"Enak aja. Kenapa juga aku yang harus dibuat tumbal? Nggak mau aku!" Aku bersungut-sungut kesal padanya yang dengan sesuka hati ingin mengorbankan nama baik seorang Lisa di hadapan orang tuanya."O ... jadi ceritnya elu beneran mau, nih, nikah sama gue? Ngarep amat lu?" Zaki terkekeh geli ketika memperolok diriku yang masih menampakan raut wajah kesal."Ya …. bukan gitu juga.""Terus, maksudnya gimana?" tantang Zaki dengan ekspresi wajah yang terlihat begitu santai tapi menjengkelkan."Gue yang harus ngaku kalau gue yang brengsek? Ogah lah. Hamid aja yang jelas-jelas serakah aja nggak mau ngaku dia."Aku terkesiap saat mendengar nama itu disebut secara tiba-tiba."Ish! Ngapain sampai bahas ke situ, sih?" Aku tak memungkiri, mendengar nama Mas Hamid memang membuat aku jadi bad mood dalam seketika."Suka-suka gue, lah," balasnya dengan ekspresi tak kalah menyebalkan.Huh! Brengsek emang Zaki. Sudahlah, mending aku diam. Capek buang-buang energi buat debat sama dia. Mending energiku aku s
"Eh elu, tuh, ya benar-benar kurang ajar! Gak ada akhlak lu, Mid! Udah nyakitin hati, masih juga nyakitin fisik. Kalau sampe Lisa kenapa-kenapa, lihat aja gue bakal bantu Lisa bikin laporan ke kepolisian. Dengan tuduhan kekerasan dalam rumah tangga. Dengar itu, Hamid!"Dari balik dinding kamar, dapat kudengar suara orang berteriak di seberang sana. Aku berusaha mengangkat kepala, tapi ternyata sakitnya luar biasa. Setelahnya kuusap bagian yang terasa nyeri dan ternyata …."Aw …." Aku meringis, menahan rasa sakit yang mendera.Pantas saja sakit begini. Benjol cukup besar rupanya.Aku mengingat-ingat lagi bagaimana kronologinya sampai kepalaku benjol begini. Ya, aku ingat, kepalaku terkena lemparan kursi saat Mas Hamid yang mungkin merasa direndahkan, mengamuk pada Zaki.Aku menarik napas dalam-dalam.Alhamdulillah, aku masih bisa mengingatnya, berarti aku tak amnesia. Terima kasih ya Allah. Aku masih pantas bersyukur. Meski agak sakit tapi tak sampai lupa ingatan. Kasihan orang tuaku k
Sejenak aku terjebak dalam kebimbangan dengan apa yang mungkin sedang dibahas Zaki bersama ibunya. Benarkah aku memang harus kembali ke rumah Zaki?Aku menarik napas panjang saat merasa tak yakin dengan sandiwara yang harus kulakukan selanjutnya. Tapi …maksa tinggal seorang diri di sini pun aku punya banyak ketakutan. Salah satunya aku masih was-was jika Mas Hamid kembali lagi malam ini."Lis, lu ikut gue balik ke rumah aja, ya, malam ini," ucap Zaki sesaat setelah dia mengakhiri panggilan dengan sang mama."Tapi uang Evi? Gimana? Aku belum sempat transfer, nih," ujarku ketika mengingat pasal sahabat baikku itu.Zaki berdecak lirih."Gampang .... Ayo!" Tanpa kompromi, pria bertubuh tinggi ini langsung menggendong dan membawaku menuju mobil. Sengaja dia menempatkanku di jok belakang supaya bisa berbaring. "Kunci rumah lu, di dalam tas yang tadi, kan, ya?" tanyanya buru-buru."Iya," balasku singkat.Terlihat Zaki bergegas kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil tas sekaligus meng
"Jawab, Alisa! Kenapa diam saja, ha?!" Masih dengan raut wajah tak bersahabat, Bu Naimah mendesak agar aku segera memberikan jawaban.Aku yang merasakan seluruh tubuhku terasa membeku, seperti tak punya kuasa bahkan untuk menjawab sepatah dua patah pertanyaan darinya."Ada apa ini?" Perhatian Bu Naimah dariku teralihkan saat menyadari suara seorang lelaki memecah suasana tegang di ruang tamu ini.Zaki?Kenapa dia balik lagi? Ah, tapi baguslah. Biar dia saja yang menjawab pertanyaan ibunya. Mau dia jujur atau pun melanjutkan sandiwaranya aku tak peduli.Di sini aku hanya menjalankan tugas sesuai arahan sebagai syarat dapat pinjaman uang tadi malam."Ada apa, Ma?" tanya Zaki sambil menarik langkah mendekati sang ibu."Kamu tahu, Zaki. Dia ini sudah menikah. Kamu jangan mau dibohongi, Zak." Masih dengan raut wajah yang terlihat tegang, Bu Naimah melirik padaku dengan tatapan tak suka. Jelas sekali wanita itu kesal karena merasa dibohongi. Mungkin, sama kesalnya dengan saat aku mengetahui
"Ya … kalau bisa juga aku pengen kali cerai sama dia hari ini juga. Cuma kan nggak semudah itu, Zak. Lagian gimana aku ngurusnya coba? Suruh pindah buru-buru. Cerai buru-buru. Gak tau apa kepala sama pundak aku masih sakit." Aku mengomel saat merasa nyeri di bahu dan kepala tiba-tiba datang mengganggu. Zaki diam sebentar. Sesekali dia melirik padaku yang terkadang meringis—menahan sakit."Mau ke rumah sakit?" tanyanya dengan raut wajah … khawatir?"Nggak usah. Cuma sakit dikit, kok," tolakku halus."Hm oke."Suasana hening menjeda sampai Zaki menyampaikan sebuah ide."Kalau lu mau, gue bisa bantu urusan perceraian lu biar lebih praktis. Lu bayar pengacara aja. Tapi biayanya, potong dari harga rumah, gimana?" ujar Zaki tiba-tiba. Membuatku sontak tersenyum semringah. Benarkah dia mau membantuku lagi? "Serius? Kamu bisa bantu aku mengurus perceraian aku sama Mas Hamid?" tanyaku ragu."Ya …. Yang penting, yang mau dibantu diuruskan, nggak banyak sandiwara. Takutnya, ntar pas mediasi,
Aku merasa seperti kembali ke zaman di mana aku pertama kali merantau ke kota ini. Hidup seorang diri menghuni sebuah rumah kontrakan. Ya, Zaki membuatku merasa seperti terdampar di daerah asing sekarang."Permisi ...."Suara seorang wanita mengagetkanku. Gegas aku berjalan menuju pintu untuk melihat siapa yang datang."Permisi. Mbak. Apa betul, Mbak yang namanya Lisa?" tanya seorang wanita paruh baya bermata agak sipit, begitu aku membuka pintu."Iya, betul, Bu," jawabku pelan. "Oh, iya. Perkenalkan saya Bu Ana. Pemilik rumah kontrakan ini. Rumah saya ada di ujung gang ini, cat warna rumah warna biru muda," terang Bu Ana dengan tangan menunjuk ke arah kiri."Oh, iya, Bu. Silakan masuk."Aku membuka pintu lebih lebar. Tapi Bu Ana menolak untuk masuk. "Saya ke sini, cuma mau mengantarkan ini. Jadi, mas-nya yang kemarin cuma bayar sewa rumah. Untuk air dan listrik, bayar sendiri, ya, Mbak. Ini nomor pelanggan PDAM-nya, kalau nomor token listrik, Mbak bisa lihat pada meteran, ya." Bu A
[Oh iya nggak apa-apa. Santai aja.] Aku membalas setelah mengambil jarak sekitar beberapa menit.[Sip.]Dan percakapan teks berakhir begitu saja.***Sore ini, sesuai janji, Zaki datang ke rumah dengan membawa surat kuasa untuk aku tanda tangani. Surat DNA Meisha pun turut diambil sebagai bukti yang akan disertakan untuk mendaftarkan gugatan perceraian."Ya udah, gue pulang dulu, ya," ujar Zaki setelah segala keperluan dan urusan telah terselesaikan."Iya.""Soal uang penjualan rumah nanti gue kirim rinciannya, ya.""Ok."Zaki pun lantas berjalan santai menuju ke tempat di mana mobilnya diparkirkan."Zak!" Aku memanggilnya dengan sedikit lantang, membuatnya yang hampir menaiki mobilnya, menoleh padaku."Makasih."Tak menjawab, Zaki hanya tersenyum tipis sambil menganggukkan kepala. Tak berselang lama, terlihat dia merogoh saku celana dengan sedikit gugup.Terlihat dari kejauhan, pria bertubuh tinggi itu mengangkat telepon dengan senyum terkembang sempurna.Rani kah yang menelepon? Ke
"Lis, kok malah nangis?" Saat mungkin menyadari ada air mata yang menetes di pipiku, Evi buru-buru menyodorkan selembar tissue padaku.Mendengar teguran Evi, aku memilih diam."Maaf, ya. Sepertinya ucapanku tadi ... jadi bikin kamu sakit hati. Maaf." Evi memegang tanganku dengan raut wajah bersalah saat menatap wajahku. Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum getir. Tak merasa seharusnya Evi meminta maaf seperti itu."Enggak juga, Vi. Ucapanmu ada benarnya, kok. Mungkin, aku yang terlalu cepat mengambil keputusan, tapi semuanya sudah terlambat, Vi. Proses perceraian kami sudah berjalan cukup jauh," ucapku setengah menyalahkan diri sendiri."Aku, sih, nggak ada buat hak ikut campur, Lis. Cuma, aku sarankan sebaiknya kamu shalat Istikharah dulu, deh, mendingan. Buat minta petunjuk, karena yang aku lihat, kamu seperti masih ragu-ragu sekarang, Lis. Jika sekali belum mantap, lakukan lagi sampai kamu benar-benar menemukan pilihan yang membuatmu merasa mantap." Evi memberikan saran dan n
"Mas, apa mereka sudah menikah?" tanyaku pelan saat langkah Zaki dan Evi semakin dekat.Mas Hamid tak menyahut, matanya terus dia fokuskan pada dua orang yang sempat mengukir sejarah dengan kenangan bertolak belakang dalam hidupku."Mas." Aku yang memang diliputi rasa penasaran, berusaha memaksa suamiku sekedar untuk memberi jawaban 'sudah' atau 'belum'. Namun, agaknya Mas Hamid masih belum tertarik membagi informasi yang belum aku ketahui tentang mereka."Nanti, kapan-kapan aku ceritain semua, ya, Sayang," balasnya dengan senyum terukir di bibir dan tanpa menatapku. Karena memang fokusnya terus ia arahkan ke arah sana, pasangan yang sepertinya sedang dimabuk asmara. Zaki Rafandra Zulfikar dan Selvi Adinara Putri.Mendadak, aku terjebak perasaan canggung saat Evi dan Zaki yang jalan beriringan mulai menaiki pelaminan.Tak cuma aku, rasanya … Evi pun tak kalah canggung kali ini. Terbukti, gadis manis itu buru-buru melepas genggaman tangan Zaki dengan sangat gugup beberapa saat sebelum
Aku menghapus air mata sambil mengangguk malu sebagai jawaban atas pertanyaan yang dilayangkan Bu Ida padaku—tentang kesediaanku kembali menjadi menantunya."Terima kasih, Nak. Terima kasih karena sudi memberi kesempatan pada Hamid sekali lagi." Dengan mata yang menunjukkan bias kaca, Bu Ida kembali memeluk diriku. Menyalurkan rasa yang mungkin sama dengan apa yang tengah aku rasakan sekarang. Haru dan bahagia yang membaur indah menjadi satu.Aku mengangguk dalam pelukannya. Ah, aku bahkan sampai kehabisan kata-kata untuk mengekspresikan betapa bahagianya aku saat ini."Lisa, Nduk. Kalau begini ceritanya, apa iya kamu masih betah lama-lama di kamar? Ndak penasaran, toh sama wajah calon suamimu?" ledek Ibu ketika tiba-tiba muncul dari balik pintu. Membuatku tersipu malu."Ayo, Nak." Dengan penuh kasih sayang, Bu Ida menggandeng tanganku dan menuntunku keluar kamar layaknya calon pengantin yang baru pertama kali bakal bertemu dengan orang yang melamarnya.Sumpah!Aku jadi deg-degan seka
"Aku yang seharusnya minta maaf," balas Mas Hamid sambil tersenyum tipis."Oh iya, gimana kabar Meisha?" tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan."Baik. Alhamdulillah Nova sudah mendapatkan pria yang tepat, Lis, dan aku pun merasa sangat beruntung karena suaminya begitu menyayangi Meisha. Dan yang lebih penting, dia membebaskan bertemu dengan Meisha kapan pun aku mau, dia tak melarang," ungkap Mas Hamid panjang lebar."Oh … syukurlah," balasku penuh kelegaan.Hening menjeda sementara waktu."Semoga suatu saat, kamu juga bisa menemukan pasangan hidup yang baik, ya, Mas. Sebaik yang Nova dapatkan saat ini," ucapku dengan mata yang tiba-tiba mengembun.Mas Hamid menatap sendu padaku."Tidak adakah kesempatan untuk kita memperbaiki semuanya, Lis?"Aku mengangkat bahu. Tak ingin terburu-buru mengambil langkah seperti saat menerima Zaki kala itu.Jujur, aku masih trauma untuk kembali membina rumah tangga."Mas, tolong nanti antar aku sampai jalan depan rumah aja, ya, please, aku nggak pingi
"Lis." Evi menggenggam tanganku sambil tersenyum saat kami sama-sama menyaksikan dua sahabat yang selama ini dalam diam menyimpan dendam, masih berpelukan haru setelah Zaki mengeluarkan sebuah keputusan besar pagi ini."Sebentar lagi, kamu bisa balikan sama Mas Hamid," bisiknya pelan di telingaku.Deg!Aku membeliak.Balikan?Aku menoleh dan lantas menatap nanar pada Evi yang jelas ikut lega saat mengetahui hubunganku dan Zaki hampir berakhir dan hubungan baik dengan Mas Hamid kembali terjalin.Benarkah bisa semudah itu aku kembali membina rumah tangga setelah sebelumnya dua kali gagal?Hatiku berkecamuk tiba-tiba.Ya Allah, sungguh, aku takut tetanggaku di kampung mengecam aku sebagai wanita yang suka kawin cerai, jika memutuskan untuk secepatnya menikah lagi dengan Mas Hamid setelah surat ceraiku dan Zaki turun."Entahlah, Vi. Aku nggak tahu. Mungkin sendiri lebih baik," balasku yang sontak menarik perhatian Zaki dan Mas Hamid untuk menatapku."Maksud kamu, Lis?" tanya Mas Hamid den
Meski dengan langkah berat, aku memberanikan diri untuk membuka pintu kamar dan menghampiri mereka."Kenapa harus minta maaf, Mas?"Jelas sekali pertanyaanku membuat Zaki dan sahabat baikku terkejut. Entah apa yang mereka sembunyikan dariku, aku tak mengerti.Saat mungkin merasa risih karena aku mendekat, terlihat Evi melepas paksa cengkraman tangan Zaki."Ada apa sebenarnya, Vi?" tanyaku sambil menatap Evi tajam saat menuntut penjelasan."Tanyakan saja pada suamimu!"Evi berlari, seperti enggan berlama-lama bertatap muka dengan Zaki. Membuat kecurigaan dalam dada kian bertumpuk.Ya, kepergian Evi yang terkesan terburu-buru setelah kepulangan Zaki, memang meninggalkan sejuta tanya untukku.Kulihat wajah Zaki tampak dipenuhi perasaan bersalah saat menatap punggung Evi yang perlahan menghilang dari pandangan.Ada apa?"Apa yang kau lakukan pada Evi, Mas?" cecarku penasaran.Zaki diam."Jangan bilang kalau kamu udah bikin keluarga Evi celaka!"Zaki masih diam. Membuat kecurigaan dalam da
"Sini!" Malamnya, aku yang sedang asyik berselancar di dunia maya, dibuat terkejut saat Zaki merampas ponselku secara tiba-tiba."Apa, sih, Mas?" Aku yang semula berbaring di atas ranjang, bangkit dan berusaha merampas benda kesayanganku itu kembali. "Sebentar aja!" sahutnya ketus sambil mengusap layar ponselku dengan tangan kiri seperti mencari-cari sesuatu, lalu tangan kanannya juga memegang ponselnya. "Nih!"Zaki melempar ponselku kembali. "Nyari apa kamu, Mas?" Aku menyelidik curiga padanya yang tertunduk seraya mengotak-atik ponselnya."Nomor Evi," sahutnya singkat tanpa menatapku."Buat apa?" tanyaku panik. Jangan sampai dia menyakiti Evi karena membela Mas Hamid tadi. Dan jangan sampai juga dia berpikiran jika Evi adalah wanita murahan yang bisa semudah itu diajak berkencan.Aku tahu betul Evi tipe gadis yang seperti apa. Tiga tahun pernah bekerja satu shift dengannya membuatku mengenalnya cukup baik. Dia bukan gadis yang mudah jatuh cinta dan asal menerima siapa saja pria
"Dasar gila! Amit-amit kalau sampai punya suami modelan kayak kamu. Yang ada bisa mati berdiri aku!" Evi menatap Zaki dengan mata melotot dan tanpa sedikit pun menunjukkan rasa takut.Zaki berdecak lirih."Tidak usah bermulut besar! Kalau ternyata kita berjodoh bagaimana?""Heh!" Jelas sekali Evi makin kesal dengan ucapan Zaki yang terkesan mengada-ada."Jodoh tidak ada yang tahu, Evie Tamala," ucap Zaki lantas tertawa sumbang. Membuatku terkesiap. Benarkah Zaki serius ingin menjadikan Evie istri kedua? Ah, tidak. Tidak mungkin.Bukankah soal membual dan me-rosating orang adalah keahliannya?"Kalau sampai kamu macam dan main tangan sama Lisa. Aku pastikan kau akan menyesal, Tuan Zulfikar!" Evi menodongkan telunjuknya tepat di depan wajah lelaki angkuh tersebut."Apa kau pikir aku takut dengan ancamanmu, Cewek Songong?!" Dengan dada turun naik, Zaki mencengkram kuat pergelangan tangan Evi sambil menatapnya tajam, membuatku bergidik ngeri. Takut juga sahabatku itu menjadi korban kemarah
Kuremas dada yang kembali terasa nyeri saat mengingat betapa egois dan gegabahnya seorang Lisa di masa itu. Tiba-tiba saja, rindu akan rumah itu memenuhi dada. Jujur, bukan hanya rumahnya, tapi suasana di dalamnya dulu, sebelum badai menerpa kehidupan rumah tanggaku dan Mas Hamid.Menyadari ada kesempatan, aku bergegas memesan Go-Car, berniat mendatangi rumah penuh kenangan itu, sekedar untuk melepas rindu.Sampai di sana, aku melihat pasangan suami-istri sedang bercengkrama bersama seorang anak kecil di teras rumah.Aku yang semula berniat turun, mendadak seperti tak punya kekuatan walau sekedar untuk menjejakkan kaki di tanah."Jadi turun, Mbak?" Pertanyaan pengemudi Go-Car yang kutumpangi menyadarkanku dari lamunan.Dengan tatapan nanar aku menggeleng lemah pada sang pengemudi."Terus aja, Pak," ucapku seperti orang linglung. Meminta terus lurus padahal tak ada tujuan. Sampai di persimpangan, aku meminta sang pengemudi Go-Car putar haluan menuju ke rumah mantan mertua, Bu Ida. Ti
"Ja-jadi … jadi yang kamu bilang memperjuangkan cintamu waktu itu, maksudnya apa, Mas?" Di sela-sela isak tangis, aku bertanya dengan batin yang kian terasa pilu.Zaki mendengkus pelan."Apa kau pikir aku serius, Lisa?" Zaki yang masih berbaring dan berbagi selimut denganku, memiringkan badan dan menatapku dengan tatapan mengejek.Membuatku merasa menjadi wanita paling bodoh yang pernah ada di muka bumi ini."Harus aku akui, kalau kau terlalu polos dan gampang percaya, Alisa Nurhafiza, dan itu sangat menguntungkan buatku." Zaki tertawa sumbang pasca menuntaskan dua kalimat yang bahkan terasa lebih tajam dari sembilu."Jadi … alasanmu menikah denganku karena apa?" tanyaku sambil menatapnya nanar."Hamid," balas suamiku singkat tapi sarat akan emosi. Aku menangkap ada aroma dendam yang menyelinap dari caranya berbicara dan berekspresi."Mas Hamid?" tanyaku berat."Aku cuma ingin dia merasakan patah hati yang pernah aku rasakan, itu saja." Zaki bangkit lantas menyambar handuk dan berlalu