'Ada saatnya kita harus menempuh jalan berliku demi mendapatkan sesuatu. Ada kalanya harus merasakan sakit berkali-kali agar hati terlatih dan kuat. Namun,Satu yang pasti, sejauh apa pun kaki melangkah, sesulit apa pun aral melintang, cinta selalu tahu kemana dia harus pulang.'----------------------------Hanum bersandar ke jendela rumah sakit, memmerhatikan titik air yang turun menyampaikan rindu kepada bumi. Gerimis yang kemudian menjadi hujan deras, semakin membuat hatinya yang dingin semakin beku. Satu bulan Adrian terjebak dalam tidur panjangnya. Dokter sudah memindahkannya dari ruang steril ke kamar inap. Dia seolah enggan membuka mata. Takut menyergap hati Hanum. Dia takut jika Adrian memilih menyerah, takut jika akhirnya Tuhan memintanya pulang. Setiap pikiran itu datang, secepat itu pula dia menepisnya. Wanita itu menolak menyerah, tidak selama jantung Adrian masih berdetak, harapan itu selalu ada.*"Hanum ..."Langkah wanita itu terhenti ketika Amelia menghadangnya di pin
'Jika engkau bukan jalanku, kuberhenti mengharapkanmu.Jika engkau memang tercipta untuk, jodoh pasti bertemu.'(Afgan)-----------------------Alex menatap Neysa dari jendela kamarnya. Sejak Hanum menginjakkan kaki pertama kali di rumah ini, gadis kecilnya itu selalu tersenyum. Wanita tersebut seperti cahaya yang menerangi kegelapan hidup Neysa. Putrinya itu kembali bersemangat menjalani hidup. Perlakuan dan kasih sayang Hanum yang begitu tulus merasuk hingga ke sanubari Neysa. Alex bahkan merasa Neysa lebih mencintai Hanum dibanding dirinya.Jika dulu, Alex tentu akan bahagia karena dia yakin menjadikan Hanum sebagai ibu sambung bagi Neysa. Akan tetapi, semua menjadi abu-abu ketika dua hari yang lalu tanpa sengaja melihat Hanum dan Livia ke luar dari sebuah restoran. Hanum terlihat kusut, begitu pun dengan Livia, tetapi wanita itu masih bisa tersenyum dan memeluk Hanum hangat. Sejak hari itu Hanum berubah murung. Sering dia mendapati wanita itu melamun. Pandangannya menerawang jauh
'Hal yang paling menyakitkan adalah ketika mencintai, tetapi tak bisa mengungkapkannya. Memilih pergi bukan karena menyerah. Namun, melindungi hati agar tidak terluka parah,'----------------------Hanum menatap kosong ke luar jendela rumah sakit. Raganya di sini bersama Adrian yang masih terbaring koma, tetapi hati dan pikirannya berkelana mencari jejak bayang Alex dan Neysa. Perlahan air matanya merembes ke pipi. Wanita itu lebih sering menangis sekarang. Keputusannya melepas Alex adalah hal terbodoh dan menyakitkan. Namun, berada di antara dua saudara dan membuat mereka bersitegang demi dirinya bukan sesuatu yang akan dipilih Hanum.Seburuk apa pun hubungan sebuah keluarga, saudara tetaplah saudara. Hanum tak ingin menjadi penyebab semakin rusaknya hubungan itu. Dia lebih memilih pergi dan memendam lukanya sendiri. Masih terngiang kata-kata Gilang ketika mereka bertemu di kantin rumah sakit. Dia mengabarkan jika Alex memutuskan kembali ke Singapura dan menetap di sana. Selain itu m
Cinta ini, sialan sekali! Tak jua pudar meski kau menjauh.'---------------------Adrian tersenyum melihat pantulan dirinya di dalam cermin. Sosok lelaki gagah dalam balutan T-Shirt putih dipadu dengan jeans hitam, semakin menawan dengan jas slimfit berwarna senada dengan celananya. Wajahnya terlihat cerah, tidak terlihat sama sekali seperti orang yang baru bangun dari koma.Setelah puas mengagumi dirinya, Adrian meraih kunci mobil yang tergantung di sebelah cermin. Langkahnya ringan keluar dari kamar, mulutnya tak berhenti bersenandung tembang cinta."Mau ke mana?" tegur Livia yang sedang menata meja makan. Melihat Adrian melewatinya dengan senyum terukir di wajah.Adrian berhenti sejenak. " mau ajak Hanum dinner, Ma."Livia mengerutkan dahinya, mendekati putra kesayangannya. "Cuma dinner?" Adrian menggaruk tengkuknya, salah tingkah karna tatapan Livia yang bisa menebak pikirannya. "Em ... sebenarnya aku mau ngajakin Hanum rujuk," akunya.Livia tersenyum, merapikan jas Adrian yang t
Rindu ini sungguh mengesalkan! Selalu bertambah tanpa tahu cara menguranginya.'------------------------Dua tahun kemudian.Seorang laki-laki keluar dari gerbang kedatangan bandara Soekarno-Hatta. Langkahnya tenang dan terukur. Mata elangnya tersembunyi dari balik kaca mata hitam yang tersemat di tulang hidung tingginya, rahang tegas, dan bibir penuh kemerahan membuatnya terlihat misterius. Dia membuka kaca matanya ketika melihat seorang laki-laki melambai, dia tersenyum tipis mendekati laki-laki tersebut."Hai, Bro! Gimana perjalanan lo?" tanya laki-laki itu, antusias."Sudah gue bilang, Gilang, stop basa-basi. I don't like it."Gilang tertawa. "Pemarah seperti biasa."Laki-laki itu mendengkus, menyematkan lagi kaca matanya, lalu meninggalkan Gilang yang masih setia dengan dengan tawanya."Hei, Alex! Tungguin gue." Gilang gegas mengejar laki-laki yang dipanggil Akex, tetapi yang dipanggil acuh tak acuh.Alex masuk ke dalam mobil hitam yang telah menunggunya di pelataran parkir banda
'Jika senyummu saja bisa mencerahkan hatiku, maka memilikimu anugerah terbaik dari Tuhan untukku.So, will you be a partner in my life time till the end?'-----------------------------Alex hanya diam menatap hujan dari jendela kamar hotel tempat dia menginap, kedua.tangannya terbenam di saku celana. Meeting yang harusnya berlangsung tadi sore sengaja dia tunda. Suasana hatinya sedang tidak baik.Pertemuan dengan Hanum membuat hatinya gelisah. Lidahnya masih mengenali kopi buatan wanita itu. Sempat bahagia ketika bertemu. Wanita tersebut terlihat semakin cantik, pipi putihnya tidak lagi tirus, tetapi terlihat lebih berisi dan kemerahan terkena uap panas kopi. Mata bening itu masih sama, memancarkan hangat dan teduh. Ingin detik itu dia berlari dan mendekap Hanum, tetapi langkahnya terhenti ketika melihat di jari wanita itu telah melingkar sebuah cincin dengan berlian kecil di tengahnya. Detik itu Alex merasa dadanya berdenyut nyeri, seolah genta besar berdentang di kepala, membuatnya
'Selalu ada akhir bahagia bagi orang yang ikhlas menerima semua ujian. Berprasangka baik kepada Tuhan. Yakin selalu ada pelangi setalah hujan badai.'------------------------------Satu bulan kemudian.Hanum berulang kali mengerjap menatap sosok di dalam cermin. Memakai kebaya berwarna putih tulang, dihias dengan payet terbaik di bagian dada dan lengan, dipadu dengan kain songket terbaik khas Solo yang dipesan langsung ke pengerajinnya. Wajah cantiknya di poles flawless, sederhana, tetapi tetap terlihat memesona. Rambut panjang Hanum kini terbungkus dalam hijab berwarna senada dengan kebaya pengantinnya. Sebuah tiara kecil dari berlian asli tersemat di atas kepala membuatnya terlihat bersinar.Dua hari yang lalu Alex membawanya ke sebuah gerai pakaian muslim. Memintanya memilih gaun mana saja yang dia suka. Lelaki itu ingin Hanum mengganti semua koleksi gaunnya yang kebanyakan berlengan pendek dengan panjang selutut. Wanita itu berkerut. Namun, kebingungannya terjawab ketika Alex mem
"Pagi, Bun." Neysa mengecup pipi Hanum yang sedang menyeduh teh dengan air panas, di atas meja sudah tersedia jus jeruk kesukaan putrinya itu. Aroma nasi goreng dan telur dadar yang baru matang menguar merayu perut untuk segera diisi. "Pagi, tumben udah rapi jam segini? Biasanya masih tidur." Hanum tersenyum memperhatikan outfit yang dikenakan gadis remaja itu. "Bunda pasti lupa lagi? Kan, aku udah bilang dari dua hari yang lalu mau jalan-jalan ke Bandung sama teman-teman." "Astaga! Iya, Bunda lupa sekarang hari minggu." Hanum mengusap rambut Neysa yang dibiarkan terurai "Arjun sama Aruna mana? Kok, belum turun?" "Kalau Aruna lagi mandi, Arjun masih tidur kali, Bun. Biasa, semalam aku lihat jam sebelas malam masih main hape aja." Hanum menghela napas panjang. Sebenarnya dia tidak suka Arjun dilepas memegang hape. Anak itu baru sembilan tahun, belum patut rasanya di beri benda canggih itu tanpa pengawasan. Apalagi akhir-akhir ini putranya itu seakan tak bisa lepas dari benda ters