"Sekuat apapun Kau berusaha menutupi kebenaran. Suatu saat ia akan muncul sendiri ke permukaan."
Sosok itu mengambil sebuah dan memasukkannya dalam kantong seragam susternya. Tak berhenti samai di situ, ia terus membukan dan memeriksa setiap sudut locker milik suster Vina untuk menemukan sesuatu."Astaga! Ya Allah, benar yang dikatakan mendiang Nyonya Rosemaya. Suster Vina ingin berbuat jahat padanya," desis sosok itu lagi.Ia lalu mengambil sebutir pil berwarna putih dalam wadah dan memasukkan kembali ke dalam kantong seragamnya."Jika benar sama, maka sudah bisa dipastikan suster Vina adalah dalangnya," desisnya sekali lagi. Ia lalu menggelar alas tidurnya sendiri untuk beristirahat.Meski tak tidur ia berusaha memejamkan mata. Ingatannya kembali melayang pada setiap detil kejadian saat Rosemaya melakukan pertunjukan bunuh dirinya.Ia ada di sana, melihat bagaimana depresi dan putus asa, wanita yan"Ajarkan aku melebur dalam gelap tanpa harus lenyap, merengkuh rasa takut tanpa perlu surut, bangun dari ilusi, namun tak memilih pergi (Rosemaya)."Sepasang mata dengan sorot mata tajam, mengawasi kebersamaan mereka dengan penuh dendam. Pemilik sepasang mata marah itu meninju salah satu pilar di bandara tersebut, kemudian pergi dan menghilang diantara hiruk pikuk orang-orang. Sosok itu melangkah gotai, menahan nyeri yang menjalar dari punggung tangannya yang lagi-lagi terluka. Sungguh dendamnya begitu membara pada seorang Leonardo Suniarta. Lelaki itu, tak akan pernah bisa terima segala perbuatan Leo pada Rosemaya dan orang-orang terdekatnya. Menantu yang diterima dengan tangan terbuka olah Pak Wira Pradja, ayah Rosemaya, telah berkhianat. Sebuah pengkhianatan jahat yang harus di balas dengan setimpal suatu saat nanti."Tuhan tidak tidur, Leo. Aku yakin nanti Kau akan menuai badai dari angin yang Kau buat."***Wanita itu
"Jangan suruh aku bersabar! Kebencian dan dendam ini sudah terlanjur mendarah daging (Rosemaya).""Lebih cepat lebih baik, Ben." Rosemaya seperti tak sabar."Pulihkan dulu saja kondisimu, Rose. Jangan terlalu buru-buru. Nikmati saja keberadaanmu di tempat yang nyaman ini."Rosemaya mendesah mendengar balasan Ben. Mendengar hidup Leo yang sepertinya tak hancur sedikitpun membuat darah Rosemaya mendidih. Ada rasa tak terima dengan perbedaan kondisi kehidupan antara dirinya dan Leo. "Harusnya pria itu hancur setelah menghilangkan nyawa keluargaku. Harusnya hidup Leo tidak baik-baik saja. Mereka yang mendiami rumah kacaku, tak boleh menikmati kenyamanan dari jerih payahku dan keluargaku.""Tenanglah, Rose. Karma tak pernah salah jalan." Ben mengingatkan.Rosemaya terdiam, Ben ada benarnya. Ia kemudian memutar otak mencari alasan lain."Aku akan pulang ke Surabaya setelah berjumpa dengan Suster Lia. Aku ingin menje
"Tidak ada kekuatan yang lebih dahsyat daripada seorang wanita yang bertekad untuk bangkit."Tepat saat Rosemaya memakai kembali maskernya, beberapa orang mengetuk jendela mobilnya. Mereka bertampang seram dengan pakaian hitam. Anak buah Leo!Tubuh Rosemaya seketika menegang, begitu pun Suster Lia. Mereka sama-sama dilanda ketakutan jika sampai anak buah Leo mengenali Rosemaya. Ketukan di kaca luar mobil semakin kencang. Rosemaya takut jika tidak dibuka akan semakin mencurigakan. Ia sudah akan memencet tombol buka pada kaca jendela. Namun Suster Lia melarangnya. "Nyonya ..., jangan!" pekik Suster Lia dari sudut bibirnya. Wanita itu takut akan bahaya yang mungkin mengancam mereka berdua."Tidak apa-apa, Suster. Mereka mungkin tidak mengenaliku," ujar Rosemaya berusaha tenang. Ia lalu membuka sedikit kaca mobilnya. Rosemaya tak berbicara, hanya menunduk agar pria itu tak dapat melihat wajahnya dengan jelas. Detak jantu
"Ajari aku bagaimana cara terbaik untuk membuamu jauh-jauh dari hidupku (Rosemaya).""Saya menemukan Suster Vina juga menyimpan cairan bening dalam botol-botol kaca di lokernya. Apakah malam itu Suster Vina memberi anda suntikan dengan cairan bening itu?" tanya Suster Lia."Ya, dia memberikan saya suntikan itu. Dia memberikannya sekali sepekan seingat saya. Biasanya setelah suntikan itu saya jadi bisa melihat banyak warna, lalu saya akan merasakan ledakan euforia kegembiraan yang berlebihan. Saya jadi merasa lebih berani dan tidak takut mati karena tubuh saya seperti tidak merasakan sakit sedikitpun," jawab Rosemaya sembari mengingat."Tepat sekali. Itu adalah reaksi cairan PCP. Sebetulnya ini sejenis obat bius. Tetapi sudah jarang sekali digunakan karena efek sampingnya yang berbahaya," jelas Suster Lia.Rosemaya terbelalak tidak percaya. Tak menyangka orang-orang jahat itu telah meracuninya sampai sedemikian rupa. "Nyonya, an
Dan sungguh orang-orang yang membela diri setelah didzalimi, maka tidak ada alasan untuk menyalahkan mereka (QS : Asy-Syura, 41).Rosemaya lalu mendekat ke arah pintu keluar, berjalan mengendap-endap mengikuti Leo dengan wanitanya. Betapa terkejutnya wanita itu saat mengetahui siapa sosok Cindy yang sebenarnya!Gigi Rosemaya bergemelatuk menahan kesal. Andai bisa, ia tak sabar ingin segera mendatangi pasangan tak tahu malu tersebut dan menampar wanita itu. Emosinya seketika membuncah dan hatinya menjadi panas membara."Kurang ajar! Dasar wanita tidak tahu malu! Rupanya selama ini dialah yang menjadi duri dalam rumah tanggaku!" geram Rosemaya. Wanita itu mengepalkan tangan dan pandangannya menjadi buram oleh air mata yang menggenang. Sedih, kecewa dan merasa dibohongi, campur aduk dalam diri Rosemaya."Sudah, Rose! Lanjutkan saja makanmu," ujar Ben. Melihat Rosemaya terbakar emosi membuat Ben langsung menyeretnya kemba
"Manusia kadang jauh lebih menyeramkan dari iblis.""Rose! Rose! Makanlah cepat! Kau melamun dari tadi," panggil Ben mengagetkannya. "Ben, kau bekerja pada Leo sejak tahun berapa?" tanya Rosemaya. Sesuatu dalam otaknya menyala, seolah ia baru saja menyadari sebuah fakta. "Aku bekerja pada kalian sejak Welly berusia tiga tahun, Rose," jawab Ben. "Ah, ya ... aku ingat. Waktu itu orang tua kita baru saja meninggal, karena kecelakaan mobil yang terjadi malam itu," ujar Rosemaya.Ucapan Rosemaya membuat Ben ganti menerawang jauh ke masa itu. Masa di mana hidup Ben berubah drastis karena kematian ayahnya. Ayah Rosemaya dan ayah Ben adalah sahabat karib. Mereka sama-sama pegawai di perusahaan telekomunikasi milik negara. Ayah Ben adalah seorang kepala divisi, sementara ayah Rosemaya adalah atasannya. "Ben, hari ini ayah akan memancing bersama Ayah Rose. Kau tak usah ikut ya, ayah aka
"Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar (QS : An-Nahl, 126).""Jika memang demikian, maka nyawa harus dibayar dengan nyawa!" desis Rosemaya penuh dendam.Ben menggenggam tangan Rosemaya dan berusaha menenangkannya. Ia paham Rosemaya akan sangat membenci Leo andai saja Ben menceritakan semuanya. Namun malam ini, biarlah cukup sedikit fakta saja yang Rosmaya ketahui. "Sabarlah, Rose. Aku akan temukan semua jawabannya untukmu," janji Leo. "Ayahmu, ayahku, ibuku, Welly dan ...? Siapa lagi korban kelima dalam tragedi ini?" tanya Rosemaya. Pikirannya fokus kembali mengulang semua kejadian hingga mengkoneksikan semuanya. "Suami kakakmu," tukas Ben singkat."Tapi dia orang luar, Ben! Dia bukan dari keluargaku," sangkal Rosemaya. "Sebetulnya target
Kanaya menatap Rosemaya tidak percaya. Ia nyaris tidak percaya dengan ucapan adiknya itu barusan. Ia lalu memilih untuk mengabaikan saja. "Sheva, ayo mandi, Nak. Sudah waktunya kamu berangkat mengaji!" panggil Kanaya pada sulungnya itu. Gadis kecil berumur lima tahun itu menurut dan segera pergi ke kamar mandi. Kanaya menyiapkan handuk dan baju gantinya. Lalu kembali duduk di hadapan Rosemaya dan mulai menasehati adiknya itu. "Hidup, mati, rejeki itu sudah takdir Allah, Rose. Tak akan ada kekuatan yang mampu membelokkannya selain doa dan kehendak Allah sendiri. Bagaimanapun caranya berpulang, semua itu hanya sebuah sarana saja. Bahkan sehelai daunpun tak akan terjatuh tanpa takdir dari-Nya!" tegas Kanaya tajam. Wanita itu menatap lurus pada Rosemaya ketika berbicara. "Jika kakak berkeyakinan seperti itu. Lalu ... apakah kita akan membiarkan pelakunya terus bebas dan bisa melakukan kejahatan demi kejahatan sesukanya?" sengit Rosemaya.
"Gue akan memeriksa legalitas hukum status kepemilikan perusahaan. Gue yakin masih ada hak gue di sana," jawab Mayyanti. "Ya ampun, May. Kenapa, kenapa hidup elo bisa serumit ini. Padahal dulu, kita mulai semuanya dengan bahagia. Beneran ya, uang bisa merubah segalanya," keluh dr. Patricia iba. "Enggak apa-apa, Patric. Semuanya sudah terlanjur bergulir seperti ini. Gue harus tuntaskan semuanya. Bagaimanapun sudah terlalu banyak nyawa yang dikorbankan. Andail Leo enggak serakah dan menghancurkan semuanya, mungkin kami enggak perlu harus sampai seperti ini," ujar Mayyanti sambil menatap dr. Patricia nanar. Mayyanti sengaja berjalan memutar agar tidak ada yang mengawasinya lagi. Semenjak kejadian di klinik dr. Patricia, ia merasa semakin banyak mata-mata yang mengawasinya. Di kantor ia melihat Leo telah memeriksa berkas miliknya di bagian personalia. Pria itu juga semakin intens menghabiskan waktu dengan Mayyanti. Entah apa maksudnya. L
"Dendam itu menghancurkan hati, sebagaimana racun menghancurkan tubuh."Mayyanti memandang Ben aneh. Dalam hatinya ia berpikir, "Bagaimana Ben bisa tahu aku jijik dengan sikapnya barusan? Apakah dia telah mengenaliku?"Ben membalikkan tubuhnya, pria itu memandang Mayyanti dan tersenyum ramah. "Apakah ada yang bisa kubantu lagi?" tanya Ben. "Tidak, Pak Ruben. Semua sudah siap. Te-terima kasih. Permisi," pamit Mayyanti bergegas pergi. Ben tersenyum penuh arti sambil memandang kepergian Mayyanti memasuki klinik kecantikan yang dikelola oleh dr. Patricia. Pria itu kini sudah sangat yakin dengan firasatnya."Instingku tidak pernah salah untuk dapat mengenalimu," desis Ben. Pria itu meregangkan tubuhnya bersiap memejamkan mata.Sementara Mayyanti merasa jantungnya berdebar-debar. Ada banyak kecemasan yang dirasa saat diperlakukan Ben seperti tadi. Untung saja kali ini ia sangat sibuk sehingga tak punya banyk waktu untuk memikirk
Dada Ben terasa sesak, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Ia bisa merasakannya. Aura yang sama dalam balutan fisik yang berbeda. Tidak! mata Ben tak akan bisa dibohongi."Mungkinkah, wanita itu ...?" Ben tak berani berspekulasi lebih jauh. Ia hanya diam dan terus mengamati. Belum saatnya untuk mengambil kesimpulan. Lebih baik diam dan mengamati.Ketika duduk di mejanya, Ben terus mengawasi Mayyanti. Kewaspadaan dalam dirinya seketika meningkat dua kali lipat. Ada rasa penasaran yang belum terpuaskan dalam diri seorang Ruben."Kau pesan apa, Mayya?" tanya Leo ramah. Ia mengangsurkan buku menu pada Mayyanti."Samakan dengan pesanan Tuan saja," jawab Mayyanti kikuk. Entah mengapa sejak bersirobok dengan Ben, Mayyanti jadi merasa tidak nyaman.Mayyanti dan Leo duduk pada sebuah meja yang berbeda dengan Ben. Membuat Ben lebih mudah mengawasi gerak-gerik mereka dengan lebih teliti. Ben tidak makan, hanya terus me
"Kau bisa menipu semua orang, membungkus rapi dirimu dengan segala penyamaran terbaikmu, tapi aku tak akan pernah tertipu (Ben)."Mayyanti jadi makin dilema dibuatnya. Sesungguhnya ia tak nyaman. Namun menolak Leo dalam posisi seperti ini adalah hal yang mustahil. Mau tak mau Mayyanti jadi harus menurut dan mengikuti kehendak Leo. Ia mengangguk dengan setengah hati pada Leo yang menunggu jawaban sambil tetap menjaga jarak.'Tenanglah, ini hanya sebuah makan malam.' Mayyanti menenangkan diri di tengah kerisauan yang meliputinya. Mengingat bagaimana Cindy begitu cemburu pada sekretaris sang suami itu, Mayyanti merasa harus berhati-hati."Ayo, Mayya. Aku sudah sangat lapar.""Baik, Tuan. Saya jalan di belakang Anda." Mayyanti mengekor Leo. Sengaja menjaga jarak agar mereka tak terlihat sedang berjalan beriringan.Leo lalu mengajaknya turun ke lantai basement menuju parkiran mobil. Di sa
Namun kali ini berbeda. Leo bergeming dan tak merespon Cindy sama sekali. Pria itu dingin dan tetap sibuk dengan dokumen-dokumennya. Bahkan bagian tubuh Leo yang seharusnya bangkit juga tak terlihat bangkit. "Pulanglah, Cindy! Aku benar-benar sangat sibuk dan tidak punya waktu. Aku janji setelah lembur, besok akan membawamu dan Giovani jalan-jalan," tolak Leo tetap teguh pada pendiriannya. Cindy mencebik kesal. Ia lalu melihat pintu ruang kerja Leo sedikit terbuka dan Mayyanti akan mengetuknya untuk minta ijin masuk. Sekonyong-konyong Cindy langsung mendekap kepala Leo dan melumat bibir itu penuh gelora. Leo yang diserang begitu panas jadi merasa berkewajiban membalas. Terjadilah pertukaran saliva dengan ritme yang menggelora. Mayyanti yang hampir mengetuk pintu jadi mengurungkan niatnya. Wanita itu menjadi jijik melihat tingkah istri bosnya yang norak dan kampungan itu. Bagaimana bisa, di kantor, mereka melakukan hal seperti itu?"Ap
"Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik pula (QS : An-Nur, 26)."Leo yang sempat melihat mata sekretaris barunya itu sembab karena habis menangis menjadi tersentuh hatinya. Ada gelombag rasa bersalah tak biasa yang menghantam jantungnya. Mengapa?Mayyanti meninggalkan pasangan suami-istri tersebut begitu saja. Hatinya perih diperlakukan begitu kejam oleh sang nyonya yang cemburu. Apakah serendah itu dirinya dihadapan wanita kaya istri bosnya tersebut?Pandangan mata Mayyanti memburam oleh genangan air mata yang tak terbendung lagi. Setetes hangat mengalir di pipinya. Namun segera diusap oleh punggung tangan karena takut akan ada yang melihatnya menangis."Kau kenapa, Mayya? Apa kau habis menangis?" tanya Hiro yang tiba-tiba datang
"Ah ... sa-saya hanya terbiasa meneliti setiap hal yang akan saya siapkan kepada anda, Tuan. Saya pikir tugas saya juga untuk memastikan tiap dokumen telah benar-benar rapi dan tidak ada kesalahan sedikitpun," kilah Mayyanti. Leo mengernyitkan dahinya, namun kemudian tersenyum dan mengabaikan sebuah firasat aneh dalam dirinya. 'Tidak, ini hanya sebuah kebetulan.' Pria itu membatin yakin."Sudah pukul sebelas. Saya akan pesankan Tuan makan siang. Anda ingin makan apa Tuan?" tanya Mayyanti setelah mereka saling diam untuk beberapa saat. "Apa saja, Mayya. Tapi jangan yang terlalu pedas dan tanpa sayur," jawab Leo. "Baik, saya siapkan. Silahkan Tuan melanjutkan pekerjaan," ujar Mayyanti paham. Wanita itu lalu melangkah mundur dari ruangan Leo dan bergegas memesankan makanan lewat aplikasi online. Setelah memastikan makan siang Leo sudah diantarkan kurir menuju kantor, Mayyanti kemudian beralih kembali pada pekerjaannya.
"Pada akhirnya, aku akan selalu berlari kembali padamu, bukan karena aku lemah tapi karena aku jatuh cinta padamu lagi dan lagi (Leo)."Rasa apa? Buatan siapakah kopi itu?Leo serasa dibawa berkelana menuju sebuah kenangan indah tentangnya di masa lalu. Sebuah memori yang kembali mengingatkan ia pada wanita yang pernah disia-siakan di akhir hidupnya."Aku tidak suka kopi, Rose! Tapi harus meminumnya agar tetap bisa menjaga mataku tidak terpejam. Aku sebenarnya sangatlelah. Tetapi kau tahu kan, banyak pekerjaan yang harus kita selesaikan!""Apa ada jenis tertentu yang bisa kamu minum? Aku akan belikan.""Aku tidak suka yang terlalu asam. Juga yang rasanya terlalu pekat dan kuat. Hanya yang memiliki rasa ringan saja, namun cukup membuat aku bisa tetap terjaga.""Baiklah, aku akan mencari cara bagaimana kamu bisa menikmati kopi yang nyaman.""Terima kasih, Rose. Kau yang terbaik."Lalu kali ini, Leo seras
"Tiga sendok makan sambel kacang yang diletakkan di atas bihun tanpa tempe oreg?" tanya dr. Patricia yang sukses membuat Leo berkaca-kaca."Ah ... kau masih ingat, dr. Patric. Kau masih ingat bagaimana wanita itu menyediakan sarapan spesial kita dulu ya," ujar Leo dengan suara serak menahan air mata. Wajah dr. Patricia tersenyum penuh makna. Dalam hati ia berkata, "Andai kau tahu bagaimana dia masih mengingat kebiasanmu hingga sedetil mungkin. Andai saja kau tahu bagaimana dulu Rose begitu mencintaimu sampai paham semua kebiasaan seorang Leonardo Suniarta. Kau bahkan tak akan tega mendua."***Leo tiba di kantornya dengan mood melankolis yang manis. Ia merasa telah cukup mengenang Rosemaya hari ini dan harus kembali ke dunia nyata. Berjibaku dengan rutinitas kesibukannya mengurus bisnis. Ia memasuki gedung mewah yang kini telah menjadi miliknya. Gedung yang disewanya dengan menjaminkan asuransi kesehatan milik Rosema