Ia berjanji pada dirinya sendiri. Demi Giovani dan anak-anak yang akan dilahirkannya nanti. Cindy akan dengan sekuat tenaga mengamankan posisinya sebagai nyonya di dalam istana kaca ini.
Sayangnya perjalanan hidup membuat Cindy lupa. Bahwa keserakahan adalah sebuah candu yang sangat mematikan. Ia akan mengeraskan hati dan menyirnahkan empati. Lalu apakah masih bisa dirinya disebut manusia?
***
Hasil pemeriksaan Rosemaya masih seperti biasanya. Meski patah tulang lengannya telah membaik. Retak tulang rusuknya juga telah pulih. Namun Rosemaya masih tidak menunjukkan reaksi apa-apa.
Ia masih pasif, masih tidak banyak bicara dan akhir-akhir ini menjadi semakin murung. Malam-malamnya yang terus dihantui halusinasi hingga ia mengalami delusi parah kemungkinan membuatnya tak bisa segera pulih secara mental.
"Apakah dia masih belum bisa berbicara?" tanya sang dok
Tiba-tiba salah seorang pasien menjambak rambut Rosemaya. Ia melakukannya hingga kepala Rosemaya terdongak di atas kursi rodanya."Ahahaha! Orang gila! Orang gila!" pekik sosok pasien yang menjambaknya. Wanita itu tertawa-tawa dan bergerak mengelilingi Rosemaya.Rosemaya hanya pasrah diperlakukan seperti itu. Ia lalu menunduk dan menatap kosong kedua tangannya yang tertengadah di atas pahanya."Ahahaha! Orang gila! Orang gila!" Kembali pasien itu menghina Rosemaya. Ia terus mengelilingi Rosemaya sambil berulang-ulang menyebutkan kalimat yang sama.Rosemaya hanya terdiam, terus diam dan pura-pura tak mendengar meski hatinya terasa pedih. Bayangan hidupnya di masa lalu yang begitu sempurna berkelebat di kepalanya. Membuat Rosemaya merasa semua ketidakberuntungan ini begitu menyakitkan namun tetap harus dijalani dengan tabah.Matanya mengembun menahan tumpuk
Suster Vina bergerak dan terus memeriksa dengan hati was-was. Ia telah sampai di depan pintu ruangan yang setengah terbuka itu. Hampir saja masuk untuk memeriksa bagian dalamnya saat ...."Suster jahat!" Sebuah suara mengagetkan wanita itu. "Suster jahat!" Panggilan itu kembali terulang."Kamu! Lagi-lagi kamu mengganggu! Pergi! Sana pergi! Main dengan yang lain!" seru suster Vina. Ia membalikkan badan dan melihat seorang pasien rumah sakit jiwa menggodanya.Meski kesal ada sedikit kelegaan saat tahu itu hanya salah satu pasien rumah sakit jiwa. Setidaknya tidak ada yang akan percaya apapun yang dikatakan orang gila. Begitu pikir suster Vina tenang.Syukurlah karena pasien itu suster Vina akhirnya tidak jadi masuk dalam ruangan. Ia mengusir pasien itu dan kembali ke ruang ganti perawat. Kali ini tak lupa ia menutup rapat-rapat pintunya. Namun sayang tindakan Suster Vina terlamba
Wanita itu sudah memperhitungkan semuanya. Beberapa hari ini dengan dibantu Tante Hetty, Rosemaya sudah mempelajari kondisi paling tersembunyi dari rumah sakit ini. Ia lalu mempersiapkan semuanya. Ia akan membuat sebuah pertunjukan spektakuler yang akan dikenang oleh semua orang. Rosemaya yakin, kali ini ia akan menarik banyak perhatian khalayak. Sebuah pukulan yang akan membuat seluruh dunia tertarik dan memberikan perhatian padanya. Setidaknya kalau kamu tidak sanggup melakukannya sendiri, kamu harus mengajak seluruh dunia untuk berada di pihakmu.Begitu pikir Rosemaya ketika merencanakan pertunjulannya. "Aku tidak akan mati bunuh diri dengan sia-sia. Aku tak ingin membusuk dan menderira sendirian! Setidaknya jika aku mati, aku akan membuat kalian semua menerima sanksi sosial atas tindakan kalian," batin Rosemaya penuh dendam. Apa sebetulnya rencana Rosemaya? Sungguh
"Aku sesungguhnya hanya wanita rapuh. Aku ingin ketika begitu banyak ujian bertubi-tubi pada hidupku, suamiku mengulurkan tangannya. Memelukku dengan penuh cinta. Bukan malah mengabaikanku dan sibuk dengan bisnisnya saja," isak Rosemaya semakin menyayat hati.Rosemaya sungguh memanfaatkan momen itu agar seluruh dunia berpihak padanya. Ia berusaha agar semua orang tahu kepedihan yang ia rasakan dan menangisi kematiannya. Sungguh ia tak mau hanya mati berkalang tanah, lalu dimakan cacing dan dilupakan begitu saja.Rosemaya menangis sambil bergerak menuju pagar pembatas bangunan rumah sakit. Ia lalu secara dramatis menyayat lehernya dan melompat menjatuhkan diri ke sungai deras yang mengalir tepat di samping rumah sakit jiwa tempat ia dirawat."Selamat tinggal, Leonardo Suniarta. Aku mencintaimu!" pekik Rosemaya sebelum tubuhnya hilang ditelan arus sungai yang sangat deras.Semua orang yang
Mobil SUV milik Leonardo Suniarta melaju memecah malam. Tampak di dalam mobil SUV hitam yang melaju itu, Leonardo Suniarta nampak gusar. Ia menghubungi orang-orang kepercayaannya dan meminta mereka melakukan sesuatu."Cari dan temukan mayatnya. Jangan berhenti sampai dapat! Kita tidak bisa percaya begitu saja Rosemaya telah mati bunuh diri!" tegas Leo lewat panggilan telepon.Bu Gina yang duduk di sampingnya memilih diam dan membuang muka ke arah luar jendela. Matanya nanar menatap bahu jalan yang gelap. Wanita itu seperti sangat terpukul dengan kematian Rosemaya."Mungkin, sebentar lagi kita akan menerima karma kita, Leo," desis Bu Gina dengan air mata menggenang."Ma-maksud ibu bagaimana?" tanya Leo tak kalah cemas."Kita telah membuat Rosemaya harus mendekam sendirian di dalam rumah sakit jiwa. Kita juga telah membuatnya menderita terluka sendirian di dalam sana. Mungkin saat ini ia sedang menuntut balas. Ia mati dengan membawa denda
Sorot kamera tak lagi terelakkan ketika Leonardo Suniarta dan ibunya, Regina Pramesti, turun dari dalam mobil SUV. Tepat di gerbang rumah sakit jiwa tempat Rosemaya dirawat, mereka disambut awak media yang sedang berburu berita."Tuan Suniarta, apakah benar anda menelantarkan istri anda?""Apakah benar anda mengirimnya ke rumah sakit jiwa?""Apa alasan anda melakukannya?""Apakah memang anda tak pernah menjenguknya lagi sehingga ia putus asa dan harus meregang nyawa?"Berbagai pertanyaan dari beberapa wartawan tak digubris oleh Leo. Ia hanya menunduk dan menyembunyikan wajahnya. Lelaki itu berusaha mencari jalan tercepat untuk segera tiba di ruang kepala rumah sakit.Namun jalan mereka tidaklah mulus, Bu Gina dan Leo dihadang awak media yang semakin penasaran dengan sikap diamnya Leo. Mereka tentu saja gemas dan terus mendesak Leo untuk memberi keterangan. 
"Tidak ada malapetaka yang lebih buruk daripada hasrat yang kuat untuk memiliki segalanya."Leo menggemelatukkan giginya sedikit kesal. Hingga sebuah panggilan masuk berbunyi dari telepon pintarnya. Siapa? "Halo! Papa! Papa apa kabar? Mengapa tidak juga menyusul kami berlibur. Aku bosan liburan tanpa Papa?" rengek suara Giovani yang manja terdengar. "Ah ..., Gio! Papa masih sibuk, Nak. Katakan pada Mama untuk tetap tinggal di apartemen dan jaga diri baik-baik. Doakan semoga urusan papa segera selesai. Jadi bisa menjemput Gio dan Mama," ujar Leo. Batinnya yang lelah seketika sirnah karena celotehan Giovani. "Iya, Papa. Ini Mama mau bicara," ujar Giovani."Keluar dan bermainlah dulu di luar, Nak. Ada hal penting yang akan mama bicarakan dengan Papa," ujar Cindy di ujung sana. "Halo," lanjutnya."Ada apa?" tanya Leo."Sampai kapan kami harus terus berada di sini?" tanya Cindy."Bersabarlah, Sayang. Tunggu beritanya mereda dulu. Aku baru saja menyelesaikan urusan dengan pemilik beberap
"Sekuat apapun Kau berusaha menutupi kebenaran. Suatu saat ia akan muncul sendiri ke permukaan."Sosok itu mengambil sebuah dan memasukkannya dalam kantong seragam susternya. Tak berhenti samai di situ, ia terus membukan dan memeriksa setiap sudut locker milik suster Vina untuk menemukan sesuatu. "Astaga! Ya Allah, benar yang dikatakan mendiang Nyonya Rosemaya. Suster Vina ingin berbuat jahat padanya," desis sosok itu lagi. Ia lalu mengambil sebutir pil berwarna putih dalam wadah dan memasukkan kembali ke dalam kantong seragamnya. "Jika benar sama, maka sudah bisa dipastikan suster Vina adalah dalangnya," desisnya sekali lagi. Ia lalu menggelar alas tidurnya sendiri untuk beristirahat. Meski tak tidur ia berusaha memejamkan mata. Ingatannya kembali melayang pada setiap detil kejadian saat Rosemaya melakukan pertunjukan bunuh dirinya. Ia ada di sana, melihat bagaimana depresi dan putus asa, wanita yan
"Gue akan memeriksa legalitas hukum status kepemilikan perusahaan. Gue yakin masih ada hak gue di sana," jawab Mayyanti. "Ya ampun, May. Kenapa, kenapa hidup elo bisa serumit ini. Padahal dulu, kita mulai semuanya dengan bahagia. Beneran ya, uang bisa merubah segalanya," keluh dr. Patricia iba. "Enggak apa-apa, Patric. Semuanya sudah terlanjur bergulir seperti ini. Gue harus tuntaskan semuanya. Bagaimanapun sudah terlalu banyak nyawa yang dikorbankan. Andail Leo enggak serakah dan menghancurkan semuanya, mungkin kami enggak perlu harus sampai seperti ini," ujar Mayyanti sambil menatap dr. Patricia nanar. Mayyanti sengaja berjalan memutar agar tidak ada yang mengawasinya lagi. Semenjak kejadian di klinik dr. Patricia, ia merasa semakin banyak mata-mata yang mengawasinya. Di kantor ia melihat Leo telah memeriksa berkas miliknya di bagian personalia. Pria itu juga semakin intens menghabiskan waktu dengan Mayyanti. Entah apa maksudnya. L
"Dendam itu menghancurkan hati, sebagaimana racun menghancurkan tubuh."Mayyanti memandang Ben aneh. Dalam hatinya ia berpikir, "Bagaimana Ben bisa tahu aku jijik dengan sikapnya barusan? Apakah dia telah mengenaliku?"Ben membalikkan tubuhnya, pria itu memandang Mayyanti dan tersenyum ramah. "Apakah ada yang bisa kubantu lagi?" tanya Ben. "Tidak, Pak Ruben. Semua sudah siap. Te-terima kasih. Permisi," pamit Mayyanti bergegas pergi. Ben tersenyum penuh arti sambil memandang kepergian Mayyanti memasuki klinik kecantikan yang dikelola oleh dr. Patricia. Pria itu kini sudah sangat yakin dengan firasatnya."Instingku tidak pernah salah untuk dapat mengenalimu," desis Ben. Pria itu meregangkan tubuhnya bersiap memejamkan mata.Sementara Mayyanti merasa jantungnya berdebar-debar. Ada banyak kecemasan yang dirasa saat diperlakukan Ben seperti tadi. Untung saja kali ini ia sangat sibuk sehingga tak punya banyk waktu untuk memikirk
Dada Ben terasa sesak, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Ia bisa merasakannya. Aura yang sama dalam balutan fisik yang berbeda. Tidak! mata Ben tak akan bisa dibohongi."Mungkinkah, wanita itu ...?" Ben tak berani berspekulasi lebih jauh. Ia hanya diam dan terus mengamati. Belum saatnya untuk mengambil kesimpulan. Lebih baik diam dan mengamati.Ketika duduk di mejanya, Ben terus mengawasi Mayyanti. Kewaspadaan dalam dirinya seketika meningkat dua kali lipat. Ada rasa penasaran yang belum terpuaskan dalam diri seorang Ruben."Kau pesan apa, Mayya?" tanya Leo ramah. Ia mengangsurkan buku menu pada Mayyanti."Samakan dengan pesanan Tuan saja," jawab Mayyanti kikuk. Entah mengapa sejak bersirobok dengan Ben, Mayyanti jadi merasa tidak nyaman.Mayyanti dan Leo duduk pada sebuah meja yang berbeda dengan Ben. Membuat Ben lebih mudah mengawasi gerak-gerik mereka dengan lebih teliti. Ben tidak makan, hanya terus me
"Kau bisa menipu semua orang, membungkus rapi dirimu dengan segala penyamaran terbaikmu, tapi aku tak akan pernah tertipu (Ben)."Mayyanti jadi makin dilema dibuatnya. Sesungguhnya ia tak nyaman. Namun menolak Leo dalam posisi seperti ini adalah hal yang mustahil. Mau tak mau Mayyanti jadi harus menurut dan mengikuti kehendak Leo. Ia mengangguk dengan setengah hati pada Leo yang menunggu jawaban sambil tetap menjaga jarak.'Tenanglah, ini hanya sebuah makan malam.' Mayyanti menenangkan diri di tengah kerisauan yang meliputinya. Mengingat bagaimana Cindy begitu cemburu pada sekretaris sang suami itu, Mayyanti merasa harus berhati-hati."Ayo, Mayya. Aku sudah sangat lapar.""Baik, Tuan. Saya jalan di belakang Anda." Mayyanti mengekor Leo. Sengaja menjaga jarak agar mereka tak terlihat sedang berjalan beriringan.Leo lalu mengajaknya turun ke lantai basement menuju parkiran mobil. Di sa
Namun kali ini berbeda. Leo bergeming dan tak merespon Cindy sama sekali. Pria itu dingin dan tetap sibuk dengan dokumen-dokumennya. Bahkan bagian tubuh Leo yang seharusnya bangkit juga tak terlihat bangkit. "Pulanglah, Cindy! Aku benar-benar sangat sibuk dan tidak punya waktu. Aku janji setelah lembur, besok akan membawamu dan Giovani jalan-jalan," tolak Leo tetap teguh pada pendiriannya. Cindy mencebik kesal. Ia lalu melihat pintu ruang kerja Leo sedikit terbuka dan Mayyanti akan mengetuknya untuk minta ijin masuk. Sekonyong-konyong Cindy langsung mendekap kepala Leo dan melumat bibir itu penuh gelora. Leo yang diserang begitu panas jadi merasa berkewajiban membalas. Terjadilah pertukaran saliva dengan ritme yang menggelora. Mayyanti yang hampir mengetuk pintu jadi mengurungkan niatnya. Wanita itu menjadi jijik melihat tingkah istri bosnya yang norak dan kampungan itu. Bagaimana bisa, di kantor, mereka melakukan hal seperti itu?"Ap
"Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik pula (QS : An-Nur, 26)."Leo yang sempat melihat mata sekretaris barunya itu sembab karena habis menangis menjadi tersentuh hatinya. Ada gelombag rasa bersalah tak biasa yang menghantam jantungnya. Mengapa?Mayyanti meninggalkan pasangan suami-istri tersebut begitu saja. Hatinya perih diperlakukan begitu kejam oleh sang nyonya yang cemburu. Apakah serendah itu dirinya dihadapan wanita kaya istri bosnya tersebut?Pandangan mata Mayyanti memburam oleh genangan air mata yang tak terbendung lagi. Setetes hangat mengalir di pipinya. Namun segera diusap oleh punggung tangan karena takut akan ada yang melihatnya menangis."Kau kenapa, Mayya? Apa kau habis menangis?" tanya Hiro yang tiba-tiba datang
"Ah ... sa-saya hanya terbiasa meneliti setiap hal yang akan saya siapkan kepada anda, Tuan. Saya pikir tugas saya juga untuk memastikan tiap dokumen telah benar-benar rapi dan tidak ada kesalahan sedikitpun," kilah Mayyanti. Leo mengernyitkan dahinya, namun kemudian tersenyum dan mengabaikan sebuah firasat aneh dalam dirinya. 'Tidak, ini hanya sebuah kebetulan.' Pria itu membatin yakin."Sudah pukul sebelas. Saya akan pesankan Tuan makan siang. Anda ingin makan apa Tuan?" tanya Mayyanti setelah mereka saling diam untuk beberapa saat. "Apa saja, Mayya. Tapi jangan yang terlalu pedas dan tanpa sayur," jawab Leo. "Baik, saya siapkan. Silahkan Tuan melanjutkan pekerjaan," ujar Mayyanti paham. Wanita itu lalu melangkah mundur dari ruangan Leo dan bergegas memesankan makanan lewat aplikasi online. Setelah memastikan makan siang Leo sudah diantarkan kurir menuju kantor, Mayyanti kemudian beralih kembali pada pekerjaannya.
"Pada akhirnya, aku akan selalu berlari kembali padamu, bukan karena aku lemah tapi karena aku jatuh cinta padamu lagi dan lagi (Leo)."Rasa apa? Buatan siapakah kopi itu?Leo serasa dibawa berkelana menuju sebuah kenangan indah tentangnya di masa lalu. Sebuah memori yang kembali mengingatkan ia pada wanita yang pernah disia-siakan di akhir hidupnya."Aku tidak suka kopi, Rose! Tapi harus meminumnya agar tetap bisa menjaga mataku tidak terpejam. Aku sebenarnya sangatlelah. Tetapi kau tahu kan, banyak pekerjaan yang harus kita selesaikan!""Apa ada jenis tertentu yang bisa kamu minum? Aku akan belikan.""Aku tidak suka yang terlalu asam. Juga yang rasanya terlalu pekat dan kuat. Hanya yang memiliki rasa ringan saja, namun cukup membuat aku bisa tetap terjaga.""Baiklah, aku akan mencari cara bagaimana kamu bisa menikmati kopi yang nyaman.""Terima kasih, Rose. Kau yang terbaik."Lalu kali ini, Leo seras
"Tiga sendok makan sambel kacang yang diletakkan di atas bihun tanpa tempe oreg?" tanya dr. Patricia yang sukses membuat Leo berkaca-kaca."Ah ... kau masih ingat, dr. Patric. Kau masih ingat bagaimana wanita itu menyediakan sarapan spesial kita dulu ya," ujar Leo dengan suara serak menahan air mata. Wajah dr. Patricia tersenyum penuh makna. Dalam hati ia berkata, "Andai kau tahu bagaimana dia masih mengingat kebiasanmu hingga sedetil mungkin. Andai saja kau tahu bagaimana dulu Rose begitu mencintaimu sampai paham semua kebiasaan seorang Leonardo Suniarta. Kau bahkan tak akan tega mendua."***Leo tiba di kantornya dengan mood melankolis yang manis. Ia merasa telah cukup mengenang Rosemaya hari ini dan harus kembali ke dunia nyata. Berjibaku dengan rutinitas kesibukannya mengurus bisnis. Ia memasuki gedung mewah yang kini telah menjadi miliknya. Gedung yang disewanya dengan menjaminkan asuransi kesehatan milik Rosema