"Mungkin, keputusan cerai dari Mas Hamid memang pilihan terbaik, Vi." Sesampainya di rumah kontrakan, aku terisak saat menyampaikan hal yang sebelumnya membuatku ingin menarik keputusan.Evi menatapku sendu."Apa kamu yakin Mas Hamid benar-benar balikan sama Nova? Siapa tahu Nova dan anaknya cuma sedang main, Lis." Evi terdengar masih ingin berprasangka baik."Apa kamu nggak lihat bagaimana bahagianya mereka tadi?" Tanpa terasa intonasiku naik setengah oktaf saat mengolok Evi yang seolah ingin selalu membela Mas Hamid."Ya sudah. Ya sudah, terserah kamu saja, Lis. Apa pun keputusan kamu, aku dukung.""Memang seharusnya begitu."***Aku tersentak saat menyadari Zaki menelepon malam harinya."Gimana, jadi cerai atau mau gue denda?" tanyanya terdengar ketus."Cerai," jawabku tanpa keraguan barang sedikit pun."Lu serius?"Loh, kenapa dia malah kayak aneh begini tanggapannya?"Tentu saja.""Oke siap. Gue tunggu sampai surat cerai lu turun.""Iya ta—."Belum sempat aku membalas ucapannya,
"Oh … jadi dengan cara seperti ini aku harus berucap terima kasih padamu?" tanyaku dengan batin yang kian terasa pilu saat menatap Zaki yang terduduk kaku di sampingku, pasca sang ibu melontarkan hinaan pedas itu.Zaki menatapku dengan tatapan bersalah. Pancaran matanya seperti menyiratkan sebuah penyesalan yang aku tak tahu apa sebabnya."Lis." Lirih suara Zaki saat menyebut namaku yang kini seperti sedang ditelanjangi di hadapan orang tuanya. Terutama Bu Naimah yang jelas-jelas menganggap gelar janda seperti sebuah kenistaan yang tak termaafkan.Aku tak mengerti dengan jalan pikiran Zaki yang tiba-tiba ingin memperkenalkan aku sebagai calon istri di hadapan orang tuanya, bahkan di hari pertama aku menyandang status janda.Apa dia pikir status baruku ini sebuah lelucon, sehingga dia sangat antusias ingin mempermalukan aku hari ini juga?"Terima kasih karena sudah membantu mengurus perceraianku selama ini, dan terima kasih juga atas hinaan yang diberikan setelah gelar janda ini kudapa
"Aku mau kau menjadi istriku, Alisa."Malam ini, enam kata itu terus terngiang di telinga, membuat kepalaku pusing. Dan rasanya bakal ampuh membuat tidurku terganggu malam ini.Tidak, cukup sudah. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus mengakhiri semua kekonyolan ini.Aku yang selama ini diam-diam mengantar surat lamaran kerja ke beberapa PT, tersenyum senang saat melihat email masuk ke ponselku pagi ini."Interview? Alhamdulillah."Bagai mendapat kado di hari spesial, aku berjingkrak gembira saat akhirnya bakal bisa merealisasikan rencanaku dalam waktu dekat. Membuka lembaran hidup baru dan menjauh dari mereka-mereka yang pernah begitu dalam menorehkan luka di hati, adalah pilihan terbaik. Ya pilihan terbaik.Hari ini, aku memutuskan izin cuti agar bisa melakukan interview di salah satu PT di daerah Cikarang Selatan.Selama beberapa hari ini, sambil menunggu hasil interview dan tes, aku menjalani kerjaku seperti biasanya. Bahkan desas-desus Zaki tak masuk kantor karena sakit pun tak men
Aku tertawa sumbang saat merasa Zaki tengah membuat lelucon tak bermutu sore ini. Ketika mengatakan tengah memperjuangkan cintanya. Cinta yang seperti apa? Cinta pada siapa?"Apa kamu punya incaran baru setelah putus dengan Rani hari itu? Siapa orangnya? Apa dia tinggal di sekitar sini?" tanyaku padanya yang sedari tadi tak melepas pandangan dariku."Ya, namanya Alisa Nurhafiza," balasnya pelan tapi terdengar lugas saat menyebut namaku.Kali ini aku tertawa lebih keras. Merasa dia tengah membuat lelucon paling jenaka di abad ini.Bagaimana tidak, bukankah sebelum ini dia mengatakan tak menyukai cewek Barbar dan Lola sepertiku?Kenapa sekarang dia seperti ingin menjilat ludahnya sendiri?Tidak itu saja! Akan terasa sangat aneh saat seorang direktur muda sepertinya, menyukai mantan office girl yang juga bergelar sebagai seorang janda.Benar-benar tak laku, kah dia ini? Ah, rasanya tidak mungkin. Secara, dia ini bos kan? Lantas, apa maksudnya dia mengutarakan cinta pada seorang janda sep
Selama dalam perjalanan menuju Solo, aku sama sekali tak berminat melakukan percakapan apa pun dengan Zaki yang tampak fokus menyetir.Bukan aku tak ingin berterima kasih atau tak tahu diri, cuma keinginan untuk mengobrol dan berbasa-basi memang tak ada.Hanya sesekali aku melirik ponsel sambil memantau keadaan Bapak dari pesan WA yang dikirimkan adikku.Ketika sudah sampai ke perbatasan Jogja sebelah timur, aku dibuat risau saat Dini berhenti memberikan kabar tentang kondisi Bapak.Apa yang terjadi pada Bapak? Kenapa Dini tak mengabari lagi?Hampir pukul 23.00 malam, saat sampai di kampung halaman, tepatnya di depan pelataran rumahku, aku dibuat lemas seketika, saat di depan pekarangan rumahku sudah terpasang bendera merah—bendera lelayu."Mbak, Bapak, Mbak." Dini yang masih berada di rumah sakit, menelepon sambil menangis.Ya Allah."Innalilahi wa innailaihi raji'un."Aku terus menyalahkan diriku sendiri saat merasa kondisi Bapak makin bertambah parah setelah mengetahui kabar percer
Terlihat oleh sepasang mataku, Bu Naimah bergeming dengan mata yang menatap lurus ke depan. Dalam tangkapanku, wanita paruh baya itu sama sekali tak tersentuh dengan kesungguhan sang anak yang bertekad untuk menjadikan diriku pasangan hidupnya. Terbukti, dia hanya bersedekap dengan raut wajah tak peduli. Membuat nyali dalam diriku jadi ciut kembali.Apakah keputusanku menerima ungkapan cinta dari lelaki yang belum pernah menikah ini adalah sebuah kesalahan besar?Ingin rasanya aku bangkit dan menghentikan permohonan Zaki yang sepertinya sulit membuahkan hasil. Namun, kutahan. Takut putra sulung Pak Yasman justru berbalik marah padaku dan kecewa karena aku menyerah begitu saja. Tak mau memperjuangkan cinta kami.Hah? Cinta? Apa kau yakin seratus persen kalau hatimu telah tertambat pada seorang Zaki, Alisa?Aku sendiri belum bisa memastikan sebenarnya. Apakah ini cinta atau … sekedar rasa nyaman karena diperhatikan? Entahlah, aku tak mengerti.Untuk beberapa lama, Zaki tetap berada di p
"Cukup, Ma. Ingat, Lisa sudah resmi jadi istriku sekarang," ucap Zaki penuh ketegasan. Membuat Bu Naimah bungkam dalam seketika. Namun, tatapan sengitnya tak pernah beranjak dariku."Puas kamu? Puas kamu karena sudah berhasil memanipulasi otak anak saya, ha?" bentak Bu Naimah dengan suara lantang.Memanipulasi otak Zaki, Bu Naimah bilang? Bukankah tuduhan itu terlalu keji?"Berhenti, Ma. Cukup!"Melihat istri dan anaknya masih saja terjebak dalam suasana tegang, bahkan di hari pertama aku bergelar sebagai menantu, membuat Pak Yasman menarik napas panjang dan geleng kepala berulang kali."Sudah, Ma. Sudah." Terlihat Pak Yasman kembali berusaha mendinginkan hati sang istri."Ck! Ya sudah sana kalau mau pergi, ya, pergi aja, ngapain lama-lama di sini? Mau berbangga diri karena telah berhasil memperalat anakku untuk kepentinganmu? Aku tahu, wanita miskin sepertimu cuma mengincar anakku, iya, kan? Dasar mata duitan!" sambar Bu Naimah ketus saat menatapku.Deg!Ya ampun, selain memanipulasi
Usai menyalami aku dan Zaki, terlihat Mas Hamid menyalami ibuku dengan takzim. Sebelum turun, kulihat mantan suamiku mengusap sudut matanya dengan punggung tangan.Ada apa? Apakah dia menangis?Ya Allah …. Hatiku tergores lagi."Selamat ya, Mbak. Semoga bahagia selalu," ucap Lina yang terakhir menyalamiku. Aku menatap wajah mantan adik iparku dengan seksama, lalu memeluknya erat.Dia … telah banyak berubah sekarang. Terlihat sedikit lebih dewasa dan penuh sopan santun."Maafin aku, ya, Lin," ucapku lirih. Lina mengangguk sambil tersenyum. Seketika aku ingin memaki diriku sendiri yang dulu pernah begitu menyakitinya.Bukankah kakinya bahkan pernah ketumpahan kuah sup karena ulahku?Mereka bertiga lantas meninggalkan kami untuk mengambil makanan. Aku menunduk. Tak sanggup melihat orang yang pernah menjadi bagian dari hidupku, kini hadir untuk merestui aku yang akan memulai hidup baru dengan orang lain. Orang yang bahkan lebih dulu dekat dengan mereka daripada aku.Aku mengangkat wajah
"Mas, apa mereka sudah menikah?" tanyaku pelan saat langkah Zaki dan Evi semakin dekat.Mas Hamid tak menyahut, matanya terus dia fokuskan pada dua orang yang sempat mengukir sejarah dengan kenangan bertolak belakang dalam hidupku."Mas." Aku yang memang diliputi rasa penasaran, berusaha memaksa suamiku sekedar untuk memberi jawaban 'sudah' atau 'belum'. Namun, agaknya Mas Hamid masih belum tertarik membagi informasi yang belum aku ketahui tentang mereka."Nanti, kapan-kapan aku ceritain semua, ya, Sayang," balasnya dengan senyum terukir di bibir dan tanpa menatapku. Karena memang fokusnya terus ia arahkan ke arah sana, pasangan yang sepertinya sedang dimabuk asmara. Zaki Rafandra Zulfikar dan Selvi Adinara Putri.Mendadak, aku terjebak perasaan canggung saat Evi dan Zaki yang jalan beriringan mulai menaiki pelaminan.Tak cuma aku, rasanya … Evi pun tak kalah canggung kali ini. Terbukti, gadis manis itu buru-buru melepas genggaman tangan Zaki dengan sangat gugup beberapa saat sebelum
Aku menghapus air mata sambil mengangguk malu sebagai jawaban atas pertanyaan yang dilayangkan Bu Ida padaku—tentang kesediaanku kembali menjadi menantunya."Terima kasih, Nak. Terima kasih karena sudi memberi kesempatan pada Hamid sekali lagi." Dengan mata yang menunjukkan bias kaca, Bu Ida kembali memeluk diriku. Menyalurkan rasa yang mungkin sama dengan apa yang tengah aku rasakan sekarang. Haru dan bahagia yang membaur indah menjadi satu.Aku mengangguk dalam pelukannya. Ah, aku bahkan sampai kehabisan kata-kata untuk mengekspresikan betapa bahagianya aku saat ini."Lisa, Nduk. Kalau begini ceritanya, apa iya kamu masih betah lama-lama di kamar? Ndak penasaran, toh sama wajah calon suamimu?" ledek Ibu ketika tiba-tiba muncul dari balik pintu. Membuatku tersipu malu."Ayo, Nak." Dengan penuh kasih sayang, Bu Ida menggandeng tanganku dan menuntunku keluar kamar layaknya calon pengantin yang baru pertama kali bakal bertemu dengan orang yang melamarnya.Sumpah!Aku jadi deg-degan seka
"Aku yang seharusnya minta maaf," balas Mas Hamid sambil tersenyum tipis."Oh iya, gimana kabar Meisha?" tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan."Baik. Alhamdulillah Nova sudah mendapatkan pria yang tepat, Lis, dan aku pun merasa sangat beruntung karena suaminya begitu menyayangi Meisha. Dan yang lebih penting, dia membebaskan bertemu dengan Meisha kapan pun aku mau, dia tak melarang," ungkap Mas Hamid panjang lebar."Oh … syukurlah," balasku penuh kelegaan.Hening menjeda sementara waktu."Semoga suatu saat, kamu juga bisa menemukan pasangan hidup yang baik, ya, Mas. Sebaik yang Nova dapatkan saat ini," ucapku dengan mata yang tiba-tiba mengembun.Mas Hamid menatap sendu padaku."Tidak adakah kesempatan untuk kita memperbaiki semuanya, Lis?"Aku mengangkat bahu. Tak ingin terburu-buru mengambil langkah seperti saat menerima Zaki kala itu.Jujur, aku masih trauma untuk kembali membina rumah tangga."Mas, tolong nanti antar aku sampai jalan depan rumah aja, ya, please, aku nggak pingi
"Lis." Evi menggenggam tanganku sambil tersenyum saat kami sama-sama menyaksikan dua sahabat yang selama ini dalam diam menyimpan dendam, masih berpelukan haru setelah Zaki mengeluarkan sebuah keputusan besar pagi ini."Sebentar lagi, kamu bisa balikan sama Mas Hamid," bisiknya pelan di telingaku.Deg!Aku membeliak.Balikan?Aku menoleh dan lantas menatap nanar pada Evi yang jelas ikut lega saat mengetahui hubunganku dan Zaki hampir berakhir dan hubungan baik dengan Mas Hamid kembali terjalin.Benarkah bisa semudah itu aku kembali membina rumah tangga setelah sebelumnya dua kali gagal?Hatiku berkecamuk tiba-tiba.Ya Allah, sungguh, aku takut tetanggaku di kampung mengecam aku sebagai wanita yang suka kawin cerai, jika memutuskan untuk secepatnya menikah lagi dengan Mas Hamid setelah surat ceraiku dan Zaki turun."Entahlah, Vi. Aku nggak tahu. Mungkin sendiri lebih baik," balasku yang sontak menarik perhatian Zaki dan Mas Hamid untuk menatapku."Maksud kamu, Lis?" tanya Mas Hamid den
Meski dengan langkah berat, aku memberanikan diri untuk membuka pintu kamar dan menghampiri mereka."Kenapa harus minta maaf, Mas?"Jelas sekali pertanyaanku membuat Zaki dan sahabat baikku terkejut. Entah apa yang mereka sembunyikan dariku, aku tak mengerti.Saat mungkin merasa risih karena aku mendekat, terlihat Evi melepas paksa cengkraman tangan Zaki."Ada apa sebenarnya, Vi?" tanyaku sambil menatap Evi tajam saat menuntut penjelasan."Tanyakan saja pada suamimu!"Evi berlari, seperti enggan berlama-lama bertatap muka dengan Zaki. Membuat kecurigaan dalam dada kian bertumpuk.Ya, kepergian Evi yang terkesan terburu-buru setelah kepulangan Zaki, memang meninggalkan sejuta tanya untukku.Kulihat wajah Zaki tampak dipenuhi perasaan bersalah saat menatap punggung Evi yang perlahan menghilang dari pandangan.Ada apa?"Apa yang kau lakukan pada Evi, Mas?" cecarku penasaran.Zaki diam."Jangan bilang kalau kamu udah bikin keluarga Evi celaka!"Zaki masih diam. Membuat kecurigaan dalam da
"Sini!" Malamnya, aku yang sedang asyik berselancar di dunia maya, dibuat terkejut saat Zaki merampas ponselku secara tiba-tiba."Apa, sih, Mas?" Aku yang semula berbaring di atas ranjang, bangkit dan berusaha merampas benda kesayanganku itu kembali. "Sebentar aja!" sahutnya ketus sambil mengusap layar ponselku dengan tangan kiri seperti mencari-cari sesuatu, lalu tangan kanannya juga memegang ponselnya. "Nih!"Zaki melempar ponselku kembali. "Nyari apa kamu, Mas?" Aku menyelidik curiga padanya yang tertunduk seraya mengotak-atik ponselnya."Nomor Evi," sahutnya singkat tanpa menatapku."Buat apa?" tanyaku panik. Jangan sampai dia menyakiti Evi karena membela Mas Hamid tadi. Dan jangan sampai juga dia berpikiran jika Evi adalah wanita murahan yang bisa semudah itu diajak berkencan.Aku tahu betul Evi tipe gadis yang seperti apa. Tiga tahun pernah bekerja satu shift dengannya membuatku mengenalnya cukup baik. Dia bukan gadis yang mudah jatuh cinta dan asal menerima siapa saja pria
"Dasar gila! Amit-amit kalau sampai punya suami modelan kayak kamu. Yang ada bisa mati berdiri aku!" Evi menatap Zaki dengan mata melotot dan tanpa sedikit pun menunjukkan rasa takut.Zaki berdecak lirih."Tidak usah bermulut besar! Kalau ternyata kita berjodoh bagaimana?""Heh!" Jelas sekali Evi makin kesal dengan ucapan Zaki yang terkesan mengada-ada."Jodoh tidak ada yang tahu, Evie Tamala," ucap Zaki lantas tertawa sumbang. Membuatku terkesiap. Benarkah Zaki serius ingin menjadikan Evie istri kedua? Ah, tidak. Tidak mungkin.Bukankah soal membual dan me-rosating orang adalah keahliannya?"Kalau sampai kamu macam dan main tangan sama Lisa. Aku pastikan kau akan menyesal, Tuan Zulfikar!" Evi menodongkan telunjuknya tepat di depan wajah lelaki angkuh tersebut."Apa kau pikir aku takut dengan ancamanmu, Cewek Songong?!" Dengan dada turun naik, Zaki mencengkram kuat pergelangan tangan Evi sambil menatapnya tajam, membuatku bergidik ngeri. Takut juga sahabatku itu menjadi korban kemarah
Kuremas dada yang kembali terasa nyeri saat mengingat betapa egois dan gegabahnya seorang Lisa di masa itu. Tiba-tiba saja, rindu akan rumah itu memenuhi dada. Jujur, bukan hanya rumahnya, tapi suasana di dalamnya dulu, sebelum badai menerpa kehidupan rumah tanggaku dan Mas Hamid.Menyadari ada kesempatan, aku bergegas memesan Go-Car, berniat mendatangi rumah penuh kenangan itu, sekedar untuk melepas rindu.Sampai di sana, aku melihat pasangan suami-istri sedang bercengkrama bersama seorang anak kecil di teras rumah.Aku yang semula berniat turun, mendadak seperti tak punya kekuatan walau sekedar untuk menjejakkan kaki di tanah."Jadi turun, Mbak?" Pertanyaan pengemudi Go-Car yang kutumpangi menyadarkanku dari lamunan.Dengan tatapan nanar aku menggeleng lemah pada sang pengemudi."Terus aja, Pak," ucapku seperti orang linglung. Meminta terus lurus padahal tak ada tujuan. Sampai di persimpangan, aku meminta sang pengemudi Go-Car putar haluan menuju ke rumah mantan mertua, Bu Ida. Ti
"Ja-jadi … jadi yang kamu bilang memperjuangkan cintamu waktu itu, maksudnya apa, Mas?" Di sela-sela isak tangis, aku bertanya dengan batin yang kian terasa pilu.Zaki mendengkus pelan."Apa kau pikir aku serius, Lisa?" Zaki yang masih berbaring dan berbagi selimut denganku, memiringkan badan dan menatapku dengan tatapan mengejek.Membuatku merasa menjadi wanita paling bodoh yang pernah ada di muka bumi ini."Harus aku akui, kalau kau terlalu polos dan gampang percaya, Alisa Nurhafiza, dan itu sangat menguntungkan buatku." Zaki tertawa sumbang pasca menuntaskan dua kalimat yang bahkan terasa lebih tajam dari sembilu."Jadi … alasanmu menikah denganku karena apa?" tanyaku sambil menatapnya nanar."Hamid," balas suamiku singkat tapi sarat akan emosi. Aku menangkap ada aroma dendam yang menyelinap dari caranya berbicara dan berekspresi."Mas Hamid?" tanyaku berat."Aku cuma ingin dia merasakan patah hati yang pernah aku rasakan, itu saja." Zaki bangkit lantas menyambar handuk dan berlalu