"Akhir-akhir ini kenapa air dari kuil suci tidak berkhasiat, ya," celetuk salah seorang gadis berambut sebahu.Sementara itu, tangannya sibuk mengucek baju. Dia dan dua temannya memang tengah mencuci di pinggiran sungai. Demi mengusir sepi, bergosip memang sering kali menjadi pilihan mereka untuk menghangatkan suasana. Ketiganya tak menyadari Grand Duke Erbish yang tengah menenangkan pikiran tengah tidur-tiduran di pohon yang menaungi mereka."Katanya, kepala kuil sedang sakit setelah menyembuhkan nona saintess dari serangan sihir hitam Lady Neenash," sahut gadis lain yang berkepang dua.Telinga Grand Duke Erbish seketika berdiri. Matanya yang terpejam langsung melotot. Amarah yang sempat surut kembali meluap-luap.Rumor Nona Saintess mendapat kiriman sihir hitam dari Lady Neenash dan Pangeran Sallac merebak dalam semalam. Hampir setiap sudut kota terus membahasnya. Grand Duke Erbish telah mengelilingi kota dan hanya mendengar cacian untuk dua orang yang disayanginya itu.Oleh karena
Saat bibirnya tepat di samping telinga Lady Cherrie, Grand Duke Erbish mendesis tajam, "Aku tidak perlu kekuatan palsumu, Lady."Lady Cherrie tersentak. Dia refleks mendorong Grand Duke Erbish menjauh. Tangannya tampak gemetar, tetapi dengan cepat disembunyikan di balik gaun.Setelah dapat mengendalikan diri lagi, Lady Cherrie segera memasang wajah polos. "Apa maksud Anda, Tuan Grand Duke?" tanyanya."Harusnya kau mengerti apa yang kumaksud," sindir Grand Duke Erbish dengan senyuman sinis."Saya benar-benar tidak mengerti maksud Anda, Yang Mulia," sahut Lady Cherrie dengan suara bergetar.Gadis itu sepertinya akan menangis. Sir Dulcais mengelap keringat yang terus meluncur di keningnya. Dia tentu tak ingin sang tuan bersengketa dengan putra mahkota dan pihak kuil.Sementara itu, Grand Duke Erbish tertawa sinis. Dia melangkah santai menuju sofa, lalu duduk dengan wajah tanpa dosa. Dia juga mengeluarkan sapu tangan bersulam bunga lavender pemberian Lady Neenash dan membersihkan kening b
Grand Duke Erbish yang hampir saja menaiki kuda seketika berbalik. Begitu juga Sir Dulcais yang baru melepaskan tali kekang kuda dari pohon. Keduanya sontak memasang raut wajah cemas."Pheriana! Apa yang kau lakukan di sini? Kau seharusnya tetap berada dalam mansionku! Kau bisa dalam bahaya jika berkeliaran seperti ini!" cecar Grand Duke Erbish.Pheriana menggigit bibir. Dia juga meremas jemari. Tubuhnya tampak gemetaran. Mata melotot dan suara menggelegar Grand Duke memang sering kali menciutkan nyali lawan bicara.Sir Dulcais yang menyadari ketakutan Pheriana menghela napas. Entah berapa kali, pemuda itu harus membereskan kesalahpahaman akibat sikap meledak-ledak tuannya. Dia pun urung melepaskan tali kekang kuda, lalu mendekati si gadis pelayan."Nona Pheriana, kenapa Anda bisa berada di sini? Di luar mansion Grand Duke sangatlah berbahaya. Sebaiknya, Anda kembali ke sana," bujuk Sir Dulcais dengan nada yang lebih lembut.Pheriana menggenggam seragamnya dengan kuat. Dia tampak mene
Ketegangan seketika menyergap. Selama kepemerintahan Raja Garrpou, tak pernah terdengar kabar buruk, baik di pusat kota maupun daerah pinggiran. Laporan-laporan mengenai perekonomian maupun keamanan selalu memuaskan, bahkan kemenangan perang seolah-olah menjadi hadiah ulang tahun bagi sang raja. "Kabar buruk apa yang kau maksud?" desis Raja Garrpou tajam. Kepala pasukan perbatasan tampak ragu sebelum akhirnya melanjutkan laporan. "Pasukan kita kalah perang dengan Kerajaan Mastiaca dan terpaksa mundur, Yang Mulia. Daerah Mercan berhasil dikuasai musuh," tuturnya dengan hati-hati tanpa berani mengangkat kepala sedikit pun. "Apa?" Suara Raja Garrpou meninggi. "Bagaimana bisa kalian kalah dari kerajaan lemah seperti Kerajaan Mastiaca, hah? Ke mana kemenangan gemilang yang selalu membanggakan Varyans?" cecarnya."Mohon ampun, Yang Mulia. Para kesatria Kerajaan Mastiaca bukan lemah, hanya ... panglima perang kita yang selama ini terlalu kuat," sahut kepala pasukan."Lalu, ke mana panglim
Pangeran Seandock merasakan pikirannya mendadak hampa. Ucapan-ucapan Grand Duke Erbish yang tadi terus membayangi raib seperti debu tersapu angin. Wajah penuh kebencian Lady Neenash saat hari eksekusi yang membuat hatinya jeri terhapus bagaikan lukisan di pasir yang terempas ombak.Sementara itu, Lady Cherrie berdiri di depan pintu. dengan senyuman tipis. Dari tangannya, ke luar asap tipis yang hampir tak terlihat. Sihir hitam pengendali tersebut terus-menerus melingkupi tubuh Pangeran Seandock, mencuci otak hingga benar-benar dalam kendali. "Sean, apa kamu baik-baik saja? Wajahmu terlihat pucat," cerocos Lady Cherrie setelah memastikan sihir hitam pengendalinya berhasil bekerja dengan baik.Dia mendekati Pangeran Seandock sembari memasang wajah cemas. Tangan halus menyentuh lembut pipi sang pangeran. Sihir hitam pengendali diperkuat hingga berkali lipat.Perlahan perasaan cinta kepada Lady Neenash mengabur, lalu tersegel sempurna di sudut hari terdalam. Penyesalan Pangeran Seandock
Rombongan Lady Neenash tengah menikmati ikan bakar di pinggir sungai. Hamparan langit malam dengan kerlap-kerlip gemintang memayungi mereka. Dua tenda yang telah didirikan beberapa saat sebelum matahari terbenam sedikit tersingkap karena tertiup semilir angin malam. "Bagaimana, Lady Neenash? Ikan tangkapanku lebih enak bukan?" cerocos Lady Hazel sambil mengunyah daging ikan.Dia hampir tersedak karena makan sambil berbicara. Beruntung, gadis itu cepat-cepat minum air untuk melancarkan kerongkongannya. Namun, Lady Hazel tidak jera dan masih saja memanas-manasi Pangeran Sallac dengan menggayut manja kepada Lady Neenash."Benar, kan, Lady? Ikanku lebih baik dari tangkapan Pangeran Sallac?" tambahnya semakin memancing emosi.Pangeran Sallac mendelik tajam. Dia mendengkus kasar, siap membuat keributan. Namun, pemuda itu terpaksa kembali duduk tenang begitu melihat pelototan mata Lady Neenash."Sallac, jaga emosimu," tegur Lady Neenash."Dia yang mulai duluan, Neenash," rengek Pangeran Sal
Cahaya cincin artefak semakin berpendar kuat. Wajah Lady Neenash tidak lagi pucat. Rintihan gadis itu juga tak lagi terdengar seolah-olah rasa sakit sebelumnya sirna dalam sekejap."Sepertinya, kita berhasil!" seru Lady Hazel penuh haru.Pangeran Sallac mendelik. "Jangan berteriak! Kau bisa menganggu konsentrasi Tuan Pendeta," desisnya tajam."Ck! Dasar tukang marah," keluh Lady Hazel sambil memutar bola mata.Pangeran Sallac melotot. Emosinya hampir saja terpancing. Beruntung, Louvi telah menyelesaikan proses pemurnian sihir hitam. Lady Neenash sudah benar-benar pulih meskipun masih belum sadarkan diri."Pangeran, Lady Neenash telah terbebas dari sihir hitam," lapor Louvi.Pangeran Sallac seketika melupakan perdebatannya dengan Lady Hazel. Dia menggenggam tangan Lady Neenash dan menyentuh pipi gadis itu dengan lembut. Pangeran Sallac juga merapikan anak-anak rambut yang berantakan."Syukurlah, Neenash. Aku tidak akan bisa membayangkan hidup tanpamu," bisik Pangeran Sallac mesra.Dia
Flash!Bruk!Pangeran Sallac meringis. Pancaran cahaya serupa anak panah keluar dari kalung Lady Hazel, lalu mengarah padanya. Tak ayal, dia urung mengecup bibir Lady Neenash dan terdorong ke belakang dan membentur batang pohon.Lady Neenash dan Louvi kompak melongo sambil menutup mulut. Sementara itu, Lady Hazel tak kuasa menahan tawa. Dia pun tergelak sampai berguling-guling di hamparan rumput."Hei! Gadis sial*n! Kau sengaja melakukannya, 'kan? Kalau iri, cari pasanganmu sana! Kenapa menganggu orang hah!" cecar Pangeran Sallac yang meradang.Dia berdiri dengan wajah memerah. Tangannya terarah lurus kepada Lady Hazel. Panah api berlesatan dengan membabi buta.Wushhh!Angin dingin berembus. Panah api seketika berubah menjadi es, jatuh ke tanah dan hancur berkeping-keping. Lady Neenash berhasil membekukannya tepat waktu. "Kau ingin membakar tenda kita, Sallac? Jangan gila!" omel Lady Neenash dengan mata melotot."Tapi, dia yang mulai lebih dulu, Sayang. Dia menyerangku dengan kalungn