RidwanTak lama, Tiwi dan keluarganya datang dan bergabung dengan kami di ruang makan. "Perkenalkan, Pak, Bu, ini anak saya yang sering saya ceritakan," ujar Ibu dengan senyum merekah di bibirnya.Aku tersenyum, seraya mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Ganteng anaknya ya, Bu. Kayak artis," kelakar ibunya Tiwi, membuat aku tersenyum malu-malu."Ah...Bu Salmah, bisa aja. Oya, Wan yang itu adiknya Tiwi," ucap Ibu lagi, memperkenalkan seorang pemuda, memiliki hidung yang mancung seperti Tiwi dan kulit sawo matang."Saya Dedi, Bang," ujarnya seraya menjabat tanganku dengan ramah. Aku membalas dengan senyum ramah pula. "Acara perkenalannya sudah selesai. Sekarang kita makan. Anggap saja ini acara syukuran kecil-kecilan atas kepulangan anak saya. Ayo, Pak Bu, Tiwi, Dedi, Ridwan, kita makan! Jangan malu-malu, semua hidangan ini, Tiwi yang masak," ujar Ibu seraya tertawa bahagia.Susana hangat dan penuh kebahagiaan tercipta di tengah-tengah obrolan kami sembari menikmati hidangan yang di
RidwanDengan napas tersengal, akhirmya aku sampai di depan pintu rumah. Aku mengetuk pintu, lalu mengucapkan salam. Ibu menyahut salam dari dalam rumah, lalu membukakan pintu."Loh, kok sudah pulang, Wan? Kenapa? Kamu kecapekan? Atau kamu sakit? Sudah Ibu bilang, kamu gak akan kuat kerja begitu. Udahlah, cari kerja yang lain saja!" cerca Ibu dengan raut wajah khawatair karena melihatku sudah pulang ke rumah pas tengah hari, dengan napas terengah-engah pula. "Nggak, Bu. Ridwan gak kenapa-kenapa. Kerjaannya gak terlalu berat kok. Ridwan masih sanggup," sahutku sembari masuk dan duduk di kursi yang terbuat dari plastik, di ruang tamu. Ibu mengikutiku masuk, lalu memposisikan kursi rodanya di hadapanku."Lalu, kenapa kamu cepat pulang?" tanya Ibu lagi. Mungkin beliau masih bingung kenapa aku pulang secepat ini."Ternyata pemilik bangunan yang sedang kami kerjakan adalah Ardi dan Risa, Bu. Tadi mereka datang bagi-bagi makanan untuk para pekerja." terangku pada Ibu."Trus...mereka ajak Tam
Ridwan "Ya, sudah. Kakak cari pekerjaan di sini saja!" ucapku menimpali."Tapi, Kakak mau mencoba hal lain, Wan," ujar Kak Suci semringah. Sorot matanya memancarkan sebuah semangat baru."Mencoba hal lain? Maksudnya?" tanyaku lagi. "Kakak ingin membuka toko grosir di sini. Sudah dua kali Kakak pulang ke sini, Kakak melihat belum ada toko grosir yang buka di kampung ini. Ada tanah kosong di perempatan jalan sana, yang mau dijual. Lokasinya cocok untuk berjualan. Kakak akan jual rumah Kakak, lalu uang hasil penjualan rumah akan Kakak jadikan modal berjualan. Kita sama-sama merintis usaha itu. Gimana? Kamu mau bantu Kakak, Wan?" ujar Kak Suci dengan penuh keyakinan. "Ide yang bagus. Ridwan setuju, Kak. Ibu gimana?" tanyaku pada Ibu."Ibu akan selalu mendukung apa pun itu, selama hal itu baik. Semoga usaha kalian nantinya membuahkan hasil. Ibu juga masih ada simpanan, sisa penjualan rumah kemarin. Kalau dibutuhkan, ambil saja," ujar Ibu sembari tersenyum bahagia. "Oke, semua sudah setu
POV GITA[Sayang, aku pulang agak malam ya, ada barang baru masuk di toko kita. Jadi, aku harus cek semuanya]Aldo mengirimkan pesan melalui aplikasi berwarna hijau. [Iya, Sayang. Hati-hati ngecek barangnya, jangan sampai salah, entar kita yang rugi]Langsung kukirim balasan kepada Aldo.[Oke, deh. Oya, mungkin aku beli makan di luar, jadi jangan ditunggu ya] balasnya lagi.[Iya, Sayang] Kukirim balasan beserta emoticon berbentuk hati.Setelah menikah, kami memutuskan untuk memanfaatkan uang yang kudapat dari Bang Ridwan, untuk membuka usaha toko materil. Aldo yang punya ide itu. "Kalau kita pakai terus uangnya, tanpa ada pemasukan, lama-lama kita akan jadi gembel dan tinggal di jalanan, karena semakin lama, uang itu pasti habis." Begitu katanya waktu itu. Maka dari itu, kami bertekad membuka usaha toko materil, kecil-kecilan, agar uang yang ada bisa berputar dan tak habis hanya untuk makan dan foya-foya saja. Kami kini telah menetap dan membeli rumah jauh di luar kota. Aldo takut
Pov Gita"Mel, aku ke toilet bentar ya," ujarku lalu bangkit dan beranjak menuju tolilet. Ketika aku berjalan menuju tolilet, terdengar suara Melly memanggilku. Aku menoleh padanya, dia melambaikan tangannya ke arahku agar aku kembali ke tempat duduk. Namun, karena aku terburu-buru, aku hanya menoleh ke arahnya sembari melemparkan senyum simpul. "Bentar," ucapku pelan, namun pasti Melly memgerti dengan apa yang kuucapkan, melalui gerakan bibirku. Beberapa menit kemudian, aku kembali ke tempat Melly duduk."Lama amat sih ke toiletnya. Lagian tadi disuruh balik kok malah ngeloyor aja pergi," gerutu Melly sembari mengerucutkan bibirnya. Dari raut wajahnya dia tampak kesal sekali."Memangnya ada apa sih, Mel?" tanyaku penasaran. "Tadi sepertinya aku lihat suamimu di sana, sama perempuan," ucap Melly seraya menunjuk ke arah dimana dia melihat Aldo."Gak mungkin, Aldo lagi di toko. Ada barang masuk. Dia udah izin sama aku tadi," terangku pada Melly. "Kayaknya aku gak salah lihat deh,
Aldo Ditangkap Polisi?Aku sedang menyisir rambut, ketika Aldo masuk ke kamar. "Sudah bangun, Sayang?" sapanya lalu mendekati dan ingin menciumku. Namun, aku mengelak."Mandi dulu, gih. Bau alkohol di badanmu belum hilang, membuat aku mual," ujarku masih terus menyisir rambut. Aldo tersenyum seraya menggaruk kepalanya. Lalu mengambil handuk yang tersangkut di di dinding dekat pintu kamar mandi. Dia langsung melaksanakan ritual mandinya.Aku beranjak ke luar kamar menuju ruang makan. Sesampainya di ruang makan, kulihat Bi Darmi sedang sibuk menata makanan di atas meja makan. "Masak apa, Bi?" tanyaku pada wanita paruh baya itu. Bi Darmi memang tinggal di rumah kami, karena dia darang dari kampung dan tak punya siapa-siapa di sini. "Masak nasi goreng kesukaan Ibu," sahutnya seraya tersenyum lebar. "Mayra sudah bangun?" tanyaku lagi. Selama ini, Mayra dan Bi Darmi tidur satu kamar, agar ada yang menjaga Mayra di malam hari. "Sudah, Bu. Dia sudah mandi. Itu lagi main boneka di dalam
Aldo Ditangkap Polisi 2Waktu terus berjalan, hingga akhirnya anak kami lahir, berjenis kelamin laki-laki. Kami sangat bahagia menyambut kehadiran putera kami tersebut. Aldo jadi semakin jarang ke luar rumah. Sampai detik ini, aku tidak mendapatkan kabar apa-apa tentang perselingkuhan yang mungkin dilakukan Aldo. Kata Indri, dia tidak pernah melihat atau mendengar Aldo menelepon dan menemui wanita lain. Mungkin semua yang dikatakan Aldo dulu adalah benar, dia tidak berselingkuh, hanya aku saja yang terlalu curiga. "Do, kita panggil satu orang baby sitter, ya. Aku bosenlah kalau tiap hari terus-terusan di rumah. Sekali-sekali, aku pengen juga kumpul sama temen-temenku," ujarku pada Aldo sewaktu kami sedang memandikan Farel. Ya, kami memberinya nama Farel. Usianya kini sudah tiga bulan. "Terserah kamu, Sayang. Aku setuju aja. Yang penting kamu bahagia," sahut Aldo seraya membelai lembut kepala ini. "Oke, nanti aku tanya Melly. Kemarin dia nawari baby sitter ke aku. Mudah-mudahan mas
Aku menjauhkan ponsel dari telingaku, menggenggamnya dengan sangat kuat sampai tangan ini terasa bergetar. Apa yang telah dilakukan Aldo sampai dia berurusan dengan polisi? Apa dia telah memasukkan barang curian ke toko? Atau apa?Tunggu...ada yang aneh, kenapa Aldo ditahan di kantor polisi di daerah sini? Bukankah dia sedang berada di luar kota? Ada apa ini? Apa ternyata Aldo sebenarnya sudah kembali ke sini? Trus dia membohongiku? Tapi, waktu ditelepon tadi dia mengatakan kalau dia baru bisa pulang besok. Ada apa sebenarnya? Apa yang sudah dilakukannya?"Git...Gita! Ada apa? Siapa yang ditahan?" Panggilan Melly membuyarkan lamunanku. Sahabat yang selama ini menjadi teman curhatku itu tampak khawatir melihat aku yang diam saja setelah menerima telepon dari polisi. "Aldo, Mel, Aldo ditahan di kantor polisi," sahutku lirih. Hatiku bergemuruh hebat. Aku belum yakin benar dengan kabar yang baru saja kuterima. "Kok bisa? Salah apa dia?" tanya Melly lagi, raut wajahnya juga menunjukkan
Setelah menjalani kehidupan di panti, mereka diajarkan tentang kesopanan dan hal-hal baik lainnya. Makanya mereka sudah terbiasa jika dengan ketertiban.Setelah mendapatkan paper bag masing-masing, anak-anak panti kembali duduk ketempat semula. "Udah, Wi, silakan dilanjutkan," ujarku pada Tiwi setelah aku selesai membagikan souvenir yang sengaja kupesan beberaa hari yang lalu. "Oke, Mbak," sahut Tiwi singkat."Tama, duduk di sini, Nak," ujar Bang Ardi memanggil Tama agar duduk di kursi yang telah disediakan. Sedangkan Adinka duduk dipangku oleh Bang Ridwan.Tiwi meminta MC yang tak lain adalah temannya sendiri untuk memandu jalannya acara. Dimulai dengan pembacaan doa oleh seorang ustadz yang biasa memberi ceramah di panti. lalu, acara dilanjutkan dengan ucapan syukur dan terima kasih yang disampaikan oleh Bang Ridwan. Lagi dan lagi kalimat itu keluar dari mulut Bang Ridwan. Kalimat yang berisi ucapan terima kasih yang tulus, yang ditujuakn untukku dan Bang Ardi karena telah membe
POV RISADua tahun kemudian.Aku sedang menemani anak-anak menonton tayangan film kartun di televisi sembari menantikan Tama dan Mayra pulang dari sekolah. Mereka mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.Tama dan Mayra bersekolah di sekolah yang sama, agar mereka dapat saling melindungi dan bahu membahu sebagai satu keluarga. Aku tidak pernah membeda-bedakan dalam memperlakukan mereka, walaupun Mayra dan Farel bukan anak kandungku. Tapi, mereka adalah amanah yang dititipkan Gita kepadaku. Aku tak bisa menyia-nyiakan mereka. Perlakuan buruk yang pernah Gita lakukan kepadaku, tak serta merta membuatku membenci kedua anaknya. Bagiku, masa lalu hanyalah masa lalu, kita tak perlu mengungkit kenangan buruk yang ada di sana karena itu akan menyakiti diri kita sendiri. Jadikan semua kejadian di masa lalu sebagai pelajaran, pasti ada hikmah dibalik sebuah cobaan yang kita hadapi. Contohnya aku, karena Gita merebut suamiku akhirnya aku dipertemukan dengan laki-laki yang jauh lebih baik,
"Tunggu dulu! Jadi Tama sudah tau kalau Bang Ridwan, Papa kandungnya?" tanyaku dengan wajah penasaran."Iya, Wi. Sebelum berangkat ke sini, Risa sudah mengatakan semuanya kepada Tama. Tama memang anak yang baik, dia tidak marah sedikit pun baik kepada Risa maupun Ridwan. Dia dapat memahami keadaan yang sudah terjadi dan memaafkan kedua orang tuanya.""Sykurlah, akhirnya mimpi Bang Ridwan jadi kenyataan. Semua ini berkat kebaikan Bang Ardi dan Mbak Risa. Lagi-lagi kalian menjadi pahlawan di keluarga kami. Entah dengan apa kami membalas kebaikan kalian. Demi Bang Ridwan, Kalian meninggalkan acara yang sudah digelar dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit," ujarku terharu."Demi Tama, apa pun akan aku lakukan, jangankan uang, nyawaku pun akan kupertaruhkan. Aku takut, kalau Tama tak sempat bertemu dengan ayah kandungnya. Makanya, aku segera mengantarnya ke sini. Dan ternyata, Allah berkehendak, kalau kehadiran Tama merupakan berkah untuk ayahnya, Ridwan bisa sadar dari koma.""Abang be
Tampak wajah mereka sangat serius ketika berbicara. Setelah dokter itu pergi, wanita itu kembali menangis. Kak Suci ikut menenangkannya.Satu jam sudah kami menunggu di tempat ini. Tidak ada yang buka suara untuk sekedar ngobrol. Kami larut dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba, ada dokter dan perawat yang berjalan tergopoh masuk ke dalam ruangan. Napasku jadi terasa sesak. Hatiku bertanya-tanya, ada apa di dalam. Kami tak dapat lagi melihat ke dalam karena jendela kacanya sudah tertutup tirai.Tak lama, seorang perawat keluar dan memanggil keluarga Pak Hasan, suami wanita yang sejak tadi bersamaku. Aku lega, tapi, kasihan juga melihat wanita itu. Suaminya kritis di dalam sana. Dia terduduk lemas di lantai sembari menangis tersedu-sedu. Dalam waktu tiga puluh menit, seorang doter keluar dari ruangan dengan wajah sedih."Bagamana suami saya, Dok?" tanya wanita itu."Anda istri Bapk Hasan?' tanya dokteritu balik. waita itu mengangguk, mengiyakan."Mohon Maaf, Bu. Kami gagal menyelama
Aku masuk ke dalam ruangan tempat Bang Ridwan dirawat, setelah mendapat izin dari dokter. Aku berdiri di samping brankar tempatnya berbaring sembari mengusap lembut wajah suamiku. Satu kecupan lembut kuberikan di keningnya sembari berbisik, "Bangunlah Bang, calon bayi kita merindukan suaramu."Seketika air mata menetes di sudut mata ini. Cepat-cepat aku menyapunya agar tak jatuh menimpa wajah Bang Ridwan. Aku tak mau dia melihat aku menangis.Kulantunkan ayat-ayat Alquran di telinganya. Aku yakin, walaupun dia tidak sadar, dia dapat merasakan kehadiranku di sini.Setelah selesai kubaca surat Alfatihah di telinganya, sudut matanya meneteskan air mata. "Abang bisa dengar Tiwi, Bang? Buka mata Bang, kami merindukanmu. Abang harus kuat, Kami selalu mendoakan, Abang. Cepatlah sadar, Bang!" ujarku mencoba membangunkan Bang Ridwan.Kuraih tangan Bang Ridwan, lalu menempelkannya ke perutku. Calon bayi di perut ini pasti merindukan hal ini. Biasanya seusai salat Subuh, Bang Ridwan selalu meng
Sudah pukul lima subuh, aku baru saja selesai melaksanakan sala Subuh di Mushollah. "Bu, Ibu mertua dan Kakak ipar saya sudah datang. Jadi, bukan berniat mengusir. Bu Hindun kelihatan lelah sekali. Ibu pulang saja, ya. Ibu tidak perlu khawatir, sudah ada yang menemani saya di sini," ujarku pada wanita yang telah menemaniku menjaga Bang Ridwan sejak kemarin."Ya, sudah kalau begitu. Saya akan pulang, nanti sore saya kembali lagi membawakan pakaian ganti untuk Bu Tiwi. Pasti gerah kan, sejak kemarin belum ganti baju," sahut Bu Hindun. "Saya tidak enak, jadi merepotkan Ibu.""Tidak, Bu, saya tidak merasa direpotkan. Saya permisi ya, Bu." Aku memberikan uang kertas berwarna merah sebanyak dua lembar kepadanya, untuk ongkos taxi dan pegangan di jalan. Irfan, sudah pulang sejak kemarin, karena ada yang ingin menyewa mobilnya.Aku kembali ke ruangan Bang Ridwan. Kak Suci dan Ibu masih tertidur di kursi, di depan ruangan. Dengan hati-hati aku membangunkan mereka agar salat Subuh. Mereka se
Dengan usaha yang gigih, akhirnya anak itu datang ke acara pernikahan kami bersama ibunya, mantan istri Bang Ridwan yang dulu dia buang demi seorang wanita bernam Gita. Wanita itu sangat cantik dan anggun, Mbak Risa namanya. Setelah mendapatkan maaf dan restu darinya, Bang Ridwan merasa lega dan siap menghadapi masa depan bersamaku. Tujuh tahun sudah kami berumah tangga. Baru sekarang Allah menitipkan seorang anak di rahimku. Baru saja kami merasa bahagia akan menyambut kelahiran anak pertama kami. Namun, Bang Ridwan mengalami kecelakaan seperti ini. Akankah kebahaiaan itu harus terenggut sekarang? Tak adakah kesempatan untuk Bang Ridwan melihat wajah anaknya? entahlah, dadaku semakin sesak setiap memikirkan hal ini. Ya, Allah, izinkan anakku bertemu dengan ayahnya, digendong ayahnya, tumbuh dan berkembang dibawah asuhan ayahnya. Cukuplah Tama yang merasakan kehilangan ayah kandungnya sejak kecil. Aku tahu, Bang Ridwan sangat bersalah kepada Tama. Ampuni dia ya, Allah! Izinkan dia
Malam sudah menjelma. Namun, Bang Ridwan belum juga menunjukkan tanda-tanda akan sadarkan diri. Aku semakin cemas melihat kondisinya. Sejak tadi aku belum menelan nasi sedikit pun. Entahlah, rasanya aku tak ingin meninggalkan Bang Ridwan barang sedetik pun. Kami berada di ruang tunggu dekat dengan ruang ICU. Tak seorang pun diperbolehkan masuk ke dalam sana tanpa seizin dokter. Aku hanya bisa melihat suamiku dari jendela kaca. "Bu Tiwi, makan dulu, Bu! Sejak tadi siang Ibu belum makan apa pun. Kasian calon bayi Ibu. Pikirkan dia, Bu! Jangan sampai dia kenapa-kenapa." Bu Hindun yang baru datang membawa nasi bungkus berkata memelas."Tapi, saya tidak selera makan sebelum melihat Bang Ridwan sadar, Bu," sahutku lirih. "Pikirkan calon bayi Ibu! Pak Ridwan pasti juga tidak ingin calon bayinya kenapa-kenapa. Makanlah, Bu, sedikit saja!" ujarnya lagi sembari membuka nasi bungkus untukku.Benar kata Bu Hindun. Aku tidak boleh egois. Calon bayiku tidak harus ikut tersiksa karena kesedihanku
POV TIWIAku dan Bu Hindun mempercepat langkah agar cepat sampai ke ruangan itu. Begitu aku sampai di depan ruangan tempat Bang Ridwan diobati, seorang wanita datamg menghampiri."Anda Ibu Tiwi?" tanyanya. Aku mengangguk."Saya yang menelepon tadi. Ayo ikut saya, kita harus segera menemui dokter. Ibu harus segera menandatangani surat persetujuan dilakukanya operasi pada suami Ibu. Ada pembekuan darah di kepalanya, dan harus segera dioperasi."Aku mengikuti wanita itu menuju salah satu ruangan di rumah sakit ini. Setelah menandatangani surat persetujuan itu, Para perawat langsung memindahkan Bang Ridwan ke ruang operasi. Operasi terhadap Bang Ridwan segera dilakukan.Diluar ruang operasi aku menunggu dengan cemas. Mulutku serasa terkunci, aku tak mampu berbicara apa pun selama Bang Ridwan masih di dalam sana. Wanita yang meneleponku tadi juga masih di sini bersama suaminya. Aku belum sempat bertanya apa-apa pada mereka. Nanti sajalah, setelah operasinya selesai, pikirku. Sekitar sat