"Eh elu, tuh, ya benar-benar kurang ajar! Gak ada akhlak lu, Mid! Udah nyakitin hati, masih juga nyakitin fisik. Kalau sampe Lisa kenapa-kenapa, lihat aja gue bakal bantu Lisa bikin laporan ke kepolisian. Dengan tuduhan kekerasan dalam rumah tangga. Dengar itu, Hamid!"Dari balik dinding kamar, dapat kudengar suara orang berteriak di seberang sana. Aku berusaha mengangkat kepala, tapi ternyata sakitnya luar biasa. Setelahnya kuusap bagian yang terasa nyeri dan ternyata …."Aw …." Aku meringis, menahan rasa sakit yang mendera.Pantas saja sakit begini. Benjol cukup besar rupanya.Aku mengingat-ingat lagi bagaimana kronologinya sampai kepalaku benjol begini. Ya, aku ingat, kepalaku terkena lemparan kursi saat Mas Hamid yang mungkin merasa direndahkan, mengamuk pada Zaki.Aku menarik napas dalam-dalam.Alhamdulillah, aku masih bisa mengingatnya, berarti aku tak amnesia. Terima kasih ya Allah. Aku masih pantas bersyukur. Meski agak sakit tapi tak sampai lupa ingatan. Kasihan orang tuaku k
Sejenak aku terjebak dalam kebimbangan dengan apa yang mungkin sedang dibahas Zaki bersama ibunya. Benarkah aku memang harus kembali ke rumah Zaki?Aku menarik napas panjang saat merasa tak yakin dengan sandiwara yang harus kulakukan selanjutnya. Tapi …maksa tinggal seorang diri di sini pun aku punya banyak ketakutan. Salah satunya aku masih was-was jika Mas Hamid kembali lagi malam ini."Lis, lu ikut gue balik ke rumah aja, ya, malam ini," ucap Zaki sesaat setelah dia mengakhiri panggilan dengan sang mama."Tapi uang Evi? Gimana? Aku belum sempat transfer, nih," ujarku ketika mengingat pasal sahabat baikku itu.Zaki berdecak lirih."Gampang .... Ayo!" Tanpa kompromi, pria bertubuh tinggi ini langsung menggendong dan membawaku menuju mobil. Sengaja dia menempatkanku di jok belakang supaya bisa berbaring. "Kunci rumah lu, di dalam tas yang tadi, kan, ya?" tanyanya buru-buru."Iya," balasku singkat.Terlihat Zaki bergegas kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil tas sekaligus meng
"Jawab, Alisa! Kenapa diam saja, ha?!" Masih dengan raut wajah tak bersahabat, Bu Naimah mendesak agar aku segera memberikan jawaban.Aku yang merasakan seluruh tubuhku terasa membeku, seperti tak punya kuasa bahkan untuk menjawab sepatah dua patah pertanyaan darinya."Ada apa ini?" Perhatian Bu Naimah dariku teralihkan saat menyadari suara seorang lelaki memecah suasana tegang di ruang tamu ini.Zaki?Kenapa dia balik lagi? Ah, tapi baguslah. Biar dia saja yang menjawab pertanyaan ibunya. Mau dia jujur atau pun melanjutkan sandiwaranya aku tak peduli.Di sini aku hanya menjalankan tugas sesuai arahan sebagai syarat dapat pinjaman uang tadi malam."Ada apa, Ma?" tanya Zaki sambil menarik langkah mendekati sang ibu."Kamu tahu, Zaki. Dia ini sudah menikah. Kamu jangan mau dibohongi, Zak." Masih dengan raut wajah yang terlihat tegang, Bu Naimah melirik padaku dengan tatapan tak suka. Jelas sekali wanita itu kesal karena merasa dibohongi. Mungkin, sama kesalnya dengan saat aku mengetahui
"Ya … kalau bisa juga aku pengen kali cerai sama dia hari ini juga. Cuma kan nggak semudah itu, Zak. Lagian gimana aku ngurusnya coba? Suruh pindah buru-buru. Cerai buru-buru. Gak tau apa kepala sama pundak aku masih sakit." Aku mengomel saat merasa nyeri di bahu dan kepala tiba-tiba datang mengganggu. Zaki diam sebentar. Sesekali dia melirik padaku yang terkadang meringis—menahan sakit."Mau ke rumah sakit?" tanyanya dengan raut wajah … khawatir?"Nggak usah. Cuma sakit dikit, kok," tolakku halus."Hm oke."Suasana hening menjeda sampai Zaki menyampaikan sebuah ide."Kalau lu mau, gue bisa bantu urusan perceraian lu biar lebih praktis. Lu bayar pengacara aja. Tapi biayanya, potong dari harga rumah, gimana?" ujar Zaki tiba-tiba. Membuatku sontak tersenyum semringah. Benarkah dia mau membantuku lagi? "Serius? Kamu bisa bantu aku mengurus perceraian aku sama Mas Hamid?" tanyaku ragu."Ya …. Yang penting, yang mau dibantu diuruskan, nggak banyak sandiwara. Takutnya, ntar pas mediasi,
Aku merasa seperti kembali ke zaman di mana aku pertama kali merantau ke kota ini. Hidup seorang diri menghuni sebuah rumah kontrakan. Ya, Zaki membuatku merasa seperti terdampar di daerah asing sekarang."Permisi ...."Suara seorang wanita mengagetkanku. Gegas aku berjalan menuju pintu untuk melihat siapa yang datang."Permisi. Mbak. Apa betul, Mbak yang namanya Lisa?" tanya seorang wanita paruh baya bermata agak sipit, begitu aku membuka pintu."Iya, betul, Bu," jawabku pelan. "Oh, iya. Perkenalkan saya Bu Ana. Pemilik rumah kontrakan ini. Rumah saya ada di ujung gang ini, cat warna rumah warna biru muda," terang Bu Ana dengan tangan menunjuk ke arah kiri."Oh, iya, Bu. Silakan masuk."Aku membuka pintu lebih lebar. Tapi Bu Ana menolak untuk masuk. "Saya ke sini, cuma mau mengantarkan ini. Jadi, mas-nya yang kemarin cuma bayar sewa rumah. Untuk air dan listrik, bayar sendiri, ya, Mbak. Ini nomor pelanggan PDAM-nya, kalau nomor token listrik, Mbak bisa lihat pada meteran, ya." Bu A
[Oh iya nggak apa-apa. Santai aja.] Aku membalas setelah mengambil jarak sekitar beberapa menit.[Sip.]Dan percakapan teks berakhir begitu saja.***Sore ini, sesuai janji, Zaki datang ke rumah dengan membawa surat kuasa untuk aku tanda tangani. Surat DNA Meisha pun turut diambil sebagai bukti yang akan disertakan untuk mendaftarkan gugatan perceraian."Ya udah, gue pulang dulu, ya," ujar Zaki setelah segala keperluan dan urusan telah terselesaikan."Iya.""Soal uang penjualan rumah nanti gue kirim rinciannya, ya.""Ok."Zaki pun lantas berjalan santai menuju ke tempat di mana mobilnya diparkirkan."Zak!" Aku memanggilnya dengan sedikit lantang, membuatnya yang hampir menaiki mobilnya, menoleh padaku."Makasih."Tak menjawab, Zaki hanya tersenyum tipis sambil menganggukkan kepala. Tak berselang lama, terlihat dia merogoh saku celana dengan sedikit gugup.Terlihat dari kejauhan, pria bertubuh tinggi itu mengangkat telepon dengan senyum terkembang sempurna.Rani kah yang menelepon? Ke
"Lis, kok malah nangis?" Saat mungkin menyadari ada air mata yang menetes di pipiku, Evi buru-buru menyodorkan selembar tissue padaku.Mendengar teguran Evi, aku memilih diam."Maaf, ya. Sepertinya ucapanku tadi ... jadi bikin kamu sakit hati. Maaf." Evi memegang tanganku dengan raut wajah bersalah saat menatap wajahku. Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum getir. Tak merasa seharusnya Evi meminta maaf seperti itu."Enggak juga, Vi. Ucapanmu ada benarnya, kok. Mungkin, aku yang terlalu cepat mengambil keputusan, tapi semuanya sudah terlambat, Vi. Proses perceraian kami sudah berjalan cukup jauh," ucapku setengah menyalahkan diri sendiri."Aku, sih, nggak ada buat hak ikut campur, Lis. Cuma, aku sarankan sebaiknya kamu shalat Istikharah dulu, deh, mendingan. Buat minta petunjuk, karena yang aku lihat, kamu seperti masih ragu-ragu sekarang, Lis. Jika sekali belum mantap, lakukan lagi sampai kamu benar-benar menemukan pilihan yang membuatmu merasa mantap." Evi memberikan saran dan n
"Demi aku, maksudnya, apa, Zak? Aku nggak ngerti." Aku bertanya dengan ekspresi yang pasti menunjukkan raut wajah bingung di depan Zaki.Ucapannya barusan memang membuat otakku blank dan tak mengerti apa maksudnya. Dan gaya bicaranya yang mendadak jadi aku-kamu pun terdengar aneh di telinga.Kalau dia bilang gara-gara aku dia jadi putus dengan Rani, rasanya terlalu berlebihan. Bagaimana tidak, bukankah hubungan aku dan Zaki sudah renggang belakangan ini?Tidak! Ini pasti cuma alasan dia saja karena kesal apa yang sempat ditakutkannya hari itu terjadi."Nggak ada. Nggak ada. Pokoknya gue gak mau tahu, kalau sampai batal cerai dengan Hamid, elu bakal gue denda karena udah bikin gue buang-buang waktu nolongin elu selama ini."Aku berdecak lirih. Merasa kesal padanya yang ternyata menolongku bukan tanpa pamrih.Perhitungan!"Ingat! Kalau sampai lu balikan sama Hamid, elu harus bayar denda karena bikin gue buang-buang waktu gue yang berharga! Paham!" Zaki menunjuk wajahku saat memperingatk