'Jika senyummu saja bisa mencerahkan hatiku, maka memilikimu anugerah terbaik dari Tuhan untukku.So, will you be a partner in my life time till the end?'-----------------------------Alex hanya diam menatap hujan dari jendela kamar hotel tempat dia menginap, kedua.tangannya terbenam di saku celana. Meeting yang harusnya berlangsung tadi sore sengaja dia tunda. Suasana hatinya sedang tidak baik.Pertemuan dengan Hanum membuat hatinya gelisah. Lidahnya masih mengenali kopi buatan wanita itu. Sempat bahagia ketika bertemu. Wanita tersebut terlihat semakin cantik, pipi putihnya tidak lagi tirus, tetapi terlihat lebih berisi dan kemerahan terkena uap panas kopi. Mata bening itu masih sama, memancarkan hangat dan teduh. Ingin detik itu dia berlari dan mendekap Hanum, tetapi langkahnya terhenti ketika melihat di jari wanita itu telah melingkar sebuah cincin dengan berlian kecil di tengahnya. Detik itu Alex merasa dadanya berdenyut nyeri, seolah genta besar berdentang di kepala, membuatnya
'Selalu ada akhir bahagia bagi orang yang ikhlas menerima semua ujian. Berprasangka baik kepada Tuhan. Yakin selalu ada pelangi setalah hujan badai.'------------------------------Satu bulan kemudian.Hanum berulang kali mengerjap menatap sosok di dalam cermin. Memakai kebaya berwarna putih tulang, dihias dengan payet terbaik di bagian dada dan lengan, dipadu dengan kain songket terbaik khas Solo yang dipesan langsung ke pengerajinnya. Wajah cantiknya di poles flawless, sederhana, tetapi tetap terlihat memesona. Rambut panjang Hanum kini terbungkus dalam hijab berwarna senada dengan kebaya pengantinnya. Sebuah tiara kecil dari berlian asli tersemat di atas kepala membuatnya terlihat bersinar.Dua hari yang lalu Alex membawanya ke sebuah gerai pakaian muslim. Memintanya memilih gaun mana saja yang dia suka. Lelaki itu ingin Hanum mengganti semua koleksi gaunnya yang kebanyakan berlengan pendek dengan panjang selutut. Wanita itu berkerut. Namun, kebingungannya terjawab ketika Alex mem
"Pagi, Bun." Neysa mengecup pipi Hanum yang sedang menyeduh teh dengan air panas, di atas meja sudah tersedia jus jeruk kesukaan putrinya itu. Aroma nasi goreng dan telur dadar yang baru matang menguar merayu perut untuk segera diisi. "Pagi, tumben udah rapi jam segini? Biasanya masih tidur." Hanum tersenyum memperhatikan outfit yang dikenakan gadis remaja itu. "Bunda pasti lupa lagi? Kan, aku udah bilang dari dua hari yang lalu mau jalan-jalan ke Bandung sama teman-teman." "Astaga! Iya, Bunda lupa sekarang hari minggu." Hanum mengusap rambut Neysa yang dibiarkan terurai "Arjun sama Aruna mana? Kok, belum turun?" "Kalau Aruna lagi mandi, Arjun masih tidur kali, Bun. Biasa, semalam aku lihat jam sebelas malam masih main hape aja." Hanum menghela napas panjang. Sebenarnya dia tidak suka Arjun dilepas memegang hape. Anak itu baru sembilan tahun, belum patut rasanya di beri benda canggih itu tanpa pengawasan. Apalagi akhir-akhir ini putranya itu seakan tak bisa lepas dari benda ters
Tangan Hanum meremas ponsel yang dia pegang dengan erat. Berkali-kali dia menghela nafas dalam dan panjang lalu menghembuskan perlahan. Dia meletakkan ponsel di atas meja makan lalu menutup mata agar bisa mensugesti dirinya untuk tidak terpancing emosi dengan Story WhatsApp milik Nina. Bagaimana pun dia harus tetap berpikiran baik kepada suaminya. Bertahun-tahun menikah, Hanum sangat tahu karakter dan watak Alex, tidak mungkin laki-laki itu tega bermain di belakangnya setelah begitu banyak penghalang dan berat perjuangan mereka untuk menikah dulu. Hanum masih memegang teguh janji sang suami untuk saling percaya dan menjaga apa yang telah mereka usahakan selama bertahun-tahun. Setelah berhasil menenangkan amukan badai di dadanya, Hanum memaksa bibirnya mengulas senyum sambil menatap kaca yang ada tepat depannya. Dia berkata kepada dirinya sendiri tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dia adalah istri dari Alex Bagaspati, ibu dari anak-anak laki-laki itu. Posisinya lebih tinggi dari wan
"Wah, pasti temanmu baik sekali membelikan kalung indah seperti itu."Nina menunduk dan tersenyum menatap Liontin yang dia pegang. "Iya, dia teman yang sangat spesial. Kami sudah berteman sejak kecil. Dia adalah idolaku dan dia selalu menjagaku saat kami bersekolah di tempat yang sama. Bahkan, tanpa direncanakan kami juga kuliah di kampus yang sama. Benar-benar jodoh, ya."Hanum mengangkat bahunya sambil menatap kaca berpura-pura merapikan hijabnya. Dia tahu kalau wanita di sampingnya berusaha memanas-manasi hatinya dengan bercerita tentang temannya yang baik hati itu. Tanpa dijelaskan pun Hanum paham yang dimaksud adalah Alex. Dia mengulas senyum agar Nina tak membaca riak di dalam dadanya."Jodoh itu pasangan yang sudah dipertemukan Tuhan, diikat dengan akad, dan tidak merusak tatatan di masyarakat. Itu, sih, definisi jodoh menurut aku."Wajah Nina memerah mendengar sindiran telak Hanum yang seolah-olah berkata, jangan ganggu rumah tanggaku. Namun, Nina mampu mengendalikan dirinya de
Seluruh tulang di tubuh Hanum seolah-olah dilolosi setelah membaca tulisan di kuitansi tadi. Berkali-kali dia menghela napas untuk menenangkan badai yang tiba-tiba saja berkecamuk di dalam dada. Sekeras apa pun dia berprasangka baik kepada Alex, bukti-bukti terus berdatangan menggoyahkan hatinya. Haruskah dia menanyakan masalah kuitansi pembelian kepada lelaki tersebut? Bagaimana kalau Alex tersinggung dan menghadirkan masalah yang tidak perlu di rumah tangga mereka? Hanum memejamkan mata sembari menekan dadanya yang nyeri, dia berharap air matanya keluar membawa perih yang menusuk tanpa iba, tetapi saking sakitnya tak setetes pun cairan bening itu tumpah.'Buket bunga itu dibelikan oleh sekretarisku. Aku bahkan tidak ingat kalau Nina ulang tahun.'Kata-kata Alex terngiang di benak Hanum. Entah mengapa sekarang dia meragukan perkataan suaminya itu. Tak ingin kepalanya dipenuhi prasangka, dia merogoh ponsel yang ada di dalam saku bajunya. Dia menatap layar benda itu yang masih menghit
Hanum menatap rumah modern bergaya victoria di depannya. Bangunan megah berlantai dua dengan banyak ruangan di dalamnya. Dari luar saja orang yang bertamu tahu kalau si empunya rumah memiliki selera tinggi. Belum lagi furniture mewah dan klasik yang menghiasi setiap sudut rumah membuat yang datang akan betah berlama-lama di sana."Ayo turun." Hanum membuka pintu mobil lalu keluar dari mobil diikuti oleh Neysa dan Aruna yang sejak tadi tak berhenti mebgoceh, sementara Arjun tak jadi ikut, sebab sudah tertidur di depan televisi sembari menunggunya bersiap-siap. Neysa berjalan di samping Hanum yang membimbing Aruna. Gadis itu hanya diam seolah-olah tahu awan mendung yang sedang bergelayut di hati sang bunda. Neysa, dia sering melirik ibu sambungnya itu. Wajah datar Hanum membuatnya sedih. Sudah lama dia tidak melihat raut seperti itu dan berharap tidak akan pernah. Terakhir ketika si wanita meninggalkan rumahnya sekitar empat atau lima tahun yang lalu. Tak lama kemudian dia dan papanya
Suasana di dalam mobil yang dikemudikan oleh Alex terasa sangat sepi, hanya terdengar suara dari pemutar musik yang membuat suasana tidak terasa seperti di areal pemakaman. Hanum masih setia dengan diamnya. Dia enggan bicara setelah mendengarkan fakta menyakitkan yang keluar dari bibir Pak Burhan. Dia masih tidak percaya kalau selama ini Alex menyimpan kebohongan yang sangat besar di belakangnya. Mengapa laki-laki itu tidak jujur sejak awal? Mengapa dia tak dibiarkan memilih melanjutkan rencana pernikahan atau tidak sehingga tidak perlu menjadi orang kedua di dalam hubungan antara Nina dan lelaki itu.Sekarang dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Di satu sisi dia merasa berhak pada Alex, tetapi di sisi lain Nina juga tidak bersalah. Wajar wanita itu kesal padanya karena mengira dia telah merebut Alex. Kini, untuk mundur pun tak mungkin, sebab ada anak-anak yang akan menjadi korban dari sebuah perceraian. Akan tetapi, dia juga tak mungkin sanggup berbagi raga dan hati. Terpisah j