"Tunggu di sini saja, Bu. Saya akan membawa Pak Aldo ke sini,"ujar polisi tersebut seraya menunjuk ke dua buah bangku panjang yang dipisahkan oleh sebuah meja kayu di tengah-tengahnya. "Baik, Pak," sahutku, lalu aku duduk di salah satu bangku panjang tersebut.Aku mengitari ruangan ini d ngan pandanganku. Rasanya agak sedikit berbeda dengan ruangan yang berbentuk lorong tadi, terasa lebih l ga dan segar, mungkin karena ada fentilasi udaranya, walau hanya sedikit. Tak lama, polisi tadi datang bersama Aldo. Aldo langsung mengambil tempat duduk tepat di hadapanku. Wajahnya sangat memelas, dengan pakaian yang sangat lusuh dan rambut acak-acakan, dia menatapku sendu. "Git, tolong aku, Git! Keluarkan aku dari sini! Aku tidak bersalah, Git. Aku dijebak," ujarnya memelas. Aldo ingin meraih jemari tanganku, namun cepat aku menarik tangan dari atas meja. Tak sudi rasanya bersentuhan dengan lelaki kotor, yang sudah menghianatiku."Dijebak? Kau pikir aku percaya dengan semua omong kosongmu? D
Pagi-pagi sekali, aku sudah bersiap hendak berankat ke toko. Aku akan mengambil alih semua hal di toko. "Bi Darmi, saya langsung berangkat, ya. Saya sarapan di luar saja. Buru-buru soalnya. Tolong jaga dan awasi anak-anak, ya. Terutama,Ningsih, tolong awasi dia agar lebih teliti merawat Farel!" ujarku kepada Bi Darmi yang sedang mencuci piring di dapur."Iya, Bu. Ibu mau kemana? Pagi-pagi begini sudah siap-siap mau berangkat," tanyanya hati-hati."Saya mau ke toko. Mulai hari ini, saya yang akan menangani urusan toko," ujarku lagi."Oh, baik, Bu," sahutnya, dari raut wajah Bi Darmi sepertinya ada sesuatu yang ingin ditanyakan, tapi mungkin dia tidak nerani. "Ya, sudah, saya berangkat dulu ya." Aku bergegas berjalan menuju garasi mobil. Lalu pergi meninggalkan rumah.Susana di jalan raya sudah lumayan ramai. Aku berpacu dengan beberapa sepeda motor yang hilir mudik mengatar anak sekolah, ada juga yang membawa barang dagangan. Tak kalah sibuknya, truk-truk bermuatan baramg-barang yang
Sudah satu minggu aku menjalankan usaha toko materil ini sendirian. Indri yang kuharapkan dapat membantu tak lagi datang bekerja, bahkan kabarnya pun aku tidak tahu. Tak ada satu orang pun teman kerjanya yang mengetahui tentang kabar dan keberadaannya.Selama satu minggu aku memeriksa pembukuan yang Aldo buat, aku menemukan banyak kejanggalan. Uang yang diserahkan Aldo setiap hari, setelah toko tutup tak sesuai dengan barang-barang yang terjual pada hari itu. Sepertinya Aldo mengeluarkan banyak uang, tapi entah untuk apa. "Permisi, Bu. Ada dua orang lelaki mencari Pak Aldo," ucap Tio, salah seorang pekerjaku. "Siapa dan mau apa?" tanyaku heran."Tidak tau, Bu," sahutnya pelan."Ya, sudah. Suruh masuk saja!"Tio kembali bersama dua orang berpostur tegap tinggi, berpakaian preman dengan wajah yang sangar. Aku meminta Tio kembali ke pekerjaannya."Anda istrinya Aldo?" tanya salah seoramg dari mereka. "Kemarin, iya. Sekarang sudah tidak lagi. Karena saya sudah mengurus perceraian denga
"Persediaan obatmya masih ada, Bi?" tanyaku sembari berjalan menuju kamar Mayra."Sudah hanis, Bu. Tadi sudah saya minumkan, tapi tidak ada reaksi. Hanya sisa sekali minum itu aja," sahut Bi Darmi panik. "Ya, sudah kita bawa Mayra ke klinik. Ayo, Bi, cepat!" Aku dan Bi Darmi bergegas membawa Mayra menuju klinik. Namun, baru saja kami sampai di depan pintu, Mbak Ningsih berseru memanggil."Bu...Ibu! Farel muntah-muntah terus. Kasihan, badannya sampi lemas," teriaknya dari dalam kamar Farel.Ya Tuhan, masalah apa lagi ini. Kenapa di saat aku sedang banyak masalah, kedua anakku sakit secara bersamaan. "Bentar ya, Bi. Saya lihat Farel dulu," ujarku pada Bi Darmi. Wanita paruh baya yang sedang menggendong Mayra itu mengangguk lalu duduk di sofa bersama Mayra."Lihat, Bu! Farel muntah terus. Badannya juga terasa dingin," kata Ningsih begitu aku sampai di kamar Farel."Kita bawa Farel sekalian ke klinik. Saya tidak tahu harus bagaimana lagi. Ayo, Mbak, kita bawa segera!" Tanpa pikir panj
"Berarti pas awal permisi dari sini, dia langsung lergi, ya. Ya, sudah, terima kasih sudah membantu saya, ya, Restu. Ini ada sedikit uang untuk mengganti minyak motor kamu." Aku menyerahkan uang kertas berwarna merah sebanyak satu lembar kepada Restu. Malu-malu dia menerimanya, tapi mau juga. "Oya, besok semua barang-barang dari toko cabang akan tiba di sini. Jadi saya harap tidak ada yang izin, ya. Kalau ada temanmu yang ingin bekerja di sini, silakan. Saya butuh satu oramg cewe untuk membantu saya di kasir." ujarku pada Restu sebelum dia beranjak dari hadapanku."Iya, Bu. Saya punya sepupu perempuan. Besok saya suruh datang ke sini ya, Bu." sahut Restu semringah. Lalu dia minta izin untuk melanjutkan pekerjaannya. *Keesokan harinya, ketika kami sedang sibuk menurunkan dan menata barang-barang yang baru datang dari toko cabang. Aku dikejutkan demgan kedatangan Indri. Wajahnya terlihat sangat pucat, tubuhnya juga sedikit kurus. "Indri? Kamu kenapa? Kamu sakit?" tanyaku pada peremp
"Saya minta maaf, Mbak. Tolong saya, izinkan saya bertemu Bang Aldo. Saya sudah cari ke rumah kalian, tapi katanya rumah itu sudah dijual. Makanya saya ke sini," ujar Indri lagi dengan linangan air mata. Posisinya masih berlutut di kakiku."Berdiri, aku bilang berdiri," tegasku pada Indri. Perempuan muda yang katanya sedang mengandung anak Aldo itu menuruti kata-kataku. Kini kami sudah saling bersitatap."Kau mau tau dimana Aldo sekarang?" tanyaku lagi dengan penuh penekanan. Aku menatap nyalang mata Indri. Tatapannya penuh harap, tampaknya dia sangat ingin bertemu dengan lelaki si*lan itu."Iya, Mbak. Aku harus ketemu, Bang Aldo. Aku ingin minta pertanggung jawabannya. Aku malu kalau sampai pulang kampung dalam keadaan hamil tanpa suami. Mau ditaruh dimana mukaku. Tolong aku, Mbak. Aku rela jadi yang kedua," ujarnya sangat-sangat memelas."Hahahha. Hamil tanpa suami? Itu salahmu sendiri. Kamu kan yang mau ditiduri sama si Aldo? Tanggung sendiri akibatnya. Kamu tau? Aldo sekarang dita
Sudah sebulan berlalu, sejak Indri datang ke toko, dia tak pernah lagi muncul seperti waktu itu. Mungkin dia sudah menemui Aldo di penjara, dan sudah tahu cerita sebenarnya seperti apa. Makanya, dia tidak lagi menuntut uang dariku. Aku masih menikmati sarapan bersama kedua anak-anakku, ketika ponselku berdering. Gegas aku memgambil hape yang kuletakkan di dalam kamar, di atas nakas. Ternyata yang menelepon adalah Mang Diman. Ada apa dia menelepon sepagi ini?"Halo, Mang Diman. Ada apa?" tanyaku pada penjaga toko itu. "I—ini, Bu. Tadi saya kaget, karena ada yang melempar pintu depan toko. Suaranya sangat keras. Lalu saya keluar untuk memeriksanya. Ternyata benar. Ada sebongkah batu yang lumayan besar di depan toko dan tepat di depan pintu masuk, ada setumpuk kotoran manusia, Bu. Sepertinya ada yang meneror toko kita, Bu," ujar Mang Diman dengan nada cemas. "Diteror? Kok bisa? Pagi-pagi begini, loh. Siapa ya?" tanyaku penasaran. Perasaan aku tidak punya musuh di sini. "Saya juga tid
sudahlah, aku tak mau memikirkan hal itu. Itukan hanya tebakanku saja, belum tentu benar. Setelah sampai di depan toko, aku langsung turun dan menemui Mang Diman. Mobil masih kubiarkan terparkir di depan toko."Gimana kejadiannya, Mang? Apa setelah itu ada yang meneror lagi? Maksudnya, apa ada orang yang mencurigakan mondar-mandir di depan toko?" tanyaku pada Mang Diman. Suasana toko masih sunyi, karena belum ada pekerja yang datang."Saya kurang tau pasti, Bu. Tapi begitu saya dengar suara lemparan di pintu depan, saya buru-buru keluar dan melihatnya. Ada dua orang lelaki naik motor kencang-kencang ke arah sana," terang Mang Diman seraya menunjuk ke arah perginya dua orang lelaki yang dimaksud."Mang Diman sempat lihat wajah mereka?" tanyaku lagi."Nggak, Bu. Mereka pakai helem," sahut Mang Diman."Kalau begitu, hari ini kita pasang CCTV di toko ini, Mang. Saya khawatir, mereka akan balik lagi dan membuat teror yang lebih buruk lagi.""Iya, Bu. Saya rasa itu sangat perlu," ujar Man
Setelah menjalani kehidupan di panti, mereka diajarkan tentang kesopanan dan hal-hal baik lainnya. Makanya mereka sudah terbiasa jika dengan ketertiban.Setelah mendapatkan paper bag masing-masing, anak-anak panti kembali duduk ketempat semula. "Udah, Wi, silakan dilanjutkan," ujarku pada Tiwi setelah aku selesai membagikan souvenir yang sengaja kupesan beberaa hari yang lalu. "Oke, Mbak," sahut Tiwi singkat."Tama, duduk di sini, Nak," ujar Bang Ardi memanggil Tama agar duduk di kursi yang telah disediakan. Sedangkan Adinka duduk dipangku oleh Bang Ridwan.Tiwi meminta MC yang tak lain adalah temannya sendiri untuk memandu jalannya acara. Dimulai dengan pembacaan doa oleh seorang ustadz yang biasa memberi ceramah di panti. lalu, acara dilanjutkan dengan ucapan syukur dan terima kasih yang disampaikan oleh Bang Ridwan. Lagi dan lagi kalimat itu keluar dari mulut Bang Ridwan. Kalimat yang berisi ucapan terima kasih yang tulus, yang ditujuakn untukku dan Bang Ardi karena telah membe
POV RISADua tahun kemudian.Aku sedang menemani anak-anak menonton tayangan film kartun di televisi sembari menantikan Tama dan Mayra pulang dari sekolah. Mereka mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.Tama dan Mayra bersekolah di sekolah yang sama, agar mereka dapat saling melindungi dan bahu membahu sebagai satu keluarga. Aku tidak pernah membeda-bedakan dalam memperlakukan mereka, walaupun Mayra dan Farel bukan anak kandungku. Tapi, mereka adalah amanah yang dititipkan Gita kepadaku. Aku tak bisa menyia-nyiakan mereka. Perlakuan buruk yang pernah Gita lakukan kepadaku, tak serta merta membuatku membenci kedua anaknya. Bagiku, masa lalu hanyalah masa lalu, kita tak perlu mengungkit kenangan buruk yang ada di sana karena itu akan menyakiti diri kita sendiri. Jadikan semua kejadian di masa lalu sebagai pelajaran, pasti ada hikmah dibalik sebuah cobaan yang kita hadapi. Contohnya aku, karena Gita merebut suamiku akhirnya aku dipertemukan dengan laki-laki yang jauh lebih baik,
"Tunggu dulu! Jadi Tama sudah tau kalau Bang Ridwan, Papa kandungnya?" tanyaku dengan wajah penasaran."Iya, Wi. Sebelum berangkat ke sini, Risa sudah mengatakan semuanya kepada Tama. Tama memang anak yang baik, dia tidak marah sedikit pun baik kepada Risa maupun Ridwan. Dia dapat memahami keadaan yang sudah terjadi dan memaafkan kedua orang tuanya.""Sykurlah, akhirnya mimpi Bang Ridwan jadi kenyataan. Semua ini berkat kebaikan Bang Ardi dan Mbak Risa. Lagi-lagi kalian menjadi pahlawan di keluarga kami. Entah dengan apa kami membalas kebaikan kalian. Demi Bang Ridwan, Kalian meninggalkan acara yang sudah digelar dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit," ujarku terharu."Demi Tama, apa pun akan aku lakukan, jangankan uang, nyawaku pun akan kupertaruhkan. Aku takut, kalau Tama tak sempat bertemu dengan ayah kandungnya. Makanya, aku segera mengantarnya ke sini. Dan ternyata, Allah berkehendak, kalau kehadiran Tama merupakan berkah untuk ayahnya, Ridwan bisa sadar dari koma.""Abang be
Tampak wajah mereka sangat serius ketika berbicara. Setelah dokter itu pergi, wanita itu kembali menangis. Kak Suci ikut menenangkannya.Satu jam sudah kami menunggu di tempat ini. Tidak ada yang buka suara untuk sekedar ngobrol. Kami larut dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba, ada dokter dan perawat yang berjalan tergopoh masuk ke dalam ruangan. Napasku jadi terasa sesak. Hatiku bertanya-tanya, ada apa di dalam. Kami tak dapat lagi melihat ke dalam karena jendela kacanya sudah tertutup tirai.Tak lama, seorang perawat keluar dan memanggil keluarga Pak Hasan, suami wanita yang sejak tadi bersamaku. Aku lega, tapi, kasihan juga melihat wanita itu. Suaminya kritis di dalam sana. Dia terduduk lemas di lantai sembari menangis tersedu-sedu. Dalam waktu tiga puluh menit, seorang doter keluar dari ruangan dengan wajah sedih."Bagamana suami saya, Dok?" tanya wanita itu."Anda istri Bapk Hasan?' tanya dokteritu balik. waita itu mengangguk, mengiyakan."Mohon Maaf, Bu. Kami gagal menyelama
Aku masuk ke dalam ruangan tempat Bang Ridwan dirawat, setelah mendapat izin dari dokter. Aku berdiri di samping brankar tempatnya berbaring sembari mengusap lembut wajah suamiku. Satu kecupan lembut kuberikan di keningnya sembari berbisik, "Bangunlah Bang, calon bayi kita merindukan suaramu."Seketika air mata menetes di sudut mata ini. Cepat-cepat aku menyapunya agar tak jatuh menimpa wajah Bang Ridwan. Aku tak mau dia melihat aku menangis.Kulantunkan ayat-ayat Alquran di telinganya. Aku yakin, walaupun dia tidak sadar, dia dapat merasakan kehadiranku di sini.Setelah selesai kubaca surat Alfatihah di telinganya, sudut matanya meneteskan air mata. "Abang bisa dengar Tiwi, Bang? Buka mata Bang, kami merindukanmu. Abang harus kuat, Kami selalu mendoakan, Abang. Cepatlah sadar, Bang!" ujarku mencoba membangunkan Bang Ridwan.Kuraih tangan Bang Ridwan, lalu menempelkannya ke perutku. Calon bayi di perut ini pasti merindukan hal ini. Biasanya seusai salat Subuh, Bang Ridwan selalu meng
Sudah pukul lima subuh, aku baru saja selesai melaksanakan sala Subuh di Mushollah. "Bu, Ibu mertua dan Kakak ipar saya sudah datang. Jadi, bukan berniat mengusir. Bu Hindun kelihatan lelah sekali. Ibu pulang saja, ya. Ibu tidak perlu khawatir, sudah ada yang menemani saya di sini," ujarku pada wanita yang telah menemaniku menjaga Bang Ridwan sejak kemarin."Ya, sudah kalau begitu. Saya akan pulang, nanti sore saya kembali lagi membawakan pakaian ganti untuk Bu Tiwi. Pasti gerah kan, sejak kemarin belum ganti baju," sahut Bu Hindun. "Saya tidak enak, jadi merepotkan Ibu.""Tidak, Bu, saya tidak merasa direpotkan. Saya permisi ya, Bu." Aku memberikan uang kertas berwarna merah sebanyak dua lembar kepadanya, untuk ongkos taxi dan pegangan di jalan. Irfan, sudah pulang sejak kemarin, karena ada yang ingin menyewa mobilnya.Aku kembali ke ruangan Bang Ridwan. Kak Suci dan Ibu masih tertidur di kursi, di depan ruangan. Dengan hati-hati aku membangunkan mereka agar salat Subuh. Mereka se
Dengan usaha yang gigih, akhirnya anak itu datang ke acara pernikahan kami bersama ibunya, mantan istri Bang Ridwan yang dulu dia buang demi seorang wanita bernam Gita. Wanita itu sangat cantik dan anggun, Mbak Risa namanya. Setelah mendapatkan maaf dan restu darinya, Bang Ridwan merasa lega dan siap menghadapi masa depan bersamaku. Tujuh tahun sudah kami berumah tangga. Baru sekarang Allah menitipkan seorang anak di rahimku. Baru saja kami merasa bahagia akan menyambut kelahiran anak pertama kami. Namun, Bang Ridwan mengalami kecelakaan seperti ini. Akankah kebahaiaan itu harus terenggut sekarang? Tak adakah kesempatan untuk Bang Ridwan melihat wajah anaknya? entahlah, dadaku semakin sesak setiap memikirkan hal ini. Ya, Allah, izinkan anakku bertemu dengan ayahnya, digendong ayahnya, tumbuh dan berkembang dibawah asuhan ayahnya. Cukuplah Tama yang merasakan kehilangan ayah kandungnya sejak kecil. Aku tahu, Bang Ridwan sangat bersalah kepada Tama. Ampuni dia ya, Allah! Izinkan dia
Malam sudah menjelma. Namun, Bang Ridwan belum juga menunjukkan tanda-tanda akan sadarkan diri. Aku semakin cemas melihat kondisinya. Sejak tadi aku belum menelan nasi sedikit pun. Entahlah, rasanya aku tak ingin meninggalkan Bang Ridwan barang sedetik pun. Kami berada di ruang tunggu dekat dengan ruang ICU. Tak seorang pun diperbolehkan masuk ke dalam sana tanpa seizin dokter. Aku hanya bisa melihat suamiku dari jendela kaca. "Bu Tiwi, makan dulu, Bu! Sejak tadi siang Ibu belum makan apa pun. Kasian calon bayi Ibu. Pikirkan dia, Bu! Jangan sampai dia kenapa-kenapa." Bu Hindun yang baru datang membawa nasi bungkus berkata memelas."Tapi, saya tidak selera makan sebelum melihat Bang Ridwan sadar, Bu," sahutku lirih. "Pikirkan calon bayi Ibu! Pak Ridwan pasti juga tidak ingin calon bayinya kenapa-kenapa. Makanlah, Bu, sedikit saja!" ujarnya lagi sembari membuka nasi bungkus untukku.Benar kata Bu Hindun. Aku tidak boleh egois. Calon bayiku tidak harus ikut tersiksa karena kesedihanku
POV TIWIAku dan Bu Hindun mempercepat langkah agar cepat sampai ke ruangan itu. Begitu aku sampai di depan ruangan tempat Bang Ridwan diobati, seorang wanita datamg menghampiri."Anda Ibu Tiwi?" tanyanya. Aku mengangguk."Saya yang menelepon tadi. Ayo ikut saya, kita harus segera menemui dokter. Ibu harus segera menandatangani surat persetujuan dilakukanya operasi pada suami Ibu. Ada pembekuan darah di kepalanya, dan harus segera dioperasi."Aku mengikuti wanita itu menuju salah satu ruangan di rumah sakit ini. Setelah menandatangani surat persetujuan itu, Para perawat langsung memindahkan Bang Ridwan ke ruang operasi. Operasi terhadap Bang Ridwan segera dilakukan.Diluar ruang operasi aku menunggu dengan cemas. Mulutku serasa terkunci, aku tak mampu berbicara apa pun selama Bang Ridwan masih di dalam sana. Wanita yang meneleponku tadi juga masih di sini bersama suaminya. Aku belum sempat bertanya apa-apa pada mereka. Nanti sajalah, setelah operasinya selesai, pikirku. Sekitar sat