalu."Berikan obat ini pada pasien bernama Rosemaya. Kau tahu dosisnya kan. Jangan terlalu banyak, aku tidak ingin ia cepat mati. Siksa dia dan biarkan mati secara perlahan."Seorang n
Ia berjanji pada dirinya sendiri. Demi Giovani dan anak-anak yang akan dilahirkannya nanti. Cindy akan dengan sekuat tenaga mengamankan posisinya sebagai nyonya di dalam istana kaca ini.Sayangnya perjalanan hidup membuat Cindy lupa. Bahwa keserakahan adalah sebuah candu yang sangat mematikan. Ia akan mengeraskan hati dan menyirnahkan empati. Lalu apakah masih bisa dirinya disebut manusia?***Hasil pemeriksaan Rosemaya masih seperti biasanya. Meski patah tulang lengannya telah membaik. Retak tulang rusuknya juga telah pulih. Namun Rosemaya masih tidak menunjukkan reaksi apa-apa.Ia masih pasif, masih tidak banyak bicara dan akhir-akhir ini menjadi semakin murung. Malam-malamnya yang terus dihantui halusinasi hingga ia mengalami delusi parah kemungkinan membuatnya tak bisa segera pulih secara mental."Apakah dia masih belum bisa berbicara?" tanya sang dok
Tiba-tiba salah seorang pasien menjambak rambut Rosemaya. Ia melakukannya hingga kepala Rosemaya terdongak di atas kursi rodanya."Ahahaha! Orang gila! Orang gila!" pekik sosok pasien yang menjambaknya. Wanita itu tertawa-tawa dan bergerak mengelilingi Rosemaya.Rosemaya hanya pasrah diperlakukan seperti itu. Ia lalu menunduk dan menatap kosong kedua tangannya yang tertengadah di atas pahanya."Ahahaha! Orang gila! Orang gila!" Kembali pasien itu menghina Rosemaya. Ia terus mengelilingi Rosemaya sambil berulang-ulang menyebutkan kalimat yang sama.Rosemaya hanya terdiam, terus diam dan pura-pura tak mendengar meski hatinya terasa pedih. Bayangan hidupnya di masa lalu yang begitu sempurna berkelebat di kepalanya. Membuat Rosemaya merasa semua ketidakberuntungan ini begitu menyakitkan namun tetap harus dijalani dengan tabah.Matanya mengembun menahan tumpuk
Suster Vina bergerak dan terus memeriksa dengan hati was-was. Ia telah sampai di depan pintu ruangan yang setengah terbuka itu. Hampir saja masuk untuk memeriksa bagian dalamnya saat ...."Suster jahat!" Sebuah suara mengagetkan wanita itu. "Suster jahat!" Panggilan itu kembali terulang."Kamu! Lagi-lagi kamu mengganggu! Pergi! Sana pergi! Main dengan yang lain!" seru suster Vina. Ia membalikkan badan dan melihat seorang pasien rumah sakit jiwa menggodanya.Meski kesal ada sedikit kelegaan saat tahu itu hanya salah satu pasien rumah sakit jiwa. Setidaknya tidak ada yang akan percaya apapun yang dikatakan orang gila. Begitu pikir suster Vina tenang.Syukurlah karena pasien itu suster Vina akhirnya tidak jadi masuk dalam ruangan. Ia mengusir pasien itu dan kembali ke ruang ganti perawat. Kali ini tak lupa ia menutup rapat-rapat pintunya. Namun sayang tindakan Suster Vina terlamba
"Gue akan memeriksa legalitas hukum status kepemilikan perusahaan. Gue yakin masih ada hak gue di sana," jawab Mayyanti. "Ya ampun, May. Kenapa, kenapa hidup elo bisa serumit ini. Padahal dulu, kita mulai semuanya dengan bahagia. Beneran ya, uang bisa merubah segalanya," keluh dr. Patricia iba. "Enggak apa-apa, Patric. Semuanya sudah terlanjur bergulir seperti ini. Gue harus tuntaskan semuanya. Bagaimanapun sudah terlalu banyak nyawa yang dikorbankan. Andail Leo enggak serakah dan menghancurkan semuanya, mungkin kami enggak perlu harus sampai seperti ini," ujar Mayyanti sambil menatap dr. Patricia nanar. Mayyanti sengaja berjalan memutar agar tidak ada yang mengawasinya lagi. Semenjak kejadian di klinik dr. Patricia, ia merasa semakin banyak mata-mata yang mengawasinya. Di kantor ia melihat Leo telah memeriksa berkas miliknya di bagian personalia. Pria itu juga semakin intens menghabiskan waktu dengan Mayyanti. Entah apa maksudnya. L
"Dendam itu menghancurkan hati, sebagaimana racun menghancurkan tubuh."Mayyanti memandang Ben aneh. Dalam hatinya ia berpikir, "Bagaimana Ben bisa tahu aku jijik dengan sikapnya barusan? Apakah dia telah mengenaliku?"Ben membalikkan tubuhnya, pria itu memandang Mayyanti dan tersenyum ramah. "Apakah ada yang bisa kubantu lagi?" tanya Ben. "Tidak, Pak Ruben. Semua sudah siap. Te-terima kasih. Permisi," pamit Mayyanti bergegas pergi. Ben tersenyum penuh arti sambil memandang kepergian Mayyanti memasuki klinik kecantikan yang dikelola oleh dr. Patricia. Pria itu kini sudah sangat yakin dengan firasatnya."Instingku tidak pernah salah untuk dapat mengenalimu," desis Ben. Pria itu meregangkan tubuhnya bersiap memejamkan mata.Sementara Mayyanti merasa jantungnya berdebar-debar. Ada banyak kecemasan yang dirasa saat diperlakukan Ben seperti tadi. Untung saja kali ini ia sangat sibuk sehingga tak punya banyk waktu untuk memikirk
Dada Ben terasa sesak, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Ia bisa merasakannya. Aura yang sama dalam balutan fisik yang berbeda. Tidak! mata Ben tak akan bisa dibohongi."Mungkinkah, wanita itu ...?" Ben tak berani berspekulasi lebih jauh. Ia hanya diam dan terus mengamati. Belum saatnya untuk mengambil kesimpulan. Lebih baik diam dan mengamati.Ketika duduk di mejanya, Ben terus mengawasi Mayyanti. Kewaspadaan dalam dirinya seketika meningkat dua kali lipat. Ada rasa penasaran yang belum terpuaskan dalam diri seorang Ruben."Kau pesan apa, Mayya?" tanya Leo ramah. Ia mengangsurkan buku menu pada Mayyanti."Samakan dengan pesanan Tuan saja," jawab Mayyanti kikuk. Entah mengapa sejak bersirobok dengan Ben, Mayyanti jadi merasa tidak nyaman.Mayyanti dan Leo duduk pada sebuah meja yang berbeda dengan Ben. Membuat Ben lebih mudah mengawasi gerak-gerik mereka dengan lebih teliti. Ben tidak makan, hanya terus me
"Kau bisa menipu semua orang, membungkus rapi dirimu dengan segala penyamaran terbaikmu, tapi aku tak akan pernah tertipu (Ben)."Mayyanti jadi makin dilema dibuatnya. Sesungguhnya ia tak nyaman. Namun menolak Leo dalam posisi seperti ini adalah hal yang mustahil. Mau tak mau Mayyanti jadi harus menurut dan mengikuti kehendak Leo. Ia mengangguk dengan setengah hati pada Leo yang menunggu jawaban sambil tetap menjaga jarak.'Tenanglah, ini hanya sebuah makan malam.' Mayyanti menenangkan diri di tengah kerisauan yang meliputinya. Mengingat bagaimana Cindy begitu cemburu pada sekretaris sang suami itu, Mayyanti merasa harus berhati-hati."Ayo, Mayya. Aku sudah sangat lapar.""Baik, Tuan. Saya jalan di belakang Anda." Mayyanti mengekor Leo. Sengaja menjaga jarak agar mereka tak terlihat sedang berjalan beriringan.Leo lalu mengajaknya turun ke lantai basement menuju parkiran mobil. Di sa
Namun kali ini berbeda. Leo bergeming dan tak merespon Cindy sama sekali. Pria itu dingin dan tetap sibuk dengan dokumen-dokumennya. Bahkan bagian tubuh Leo yang seharusnya bangkit juga tak terlihat bangkit. "Pulanglah, Cindy! Aku benar-benar sangat sibuk dan tidak punya waktu. Aku janji setelah lembur, besok akan membawamu dan Giovani jalan-jalan," tolak Leo tetap teguh pada pendiriannya. Cindy mencebik kesal. Ia lalu melihat pintu ruang kerja Leo sedikit terbuka dan Mayyanti akan mengetuknya untuk minta ijin masuk. Sekonyong-konyong Cindy langsung mendekap kepala Leo dan melumat bibir itu penuh gelora. Leo yang diserang begitu panas jadi merasa berkewajiban membalas. Terjadilah pertukaran saliva dengan ritme yang menggelora. Mayyanti yang hampir mengetuk pintu jadi mengurungkan niatnya. Wanita itu menjadi jijik melihat tingkah istri bosnya yang norak dan kampungan itu. Bagaimana bisa, di kantor, mereka melakukan hal seperti itu?"Ap
"Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik pula (QS : An-Nur, 26)."Leo yang sempat melihat mata sekretaris barunya itu sembab karena habis menangis menjadi tersentuh hatinya. Ada gelombag rasa bersalah tak biasa yang menghantam jantungnya. Mengapa?Mayyanti meninggalkan pasangan suami-istri tersebut begitu saja. Hatinya perih diperlakukan begitu kejam oleh sang nyonya yang cemburu. Apakah serendah itu dirinya dihadapan wanita kaya istri bosnya tersebut?Pandangan mata Mayyanti memburam oleh genangan air mata yang tak terbendung lagi. Setetes hangat mengalir di pipinya. Namun segera diusap oleh punggung tangan karena takut akan ada yang melihatnya menangis."Kau kenapa, Mayya? Apa kau habis menangis?" tanya Hiro yang tiba-tiba datang
"Ah ... sa-saya hanya terbiasa meneliti setiap hal yang akan saya siapkan kepada anda, Tuan. Saya pikir tugas saya juga untuk memastikan tiap dokumen telah benar-benar rapi dan tidak ada kesalahan sedikitpun," kilah Mayyanti. Leo mengernyitkan dahinya, namun kemudian tersenyum dan mengabaikan sebuah firasat aneh dalam dirinya. 'Tidak, ini hanya sebuah kebetulan.' Pria itu membatin yakin."Sudah pukul sebelas. Saya akan pesankan Tuan makan siang. Anda ingin makan apa Tuan?" tanya Mayyanti setelah mereka saling diam untuk beberapa saat. "Apa saja, Mayya. Tapi jangan yang terlalu pedas dan tanpa sayur," jawab Leo. "Baik, saya siapkan. Silahkan Tuan melanjutkan pekerjaan," ujar Mayyanti paham. Wanita itu lalu melangkah mundur dari ruangan Leo dan bergegas memesankan makanan lewat aplikasi online. Setelah memastikan makan siang Leo sudah diantarkan kurir menuju kantor, Mayyanti kemudian beralih kembali pada pekerjaannya.
"Pada akhirnya, aku akan selalu berlari kembali padamu, bukan karena aku lemah tapi karena aku jatuh cinta padamu lagi dan lagi (Leo)."Rasa apa? Buatan siapakah kopi itu?Leo serasa dibawa berkelana menuju sebuah kenangan indah tentangnya di masa lalu. Sebuah memori yang kembali mengingatkan ia pada wanita yang pernah disia-siakan di akhir hidupnya."Aku tidak suka kopi, Rose! Tapi harus meminumnya agar tetap bisa menjaga mataku tidak terpejam. Aku sebenarnya sangatlelah. Tetapi kau tahu kan, banyak pekerjaan yang harus kita selesaikan!""Apa ada jenis tertentu yang bisa kamu minum? Aku akan belikan.""Aku tidak suka yang terlalu asam. Juga yang rasanya terlalu pekat dan kuat. Hanya yang memiliki rasa ringan saja, namun cukup membuat aku bisa tetap terjaga.""Baiklah, aku akan mencari cara bagaimana kamu bisa menikmati kopi yang nyaman.""Terima kasih, Rose. Kau yang terbaik."Lalu kali ini, Leo seras
"Tiga sendok makan sambel kacang yang diletakkan di atas bihun tanpa tempe oreg?" tanya dr. Patricia yang sukses membuat Leo berkaca-kaca."Ah ... kau masih ingat, dr. Patric. Kau masih ingat bagaimana wanita itu menyediakan sarapan spesial kita dulu ya," ujar Leo dengan suara serak menahan air mata. Wajah dr. Patricia tersenyum penuh makna. Dalam hati ia berkata, "Andai kau tahu bagaimana dia masih mengingat kebiasanmu hingga sedetil mungkin. Andai saja kau tahu bagaimana dulu Rose begitu mencintaimu sampai paham semua kebiasaan seorang Leonardo Suniarta. Kau bahkan tak akan tega mendua."***Leo tiba di kantornya dengan mood melankolis yang manis. Ia merasa telah cukup mengenang Rosemaya hari ini dan harus kembali ke dunia nyata. Berjibaku dengan rutinitas kesibukannya mengurus bisnis. Ia memasuki gedung mewah yang kini telah menjadi miliknya. Gedung yang disewanya dengan menjaminkan asuransi kesehatan milik Rosema