Aku tertawa sumbang saat merasa Zaki tengah membuat lelucon tak bermutu sore ini. Ketika mengatakan tengah memperjuangkan cintanya. Cinta yang seperti apa? Cinta pada siapa?"Apa kamu punya incaran baru setelah putus dengan Rani hari itu? Siapa orangnya? Apa dia tinggal di sekitar sini?" tanyaku padanya yang sedari tadi tak melepas pandangan dariku."Ya, namanya Alisa Nurhafiza," balasnya pelan tapi terdengar lugas saat menyebut namaku.Kali ini aku tertawa lebih keras. Merasa dia tengah membuat lelucon paling jenaka di abad ini.Bagaimana tidak, bukankah sebelum ini dia mengatakan tak menyukai cewek Barbar dan Lola sepertiku?Kenapa sekarang dia seperti ingin menjilat ludahnya sendiri?Tidak itu saja! Akan terasa sangat aneh saat seorang direktur muda sepertinya, menyukai mantan office girl yang juga bergelar sebagai seorang janda.Benar-benar tak laku, kah dia ini? Ah, rasanya tidak mungkin. Secara, dia ini bos kan? Lantas, apa maksudnya dia mengutarakan cinta pada seorang janda sep
Selama dalam perjalanan menuju Solo, aku sama sekali tak berminat melakukan percakapan apa pun dengan Zaki yang tampak fokus menyetir.Bukan aku tak ingin berterima kasih atau tak tahu diri, cuma keinginan untuk mengobrol dan berbasa-basi memang tak ada.Hanya sesekali aku melirik ponsel sambil memantau keadaan Bapak dari pesan WA yang dikirimkan adikku.Ketika sudah sampai ke perbatasan Jogja sebelah timur, aku dibuat risau saat Dini berhenti memberikan kabar tentang kondisi Bapak.Apa yang terjadi pada Bapak? Kenapa Dini tak mengabari lagi?Hampir pukul 23.00 malam, saat sampai di kampung halaman, tepatnya di depan pelataran rumahku, aku dibuat lemas seketika, saat di depan pekarangan rumahku sudah terpasang bendera merah—bendera lelayu."Mbak, Bapak, Mbak." Dini yang masih berada di rumah sakit, menelepon sambil menangis.Ya Allah."Innalilahi wa innailaihi raji'un."Aku terus menyalahkan diriku sendiri saat merasa kondisi Bapak makin bertambah parah setelah mengetahui kabar percer
Terlihat oleh sepasang mataku, Bu Naimah bergeming dengan mata yang menatap lurus ke depan. Dalam tangkapanku, wanita paruh baya itu sama sekali tak tersentuh dengan kesungguhan sang anak yang bertekad untuk menjadikan diriku pasangan hidupnya. Terbukti, dia hanya bersedekap dengan raut wajah tak peduli. Membuat nyali dalam diriku jadi ciut kembali.Apakah keputusanku menerima ungkapan cinta dari lelaki yang belum pernah menikah ini adalah sebuah kesalahan besar?Ingin rasanya aku bangkit dan menghentikan permohonan Zaki yang sepertinya sulit membuahkan hasil. Namun, kutahan. Takut putra sulung Pak Yasman justru berbalik marah padaku dan kecewa karena aku menyerah begitu saja. Tak mau memperjuangkan cinta kami.Hah? Cinta? Apa kau yakin seratus persen kalau hatimu telah tertambat pada seorang Zaki, Alisa?Aku sendiri belum bisa memastikan sebenarnya. Apakah ini cinta atau … sekedar rasa nyaman karena diperhatikan? Entahlah, aku tak mengerti.Untuk beberapa lama, Zaki tetap berada di p
"Cukup, Ma. Ingat, Lisa sudah resmi jadi istriku sekarang," ucap Zaki penuh ketegasan. Membuat Bu Naimah bungkam dalam seketika. Namun, tatapan sengitnya tak pernah beranjak dariku."Puas kamu? Puas kamu karena sudah berhasil memanipulasi otak anak saya, ha?" bentak Bu Naimah dengan suara lantang.Memanipulasi otak Zaki, Bu Naimah bilang? Bukankah tuduhan itu terlalu keji?"Berhenti, Ma. Cukup!"Melihat istri dan anaknya masih saja terjebak dalam suasana tegang, bahkan di hari pertama aku bergelar sebagai menantu, membuat Pak Yasman menarik napas panjang dan geleng kepala berulang kali."Sudah, Ma. Sudah." Terlihat Pak Yasman kembali berusaha mendinginkan hati sang istri."Ck! Ya sudah sana kalau mau pergi, ya, pergi aja, ngapain lama-lama di sini? Mau berbangga diri karena telah berhasil memperalat anakku untuk kepentinganmu? Aku tahu, wanita miskin sepertimu cuma mengincar anakku, iya, kan? Dasar mata duitan!" sambar Bu Naimah ketus saat menatapku.Deg!Ya ampun, selain memanipulasi
Usai menyalami aku dan Zaki, terlihat Mas Hamid menyalami ibuku dengan takzim. Sebelum turun, kulihat mantan suamiku mengusap sudut matanya dengan punggung tangan.Ada apa? Apakah dia menangis?Ya Allah …. Hatiku tergores lagi."Selamat ya, Mbak. Semoga bahagia selalu," ucap Lina yang terakhir menyalamiku. Aku menatap wajah mantan adik iparku dengan seksama, lalu memeluknya erat.Dia … telah banyak berubah sekarang. Terlihat sedikit lebih dewasa dan penuh sopan santun."Maafin aku, ya, Lin," ucapku lirih. Lina mengangguk sambil tersenyum. Seketika aku ingin memaki diriku sendiri yang dulu pernah begitu menyakitinya.Bukankah kakinya bahkan pernah ketumpahan kuah sup karena ulahku?Mereka bertiga lantas meninggalkan kami untuk mengambil makanan. Aku menunduk. Tak sanggup melihat orang yang pernah menjadi bagian dari hidupku, kini hadir untuk merestui aku yang akan memulai hidup baru dengan orang lain. Orang yang bahkan lebih dulu dekat dengan mereka daripada aku.Aku mengangkat wajah
"Mungkin tadi Mama sama papanya Zaki pikir Ibu sama Dini pasti bakal ke sana dulu. Iya, kan, Zak? Ehm, maksudku … Mas Zaki."Ah, kaku sekali aku memanggilnya Mas. Sangat berbeda dengan saat memanggil mantan suamiku terdahulu.Zaki mengangguk, membuat Ibu yakin. "Ya sudah, kalau gitu sampaikan maaf dan salam Ibu pada kedua mertuamu, ya, Lis," ucap Ibu saat akhirnya seperti percaya dengan alasan-alasan masuk akal yang kami buat."Mari, Bu, Zaki bawakan tasnya ke depan," ujar Zaki sembari meraih tas dari tangan ibu. Kami berdua pun mengantar Ibu dan Dini sampai ke stasiun, karena untungnya, Zaki bisa mendapatkan tiket mendadak untuk ibu dan adikku.Ibu dan Dini memang menolak saat Zaki berinsiatif untuk membelikan tiket pesawat. Karena kata Dini, dia ingin sekali menikmati perjalanan menggunakan kereta api. Maklum, saat bertolak ke sini, Zaki memang memesankan tiket pesawat terbang untuk semua kerabatku yang dilibatkan di hari pernikahan kemarin.Selepas mengantar Ibu dan Dini, aku dan
Pagi ini, aku bertekad bangun lebih awal. Tak ingin keduluan lagi seperti dua hari sebelumnya. Karena hari ini adalah hari terakhir Zaki cuti, makanya aku harus bisa mengambil alih tugas dapur, dengan memasak sarapan untuk ibu mertua dan suamiku tentunya.Aku yang seperti diserang insomnia, sudah berkutat di dapur bahkan sebelum pukul 4.00 pagi.Tapi ... tunggu dulu. Aku tidak tahu menu apa kesukaan Bu Naima. Jangankan Bu Naima, Zaki pun aku tak tahu menu apa yang menjadi sarapan favoritnya. Wajar saja, bukankah sebelum menikah hubungan kami hanya sekedar itu?Waktu pertama aku ke sini dulu … di meja ada menu kepiting asam manis.Apa mungkin ... itu menu kesukaan mereka?Hmh ... karena tidak ada kepiting, sepertinya ayam asam manis pun bisa dipertimbangkan.Aku lantas membuka kulkas dan mencari bahan yang akan dimasak. Terlebih dahulu aku mengeluarkan beberapa potong ayam yang sudah bersih. Usai memastikan ayam tak lagi beku, aku melumuri daging ayam dengan air perasan jeruk nipis dan
"Ja-jadi … jadi yang kamu bilang memperjuangkan cintamu waktu itu, maksudnya apa, Mas?" Di sela-sela isak tangis, aku bertanya dengan batin yang kian terasa pilu.Zaki mendengkus pelan."Apa kau pikir aku serius, Lisa?" Zaki yang masih berbaring dan berbagi selimut denganku, memiringkan badan dan menatapku dengan tatapan mengejek.Membuatku merasa menjadi wanita paling bodoh yang pernah ada di muka bumi ini."Harus aku akui, kalau kau terlalu polos dan gampang percaya, Alisa Nurhafiza, dan itu sangat menguntungkan buatku." Zaki tertawa sumbang pasca menuntaskan dua kalimat yang bahkan terasa lebih tajam dari sembilu."Jadi … alasanmu menikah denganku karena apa?" tanyaku sambil menatapnya nanar."Hamid," balas suamiku singkat tapi sarat akan emosi. Aku menangkap ada aroma dendam yang menyelinap dari caranya berbicara dan berekspresi."Mas Hamid?" tanyaku berat."Aku cuma ingin dia merasakan patah hati yang pernah aku rasakan, itu saja." Zaki bangkit lantas menyambar handuk dan berlalu