“Aku yakin kau pasti punya penjelasan yang bisa lebih masuk akal dari pada itu.”Esther hanya bisa menelan ludah, kedua tangannya meremas dengan gugup ujung kaos yang sedang dia kenakan. Bibir bawahnya dia gigit sebagai bentuk daripada gesture kegugupan yang terlalu dia rasa.Dihadapannya sekarang, Elson mengetuk-ngetukan kakinya dengan tidak sabar. Menunggu jawaban dari sang sepupu yang baru saja pulang pada jam-jam tidak biasa. Esther tidak membiarkan gadis itu lolos begitu saja tanpa penjelasan logis mengenai pakaian yang Esther kenakan. Kebawahannya dia bisa menerima (karena rok panjang memang sudah ciri khas sepupunya) tapi kaos metalica berwarna hitam bukan style sepupunya dan Elson tahu betul bahwa pemilik kaos yang Esther kenakan adalah seorang laki-laki.“Penjelasan apa lagi? sudah aku katakan kalau aku menginap di rumah teman. Karena tubuhnya lebih kecil dariku, aku terpaksa meminjam milik kakak laki-lakinya.”“Kalau begitu dimana ponselmu?” Elson agak meninggikan suaranya,
Perjalanan yang Esther lalui ke kampus terasa jadi begitu lama dari pada biasanya. Masalahnya bukan hanya dari kepadatan lalu lintas saja, tetapi juga dari pikiran yang melanglang buana dan kondisi emosional Esther yang teraduk tidak beraturan karena kejadian di kos-nya beberapa saat yang lalu.Sebelum pergi saja untuk terakhir kalinya Esther membanting pintu di depan muka sepupunya. Meski dia tahu kalau Elson dari dulu sampai sekarang sangat menyayanginya dan tidak pernah menginginkan sesuatu yang buruk terjadi kepadanya.Esther menghela napas, sebelum memukulkan dahinya pada setir.Disisi lain dia sangat puas karena bisa mengeluarkan emosinya, tetapi di sisi lain dia juga tahu bahwa Elson mungkin saja hancur melihat sikap Esther yang seperti tadi. Memang betul Elson berhak untuk menasehatinya karena tidak sempat menghubungi siapa pun di malam setelah kejadian begitu dia merasa jauh lebih tenang. Namun Esther tetap saja merasa kurang bisa terima perlakuan lelaki itu yang berani main
Kata Nara kelas Gaara ada di lantai dua. Makanya setelah berpisah dengan lelaki itu Esther buru-buru langsung memacu langkahnya menuju ke lantai dua. Dia memperhatikan setiap kelas, dan untungnya ada satu kelas yang terisi banyak mahasiswa dan pintunya masih terbuka. Jadi Esther masih bisa mengintip ke dalam melalui jendela untuk mencari sang penyelematnya.Tetapi sepanjang meneliti satu persatu orang di dalam kelas, dia tidak bisa menemukan lelaki dengan ciri khas seperti Gaara di dalam sana. Karena fokusnya pada jendela sambil melangkah Esther tidak menyadari keberadaan orang di depannya dan tiba-tiba saja Esther sudah menabrak tubuh kokoh yang mendadak muncul entah dari mana.“Ugh…” Bagai tersengat listrik, Esther sontak mundur beberapa langkah. Tanpa merasa perlu melihat muka orang yang ditabraknya, gadis itu langsung menundukan kepala dan melancarkan rentetan permintaan maaf yang sangat familiar dilidah. “Maaf, maafkan saya, saya tidak sengaja.”Biasanya jika adegan seperti ini b
Begitu kelasnya selesai Esther segera pergi ke parkiran dimana Gaara memintanya untuk menunggu. Seperti kesepakatan yang telah mereka setuju. Karena hal itulah, Esther berdiri di samping range rover Gaara dengan patuh. Kedua matanya melirik ke semua penjuru arah yang masih riuh. Karena Gaara ternyata belum ada, jadinya Esther yang menantikan sambil sesekali menatap ke direksi yang satu.Sambil menunggu, Esther kemudian mengecek ponsel yang diberikan Gaara kepadanya.Gadis itu mengerjapkan mata ketika dirinya sadar ponsel yang ada ditangannya bukan milik dia, melainkan milik Gaara. Tampaknya ponsel mereka tertukar lagi.Setelah dua puluh menit berlalu, Esther mengecek arlojinya. Dia menghela napas dan sekali lagi memastikan keberadaan Gaara yang tidak kunjung tiba. Sebersit praduga banyak berterbangan dipikirannya. Sebenarnya Esther sempat tergoda untuk menelepon ponselnya yang ada ditangan Gaara, tetapi dia agak takut kalau aksinya itu malah akan mengganggu si pria.Kesabarannya seola
“Dia cuma bilang Elson,” ungkap Gaara sambil mengangkat bahunya, kemudian setelah itu dia menatap Esther kembali. “Lalu Vinson kemudian pergi dan aku tidak melihat dia hingga detik ini.”“Aku tidak paham,” tutur Esther jujur, dia bersandar pada mobil Gaara di belakang punggungnya. “Aku sebenarnya sudah tahu kalau Vinson memang punya masalah dengan sepupuku. Tapi kenapa dia menjadikan hal itu sebagai alasan untuk membenciku? Maksudku yang jadi sepupunya Elson itu bukan cuma aku, adikku Elma juga. Tapi dia tidak membenci adikku sama seperti dia membenciku. Padahal aku dan Elma punya ikatan persaudaraan juga dengan Elson.”“Kau sendiri pernah bertanya pada sepupumu soal itu?”Esther terdiam beberapa saat, tampak berusaha mengingat sesuatu. “Sebenarnya aku pernah bertanya kenapa dia dan Vinson saling membenci satu sama lain. Tetapi dia selalu menolak memberiku penjelasan detail. Dia hanya bilang bahwa dia pernah berteman dengan Vinson. Dulu sekali,” jelas Esther yang kontan membuat alis G
“Terima kasih,” ujar Esther kepada wanita paruh baya yang melayaninya dari balik meja sayur mayur sebelum dirinya berbalik dan mencari pedagang yang lain. Dari dalam kantong sweater yang dia kenakan, Esther mengeluarkan secarik kertas yang telah berisi daftar belanjaan yang dia perlu dapatkan seluruhnya.“Ini sudah dibeli… nah yang ini masih ada dirumah kurasa,” gumamnya ketika gadis itu menelusuri daftar panjang buatannya. Setelah memastikan semua yang dia perlukan telah beralih ke dalam kantong, kini tujuan Esther adalah membeli ikan. Kebetulan pasar ikan terletak lima ratus meter dari posisinya sekarang. Jadi dia berjalan kaki dengan santai menuju ke satu lokasi yang sudah dia tandai sebagai lapak langganannya.Setelah kemarin berjalan-jalan dengan Gaara, dia menandai beberapa hal di tempat yang sama. Dan alasan mengapa Esther sekarang berbelanja lebih banyak dari biasanya adalah karena hari ini adalah hari yang dia janjikan kepada kakak-beradik keluarga Maxwell untuk makan malam b
Karena Esther hanya diam saja, lelaki itu kemudian tampak memikirkan sesuatu sebelum akhirnya buka suara lagi. “Oh, maaf. Pastinya kamu tidak akan nyaman ya? Saya lupa mengenalkan diri. Nama saya Felix,” ujarnya yang membuat Esther kontak menengok padanya lagi. “Dan Vinson sendiri adalah adik laki-laki saya.”Tuh kan! sisi dalam diri Esther langsung memberi tanggapan. Dugaan Esther tidak meleset sama sekali, memang benar lelaki ini punya hubungan darah dengan Vinson. Kalau tidak mana mungkin mereka semirip itu, terlebih hubungannya sedekat itu pula. Tetapi yang jadi pertanyaan adalah mengapa anggota keluarga dari si Vinson itu bisa ada di pasar sendirian? Tidakkah mereka adalah orang kaya yang urusan dapurnya sudah pasti menjadi tanggung jawab kepala pelayan?“Karena kamu menyebut namanya tadi, saya berasumsi kalau kamu mengenal dia juga,” ujar lelaki itu sambil terkekeh. “Tapi kalau diingat-ingat, kebanyakan memang kadang sering salah mengenal kami. Padahal aku lebih tua dari Vinson,
Tidak ada yang tahu soal bagaimana masa lalu Felix, meski memang banyak orang yang berusaha mengorek soal itu untuk menghancurkan dirinya. Kebanyakan dari orang itu sudah dibereskan, dank arena akhir tragis yang terjadi kepada siapa saja yang berusaha membocorkan awal mulanya. Orang-orang mulai menyerah dan menutup mulut mereka dengan terpaksa.Felix adalah anak yang dibesarkan disebuah panti asuhan bersama dengan adiknya yang kala itu belum genap berusia satu tahun. Felix tidak memiliki memori apapun soal sang ibu yang memilih menggiringnya ke panti asuhan beserta sebuah sepucuk surat ditangan. Karena hal itulah Felix tidak punya sedikitpun perasaan kepada wanita yang tidak dia ketahui namanya itu. Dia tidak menyayanginya dan juga tidak membencinya. Dia tidak merasakan apapun pada wanita itu.Namun karena dia hidup bersama sang adik, sebagai gantinya Felix mencurahkan seluruh kasih sayang dia miliki kepada Vinson yang mendadak menjadi tanggung jawabnya. Satu-satunya hal yang Felix in
Baiklah ini mungkin sedikit tentang keluarga pasutri muda. sebenarnya tidak ada yang terlihat wah atau bagaimana kecuali fakta bahwa mereka mulanya adalah pasangan yang terlihat abnormal tetapi nyatanya bisa membuat sebuah keluarga yang terlampau manis bak gulali, apple candy, dan kue lapis legit. Namun terkadang juga bisa sepahit kopi, se asam lemon, se asin garam. Ya, barangkali inilah alasan mengapa hidup itu tidak selalu tentang satu rasa, sebab manis itu sendiri tidak akan pernah berarti bila tidak ada rasa yang lain. Hidup tidak melulu soal bahagia.Matahari sudah meninggi, teriknya telah menghidupkan semesta mencoba mengintip dari celah tirai jendela yang sengaja belum dibuka. Seiring dengan langkah Gaara yang sampai di ujung tengah dan lekas membuka pelan pintu kamarnya.Lelaki itu berjalan tanpa suara, seraya mengukir senyum yang paling sempurna. Kedua matanya memancarkan cahaya yang lembut, tampak sekali bahwa pria tersebut menyukai sosok wanita yang masih meringkuk nyaman d
Tidak disangka hari yang ditunggu akan tiba. Dia juga tidak habis pikir bahwa akan tiba masanya dia akan mengenakan pakaian serba putih dan didandani dengan cantik, terlebih nantinya dia akan bersanding dengan pria yang dia cintai. Senyuman manis terpatri di wajah Esther yang sudah dipoles dengan make up sedemikian rupa. Gadis itu sama sekali tidak bisa berhenti tersenyum untuk moment ini. Hari ini dia akan menikah, dengan seseorang yang dulunya adalah bad boy di kampus, lelaki yang mulanya hanya dijadikan sebagai objek taruhan antara dia dengan Vinson. Ceritanya memang selucu itu, tetapi tidak memudarkan bahwa cinta yang dia miliki kepada sang pria adalah cinta yang tulus.Setelah lulus dan berpacaran selama kurang lebih tiga tahun, Gaara datang ke kediamannya dan dengan gentle meminang Esther di depan ayahnya. Lamaran itu datang tanpa diduga sama sekali oleh Esther, dan dia teramat bahagia mendengar kesungguhan Gaara terhadapnya. Selang beberapa waktu, pria itu langsung sibuk memper
Esther terbangun karena rasa lapar di perut. Dia berbalik dan menemukan sepasang mata Gaara yang menatapnya dengan intens.Dia tertidur saat ditengah permainan, dan ranjang Gaara sekarang sudah menjadi favorit Esther. Dia tidak mau meninggalkannya.“Hei,” sapa gadis itu pada sang pemuda, dia tersenyum malu-malu.“Hei,” balas Gaara membalas senyumannya. “Kau lapar ya?”Esther mengangguk.“Aku sudah memanaskan sup dan ada sedikit roti juga. Mungkin rasanya tidak akan terlalu cocok, tapi aku pribadi memang jarang makan dirumah.”Esther terkekeh. “Kau seperti cenayang, bagaimana kau bisa tahu aku lapar?”“Aku mendengar suara perutmu.”Wajah Esther memerah, sementara Gaara malah tertawa. Mereka kemudian makan bersama di tempat tidur. Makan terakhir yang Esther makan memang hanya sarapan di pesawat. Rasa lelah membuat Esther melupakan banyak hal termasuk urusan mengisi perut. Dan meski Gaara bilang rasanya mungkin tidak sesuai, tetapi bagi Esther makanan itu adalah yang paling nikmat yang p
“Menurutmu apa aku punya pilihan Gaara?” Dia merasakan air mata membasahi pelupuk mata. “Aku sendirian. Jika ada satu kesempatan bagiku untuk bisa menyelamatkan diri, tentu aku akan melakukannya.”“Bagaimana bisa kau melakukan itu sementara—”“Siapa yang kau pikir akan menolongku saat itu? Apakah kau Gaara? Kau? Tentu saja aku tidak pernah berpikir kesana karena aku orang asing bagimu sementara Vinson adalah teman baikmu. Dan apa yang kau lakukan saat kau tahu aku kesulitan di kampus ketika Vinson membully-ku? Kau tidak melakukan apapun.” Gaara hendak memotongnya, tetapi Esther segera mengangkat tangan mencoba untuk menghentikan apapun yang akan lelaki katakan sebagai bentuk dari pada pembelaan. “Kita pernah membicarakan ini dulu sekali. Aku tidak berusaha sedang menyalahkan keadaan ini kepadamu. Faktanya, memang pada saat itu aku tidak punya seorangpun yang bisa menolongku. Pada akhirnya aku hanya harus melakukan sesuatu agar aku bisa menyelamatkan diriku sendiri. Terus terang taruha
Gaara yakin dia berhalusinasi ketika melihat sosok perempuan berambut keperakan yang berdiri di muka rumahnya.Tidak. Tidak mungkin itu Esther.Selain Gaara hanya ada dua orang yang tahu soal keberadaan rumah ini. Paman Yoshi dan ayahnya.Bahkan saat Gaara turun dari jeep dan melepas kacamata hitamnya untuk memastikan bahwa terik matahari tidak membuatnya berhalusinasi, sosok tersebut masih berada disana. Semakin mendekat, Gaara semakin yakin bahwa sosok itu memang adalah Esther.Perasaannya kian membuncah dan tidak terkendali. Tetapi diantara itu semua, Gaara tidak bisa berbohong bahwa dia bersyukur melihat Esther ada disini. Apalagi mengingat bahwa beberapa saat yang lalu dia nyaris membuat keputusan yang mungkin akan disesalinya.Ketika dia berhasil memeluk sosok itu, rasa lega segera menyebar dalam hatinya. Dia tidak tahu bagaimana caranya Esther bisa berada disini. Namun dia bersyukur bahwa sekali lagi dia masih bisa menyentuh kehangatan kulit gadis itu. Berada didekat Esther mem
Sejak meninggalkan rumah yang dahulu menjadi tempat dia menghabiskan waktu bersama sang bunda tercinta. Gaara tidak menduga bahwa akan ada saatnya dia kembali ke rumah ini. Tepat seperti dugaannya pula tidak ada satu bagian dari rumah ini yang berubah. Ayahnya pasti melakukan segala cara agar rumah tersebut tetap sama persis seperti saat masih ditinggali oleh ibunya terakhir kali. Gaara bisa melihatnya dari taman bunga dan juga gazebo tempat ibunya dulu selalu menghabiskan waktu bersama Gaara untuk membacakannya sebuah dongeng.Gaara tidak bisa membohongi dirinya. Rumah itu sangat mencerminkan kepribadian ibunya. Setiap sudutnya memaksa Gaara mengingat semua memori tentang wanita itu. Ketika Gaara pertama kali melewati pintu depan rumah tersebut, dia merasa seperti melihat hantu ibunya dari masa lalu.Dalam perjalannnya ke Australia, Gaara sebenarnya telah membayangkan ratusan skenario yang ingin dia lakukan pada rumah tersebut. Hal pertama yang mampir ke otaknya adalah membersihkan s
Sesuai dengan janji, setelah mengunjungi makam ibunya Gaara, Jorge mengantar Esther menuju ke kediaman mendiang istrinya dimana gadis itu bilang bahwa Gaara berpotensi berada disana. Jorge sebenarnya tidak yakin bahwa sang putra akan berada di rumah tua itu. Apalagi karena Gaara punya alasan yang kuat mengapa dia bersedia tinggal bersamanya dari pada tinggal dirumah itu.Namun entah bagaimana, Esther mampu mematahkan semua statement pria itu berdasarkan intuisinya yang liar.Sementara Esther sendiri kini semakin diliputi rasa bersalah yang teramat mendalam kepada Gaara. Setelah mendengar cerita Jorge tentang mendiang istrinya. Esther memahami bahwa Gaara tumbuh dengan pemahaman bahwa sang ibu meninggal karena cinta yang terlalu besar kepada ayahnya. Memang masuk akal bahwa pemuda itu akan bersikap sinis dan membenci ayahnya. Tetapi terlepas dari hal itu, Esther pun tidak bisa menjudge keduanya. Tetapi yang pasti setelah mendengar segalanya dari kedua belah pihak, Esther malah merasa k
Esther benar-benar tidak tahu bahwa dia punya keberuntungan sebesar ini dalam hidupnya.Lima belas menit yang lalu dia benar-benar dibuat kelimpungan dan nyaris menangis gara-gara kehabisan mobil jemputan. Memang benar keputusan yang dia buat kali ini pun terbilang sangat gila seumur hidupnya. Terbang ke Australia tanpa punya kenalan satu pun, bahkan alamat yang hendak dia tuju pun Esther tak tahu. Esther hanya punya modal ingatan foto-foto lama Gaara dengan mendiang ibunya saja. Makanya rencana Esther adalah menyewa mobil dan pergi berkeliling sambil mencari rumah yang mirip dengan gambar yang pernah Esther lihat.Saat itulah mendadak pria baik hati yang Esther temui di pesawat menghampiri. Karena Esther punya pengalaman kurang baik dengan orang asing, maka Esther sempat ragu untuk mengatakan yang sebenarnya kepada orang itu. Tetapi bila mengingat kebaikan yang pria itu lakukan, Esther berasumsi bahwa orang itu bukanlah orang yang punya maksud jahat.“Ah, saya Jorge Maxwell. Orang ya
“Maaf?” balas gadis itu tampak agak kaget dengan pertanyaan yang Jorge berikan terhadapnya.“Mimpimu.”“A—ah… itu … b—bukan apa-apa,” sahutnya agak tergagap sambil menggelengkan kepala. “Maaf saja tapi itu … bukan tipik yang cukup menyenangkan untuk … dibicarakan.”Jorge mengangguk. “Baiklah kalua begitu, tapi saat melihatmu aku jadi teringat putra bungsuku yang kurasa seumuran denganmu.”Sekilas gadis itu jadi tampak sedikit tertarik. “Benarkah? Umur berapa?”“Tahun ini masuk dua puluh dua tahun.”Gadis itu menganggukan kepala. “Ah, benarkah? Saya juga.”“Jadi, kalua boleh tahu apa yang gadis sepertimu lakukan sendirian? Apa kau ingin mengunjungi seseorang?”Selama sesaat gadis itu tampak menimbang-nimbang jawabannya. Ekspresinya juga sedikit berubah. Tetapi kemudian tak selang beberapa lama dia menganggukan kepala. “Ya, begitulah.”“Keluarga?”“Ah, bukan. Hanya seorang teman.”“Kurasa dia adalah teman yang special sampai kau mau terbang sendirian seperti ini.”Jorge jadi terkekeh sa