"Jangan ngaco, Daddy, mana ada desa di Indonesia namanya Water Candle, nggak usah ngelawak, Daddy," pekik Anya yang saat ini sedang tidak mood untuk diajak bercanda.
"Ada, Anya, namanya Cililin kalau diubah ke bahasa Inggris itu bisa jadi Water Candle." Rhoma mengambil surat tanah yang ada di meja dan menunjukkan sebuah sertifikat tanah ke keluarganya.
"Ci artinya air dalam bahasa Indonesia dan bila diubah ke bahasa Inggris akan berubah menjadi water, sedangkan lilin dalam bahasa Inggris berubah jadi candle. Jadi, kalau disatukan bisa jadi Water Candle," ucap Rhoma sembari mengangkat kedua jempolnya dan langsung mendapatkan lemparan sebuah bantal yang istrinya lemparkan.
"Ngaco kamu, Rhoma ... kamu nggak lagi bercanda, kan?" tanya Ani sembari mengusap keningnya karena pusing bukan main, punggungnya pun mulai terasa sakit sepertinya darah tingginya sedang kumat.
"Tidak, Ani. Tidak mungkin aku membohongi kamu dan anak-anak. Keberadaan rumah ini adalah benar adanya."
"Emang Daddy pernah ke sana?" tanya Boy yang benar-benar tidak tahu kalau Rhoma memiliki rumah di daerah bernama Water Candle itu, demi semua umat di muka bumi pertiwi kenapa pula Rhoma bisa terpikir memelesetkan nama Cililin menjadi Water Candle? Astaga.
"Nah itu, masalah terbesarnya. Daddy belum pernah ke sana jadi, Daddy nggak tahu kondisi rumahnya kaya gimana," ucap Rhoma jujur karena ia pun mendapatkan surat tanah itu terselip di antara tumpukkan celana dalamnya tadi.
"Daddy!?" pekik Anya dan Boy kesal karena kebodohan Rhoma yang membuat mereka naik darah.
"Tapi, setidaknya kita punya tempat berdiam dan bernaung, karena Daddy yakin besok dan seterusnya akan banyak debt collector yang datang untuk menagih hutang," ungkap Rhoma yang tahu kalau ada beberapa hutang kartu kredit, KTA (Kredit Tanpa Agunan) dan hutang lainnya yang sudah jatuh tempo.
"Aku tidak mau, Rhoma ... aku tidak mau pergi ke Cililin atau apa pun namanya itu, aku tidak bisa Rhoma, kamu tega." Ani langsung membayangkan tinggal di pedesaan yang jauh dari internet, jejaring TV kabel ataupun dari semua kenikmatan juga kemudahan yang ia dapatkan di kota besar.
"Ani ... tunggu Ani, kita harus ke sana," pinta Rhoma sembari duduk di samping Ani sembari berusaha menenangkan istrinya itu yang sudah terlihat letih, lesu dan kurang tenaga.
"Rhoma, nggak mungkin kita ke sana, kamu nggak liat Boy, sudah kelas dua SMA dan Anya sedang kuliah semester ...." Ani berpikir sebentar sudah semester berapa Anya itu, "kamu semester berapa Anya? Harusnya kamu udah mau lulus."
Anya hanya bisa menggaruk bagian belakang kepalanya dan memamerkan deretan giginya yang putih, "Semester ganjil, Mom."
"Iya semester ganjil itu berapa? Ih ... anak sama Bapak sama aja, sama-sama suka bikin teka teki silang," geram Ani sembari menunjuk hidung Anya dan Rhoma bergantian.
"Semester sebelas," cicit Anya yang terlambat lulus kuliah.
"Nah dengar, anak kamu Anya sudah semester 11, entah mau berapa ratus semester lagi dia di sana, lama banget kamu kuliah, Nak? Dosennya sayang banget atau kamu yang bengak?" tanya Ani yang tiba-tiba sadar kalau anaknya itu sudah terlalu lama kuliah.
"Semuanya bisa diatur, Ani, kita harus tinggal di Cililin Ani. Sampai keadaan keuangan kita kembali stabil, biar aku memulai bisnis usaha di sana, aku sudah memiliki banyak rencana untuk kembali memulai bisnis usaha," ungkap Rhoma.
"Kamu mau bisnis apa lagi? Kamu mau mulai dari awal? Kamu yakin? Kamu udah sepuh, Rhoma." Ani mengingatkan umur Rhoma yang sudah tidak muda lagi, rasanya Ani ingin mengingatkan keadaan Rhoma yang harus diusap pinggangnya dengan parcok karena salah bantal beberapa hari yang lalu.
Sekarang Rhoma malah ingin melakukan usaha baru yang pasti akan menyita waktu suaminya itu dan juga tenaga yang terkuras akan sangat banyak. Ani tidak mau suaminya itu sakit, astaga ... Ani tidak bisa membayangkan dirinya hidup sebagai seorang wanita, bangkrut, miskin, banyak hutang dan janda ditinggal mati pula. Menyedihkan.
"Kita coba, Ani. Karena kalau kita tetap di sini, aku khawatir kalau hidup kita tidak tenang karena akan banyak debt collector yang datang dan mengganggu kehidupan kita." Rhoma mengingatkan risikonya pada Ani.
"Lalu sekolah anak-anak gimana?" tanya Ani yang tetap mementingkan sekolah anak-anaknya, Ani memang cuek dengan anak-anaknya namun, ia tidak ingin anak-anaknya ini putus sekolah.
Rhoma menunjuk Boy, "Boy, bisa pindah sekolah ke SMAN 1 Cililin mungkin, dan ...." Rhoma menunjuk hidung Anya sambil berpikir keras apa yang harus dilakukan dirinya pada anak pertamanya itu.
"Aku ngapain, Daddy?" tanya Anya waswas, rasanya aneh saja bila Anya harus pindah kampus saat pertengahan kuliah.
"Daddy bingung kamu mau ngapain, karena kuliah kamu nggak selesai-selesai," lirih Rhoma yang sadar kalau anak pertamanya itu belum bisa mendapatkan tanggung jawab sama sekali.
"Daddy ...," bisik Anya kesal karena lagi-lagi ia dianggap seperti anak kecil di keluarganya. Tidak pernah diberikan tanggung jawab apa pun juga.
"Pokoknya kita harus, wajib, pindah ke Cililin, minggu depan kita harus pindah. Sekarang kita bisa tinggal ditempat ini untuk sementara waktu. Tapi, setelahnya kita harus pindah," ungkap Rhoma sembari menyerahkan satu persatu koper ke tangan Anya, Boy dan Ani yang hanya bisa pasrah menghadapi segalanya.
••
"Apa yang mau dibawa coba, Boy?" tanya Anya sembari menunjuk kamarnya yang kosong melompong dan hanya ada gundukan saja di kasur.
"Bawa yang penting aja," jawab Boy bersemangat.
Anya menatap adiknya yang terlihat sangat bersemangat. "Kamu ini, kita bangkrut kok malah happy? Otak kamu nggak lagi konslet, hah?" tanya Anya sembari mengetuk-ngetuk keningnya, Adiknya ini memang terkadang membuat Anya kesal. Si Cupu yang selalu dibully oleh teman-teman sekolahannya hanya karena masalah sepele dan tidak jelas.
"Nope ... aku lagi happy karena aku bisa pindah sekolah dan ninggalin semuanya dan memulai sesuatu yang baru, tanpa ada yang bakal bully aku, lagi." Boy menggerakkan alisnya ke atas dan ke bawah karena merasa sangat bahagia ia akhirnya bisa keluar juga dari sekolahnya.
"Kamu pindah ke SMA baru di Water Candle itu kamu dibully lagi palingan," ucap Anya seraya merangkul bahu Boy dan memiting badan adiknya itu hingga membuat Boy berteriak-teriak.
"Aw ... aw ... udah, udah." Boy meminta ampun agar Anya tidak melanjutkan pitingannya, tangannya menepuk-nepuk lengan Anya sekeras mungkin.
"Ampun, hah? Ampun?" tanya Anya yang sangat suka menyiksa adiknya itu.
"Ampun, Kak, Ampun ...." Boy mundur saat Anya melepaskan pitingannya, "ampun ... pantesan jomblo dari lahir, mana ada laki yang mau sama perempuan barbar kaya, Kak A ...." Boy sama sekali tidak melanjutkan perkataannya karena sudah dikejar Anya dengan menggunakan bantal.
Mereka berlari ke arah ruang keluarga dan kaget saat melihat kebagian bawah rumahnya yang langsung melihat pintu keluar rumah dan mendapati gerombolan orang berbadan tegap masuk ke dalam rumah secara paksa dan berteriak keras di hadapan Rhoma.
"Rhoma ... liat muka saya!? Saya tidak takut!? Kamu harus bayar hutang kamu, Rhoma!? Demi Tuhan!?" teriak lelaki berperawakan tinggi gelap dan berwajah mengerikan, lelaki itu mengentak-entakkan kaki kanannya ke lantai saat mengatakan kata demi Tuhan membuat Anya dan Boy ketakutan.
"Tenang, Bung, bisa kita bicarakan ... tenang," bujuk Rhoma ketakutan sembari mengangkat kedua tangannya berusaha menenangkan lelaki tersebut.
"Bayar hutang kamu, Rhoma!?" bentak lelaki itu keras.
"Tenang ... bisa kita bicarakan," pinta Rhoma yang berjuang untuk berbicara setenang mungkin padahal di dalam hatinya jantungnya bergoyang poco-poco saking takutnya.
"Alah ... bacot kamu, Rhoma," teriak lelaki itu dan mengangkat sebelah tangannya.
"No ... Daddy!?"
••
"No Daddy." Anya dan Boy berteriak keras saat melihat Rhoma mendapatkan bogem mentah hingga membuat Rhoma terpelanting ke lantai.Anya dan Boy dengan cepat berlari ke bawah, Anya mengambil stik golf milik Rhoma dan Boy mengambil panci yang entah kenapa ada di lantai."Hiya ...." Anya melayangkan stik golf ke arah pria yang menonjok Rhoma hingga membuat lelaki itu mengaduh kesakitan. "Pergi!?"Boy melayangkan pancinya mengenai orang yang ada di belakang pria yang menonjok Rhoma. "Pergi ... mau aku teriaki maling, hah?" teriak Boy yang kembali membawa benda apa pun yang ada di bawah kakinya dan melemparkannya ke arah gerombolan yang mendatangi rumahnya.Kegaduhan tidak terelakkan lagi, terlihat Anya dengan beringas melayangkan stik golf ke berbagai penjuru arah membuat beberapa orang di sana mundur, sedangkan Boy mengambil benda apa pun yang ada di kakinya mulai dari bantal, panci, gelas, remote TV, ulekan hingga benda apa pun yang tercecer akibat kegiatan
“Rhoma, apa itu?” tanya Ani saat melihat sebuah bus kecil berwarna biru cerah, secerah lampu-lampu yang ada di sekeliling mobil baik di bagian dalam dan luar mobil, mobil itu sangat meriah ditambah musik dangdut yang membahana luar biasa dari dalam speaker mobil. Ani bahkan langsung menyerngit saat mendengarkan lagu Ani yang seolah memanggil-manggil namanya.Ani, AniSungguh aku tahu kau rindu padakuAni, AniEngkau juga tahu 'ku rindu padamu (Rhoma Irama-Ani)“Ini mobil yang akan membawa kita ke Cililin, Ani,” sahut Rhoma sembari memasukkan koper-koper ke dalam mobil, Rhoma hanya bisa mengurut dada dan menyingsingkan lengan baju saat melihat betapa banyaknya koper yang keluarga mereka bawa padahal sudah banyak barang-barang yang diambil oleh orang Bank tapi, kenapa barang keluarganya masih banyak sekali.“Daddy, ini mobilnya?” tanya Boy bersemangat sembari mengenakan kaca mata hitam miliknya, ia sangat suka kar
“Hah ... hah ....” Napas Anya memburu saat sudah sampai di pekarangan rumah yang akan mereka tempati, lututnya hampir copet saat ia menginjakkan kakinya di teras rumah sederhana berwarna putih dan memiliki kayu ulir yang sudah termakan rayap.“Capek ... napas, minum ... kaki, tak kuasa,” racau Boy sembari duduk di samping Anya, keringat membanjiri tubuhnya dan wajahnya saat ini berubah warna menjadi merah.“Masih seneng jadi orang miskin, hah?” tanya Anya kesal pada adiknya itu, rasanya Anya ingin mencekik adiknya bila Boy berkata ia masih bahagia menjadi orang miskin.Boy menggeleng dan meminum air minum di botol hingga habis, dia tidak menyangka menjadi orang serba kekurangan harus mengandalkan tenaga sendiri untuk mencapai apa yang ia mau, tidak ada sopir yang mengantar mereka ke tempat tujuan dan tidak ada pembantu yang membantu mereka membawa semua barang-barang yang mereka bawa dari ujung jalan hingga sampai ke depan rum
Fikri Bulbul salah satu debt collector senior disalah satu agensi yang ada di kota Jakarta, dia terkenal andal dalam melakukan tugasnya untuk meminta kembali uang orang-orang yang berhutang pada pihak Bank atau pun lesing mobil. Keandalan Fikri bahkan sudah tersohor di seluruh Jakarta. "Fikri, kamu harus ambil kasus ini," ucap atasannya Bang Beng sambil menyerahkan sebuah amplop cokelat ke tangan Fikri yang sedang asik mengisap rokoknya. "Apa ini?" tanya Fikri sembari membaca informasi di dalam amplop tersebut dan tertawa membaca nama-nama orang yang tertera di sana. "Mereka ini keluarga Berirama, mereka sangat sulit untuk diminta pertanggung jawabannya. Bahkan, mereka melarikan diri ke daerah Cililin untuk kabur dari tanggung jawabnya," ucap Bang Beng sembari duduk di hadapan Fikri. "Wow ... kaburnya jauh juga, terus kenapa susah ditagih?" tanya Fikri sembari melihat foto KTP lelaki bernama Rhoma Berirama. "Susah, setiap yang datang pasti mereka sembun
"Rhoma, dia mati?" tanya Ani saat melihat Rhoma mendekati debt collector yang baru saja disambit oleh Rhoma karena membenamkan wajahnya ke payudara anak gadisnya. Kurang ajar."Sial ....""Kenapa? Mati dia?" tanya Boy kaget karena mendengar Rhoma mengumpah, seumur hidupnya baru sekarang dia mendengar Rhoma mengumpat. "Daddy, orang itu mati?" tanya Anya kaget karena melihat raut wajah Rhoma yang tampak bingung. "Kalau mati kasian, padahal ganteng.""Anya," ucap Ani yang kaget, bisa-bisanya anak semata wayangnya ini malah kecentilan sama orang yang sedang terkapar. "Tapi, ganteng, kan, Mom," ucap Anya yang ingin ketampanan debt collector itu diakui oleh Ibunya. "Ini malah berantem ganteng atau nggak, ini gimana? Daddy, ini beneran meninggal?" tanya Boy waswas kalau beneran meninggal mau dibuang ke mana mayatnya? Ya kali mau dilarung di sungai belakang rumah, ngeri bangkit dan menghantui keluarga mereka."Sialnya .... Dia ...." Rhoma menggantung kalimatnya sembari menatap seluruh kelu
"Kamu kenapa bisa gagal?" Bang Beng kaget saat mendengar perkataan Fikri dari sambungan telepon. "Aku dipukul entah hapa ini!? Entah panci, entah teko, entah ulekan kayu," unkap Fikri sembari menyentuh bagian belakang kepalanya yang masih sakit bukan kepalang."Hah ... bisa kita laporkan keluarga itu sebagai orang yang melakukan penganiyayan," ucap Bang Beng kaget karena Fikri yang notabene adalah debt collector paling munpuni bisa mundur dan tidak berhasil untuk menagih hutang keluarga Rhoma."Kalau Bang Beng laporin, aku juga bisa kena. Aku masuk tadi tanpa permisi, aku loncat pager dan ketahuan sama salah satu warga yang namanya Ety gadis jujur," jawab Fikri yang tertawa karena mengingat nama wanita yang memergoki dirinya tadi, astaga ... masih adakah orang tua di bumi pertiwi ini menamakan anaknya Ety gadis jujur? Nggak ada!"Hah ... Ety gadis jujur? Nama macam apa itu, makin aneh-aneh saja orang-orang di kampung itu, terus gimana? Sebentar lagi hutang keluarga Rhoma itu akan dis
"Ini rumah Pak RT," ucap Emal sembari menunjuk rumah bercat warna hitam kelam.Fikri mulai merasa tidak enak saat melihat rumah Pak RT, kenapa semua warna rumahnya hitam hingga gagang pintu dan kaso-kasonya pun hitam. Dan apa itu? Fikri memicingkan matanya melihat sepasang patung berbentuk seperti cumi-cumi."Ini rumahnya? Yakin?" tanya Fikri sembari menunjuk rumah tersebut."Yakinlah," sahut Emal santai."Ini bukan rumah sekte pemujaan cumi-cumi?" tanya Fikri sangsi, ayolah manusia waras mana yang memajang patung cumi-cumi di depan rumahnya!? Tidak mungkin Pak RT ini titisan siluman cumi-cumi."Bukan ... ini mah rumah Pak RT, kalau rumah dukun tuh di sana," ungkap Emal sembari menunjuk sebuah rumah yang terlihat megah."Dukun apa?" tanya Fikri spontan."Dukun sunat, mau disunat?" Emal balik bertanya sembari mengacungkan telunjuknya dan memperagakan adegan sunat di hadapan Fikri yang membuat lelaki itu bergidik."Ogah ... udah, kalau disunat lagi abis nanti," bisik Fikri sembari menge
Byur ....Suara ember terkena air terdengar sangat keras di kuping Ani, wanita paruh baya itu tiba-tiba merasakan rasa sakit di pinggangnya."Aduh ... aduh, pinggang aku," jerit Ani, Ani menyentuh pinggangnya yang seolah mau patah, umur memang tidak bisa berbohong diumurnya yang sudah menginjak 55 tahun Ani sudah bersahabat dengan semua jenis balsam yang dijual di warung."Ani ... oh ... Ani, kamu kenapa, Ani?" tanya Rhoma sembari berlari keluar dari dalam rumah, Rhoma khawatir bila terjadi sesuatu pada istri yang sudah menemaninya selama 30 tahun ini."Sakit ... ini kamu nggak ada cita-cita buat masang pompa air apa? Aku udah seminggu ini nimba mulu, encok aku, Rhoma," protes Ani yang pinggangnya sudah rontok karena harus menimba di pagi hari secara terus menerus.Rhoma memapah Ani untuk duduk disalah satu dipan panjang yang menghadap sumur, tangannya dengan cekatan mengusap pin
"Ini rumah Pak RT," ucap Emal sembari menunjuk rumah bercat warna hitam kelam.Fikri mulai merasa tidak enak saat melihat rumah Pak RT, kenapa semua warna rumahnya hitam hingga gagang pintu dan kaso-kasonya pun hitam. Dan apa itu? Fikri memicingkan matanya melihat sepasang patung berbentuk seperti cumi-cumi."Ini rumahnya? Yakin?" tanya Fikri sembari menunjuk rumah tersebut."Yakinlah," sahut Emal santai."Ini bukan rumah sekte pemujaan cumi-cumi?" tanya Fikri sangsi, ayolah manusia waras mana yang memajang patung cumi-cumi di depan rumahnya!? Tidak mungkin Pak RT ini titisan siluman cumi-cumi."Bukan ... ini mah rumah Pak RT, kalau rumah dukun tuh di sana," ungkap Emal sembari menunjuk sebuah rumah yang terlihat megah."Dukun apa?" tanya Fikri spontan."Dukun sunat, mau disunat?" Emal balik bertanya sembari mengacungkan telunjuknya dan memperagakan adegan sunat di hadapan Fikri yang membuat lelaki itu bergidik."Ogah ... udah, kalau disunat lagi abis nanti," bisik Fikri sembari menge
"Kamu kenapa bisa gagal?" Bang Beng kaget saat mendengar perkataan Fikri dari sambungan telepon. "Aku dipukul entah hapa ini!? Entah panci, entah teko, entah ulekan kayu," unkap Fikri sembari menyentuh bagian belakang kepalanya yang masih sakit bukan kepalang."Hah ... bisa kita laporkan keluarga itu sebagai orang yang melakukan penganiyayan," ucap Bang Beng kaget karena Fikri yang notabene adalah debt collector paling munpuni bisa mundur dan tidak berhasil untuk menagih hutang keluarga Rhoma."Kalau Bang Beng laporin, aku juga bisa kena. Aku masuk tadi tanpa permisi, aku loncat pager dan ketahuan sama salah satu warga yang namanya Ety gadis jujur," jawab Fikri yang tertawa karena mengingat nama wanita yang memergoki dirinya tadi, astaga ... masih adakah orang tua di bumi pertiwi ini menamakan anaknya Ety gadis jujur? Nggak ada!"Hah ... Ety gadis jujur? Nama macam apa itu, makin aneh-aneh saja orang-orang di kampung itu, terus gimana? Sebentar lagi hutang keluarga Rhoma itu akan dis
"Rhoma, dia mati?" tanya Ani saat melihat Rhoma mendekati debt collector yang baru saja disambit oleh Rhoma karena membenamkan wajahnya ke payudara anak gadisnya. Kurang ajar."Sial ....""Kenapa? Mati dia?" tanya Boy kaget karena mendengar Rhoma mengumpah, seumur hidupnya baru sekarang dia mendengar Rhoma mengumpat. "Daddy, orang itu mati?" tanya Anya kaget karena melihat raut wajah Rhoma yang tampak bingung. "Kalau mati kasian, padahal ganteng.""Anya," ucap Ani yang kaget, bisa-bisanya anak semata wayangnya ini malah kecentilan sama orang yang sedang terkapar. "Tapi, ganteng, kan, Mom," ucap Anya yang ingin ketampanan debt collector itu diakui oleh Ibunya. "Ini malah berantem ganteng atau nggak, ini gimana? Daddy, ini beneran meninggal?" tanya Boy waswas kalau beneran meninggal mau dibuang ke mana mayatnya? Ya kali mau dilarung di sungai belakang rumah, ngeri bangkit dan menghantui keluarga mereka."Sialnya .... Dia ...." Rhoma menggantung kalimatnya sembari menatap seluruh kelu
Fikri Bulbul salah satu debt collector senior disalah satu agensi yang ada di kota Jakarta, dia terkenal andal dalam melakukan tugasnya untuk meminta kembali uang orang-orang yang berhutang pada pihak Bank atau pun lesing mobil. Keandalan Fikri bahkan sudah tersohor di seluruh Jakarta. "Fikri, kamu harus ambil kasus ini," ucap atasannya Bang Beng sambil menyerahkan sebuah amplop cokelat ke tangan Fikri yang sedang asik mengisap rokoknya. "Apa ini?" tanya Fikri sembari membaca informasi di dalam amplop tersebut dan tertawa membaca nama-nama orang yang tertera di sana. "Mereka ini keluarga Berirama, mereka sangat sulit untuk diminta pertanggung jawabannya. Bahkan, mereka melarikan diri ke daerah Cililin untuk kabur dari tanggung jawabnya," ucap Bang Beng sembari duduk di hadapan Fikri. "Wow ... kaburnya jauh juga, terus kenapa susah ditagih?" tanya Fikri sembari melihat foto KTP lelaki bernama Rhoma Berirama. "Susah, setiap yang datang pasti mereka sembun
“Hah ... hah ....” Napas Anya memburu saat sudah sampai di pekarangan rumah yang akan mereka tempati, lututnya hampir copet saat ia menginjakkan kakinya di teras rumah sederhana berwarna putih dan memiliki kayu ulir yang sudah termakan rayap.“Capek ... napas, minum ... kaki, tak kuasa,” racau Boy sembari duduk di samping Anya, keringat membanjiri tubuhnya dan wajahnya saat ini berubah warna menjadi merah.“Masih seneng jadi orang miskin, hah?” tanya Anya kesal pada adiknya itu, rasanya Anya ingin mencekik adiknya bila Boy berkata ia masih bahagia menjadi orang miskin.Boy menggeleng dan meminum air minum di botol hingga habis, dia tidak menyangka menjadi orang serba kekurangan harus mengandalkan tenaga sendiri untuk mencapai apa yang ia mau, tidak ada sopir yang mengantar mereka ke tempat tujuan dan tidak ada pembantu yang membantu mereka membawa semua barang-barang yang mereka bawa dari ujung jalan hingga sampai ke depan rum
“Rhoma, apa itu?” tanya Ani saat melihat sebuah bus kecil berwarna biru cerah, secerah lampu-lampu yang ada di sekeliling mobil baik di bagian dalam dan luar mobil, mobil itu sangat meriah ditambah musik dangdut yang membahana luar biasa dari dalam speaker mobil. Ani bahkan langsung menyerngit saat mendengarkan lagu Ani yang seolah memanggil-manggil namanya.Ani, AniSungguh aku tahu kau rindu padakuAni, AniEngkau juga tahu 'ku rindu padamu (Rhoma Irama-Ani)“Ini mobil yang akan membawa kita ke Cililin, Ani,” sahut Rhoma sembari memasukkan koper-koper ke dalam mobil, Rhoma hanya bisa mengurut dada dan menyingsingkan lengan baju saat melihat betapa banyaknya koper yang keluarga mereka bawa padahal sudah banyak barang-barang yang diambil oleh orang Bank tapi, kenapa barang keluarganya masih banyak sekali.“Daddy, ini mobilnya?” tanya Boy bersemangat sembari mengenakan kaca mata hitam miliknya, ia sangat suka kar
"No Daddy." Anya dan Boy berteriak keras saat melihat Rhoma mendapatkan bogem mentah hingga membuat Rhoma terpelanting ke lantai.Anya dan Boy dengan cepat berlari ke bawah, Anya mengambil stik golf milik Rhoma dan Boy mengambil panci yang entah kenapa ada di lantai."Hiya ...." Anya melayangkan stik golf ke arah pria yang menonjok Rhoma hingga membuat lelaki itu mengaduh kesakitan. "Pergi!?"Boy melayangkan pancinya mengenai orang yang ada di belakang pria yang menonjok Rhoma. "Pergi ... mau aku teriaki maling, hah?" teriak Boy yang kembali membawa benda apa pun yang ada di bawah kakinya dan melemparkannya ke arah gerombolan yang mendatangi rumahnya.Kegaduhan tidak terelakkan lagi, terlihat Anya dengan beringas melayangkan stik golf ke berbagai penjuru arah membuat beberapa orang di sana mundur, sedangkan Boy mengambil benda apa pun yang ada di kakinya mulai dari bantal, panci, gelas, remote TV, ulekan hingga benda apa pun yang tercecer akibat kegiatan
"Jangan ngaco, Daddy, mana ada desa di Indonesia namanya Water Candle, nggak usah ngelawak, Daddy," pekik Anya yang saat ini sedang tidak mood untuk diajak bercanda."Ada, Anya, namanya Cililin kalau diubah ke bahasa Inggris itu bisa jadi Water Candle." Rhoma mengambil surat tanah yang ada di meja dan menunjukkan sebuah sertifikat tanah ke keluarganya."Ci artinya air dalam bahasa Indonesia dan bila diubah ke bahasa Inggris akan berubah menjadi water, sedangkan lilin dalam bahasa Inggris berubah jadi candle. Jadi, kalau disatukan bisa jadi Water Candle," ucap Rhoma sembari mengangkat kedua jempolnya dan langsung mendapatkan lemparan sebuah bantal yang istrinya lemparkan."Ngaco kamu, Rhoma ... kamu nggak lagi bercanda, kan?" tanya Ani sembari mengusap keningnya karena pusing bukan main, punggungnya pun mulai terasa sakit sepertinya darah tingginya sedang kumat."Tidak, Ani. Tidak mungkin aku membohon
"Rhoma ... ada apa ini? Kenapa bisa kita jadi bangkrut? Kenapa, Rhoma? Jelaskan," isak Ani saat ia melihat suaminya Rhoma sedang menatap Ani dengan sendu terduduk di lantai rumahnya. Ani makin menjerit saat melihat beberapa orang yang berlalu lalang di sana mengambil beberapa barang elektronik dan benda-benda antik yang berharga di dalam rumahnya dengan tenang. "Eh ... itu guci keramat warisan leluhur jangan dibawa," pekik Ani saat melihat guci warisan keluarganya diangkut oleh salah satu orang yang mengenakan kaos partai. "Sudah, Ani ... sudah, biarkan mereka," ucap Rhoma pasrah saat melihat seperangkat sound sistem koleksinya diangkat. "Ini ada apa? Kenapa jadi gini? Kenapa tiba-tiba kamu bilang kita bangkrut?" tanya Ani panik sembari memukul bahu Rhoma beberapa kali. Rasa panik menyelimuti dirinya membuat Ani memukuli suaminya itu. "Ini kesalahan aku, Ani. Aku ... aku ditipu, Ani," bisik Rhoma. "Kok bisa? Siapa yang berani nipu kamu? Perusahaan kita