“Sanad? Aku tidak salah lihat, kan?” Aditya masih tidak bisa melepas keheranannya. Salwa langsung menjewer lengannya. “Kamu kenapa, Dit?” tanya anita yang datang membawa makanan frozen dan meletakkannya di tengah-tengah mereka. Aditya terkekeh. “Kaget aja. Kok dia bisa sampai ke sini.”Bayu yang duduk di samping Sanad tersenyum. “Dia tadi ke kantor. Ingat dia sepupu kamu, jadi aku ajak ke sini. Mumpung, kan. Siapa tahu kita bisa jadi keluarga besar.”Sanad mengangangkat alisnya. “Tapi, aku perhatikan, dia memang banyak berubah sebelum terakhir aku melihatnya. Kapan ya kita ketemuan sebelum di rumah sakit?” tanya Bayu.“Entahlah! Aku ke kantormu, palingan untuk rapat direksi. Itu pun beberapa kali terakhir, aku nggak datang lagi. Setelah kamu yang memimpin aku percaya saja padamu.”Bayu mendesis. “Kamu tidak ingin gabung perusahaan kami? Bagaimana pun almarhum ayahmu sangat berjasa di perusahaan itu. Sepertinya perusah
"Gilang!"Gilang membuka pintu. *** Waktu terus berjalan. Semua orang menjalani rutinitasnya dengan pekerjaan masing-masing. Sanad kembali dengan kesibukannya. Proyek lampit berjalan lancar berkat bantuan Bayu dan Aditya. Proyek ini membuatnya tenggelam dalam kesibukan baru. Namun, tidak baik bagi Evan. Kesibukan ayahnya, semakin membuatnya merindukan Tera. Meski Tera pernah menjenguknya di sekolah, tidak dapat menggantikan hari-harinya yang dirundung kesepian. Di hari Minggu ia tidak dapat lagi menahan dirinya. Ia mengguncang-guncang tangan ayahnya, merengek minta diajak ke Bangkau. "Evan, Mama sekarang lebih suka menghabiskan waktu di danau. Walau kita ke sana, belum tentu bertemu dengannya."Evan mengambil kertas. [Kita ke danau pakai kapal]“Kapal siapa?”[Siapa saja, pasti dapat. Kita nyewa, pasti ada yang mau] Sanad kehabisan alasan. "Evan, tolong mengerti P
Antara sadar dan tidak, sayup Tera mendengar bunyi gemerisik dan kecipak air yang tak jauh dari lantingnya. Ia membuka mata, mempertajam pendengarannya. Bunyi itu makin kentara dan ia yakin di mana bunyi itu berasal. Dengan pelan, ia bergerak ke tempat penyimpanan peralatan benda tajam. Tanpa pikir panjang, ia mengambil tombak ikan mata satu. Sesaat ia mengintip dari lobang dinding yang terbuat dari papan. Beruntung, pencuri itu menggunakan senter, sehingga ia bisa melihat sosok itu tanpa membawa lampu sendiri. Dengan pelan ia berjalan, membuka pintu belakang. Ia mengambil pintu belakang, karena teras belakang lanting mempunyai pelindung. Meski jauh dengan sasaran dan perlu tenaga berkali lipat untuk melempar, ia tetap memilih jalan aman. Ia kembali mengintip. Pencuri masih melakukan aksinya. Ia terus mengintip untuk memastikan pencuri itu sedang lengah. Tiba saatnya, ia langsung berdiri dan melempar sekuat tenaga, lalu bersembunyi dengan napas tertahan. Ia menutupnya mulutnya, ber
“Bagaimana keadaannya?” tanya Tera sambil menatap Evan. “Badannya masih panas,” sahut Fatima sambil membawa Tera, mendekati Evan yang masih terlelap. Tera meletakkan telapak tangannya ke atas dahi Evan. Ia sedikit terkejut panas yang sedikit menyengat telapak tangannya. Ia bertanya kepada Sanad dengan mimik wajah. Fatima yang menyadari hal itu, segera undur diri. “Mama keluar cari angin dulu, ya,” ucap Fatima.Sanad hanya menjawab dengan anggukan. “Kapan dia mulai sakit?” tanya Tera begitu Fatima hilang di balik pintu.“Dua hari yang lalu,” jawab Sanad lesu. Tera tersentak“Kok bisa?! Selama dua hari nggak turun-turun?!"Sanad menggeleng. "Makannya susah banget, mungkin karena itu jadi lambat pulih."Tera hanya bisa menghela napas. Ia mengelus lembut rambut keriting Evan."Bagaimana dia bisa sakit?” gumamnya.Tiba-tiba pandangannya tertuju pada telapak tangan Evan yang di
“Baik, Mama yang kupas, ya?” tanya Hayati. Evan menyetujui dengan anggukan.Tera duduk di sofa satu dudukan. Hayati menarik kursi yang tak jauh dari mereka. Sementara Gilang mengajak Sanad keluar dari ruangan. “Evan sudah terbuka ya sama Mbak,” ucap Tera sambil tersenyum menatap Hayati menyuapkan satu siung jeruk ke mulut Evan. Hayati tersenyum getir. “Itu karena aku tidak berharap lagi padanya.”“Maksud, Mbak?” “Sepertinya Sanad belum cerita ya, kalau kami telah bercerai.”Tera tersentak, lalu menggelengkan kepala. “Kamu benar, Evan makin didekati, makin menjauh. Kini aku tidak berharap apa-apa lagi padanya. Apa yang kulakukan ini tulus untuk Evan, sehingga ia menerimanya.”Mata Evan mengerjap, begitu namanya disebut.Tera masih bungkam. Ia tidak pernah membayangkan kalau Sanad dan Hayati akhirnya bercerai. Hayati mengambil lagi satu siung, tetapi Evan sudah menggeleng. Ia tersenyum, lalu
“Apa mungkin kita bisa seperti yang dulu lagi?” lirih Gilang, sambil memutari cangkir dengan ujung jarinya. “Bisa saja, jika kita tidak terlibat lagi dengan urusan cinta.”“Kalau aku berhasil meraih hati Hayati, kamu tidak apa-apa?”Sanad tersenyum, lalu menggeleng. “Jadi yang kamu sukai gadis itu?” tanya Gilan lagi.“Hah?” “Sudahlah!” tukas Gilang. Mengapa ia menanyakan hal itu? Dari dulu, Sanad memang tidak terbuka padanya. “Aku tunggu, kabar baik darimu,” ucap Sanad.Gilang terkekeh. “Kalau berhasil. Kamu kasih hadiah apa di hari pernikahan kami?”Sanad tersenyum lebar. “Memangnya kamu mau apa?”Gilang menggeleng. “Aku tidak menginginkan apa-apa. Aku hanya ingin kita bertiga kembali seperti dulu, tapi satu hal yang ingin aku minta darimu.”Sanad mengerutkan keningnya. “Aku ingin menjadi sahabat yang kamu percaya untuk berbagi suka dan duka.”“Kamu tau, bukannya aku nggak mau, tapi memang nggak bisa.” “Kamu harus coba. Paling tidak kamu ajak aku setiap kali ada proyek baru.”Sa
Entah berapa lama ia hanya menatap tanaman teratainya yang membentang luas. Pikirannya kembali memutar bersama Evan dan Sanad. Ah, betapa anak dan bapak itu membuatnya rindu. Tanpa sadar bibirnya tersungging, tetapi beberapa detik kemudian menghilang. Ia memang harus sadar diri, siapa dirinya, siapa Evan dan Sanad. Perlahan matahari terus berpendar. Senja kembali menyapa, keemasannya menghiasi tanaman teratainya. Perlahan, bumi mulai gelap. Takut tentu saja ada, tapi enggan untuk pulang. Untuk saat ini, ia hanya bisa berdoa. Semoga tidak terjadi apa-apa. ***Habis salat Subuh Rudi meluncur menjajakan kerupuknya. Beberapa buah warung makan dan kue langganannya yang buka pagi-pagi sekali, sedang toko-toko camilan buka agak siang. Rudi menepikan motornya di depan sebuah warung tempat ia menitip kerupuknya. Setelah melakukan transaksi dan menitip kerupuknya, ia membuka ponselnya. Terlihat banyak panggilan tidak terjawab dari ibu
“Percepat, Keane!” Keane menambah kecepatan mobilnya. “Maaf, Tuan. Sebenarnya apa yang terjadi?”“Di Bangkau ada razia illegal fishing.”“Lalu apa hubungannya dengan Tuan?”“Tera ditelpon tak kunjung diangkat. Aku kira sekarang ada di danau.”“Maaf, Tuan. Saya masih belum mengerti.”“Semoga tidak terjadi apa-apa. Sewaktu mencari informasi tentangnya, aku memang sempat baca kalau Danau Bangkau lumbung ikan yang memang menjadi incaran beberapa warga dari kabupaten HSU dan HST. Parahnya lagi mereka melakukan dengan cara tercela, yang membuat warga Bangkau sebagai pemilik danau itu bertindak. Di antaranya melakukan razia dengan kerjasama polres. Yang tak terelakkan terjadinya perlawanan saat razia dengan warga, tak jarang ada yang terluka, bahkan meninggal. Yang luput dari pemberitaan, ada dendam yang berkepanjangan di balik suatu tragedi. Tak jarang mereka melampiaskan dendam secara acak, asal ketemu warga Bangkau. Bahkan menurut A