Byur ....
Suara ember terkena air terdengar sangat keras di kuping Ani, wanita paruh baya itu tiba-tiba merasakan rasa sakit di pinggangnya.
"Aduh ... aduh, pinggang aku," jerit Ani, Ani menyentuh pinggangnya yang seolah mau patah, umur memang tidak bisa berbohong diumurnya yang sudah menginjak 55 tahun Ani sudah bersahabat dengan semua jenis balsam yang dijual di warung.
"Ani ... oh ... Ani, kamu kenapa, Ani?" tanya Rhoma sembari berlari keluar dari dalam rumah, Rhoma khawatir bila terjadi sesuatu pada istri yang sudah menemaninya selama 30 tahun ini.
"Sakit ... ini kamu nggak ada cita-cita buat masang pompa air apa? Aku udah seminggu ini nimba mulu, encok aku, Rhoma," protes Ani yang pinggangnya sudah rontok karena harus menimba di pagi hari secara terus menerus.
Rhoma memapah Ani untuk duduk disalah satu dipan panjang yang menghadap sumur, tangannya dengan cekatan mengusap pinggang Ani secara naik dan turun. "Aku mau, Ani ... tapi ...."
"Tapi, apa Rhoma?" tanya Ani dengan sedikit merintih karena pinggangnya dipijat-pijat dengan tenaga Rhoma yang mirip seperti tukang bangunan baru makan siang. Sakit.
"Aku tak punya uang, Ani. Tak ada uang aku, Ani." Rhoma mendesah pelan sembari menggeleng, memikirkan kehidupannya yang morat-marit dikarenakan dirinya bangkrut dan terlilit hutang. Sungguh balada.
"Hah ... Rhoma masa hidup kita kaya gini, sih? Salah kita apa? Dulu kita kaya raya jaya makmur abadi, harta dari keluarga kamu, katanya nggak bakal abis-abis buat 7 turunan," kenang Ani yang mengingat betapa bahagia dan kayanya mereka dulu, apa yang Ani mau bisa Ani dapat. Ingin tas harga 400 juta pun, Ani bisa dengan cepat mendapatkannya. Sekarang? Untuk membeli sendal jepang harga 15.000 pun, Ani harus berpikir menggunakan rumus matematika. Perih.
"Mungkin ... ini sudah nasib aku, Ani ... ini nasib aku sebagai turunan kedelapan jadi, merasakan kekayaannya hanya sementara," lirih Rhoma, mata Rhoma menatap pekarangan rumahnya yang penuh dengan alang-alang karena ia terlalu malas untuk membersihkannya. Encok.
"Kenapa nggak bilang kamu turunan kedelapan, sih. Kan aku bisa nikah ama orang lain," canda Ani sembari menepuk paha Rhoma.
"Kamu tak mungkin bisa berkelit dari pesonaku, Ani. Kamu sudah kesengsem dengan gerakkan pinggulku saat ajojing dulu," kekeh Rhoma mengingat pertemuan pertama mereka di suatu tempat di mana mereka sedang berdisko ria dengan irama boogie.
Ani hanya bisa tertawa mendengar perkataan suaminya itu, suami yang sudah menemaninya selama 30 tahun. Pernikahan mereka pada awalnya berjalan lancar dan baik-baik saja, Rhoma sangat handal menjadi suami siaga dan Ayah yang baik untuk kedua anaknya. Tapi, prahara itu mendatangi mereka tiga bulan yang lalu sebuah mimpi buruk yang membuat Ani harus menurunkan standar kehidupannya ke titik paling rendah.
Ani menatap lurus ke depan, melihat pepohonan yang bergoyang manja dihempas oleh angin. Hembusan angin yang sepoi-sepoi seolah membuat Ani terlena dan kembali memikirkan satu hari, hari di mana kehidupannya jungkir balik dari seorang sosialita kota Jakarta menjadi sosialita desa Water Candle alias Cililin ....
••
"Selamat buat Ibu Rhoma yang memenangkan kocokkan terakhir arisan kita," ucap Sandy sembari bertepuk tangan ala-ala putri Indonesia walaupun wajahnya jauh dari kata kecantikan putri Indonesia alami karena sudah dipenuhi oleh botox dan berbagai macam prosedur operasi plastik.
Ani tersenyum bahagia karena memenangkan arisan tas berlogo H yang sudah ia idam-idamkan sepanjang hidupnya karena harganya membuat ginjal para kaum miskin bergetar dan bergejolak hebat. "Aduh ... akhirnya, aku punya tas ini juga."
Ani mengambil tas tersebut dari tangan Sandy, jemarinya langsung bergetar hebat saat merasakan betapa lembutnya kulit tas tersebut di jemarinya.
"Gimana Bu? Cantik, kan?" tanya Sandy sembari tersenyum.
"Ah ... karena ini hari terakhir arisan kita jadi, biar saya yang bayar makanannya." Ani tersenyum penuh dengan suka cita kepada semua koleganya yang langsung disambut tepuk tangan yang bergemuruh dari semuanya.
Mereka pun berbincang dengan seru, bahkan ada beberapa yang terlihat berfoto di spot-spot tertentu. Ani yang sedang berbincang tiba-tiba dikagetkan dengan suara ponselnya, dengan anggun dia mengangkat ponsel dari keluaran terbaru perusahaan Korea bermerek Sungsang.
"Iya ... halo."
"Mommy, Anya mau beli tas, boleh Anya pakai kartu kredit Mommy?" tanya Anya.
"Tas apa, Nya? Berapa harganya?" tanya Ani saat mendengar suara anak perempuannya di ujung telepon.
"Tas ransel gitu, lucu ada gambar Doraemonnya, murah kok, Mommy, cuman 34 juta," ucap Anya dengan suara mendayu-dayu.
"Murah banget, udah kamu beli aja. Terserah kamu, hari ini Mommy lagi bahagia. Jadi, kamu bisa beli apa aja." Ani mengizinkan Anya untuk membeli tas yang ia inginkan, mengapa tidak saat ini ia sudah mendapatkan tas yang ia incar, tak apalah berbagi sedikit dengan anak gadisnya itu.
"Makasih, Mommy," pekik Anya girang sembari memutuskan sambungan teleponnya.
Ani kembali berbincang dengan teman-teman sosialita kelas atasnya tentang berbagai macam hal, mulai dari skincare yang harganya fantastis hingga cara diet baru dengan menggunakan salada yang diimpor langsung dari Alaska.
Saat semuanya sudah mau pulang Ani berjalan ke kasir untuk membayar makanan yang mereka makan hari ini, "Berapa?"
"Semuanya tiga puluh sembilan juta lima ratus tiga puluh empat ribu, Bu," sahut kasir sembari menyerahkan bonnya ke hadapan Ani.
Dengan anggun Ani menyimpan kartu kredit berwarna hitam ke nampan.
"Maaf, Bu ... decline," ucap kasir tersebut sembari menyerahkan kartu kredit Ani.
"Hah? Kok bisa?" Ani kaget karena kartu kreditnya decline, seumur hidup dia tidak pernah mendengar kata decline saat menggesekkan kartu kreditnya itu. "Coba lagi."
"Baik, Bu." Kasir itu menurut dan mencoba kembali kartu kredit Ani.
Mata Ani memperhatikan kasir tersebut karena ia takut kalau kasir itu baru dan salah menginput hingga berujung dengan decline kartu kredit miliknya.
"Tetap tidak bisa, Bu," ucap kasir saat melihat tulisan decline di mesin EDC.
"Masa nggak bisa, sih?" tanya Ani kaget bercampur malu, dengan cepat ia memberikan kartu kredit yang lainnya namun, lagi-lagi Ani harus menahan malu karena kartunya kembali di decline.
"Bu ... ada kartu debit, tunai atau kartu lainnya?" tanya kasir tersebut dengan sesopan mungkin.
Ani yang mulai gelisah dan gundah gulana, akhirnya mengambil ponselnya dan menelepon suaminya, pada dering kedua Ani mendengar suara Rhoma. Suaminya.
"Rhoma ... kenapa kartu aku decline semuanya?"
"Ani ... oh ... Ani, jangan kau pakai kartu kredit itu, jangan Ani ... jangan," ucap Rhoma dengan nada suara tegar dan cepat.
"Kenapa, Rhoma? Ada apa?" tanya Ani yang mulai waswas karena mendengar suara Rhoma yang terdengar tidak seperti biasanya.
"Karena Ani, karena ...." Rhoma menggantung kalimatnya membuat Ani makin waswas.
"Rhoma ... katakan yang sejujurnya, Rhoma," bisik Ani pelan.
"Karena ... kita bangkrut, Ani."
"Apa? Tidak Rhoma ... tidak ...."
••
"Rhoma ... ada apa ini? Kenapa bisa kita jadi bangkrut? Kenapa, Rhoma? Jelaskan," isak Ani saat ia melihat suaminya Rhoma sedang menatap Ani dengan sendu terduduk di lantai rumahnya. Ani makin menjerit saat melihat beberapa orang yang berlalu lalang di sana mengambil beberapa barang elektronik dan benda-benda antik yang berharga di dalam rumahnya dengan tenang. "Eh ... itu guci keramat warisan leluhur jangan dibawa," pekik Ani saat melihat guci warisan keluarganya diangkut oleh salah satu orang yang mengenakan kaos partai. "Sudah, Ani ... sudah, biarkan mereka," ucap Rhoma pasrah saat melihat seperangkat sound sistem koleksinya diangkat. "Ini ada apa? Kenapa jadi gini? Kenapa tiba-tiba kamu bilang kita bangkrut?" tanya Ani panik sembari memukul bahu Rhoma beberapa kali. Rasa panik menyelimuti dirinya membuat Ani memukuli suaminya itu. "Ini kesalahan aku, Ani. Aku ... aku ditipu, Ani," bisik Rhoma. "Kok bisa? Siapa yang berani nipu kamu? Perusahaan kita
"Jangan ngaco, Daddy, mana ada desa di Indonesia namanya Water Candle, nggak usah ngelawak, Daddy," pekik Anya yang saat ini sedang tidak mood untuk diajak bercanda."Ada, Anya, namanya Cililin kalau diubah ke bahasa Inggris itu bisa jadi Water Candle." Rhoma mengambil surat tanah yang ada di meja dan menunjukkan sebuah sertifikat tanah ke keluarganya."Ci artinya air dalam bahasa Indonesia dan bila diubah ke bahasa Inggris akan berubah menjadi water, sedangkan lilin dalam bahasa Inggris berubah jadi candle. Jadi, kalau disatukan bisa jadi Water Candle," ucap Rhoma sembari mengangkat kedua jempolnya dan langsung mendapatkan lemparan sebuah bantal yang istrinya lemparkan."Ngaco kamu, Rhoma ... kamu nggak lagi bercanda, kan?" tanya Ani sembari mengusap keningnya karena pusing bukan main, punggungnya pun mulai terasa sakit sepertinya darah tingginya sedang kumat."Tidak, Ani. Tidak mungkin aku membohon
"No Daddy." Anya dan Boy berteriak keras saat melihat Rhoma mendapatkan bogem mentah hingga membuat Rhoma terpelanting ke lantai.Anya dan Boy dengan cepat berlari ke bawah, Anya mengambil stik golf milik Rhoma dan Boy mengambil panci yang entah kenapa ada di lantai."Hiya ...." Anya melayangkan stik golf ke arah pria yang menonjok Rhoma hingga membuat lelaki itu mengaduh kesakitan. "Pergi!?"Boy melayangkan pancinya mengenai orang yang ada di belakang pria yang menonjok Rhoma. "Pergi ... mau aku teriaki maling, hah?" teriak Boy yang kembali membawa benda apa pun yang ada di bawah kakinya dan melemparkannya ke arah gerombolan yang mendatangi rumahnya.Kegaduhan tidak terelakkan lagi, terlihat Anya dengan beringas melayangkan stik golf ke berbagai penjuru arah membuat beberapa orang di sana mundur, sedangkan Boy mengambil benda apa pun yang ada di kakinya mulai dari bantal, panci, gelas, remote TV, ulekan hingga benda apa pun yang tercecer akibat kegiatan
“Rhoma, apa itu?” tanya Ani saat melihat sebuah bus kecil berwarna biru cerah, secerah lampu-lampu yang ada di sekeliling mobil baik di bagian dalam dan luar mobil, mobil itu sangat meriah ditambah musik dangdut yang membahana luar biasa dari dalam speaker mobil. Ani bahkan langsung menyerngit saat mendengarkan lagu Ani yang seolah memanggil-manggil namanya.Ani, AniSungguh aku tahu kau rindu padakuAni, AniEngkau juga tahu 'ku rindu padamu (Rhoma Irama-Ani)“Ini mobil yang akan membawa kita ke Cililin, Ani,” sahut Rhoma sembari memasukkan koper-koper ke dalam mobil, Rhoma hanya bisa mengurut dada dan menyingsingkan lengan baju saat melihat betapa banyaknya koper yang keluarga mereka bawa padahal sudah banyak barang-barang yang diambil oleh orang Bank tapi, kenapa barang keluarganya masih banyak sekali.“Daddy, ini mobilnya?” tanya Boy bersemangat sembari mengenakan kaca mata hitam miliknya, ia sangat suka kar
“Hah ... hah ....” Napas Anya memburu saat sudah sampai di pekarangan rumah yang akan mereka tempati, lututnya hampir copet saat ia menginjakkan kakinya di teras rumah sederhana berwarna putih dan memiliki kayu ulir yang sudah termakan rayap.“Capek ... napas, minum ... kaki, tak kuasa,” racau Boy sembari duduk di samping Anya, keringat membanjiri tubuhnya dan wajahnya saat ini berubah warna menjadi merah.“Masih seneng jadi orang miskin, hah?” tanya Anya kesal pada adiknya itu, rasanya Anya ingin mencekik adiknya bila Boy berkata ia masih bahagia menjadi orang miskin.Boy menggeleng dan meminum air minum di botol hingga habis, dia tidak menyangka menjadi orang serba kekurangan harus mengandalkan tenaga sendiri untuk mencapai apa yang ia mau, tidak ada sopir yang mengantar mereka ke tempat tujuan dan tidak ada pembantu yang membantu mereka membawa semua barang-barang yang mereka bawa dari ujung jalan hingga sampai ke depan rum
Fikri Bulbul salah satu debt collector senior disalah satu agensi yang ada di kota Jakarta, dia terkenal andal dalam melakukan tugasnya untuk meminta kembali uang orang-orang yang berhutang pada pihak Bank atau pun lesing mobil. Keandalan Fikri bahkan sudah tersohor di seluruh Jakarta. "Fikri, kamu harus ambil kasus ini," ucap atasannya Bang Beng sambil menyerahkan sebuah amplop cokelat ke tangan Fikri yang sedang asik mengisap rokoknya. "Apa ini?" tanya Fikri sembari membaca informasi di dalam amplop tersebut dan tertawa membaca nama-nama orang yang tertera di sana. "Mereka ini keluarga Berirama, mereka sangat sulit untuk diminta pertanggung jawabannya. Bahkan, mereka melarikan diri ke daerah Cililin untuk kabur dari tanggung jawabnya," ucap Bang Beng sembari duduk di hadapan Fikri. "Wow ... kaburnya jauh juga, terus kenapa susah ditagih?" tanya Fikri sembari melihat foto KTP lelaki bernama Rhoma Berirama. "Susah, setiap yang datang pasti mereka sembun
"Rhoma, dia mati?" tanya Ani saat melihat Rhoma mendekati debt collector yang baru saja disambit oleh Rhoma karena membenamkan wajahnya ke payudara anak gadisnya. Kurang ajar."Sial ....""Kenapa? Mati dia?" tanya Boy kaget karena mendengar Rhoma mengumpah, seumur hidupnya baru sekarang dia mendengar Rhoma mengumpat. "Daddy, orang itu mati?" tanya Anya kaget karena melihat raut wajah Rhoma yang tampak bingung. "Kalau mati kasian, padahal ganteng.""Anya," ucap Ani yang kaget, bisa-bisanya anak semata wayangnya ini malah kecentilan sama orang yang sedang terkapar. "Tapi, ganteng, kan, Mom," ucap Anya yang ingin ketampanan debt collector itu diakui oleh Ibunya. "Ini malah berantem ganteng atau nggak, ini gimana? Daddy, ini beneran meninggal?" tanya Boy waswas kalau beneran meninggal mau dibuang ke mana mayatnya? Ya kali mau dilarung di sungai belakang rumah, ngeri bangkit dan menghantui keluarga mereka."Sialnya .... Dia ...." Rhoma menggantung kalimatnya sembari menatap seluruh kelu
"Kamu kenapa bisa gagal?" Bang Beng kaget saat mendengar perkataan Fikri dari sambungan telepon. "Aku dipukul entah hapa ini!? Entah panci, entah teko, entah ulekan kayu," unkap Fikri sembari menyentuh bagian belakang kepalanya yang masih sakit bukan kepalang."Hah ... bisa kita laporkan keluarga itu sebagai orang yang melakukan penganiyayan," ucap Bang Beng kaget karena Fikri yang notabene adalah debt collector paling munpuni bisa mundur dan tidak berhasil untuk menagih hutang keluarga Rhoma."Kalau Bang Beng laporin, aku juga bisa kena. Aku masuk tadi tanpa permisi, aku loncat pager dan ketahuan sama salah satu warga yang namanya Ety gadis jujur," jawab Fikri yang tertawa karena mengingat nama wanita yang memergoki dirinya tadi, astaga ... masih adakah orang tua di bumi pertiwi ini menamakan anaknya Ety gadis jujur? Nggak ada!"Hah ... Ety gadis jujur? Nama macam apa itu, makin aneh-aneh saja orang-orang di kampung itu, terus gimana? Sebentar lagi hutang keluarga Rhoma itu akan dis
"Ini rumah Pak RT," ucap Emal sembari menunjuk rumah bercat warna hitam kelam.Fikri mulai merasa tidak enak saat melihat rumah Pak RT, kenapa semua warna rumahnya hitam hingga gagang pintu dan kaso-kasonya pun hitam. Dan apa itu? Fikri memicingkan matanya melihat sepasang patung berbentuk seperti cumi-cumi."Ini rumahnya? Yakin?" tanya Fikri sembari menunjuk rumah tersebut."Yakinlah," sahut Emal santai."Ini bukan rumah sekte pemujaan cumi-cumi?" tanya Fikri sangsi, ayolah manusia waras mana yang memajang patung cumi-cumi di depan rumahnya!? Tidak mungkin Pak RT ini titisan siluman cumi-cumi."Bukan ... ini mah rumah Pak RT, kalau rumah dukun tuh di sana," ungkap Emal sembari menunjuk sebuah rumah yang terlihat megah."Dukun apa?" tanya Fikri spontan."Dukun sunat, mau disunat?" Emal balik bertanya sembari mengacungkan telunjuknya dan memperagakan adegan sunat di hadapan Fikri yang membuat lelaki itu bergidik."Ogah ... udah, kalau disunat lagi abis nanti," bisik Fikri sembari menge
"Kamu kenapa bisa gagal?" Bang Beng kaget saat mendengar perkataan Fikri dari sambungan telepon. "Aku dipukul entah hapa ini!? Entah panci, entah teko, entah ulekan kayu," unkap Fikri sembari menyentuh bagian belakang kepalanya yang masih sakit bukan kepalang."Hah ... bisa kita laporkan keluarga itu sebagai orang yang melakukan penganiyayan," ucap Bang Beng kaget karena Fikri yang notabene adalah debt collector paling munpuni bisa mundur dan tidak berhasil untuk menagih hutang keluarga Rhoma."Kalau Bang Beng laporin, aku juga bisa kena. Aku masuk tadi tanpa permisi, aku loncat pager dan ketahuan sama salah satu warga yang namanya Ety gadis jujur," jawab Fikri yang tertawa karena mengingat nama wanita yang memergoki dirinya tadi, astaga ... masih adakah orang tua di bumi pertiwi ini menamakan anaknya Ety gadis jujur? Nggak ada!"Hah ... Ety gadis jujur? Nama macam apa itu, makin aneh-aneh saja orang-orang di kampung itu, terus gimana? Sebentar lagi hutang keluarga Rhoma itu akan dis
"Rhoma, dia mati?" tanya Ani saat melihat Rhoma mendekati debt collector yang baru saja disambit oleh Rhoma karena membenamkan wajahnya ke payudara anak gadisnya. Kurang ajar."Sial ....""Kenapa? Mati dia?" tanya Boy kaget karena mendengar Rhoma mengumpah, seumur hidupnya baru sekarang dia mendengar Rhoma mengumpat. "Daddy, orang itu mati?" tanya Anya kaget karena melihat raut wajah Rhoma yang tampak bingung. "Kalau mati kasian, padahal ganteng.""Anya," ucap Ani yang kaget, bisa-bisanya anak semata wayangnya ini malah kecentilan sama orang yang sedang terkapar. "Tapi, ganteng, kan, Mom," ucap Anya yang ingin ketampanan debt collector itu diakui oleh Ibunya. "Ini malah berantem ganteng atau nggak, ini gimana? Daddy, ini beneran meninggal?" tanya Boy waswas kalau beneran meninggal mau dibuang ke mana mayatnya? Ya kali mau dilarung di sungai belakang rumah, ngeri bangkit dan menghantui keluarga mereka."Sialnya .... Dia ...." Rhoma menggantung kalimatnya sembari menatap seluruh kelu
Fikri Bulbul salah satu debt collector senior disalah satu agensi yang ada di kota Jakarta, dia terkenal andal dalam melakukan tugasnya untuk meminta kembali uang orang-orang yang berhutang pada pihak Bank atau pun lesing mobil. Keandalan Fikri bahkan sudah tersohor di seluruh Jakarta. "Fikri, kamu harus ambil kasus ini," ucap atasannya Bang Beng sambil menyerahkan sebuah amplop cokelat ke tangan Fikri yang sedang asik mengisap rokoknya. "Apa ini?" tanya Fikri sembari membaca informasi di dalam amplop tersebut dan tertawa membaca nama-nama orang yang tertera di sana. "Mereka ini keluarga Berirama, mereka sangat sulit untuk diminta pertanggung jawabannya. Bahkan, mereka melarikan diri ke daerah Cililin untuk kabur dari tanggung jawabnya," ucap Bang Beng sembari duduk di hadapan Fikri. "Wow ... kaburnya jauh juga, terus kenapa susah ditagih?" tanya Fikri sembari melihat foto KTP lelaki bernama Rhoma Berirama. "Susah, setiap yang datang pasti mereka sembun
“Hah ... hah ....” Napas Anya memburu saat sudah sampai di pekarangan rumah yang akan mereka tempati, lututnya hampir copet saat ia menginjakkan kakinya di teras rumah sederhana berwarna putih dan memiliki kayu ulir yang sudah termakan rayap.“Capek ... napas, minum ... kaki, tak kuasa,” racau Boy sembari duduk di samping Anya, keringat membanjiri tubuhnya dan wajahnya saat ini berubah warna menjadi merah.“Masih seneng jadi orang miskin, hah?” tanya Anya kesal pada adiknya itu, rasanya Anya ingin mencekik adiknya bila Boy berkata ia masih bahagia menjadi orang miskin.Boy menggeleng dan meminum air minum di botol hingga habis, dia tidak menyangka menjadi orang serba kekurangan harus mengandalkan tenaga sendiri untuk mencapai apa yang ia mau, tidak ada sopir yang mengantar mereka ke tempat tujuan dan tidak ada pembantu yang membantu mereka membawa semua barang-barang yang mereka bawa dari ujung jalan hingga sampai ke depan rum
“Rhoma, apa itu?” tanya Ani saat melihat sebuah bus kecil berwarna biru cerah, secerah lampu-lampu yang ada di sekeliling mobil baik di bagian dalam dan luar mobil, mobil itu sangat meriah ditambah musik dangdut yang membahana luar biasa dari dalam speaker mobil. Ani bahkan langsung menyerngit saat mendengarkan lagu Ani yang seolah memanggil-manggil namanya.Ani, AniSungguh aku tahu kau rindu padakuAni, AniEngkau juga tahu 'ku rindu padamu (Rhoma Irama-Ani)“Ini mobil yang akan membawa kita ke Cililin, Ani,” sahut Rhoma sembari memasukkan koper-koper ke dalam mobil, Rhoma hanya bisa mengurut dada dan menyingsingkan lengan baju saat melihat betapa banyaknya koper yang keluarga mereka bawa padahal sudah banyak barang-barang yang diambil oleh orang Bank tapi, kenapa barang keluarganya masih banyak sekali.“Daddy, ini mobilnya?” tanya Boy bersemangat sembari mengenakan kaca mata hitam miliknya, ia sangat suka kar
"No Daddy." Anya dan Boy berteriak keras saat melihat Rhoma mendapatkan bogem mentah hingga membuat Rhoma terpelanting ke lantai.Anya dan Boy dengan cepat berlari ke bawah, Anya mengambil stik golf milik Rhoma dan Boy mengambil panci yang entah kenapa ada di lantai."Hiya ...." Anya melayangkan stik golf ke arah pria yang menonjok Rhoma hingga membuat lelaki itu mengaduh kesakitan. "Pergi!?"Boy melayangkan pancinya mengenai orang yang ada di belakang pria yang menonjok Rhoma. "Pergi ... mau aku teriaki maling, hah?" teriak Boy yang kembali membawa benda apa pun yang ada di bawah kakinya dan melemparkannya ke arah gerombolan yang mendatangi rumahnya.Kegaduhan tidak terelakkan lagi, terlihat Anya dengan beringas melayangkan stik golf ke berbagai penjuru arah membuat beberapa orang di sana mundur, sedangkan Boy mengambil benda apa pun yang ada di kakinya mulai dari bantal, panci, gelas, remote TV, ulekan hingga benda apa pun yang tercecer akibat kegiatan
"Jangan ngaco, Daddy, mana ada desa di Indonesia namanya Water Candle, nggak usah ngelawak, Daddy," pekik Anya yang saat ini sedang tidak mood untuk diajak bercanda."Ada, Anya, namanya Cililin kalau diubah ke bahasa Inggris itu bisa jadi Water Candle." Rhoma mengambil surat tanah yang ada di meja dan menunjukkan sebuah sertifikat tanah ke keluarganya."Ci artinya air dalam bahasa Indonesia dan bila diubah ke bahasa Inggris akan berubah menjadi water, sedangkan lilin dalam bahasa Inggris berubah jadi candle. Jadi, kalau disatukan bisa jadi Water Candle," ucap Rhoma sembari mengangkat kedua jempolnya dan langsung mendapatkan lemparan sebuah bantal yang istrinya lemparkan."Ngaco kamu, Rhoma ... kamu nggak lagi bercanda, kan?" tanya Ani sembari mengusap keningnya karena pusing bukan main, punggungnya pun mulai terasa sakit sepertinya darah tingginya sedang kumat."Tidak, Ani. Tidak mungkin aku membohon
"Rhoma ... ada apa ini? Kenapa bisa kita jadi bangkrut? Kenapa, Rhoma? Jelaskan," isak Ani saat ia melihat suaminya Rhoma sedang menatap Ani dengan sendu terduduk di lantai rumahnya. Ani makin menjerit saat melihat beberapa orang yang berlalu lalang di sana mengambil beberapa barang elektronik dan benda-benda antik yang berharga di dalam rumahnya dengan tenang. "Eh ... itu guci keramat warisan leluhur jangan dibawa," pekik Ani saat melihat guci warisan keluarganya diangkut oleh salah satu orang yang mengenakan kaos partai. "Sudah, Ani ... sudah, biarkan mereka," ucap Rhoma pasrah saat melihat seperangkat sound sistem koleksinya diangkat. "Ini ada apa? Kenapa jadi gini? Kenapa tiba-tiba kamu bilang kita bangkrut?" tanya Ani panik sembari memukul bahu Rhoma beberapa kali. Rasa panik menyelimuti dirinya membuat Ani memukuli suaminya itu. "Ini kesalahan aku, Ani. Aku ... aku ditipu, Ani," bisik Rhoma. "Kok bisa? Siapa yang berani nipu kamu? Perusahaan kita