Seiring berjalannya waktu, adik yang dia rawat mulai tumbuh besar. Karena dia hidup di wilayah peternakan, maka tidak heran di usianya yang masih belia Vinson sudah bisa menunggang kuda bersama kakaknya dan dia bahkan menjalin kedekatan secara emosional dengan para kuda. Namun disamping kesukaannya terhadap kuda, Vinson tumbuh menjadi sosok bocah yang pemalu. Felix tidak mengerti mengapa adiknya sangat takut berinteraksi dengan orang lain. Tetapi Felix paham bahwa sebenarnya adiknya juga perlu teman sebaya.Selanjutnya pertemuan antara Vinson dan Elson seperti sebuah takdir yang tidak bisa dihindari. Karena usia mereka tidak terpaut jauh. Elson juga membutuhkan sosok lain selain buku untuk menemaninya karena itulah tiba-tiba saja mereka sudah bermain saja di belakang rumah utama.Itu adalah pertama kali Felix menemukan adanya hubungan yang terjalin antara mereka.Beberapa bulan kemudian, keduanya menjadi tidak terpisahkan. Mereka nyaris melakukan semua hal bersama, sampai titik tidur
Suatu siang dibulan September, Felix membiarkan Vinson pergi bersama Elson dan Esther untuk melakukan piknik. Ketiga bocah itu memang kerap kali melakukannya mengingat kesukaan Esther yang suka membantu koki rumahnya memasak dan kedua anak laki-laki itu akan menjadi orang pertama yang mencicipi hasil buatan tangannya. Lokasi yang mereka pilih adalah dipinggir sebuah sungai dengan jarak yang tidak begitu jauh dari peternakan, dan biasanya ketika mereka disana Felix akan mengawasi mereka bertiga.Tetapi sayangnya, hari itu dia cukup sibuk karena membantu proses kelahiran seekor sapi betina tua di kadang, sehingga tugas menjaga para bocah dia titipkan kepada pekerja baru yang memang belum mahir dalam hal-hal seperti ini. Felix sempat punya pemikiran bahwa hal tersebut agak beresiko. Namun karena dia dituntut untuk menyelesaikan pekerjaan dia mengesampingkan firasat buruknya dan fokus pada apa yang sedang dia kerjakan.Felix bahkan sampai melupakan fakta bahwa para bocah keluar dalam kond
Malam itu sambil mengobati luka bekas gigitan litah di betis adiknya, Felix mencoba secara pelan-pelan menggali apa yang adiknya ketahui dari kejadian tadi. Meskipun tentu saja Felix sangat percaya bahwa Vinson tidak mungkin melakukannya.Namun sebelum melakukannya, Elson keburu datang ke kediaman mereka. Bocah itu bahkan terlihat sangat arogan saat dia berdiri di dekat pintu.“Aku tidak pernah menyukaimu sejak kau cari muka pada paman, Felix. Setiap kami makan malam bersama, yang dibicarakan oleh Paman Zeref selalu saja soal Felix yang melakukan ini, Felix yang melakukan itu. Aku muak mendengar namamu diagungkan dan dipuji-puji oleh Paman, padahal kau sendiri bahkan bukan bagian dari keluarga Rodrigo. Namamu tidak pantas disebut di meja makan kami. Kau itu harusnya sadar posisimu sejak datang, kalau kau hanya orang asing yang meminta belas kasihan Paman untuk menjadi buruh kasar. Tempatmu selamanya akan ada di situ. Tempat yang rendah dan jangan bermimpi untuk bisa setara dengan kami
Vinson akhirnya terbangun ketika mereka sudah berada di dalam bus, dan sudah meninggalkan peternakan keluarga Rodrigo sejak lima belas menit yang lalu. Bocah kecil itu celingukan dan tampak kebigungan atas kondisi baru yang dia alami.“Kita ada dimana, Kak Felix?”“Kita sedang dalam perjalanan menuju ke rumah baru kita.”Diluar dugaan Vinson sama sekali tidak menentang atau menangis. Sebaliknya bocah itu malah terdiam menatap pemandangan yang tersaji dari kaca mobil bus yang didominasi dengan pepohonan. Setelah keheningan yang begitu panjang, bocah itu akhirnya kembali buka suara. “Kak, kenapa kita harus pindah? Apa karena aku nakal? Atau karena kecelakaan yang terjadi kepada Esther?”Felix tampak menimbang-nimbang untuk membuka cerita itu atau tidak kepada adiknya. Tetapi dia berpikir bahwa akan jauh lebih bijaksana bila anak itu tidak tahu apa-apa. “Memang sudah waktunya bagi kita untuk pindah saja, Vinson,” jawab Felix sambil mengelus puncak kepala adiknya.“Kak, boleh aku bertanya
“Tuan Felix… Tuan Felix….” Esther pelan-pelan menusuk lengan si pria dengan jari telunjuknya. “… anda baik-baik saja?”Felix tersadar dari lamunannya dan kemudian berbalik untuk memandangi Esther yang sudah berada dalam versi lebih dewasa. Ingatannya tidak banyak menyimpan memori apapun soal gadis disebelahnya, kecuali bayangan Esther yang masih mungil dengan rambut pendek dan jepitan rambutnya. Bertemu gadis sudah beranjak menjadi dewasa rasanya sudah seperti mimpi saja.“Ya, saya baik-baik saja, Nona,” sahut Felix sambil memberikan senyum hangat kepada Esther, membuat kerutan yang ada disekitar matanya jadi sedikit tertarik. “Bagaimana denganmu?”“Ah, saya baik-baik saja. Justru saya jadi khawatir karena Anda tiba-tiba diam saja cukup lama. Apa ada sesuatu yang anda pikirkan?” tanya gadis itu dengan ekspresi cemas.“Tidak ada,” katanya yang kemudian terdiam lagi setelah beberapa saat sebelum akhirnya kembali buka suara lagi, “Tapi kalau tidak keberatan boleh saya bertanya sesuatu ya
“Tiga puluh koin.”Sebatang rokok terselip di bibir Vinson ketika dia merogoh dompetnya untuk mengeluarkan beberapa lembar uang tunai dari sana. Perempuan di meja kasir langsung meletakan tiga puluh koin yang diminta oleh pemuda itu. Mulut si kasir mengunyah permen karet sementara matanya tertuju kepada permainan yang sedang berlangsung di depan matanya.“Shit.” Vinson mengumpat ketika tidak menemukan selembar uang pun dari dompetnya. Dia belum mengisi ulang dompetnya dengan uang tunai dan tempat ini juga belum bisa menggunakan kartu. Namun untungnya mesin penarik uang tidak begitu jauh dari sana. “Hei, aku kehabisan uang tunai. Aku tetap akan beli koin.”Perempuan tersebut hanya angkat bahu, “Tentu saja kawan.”Vinson memutar bola matanya, dia kemudian berbalik dan hendak meninggalkan tempat itu sebelum langkah kakinya terhenti lantaran melihat tidak sengaja menubruk orang yang mengantri di belakangnya.“Hai,” sapa Grace mengangkat tangan kanannya sambil menepuk bahu pemuda yang menu
“Sebelum aku bercerita aku ingin memberikan peringatan padamu bahwa ini terjadi di masa lalu. Segala hal yang terjadi sudah terjadi, dan itu tidak akan mempengaruhi masa sekarang atau pun masa sekarang. Apa kau bisa menjaminnya?”Vinson mengangguk. Saat itu mereka sudah pindah tempat ke sebuah kafe yang tidak jauh dari arcade. Karena tempat itu bisa membayar menggunakan kartu maka Vinson mentraktir Grace minuman. Vinson memesan coklat panas, sementara Sakura memesan Strawberry milkshake. Posisi yang dipilih adalah di pojok ruangan yang diapit oleh dua sofa empuk berwarna merah.Kalau ditanya apakah Vinson ingin tahu masalah diantara mereka. Ya, tentu saja.Karena Vinson mengenal Grace sama lamanya dengan Vinson mengenal Nelsy. Kedua gadis itu sepanjang ingatan masa kecilnya adalah sahabatnya. Mereka bertiga menghabiskan waktu bersama. Terlebih karena dua gadis itu kerap datang ke peternakan Mr. Yamazaki untuk mengajak bermain. Sampai SMP pun segalanya tidak berubah, Grace dan Nelsy ad
Vinson membeku.“Aku mulai sadar bahwa saat aku mengencani Gaara paling tidak kau akan mulai melihatku. Aku pikir jika aku mulai berkencan dengan temanmu kau akan mulai bertanya-tanya apa alasanku mau mengencani dia, dan kau akan tertarik kepadaku.” Sebutir air mata bergulir dipipinya.“Aku sangat bodoh karena sampai akhir pun harapanku untuk membuatmu melihatku tidak pernah menjadi kenyataan. Sebaliknya aku malah membuat perasaan orang yang tidak berdosa ikut merasakan akibatnya. Meski Gaara tidak orang yang tidak pernah menganggap serius hubungan kami, tetapi dia tidak pernah meninggalkanku. Dia selalu ada disana saat aku mencurahkan seluruh isi hatiku bahkan saat aku menceritakan soal dirimu padanya. Dia memang bukan tipe orang yang perhatian, tetapi saat aku kesulitan dia selalu membantuku. Apa yang terjadi diantara kami hanya seperti itu, bagiku itu jauh dari kata romantis. Tetapi Gaara ternyata menganggapku lebih dari itu. Tidak sepertiku yang justru memanfaatkan dia.”Saat mem
Baiklah ini mungkin sedikit tentang keluarga pasutri muda. sebenarnya tidak ada yang terlihat wah atau bagaimana kecuali fakta bahwa mereka mulanya adalah pasangan yang terlihat abnormal tetapi nyatanya bisa membuat sebuah keluarga yang terlampau manis bak gulali, apple candy, dan kue lapis legit. Namun terkadang juga bisa sepahit kopi, se asam lemon, se asin garam. Ya, barangkali inilah alasan mengapa hidup itu tidak selalu tentang satu rasa, sebab manis itu sendiri tidak akan pernah berarti bila tidak ada rasa yang lain. Hidup tidak melulu soal bahagia.Matahari sudah meninggi, teriknya telah menghidupkan semesta mencoba mengintip dari celah tirai jendela yang sengaja belum dibuka. Seiring dengan langkah Gaara yang sampai di ujung tengah dan lekas membuka pelan pintu kamarnya.Lelaki itu berjalan tanpa suara, seraya mengukir senyum yang paling sempurna. Kedua matanya memancarkan cahaya yang lembut, tampak sekali bahwa pria tersebut menyukai sosok wanita yang masih meringkuk nyaman d
Tidak disangka hari yang ditunggu akan tiba. Dia juga tidak habis pikir bahwa akan tiba masanya dia akan mengenakan pakaian serba putih dan didandani dengan cantik, terlebih nantinya dia akan bersanding dengan pria yang dia cintai. Senyuman manis terpatri di wajah Esther yang sudah dipoles dengan make up sedemikian rupa. Gadis itu sama sekali tidak bisa berhenti tersenyum untuk moment ini. Hari ini dia akan menikah, dengan seseorang yang dulunya adalah bad boy di kampus, lelaki yang mulanya hanya dijadikan sebagai objek taruhan antara dia dengan Vinson. Ceritanya memang selucu itu, tetapi tidak memudarkan bahwa cinta yang dia miliki kepada sang pria adalah cinta yang tulus.Setelah lulus dan berpacaran selama kurang lebih tiga tahun, Gaara datang ke kediamannya dan dengan gentle meminang Esther di depan ayahnya. Lamaran itu datang tanpa diduga sama sekali oleh Esther, dan dia teramat bahagia mendengar kesungguhan Gaara terhadapnya. Selang beberapa waktu, pria itu langsung sibuk memper
Esther terbangun karena rasa lapar di perut. Dia berbalik dan menemukan sepasang mata Gaara yang menatapnya dengan intens.Dia tertidur saat ditengah permainan, dan ranjang Gaara sekarang sudah menjadi favorit Esther. Dia tidak mau meninggalkannya.“Hei,” sapa gadis itu pada sang pemuda, dia tersenyum malu-malu.“Hei,” balas Gaara membalas senyumannya. “Kau lapar ya?”Esther mengangguk.“Aku sudah memanaskan sup dan ada sedikit roti juga. Mungkin rasanya tidak akan terlalu cocok, tapi aku pribadi memang jarang makan dirumah.”Esther terkekeh. “Kau seperti cenayang, bagaimana kau bisa tahu aku lapar?”“Aku mendengar suara perutmu.”Wajah Esther memerah, sementara Gaara malah tertawa. Mereka kemudian makan bersama di tempat tidur. Makan terakhir yang Esther makan memang hanya sarapan di pesawat. Rasa lelah membuat Esther melupakan banyak hal termasuk urusan mengisi perut. Dan meski Gaara bilang rasanya mungkin tidak sesuai, tetapi bagi Esther makanan itu adalah yang paling nikmat yang p
“Menurutmu apa aku punya pilihan Gaara?” Dia merasakan air mata membasahi pelupuk mata. “Aku sendirian. Jika ada satu kesempatan bagiku untuk bisa menyelamatkan diri, tentu aku akan melakukannya.”“Bagaimana bisa kau melakukan itu sementara—”“Siapa yang kau pikir akan menolongku saat itu? Apakah kau Gaara? Kau? Tentu saja aku tidak pernah berpikir kesana karena aku orang asing bagimu sementara Vinson adalah teman baikmu. Dan apa yang kau lakukan saat kau tahu aku kesulitan di kampus ketika Vinson membully-ku? Kau tidak melakukan apapun.” Gaara hendak memotongnya, tetapi Esther segera mengangkat tangan mencoba untuk menghentikan apapun yang akan lelaki katakan sebagai bentuk dari pada pembelaan. “Kita pernah membicarakan ini dulu sekali. Aku tidak berusaha sedang menyalahkan keadaan ini kepadamu. Faktanya, memang pada saat itu aku tidak punya seorangpun yang bisa menolongku. Pada akhirnya aku hanya harus melakukan sesuatu agar aku bisa menyelamatkan diriku sendiri. Terus terang taruha
Gaara yakin dia berhalusinasi ketika melihat sosok perempuan berambut keperakan yang berdiri di muka rumahnya.Tidak. Tidak mungkin itu Esther.Selain Gaara hanya ada dua orang yang tahu soal keberadaan rumah ini. Paman Yoshi dan ayahnya.Bahkan saat Gaara turun dari jeep dan melepas kacamata hitamnya untuk memastikan bahwa terik matahari tidak membuatnya berhalusinasi, sosok tersebut masih berada disana. Semakin mendekat, Gaara semakin yakin bahwa sosok itu memang adalah Esther.Perasaannya kian membuncah dan tidak terkendali. Tetapi diantara itu semua, Gaara tidak bisa berbohong bahwa dia bersyukur melihat Esther ada disini. Apalagi mengingat bahwa beberapa saat yang lalu dia nyaris membuat keputusan yang mungkin akan disesalinya.Ketika dia berhasil memeluk sosok itu, rasa lega segera menyebar dalam hatinya. Dia tidak tahu bagaimana caranya Esther bisa berada disini. Namun dia bersyukur bahwa sekali lagi dia masih bisa menyentuh kehangatan kulit gadis itu. Berada didekat Esther mem
Sejak meninggalkan rumah yang dahulu menjadi tempat dia menghabiskan waktu bersama sang bunda tercinta. Gaara tidak menduga bahwa akan ada saatnya dia kembali ke rumah ini. Tepat seperti dugaannya pula tidak ada satu bagian dari rumah ini yang berubah. Ayahnya pasti melakukan segala cara agar rumah tersebut tetap sama persis seperti saat masih ditinggali oleh ibunya terakhir kali. Gaara bisa melihatnya dari taman bunga dan juga gazebo tempat ibunya dulu selalu menghabiskan waktu bersama Gaara untuk membacakannya sebuah dongeng.Gaara tidak bisa membohongi dirinya. Rumah itu sangat mencerminkan kepribadian ibunya. Setiap sudutnya memaksa Gaara mengingat semua memori tentang wanita itu. Ketika Gaara pertama kali melewati pintu depan rumah tersebut, dia merasa seperti melihat hantu ibunya dari masa lalu.Dalam perjalannnya ke Australia, Gaara sebenarnya telah membayangkan ratusan skenario yang ingin dia lakukan pada rumah tersebut. Hal pertama yang mampir ke otaknya adalah membersihkan s
Sesuai dengan janji, setelah mengunjungi makam ibunya Gaara, Jorge mengantar Esther menuju ke kediaman mendiang istrinya dimana gadis itu bilang bahwa Gaara berpotensi berada disana. Jorge sebenarnya tidak yakin bahwa sang putra akan berada di rumah tua itu. Apalagi karena Gaara punya alasan yang kuat mengapa dia bersedia tinggal bersamanya dari pada tinggal dirumah itu.Namun entah bagaimana, Esther mampu mematahkan semua statement pria itu berdasarkan intuisinya yang liar.Sementara Esther sendiri kini semakin diliputi rasa bersalah yang teramat mendalam kepada Gaara. Setelah mendengar cerita Jorge tentang mendiang istrinya. Esther memahami bahwa Gaara tumbuh dengan pemahaman bahwa sang ibu meninggal karena cinta yang terlalu besar kepada ayahnya. Memang masuk akal bahwa pemuda itu akan bersikap sinis dan membenci ayahnya. Tetapi terlepas dari hal itu, Esther pun tidak bisa menjudge keduanya. Tetapi yang pasti setelah mendengar segalanya dari kedua belah pihak, Esther malah merasa k
Esther benar-benar tidak tahu bahwa dia punya keberuntungan sebesar ini dalam hidupnya.Lima belas menit yang lalu dia benar-benar dibuat kelimpungan dan nyaris menangis gara-gara kehabisan mobil jemputan. Memang benar keputusan yang dia buat kali ini pun terbilang sangat gila seumur hidupnya. Terbang ke Australia tanpa punya kenalan satu pun, bahkan alamat yang hendak dia tuju pun Esther tak tahu. Esther hanya punya modal ingatan foto-foto lama Gaara dengan mendiang ibunya saja. Makanya rencana Esther adalah menyewa mobil dan pergi berkeliling sambil mencari rumah yang mirip dengan gambar yang pernah Esther lihat.Saat itulah mendadak pria baik hati yang Esther temui di pesawat menghampiri. Karena Esther punya pengalaman kurang baik dengan orang asing, maka Esther sempat ragu untuk mengatakan yang sebenarnya kepada orang itu. Tetapi bila mengingat kebaikan yang pria itu lakukan, Esther berasumsi bahwa orang itu bukanlah orang yang punya maksud jahat.“Ah, saya Jorge Maxwell. Orang ya
“Maaf?” balas gadis itu tampak agak kaget dengan pertanyaan yang Jorge berikan terhadapnya.“Mimpimu.”“A—ah… itu … b—bukan apa-apa,” sahutnya agak tergagap sambil menggelengkan kepala. “Maaf saja tapi itu … bukan tipik yang cukup menyenangkan untuk … dibicarakan.”Jorge mengangguk. “Baiklah kalua begitu, tapi saat melihatmu aku jadi teringat putra bungsuku yang kurasa seumuran denganmu.”Sekilas gadis itu jadi tampak sedikit tertarik. “Benarkah? Umur berapa?”“Tahun ini masuk dua puluh dua tahun.”Gadis itu menganggukan kepala. “Ah, benarkah? Saya juga.”“Jadi, kalua boleh tahu apa yang gadis sepertimu lakukan sendirian? Apa kau ingin mengunjungi seseorang?”Selama sesaat gadis itu tampak menimbang-nimbang jawabannya. Ekspresinya juga sedikit berubah. Tetapi kemudian tak selang beberapa lama dia menganggukan kepala. “Ya, begitulah.”“Keluarga?”“Ah, bukan. Hanya seorang teman.”“Kurasa dia adalah teman yang special sampai kau mau terbang sendirian seperti ini.”Jorge jadi terkekeh sa