“Sebelum aku bercerita aku ingin memberikan peringatan padamu bahwa ini terjadi di masa lalu. Segala hal yang terjadi sudah terjadi, dan itu tidak akan mempengaruhi masa sekarang atau pun masa sekarang. Apa kau bisa menjaminnya?”Vinson mengangguk. Saat itu mereka sudah pindah tempat ke sebuah kafe yang tidak jauh dari arcade. Karena tempat itu bisa membayar menggunakan kartu maka Vinson mentraktir Grace minuman. Vinson memesan coklat panas, sementara Sakura memesan Strawberry milkshake. Posisi yang dipilih adalah di pojok ruangan yang diapit oleh dua sofa empuk berwarna merah.Kalau ditanya apakah Vinson ingin tahu masalah diantara mereka. Ya, tentu saja.Karena Vinson mengenal Grace sama lamanya dengan Vinson mengenal Nelsy. Kedua gadis itu sepanjang ingatan masa kecilnya adalah sahabatnya. Mereka bertiga menghabiskan waktu bersama. Terlebih karena dua gadis itu kerap datang ke peternakan Mr. Yamazaki untuk mengajak bermain. Sampai SMP pun segalanya tidak berubah, Grace dan Nelsy ad
Vinson membeku.“Aku mulai sadar bahwa saat aku mengencani Gaara paling tidak kau akan mulai melihatku. Aku pikir jika aku mulai berkencan dengan temanmu kau akan mulai bertanya-tanya apa alasanku mau mengencani dia, dan kau akan tertarik kepadaku.” Sebutir air mata bergulir dipipinya.“Aku sangat bodoh karena sampai akhir pun harapanku untuk membuatmu melihatku tidak pernah menjadi kenyataan. Sebaliknya aku malah membuat perasaan orang yang tidak berdosa ikut merasakan akibatnya. Meski Gaara tidak orang yang tidak pernah menganggap serius hubungan kami, tetapi dia tidak pernah meninggalkanku. Dia selalu ada disana saat aku mencurahkan seluruh isi hatiku bahkan saat aku menceritakan soal dirimu padanya. Dia memang bukan tipe orang yang perhatian, tetapi saat aku kesulitan dia selalu membantuku. Apa yang terjadi diantara kami hanya seperti itu, bagiku itu jauh dari kata romantis. Tetapi Gaara ternyata menganggapku lebih dari itu. Tidak sepertiku yang justru memanfaatkan dia.”Saat mem
Makan malamnya berlangsung sempurna. Maxwell bersaudara tidak henti memuji masakan Esther dan mengatakan betapa beruntungnya siapapun yang akan menjadi suami dari si sulung Rodrigo. Amber dan Jack mengaku bahwa mereka tidak bisa memasak, dan dengan alasan itu Amber malah minta Esther sering berkunjung untuk mengajarinya memasak. Topik pembicaraan mereka juga beragam, mulai dari kesibukan Elson, pekerjaan Amber, sampai rencana pertunangan Jack yang katanya akan dilakukan di Swiss pada musim panas mendatang. Makan malam itu juga membuat Esther masuk ke dalam salah satu daftar tamu undangan.Nama Gaara juga sesekali disebutkan dalam pembicaraan, tetapi selebihnya Esther merasa bersyukur bahwa kedua bersaudara itu cukup peka untuk tidak mengatakan apa pun yang dia ketahui soal adik mereka dengan Esther. Tetapi sampai acara makan malam itu berakhir, si bungsu tidak muncul juga. Bahkan sampai titik dimana Elson dan si dua bersaudara pamit pulang.“Esther, aku mau minta nomor ponselmu ya. Un
Dan tiba-tiba saja Esther sudah berada dalam taksi bersama Felix. Seperti kejadian kemarin dimana taksi pula lah yang menjadi situasi yang membuat mereka bersama.“Kamu pasti bertanya-tanya mengapa saya lebih memilih naik taksi daripada menaiki mobil pribadi?” ujar lelaki itu memecah kesunyian di dalam taksi. Memang benar sih, agak mengherankan melihat pria ini keluar tanpa mengemudi sendiri dan memilih taksi padahal dia adalah seorang multijutawan yang membeli mobil betulan sama dengan membeli mainan.“Ya, sejujurnya itu memang ada dipikiran saya.”“Saya hanya punya dua mobil saja. Satunya saya gunakan untuk kepentingan di peternakan dan satunya lagi adalah Lamborghini milik Vinson.”Tidak diduga Felix rupanya tipe-tipe orang kaya yang rendah hati dan Esther diam-diam mengagumi sikap itu. “Saya tidak suka pandangan orang lain pada saya. Pandangan yang dipenuhi kekaguman, iri, dan ada juga yang tertarik. Saya benci bila harus tanpa sadar mengartikan semua pandangan orang-orang kea rah
Secara otomatis Esther menarik tangannya dari Felix begitu pun dengan tubuhnya yang menjauh seolah mereka kedapatan melakukan sesuatu yang salah. Felix sendiri terkesiap atas tingkah pola Esther yang mendadak sampai kemudian dia menyadari ada sosok seorang pemuda yang keluar dari lift dan berdiri tepat di hadapan mereka.“Gaara! Kau datang juga?” sapa Felix ramah yang membuat air muka Esther makin pucat. Dia lupa akan satu fakta bahwa mereka berdua sudah pasti saling mengenal satu sama lain.Gaara yang terpana akan situasi yang dia hadapi bahkan tidak sadar bahwa dia melangkah keluar dari lift yang baru saja dia naiki.“Apa yang kau lakukan?” karena pandangannya berpindah-pindah dari Felix ke Esther berulang kali, pertanyaan tersebut lebih seperti dapat diartikan memiliki banyak sekali maksud terselubung.“Aku juga salah satu yang diundang ke pesta pernikahan,” jawab Felix dengan tenang.Gaara yang sudah memproses segala situasinya memaksakan diri mengluarkan tawa sumbang, dia mengang
Esther sangat terkejut begitu mengetahui bahwa mempelai wanita yang berbahagia saat itu adalah Ms. Sinta. Guru musiknya saat SMA sementara mempelai prinya sendiri adalah teman Felix yang tidak Esther kenali. Keduanya langsung tersenyum menyambut mereka dan berterimakasih sudah datang ke acara resepsi pernikahan mereka.“Senangnya bisa bertemu denganmu, Esther. Saya memang mengundang beberapa alumni juga, tapi saya belum melihat yang lain. Terima kasih ya sudah menyempatkah hadir di acara saya,” kata wanita itu dengan sumringah.“Iya, semoga pernikahannya langgeng ya.”Setelah itu Esther duduk di meja yang sudah diberi papan nama Vinson. Untuk beberapa alasan Esther tidak bisa berhenti menyeringai tiap kali melihat papan nama tersebut. Disini dia menduduki kursi yang seharusnya diduduki lelaki itu, memakan makanan yang dia makan, mencicipi red velvet terenak yang pernah Esther rasakan, juga champagne yang seharusnya di minum lelaki itu. Jamuan yang disediakan benar-benar dua kali lipat
“Oh ayolah,” sahut Gaara sambil tersenyum, berharap Esther akan ikut tersenyum saat dia melakukannya. Tetapi sayangnya harapannya jauh sekali dari kenyataan yang ada, air muka Esther malah semakin masam. “Kan sudah aku bilang waktu itu kalau aku memang sebetulnya tidak bisa.”“Ya, tapi kemudian kau menambahkan akan datang meskipun terlambat,” sahut Esther cepat. Dia memang masih mengingat betul seluruh detail percakapan mereka berdua saat di loker saat itu.“Aku memang bilang begitu, tapi aku selesai jam dua pagi saat itu. Tidak mungkin kan aku mengulang masa lalu dan mengentuk pintu rumahmu di jam itu? lagipula apa yang akan kita lakukan di jam dua pagi?”“Setidaknya katakan sesuatu,” sambar Esther lagi.“Bagaimana aku tahu kau masih bangun saat itu?” Gaara juga ikut menimpali.“Kau kan bisa telepon aku, atau kirimi aku pesan.”Gaara menyeringai mendengar jawaban gadis itu. “Jadi kau segitu inginnya bertemu denganku ya?”Esther mendongak dan menyadari bahwa dia sedang dipermainkan ol
Sebelum makan malam di rumah Esther..Gaara mengecek arloji pada lengan kanannya, ujung bibirnya sedikit melengkung naik. Dia mematikan mesin mobil dan turun segera dari kendaraan roda empat tersebut sebelum berlari menaiki anak tangga menuju ke pintu depan. Saat itu masih pukul setengah delapan malam. Dia hanya perlu lima menit saja untuk berganti pakaian dengan sesuatu yang lebih pantas untuk menghadiri undangan yang sudah dia janjikan kepada Esther.Hari yang sama dimana dia punya janji dengan teman-temannya untuk menghabiskan waktu di peternakan Vinson yang ada di Chiba. Dia juga sudah memesan tiket jauh-jauh hari untuk hari ini. Gaara sendiri tidak pernah menolak ajakan Vinson untuk pergi ke sana, karena dia sangat suka suasananya. Selain karena peternakan itu dipenuhi dengan ladang yang luas dan kuda yang bagus untuk ditunggangi, malamnya mereka biasa barbeque dan minum sampai teler.Aktivitas menyenangkan tersebut mana mungkin Gaara lewatkan.Rencana itu sudah sangat sempurna s
Baiklah ini mungkin sedikit tentang keluarga pasutri muda. sebenarnya tidak ada yang terlihat wah atau bagaimana kecuali fakta bahwa mereka mulanya adalah pasangan yang terlihat abnormal tetapi nyatanya bisa membuat sebuah keluarga yang terlampau manis bak gulali, apple candy, dan kue lapis legit. Namun terkadang juga bisa sepahit kopi, se asam lemon, se asin garam. Ya, barangkali inilah alasan mengapa hidup itu tidak selalu tentang satu rasa, sebab manis itu sendiri tidak akan pernah berarti bila tidak ada rasa yang lain. Hidup tidak melulu soal bahagia.Matahari sudah meninggi, teriknya telah menghidupkan semesta mencoba mengintip dari celah tirai jendela yang sengaja belum dibuka. Seiring dengan langkah Gaara yang sampai di ujung tengah dan lekas membuka pelan pintu kamarnya.Lelaki itu berjalan tanpa suara, seraya mengukir senyum yang paling sempurna. Kedua matanya memancarkan cahaya yang lembut, tampak sekali bahwa pria tersebut menyukai sosok wanita yang masih meringkuk nyaman d
Tidak disangka hari yang ditunggu akan tiba. Dia juga tidak habis pikir bahwa akan tiba masanya dia akan mengenakan pakaian serba putih dan didandani dengan cantik, terlebih nantinya dia akan bersanding dengan pria yang dia cintai. Senyuman manis terpatri di wajah Esther yang sudah dipoles dengan make up sedemikian rupa. Gadis itu sama sekali tidak bisa berhenti tersenyum untuk moment ini. Hari ini dia akan menikah, dengan seseorang yang dulunya adalah bad boy di kampus, lelaki yang mulanya hanya dijadikan sebagai objek taruhan antara dia dengan Vinson. Ceritanya memang selucu itu, tetapi tidak memudarkan bahwa cinta yang dia miliki kepada sang pria adalah cinta yang tulus.Setelah lulus dan berpacaran selama kurang lebih tiga tahun, Gaara datang ke kediamannya dan dengan gentle meminang Esther di depan ayahnya. Lamaran itu datang tanpa diduga sama sekali oleh Esther, dan dia teramat bahagia mendengar kesungguhan Gaara terhadapnya. Selang beberapa waktu, pria itu langsung sibuk memper
Esther terbangun karena rasa lapar di perut. Dia berbalik dan menemukan sepasang mata Gaara yang menatapnya dengan intens.Dia tertidur saat ditengah permainan, dan ranjang Gaara sekarang sudah menjadi favorit Esther. Dia tidak mau meninggalkannya.“Hei,” sapa gadis itu pada sang pemuda, dia tersenyum malu-malu.“Hei,” balas Gaara membalas senyumannya. “Kau lapar ya?”Esther mengangguk.“Aku sudah memanaskan sup dan ada sedikit roti juga. Mungkin rasanya tidak akan terlalu cocok, tapi aku pribadi memang jarang makan dirumah.”Esther terkekeh. “Kau seperti cenayang, bagaimana kau bisa tahu aku lapar?”“Aku mendengar suara perutmu.”Wajah Esther memerah, sementara Gaara malah tertawa. Mereka kemudian makan bersama di tempat tidur. Makan terakhir yang Esther makan memang hanya sarapan di pesawat. Rasa lelah membuat Esther melupakan banyak hal termasuk urusan mengisi perut. Dan meski Gaara bilang rasanya mungkin tidak sesuai, tetapi bagi Esther makanan itu adalah yang paling nikmat yang p
“Menurutmu apa aku punya pilihan Gaara?” Dia merasakan air mata membasahi pelupuk mata. “Aku sendirian. Jika ada satu kesempatan bagiku untuk bisa menyelamatkan diri, tentu aku akan melakukannya.”“Bagaimana bisa kau melakukan itu sementara—”“Siapa yang kau pikir akan menolongku saat itu? Apakah kau Gaara? Kau? Tentu saja aku tidak pernah berpikir kesana karena aku orang asing bagimu sementara Vinson adalah teman baikmu. Dan apa yang kau lakukan saat kau tahu aku kesulitan di kampus ketika Vinson membully-ku? Kau tidak melakukan apapun.” Gaara hendak memotongnya, tetapi Esther segera mengangkat tangan mencoba untuk menghentikan apapun yang akan lelaki katakan sebagai bentuk dari pada pembelaan. “Kita pernah membicarakan ini dulu sekali. Aku tidak berusaha sedang menyalahkan keadaan ini kepadamu. Faktanya, memang pada saat itu aku tidak punya seorangpun yang bisa menolongku. Pada akhirnya aku hanya harus melakukan sesuatu agar aku bisa menyelamatkan diriku sendiri. Terus terang taruha
Gaara yakin dia berhalusinasi ketika melihat sosok perempuan berambut keperakan yang berdiri di muka rumahnya.Tidak. Tidak mungkin itu Esther.Selain Gaara hanya ada dua orang yang tahu soal keberadaan rumah ini. Paman Yoshi dan ayahnya.Bahkan saat Gaara turun dari jeep dan melepas kacamata hitamnya untuk memastikan bahwa terik matahari tidak membuatnya berhalusinasi, sosok tersebut masih berada disana. Semakin mendekat, Gaara semakin yakin bahwa sosok itu memang adalah Esther.Perasaannya kian membuncah dan tidak terkendali. Tetapi diantara itu semua, Gaara tidak bisa berbohong bahwa dia bersyukur melihat Esther ada disini. Apalagi mengingat bahwa beberapa saat yang lalu dia nyaris membuat keputusan yang mungkin akan disesalinya.Ketika dia berhasil memeluk sosok itu, rasa lega segera menyebar dalam hatinya. Dia tidak tahu bagaimana caranya Esther bisa berada disini. Namun dia bersyukur bahwa sekali lagi dia masih bisa menyentuh kehangatan kulit gadis itu. Berada didekat Esther mem
Sejak meninggalkan rumah yang dahulu menjadi tempat dia menghabiskan waktu bersama sang bunda tercinta. Gaara tidak menduga bahwa akan ada saatnya dia kembali ke rumah ini. Tepat seperti dugaannya pula tidak ada satu bagian dari rumah ini yang berubah. Ayahnya pasti melakukan segala cara agar rumah tersebut tetap sama persis seperti saat masih ditinggali oleh ibunya terakhir kali. Gaara bisa melihatnya dari taman bunga dan juga gazebo tempat ibunya dulu selalu menghabiskan waktu bersama Gaara untuk membacakannya sebuah dongeng.Gaara tidak bisa membohongi dirinya. Rumah itu sangat mencerminkan kepribadian ibunya. Setiap sudutnya memaksa Gaara mengingat semua memori tentang wanita itu. Ketika Gaara pertama kali melewati pintu depan rumah tersebut, dia merasa seperti melihat hantu ibunya dari masa lalu.Dalam perjalannnya ke Australia, Gaara sebenarnya telah membayangkan ratusan skenario yang ingin dia lakukan pada rumah tersebut. Hal pertama yang mampir ke otaknya adalah membersihkan s
Sesuai dengan janji, setelah mengunjungi makam ibunya Gaara, Jorge mengantar Esther menuju ke kediaman mendiang istrinya dimana gadis itu bilang bahwa Gaara berpotensi berada disana. Jorge sebenarnya tidak yakin bahwa sang putra akan berada di rumah tua itu. Apalagi karena Gaara punya alasan yang kuat mengapa dia bersedia tinggal bersamanya dari pada tinggal dirumah itu.Namun entah bagaimana, Esther mampu mematahkan semua statement pria itu berdasarkan intuisinya yang liar.Sementara Esther sendiri kini semakin diliputi rasa bersalah yang teramat mendalam kepada Gaara. Setelah mendengar cerita Jorge tentang mendiang istrinya. Esther memahami bahwa Gaara tumbuh dengan pemahaman bahwa sang ibu meninggal karena cinta yang terlalu besar kepada ayahnya. Memang masuk akal bahwa pemuda itu akan bersikap sinis dan membenci ayahnya. Tetapi terlepas dari hal itu, Esther pun tidak bisa menjudge keduanya. Tetapi yang pasti setelah mendengar segalanya dari kedua belah pihak, Esther malah merasa k
Esther benar-benar tidak tahu bahwa dia punya keberuntungan sebesar ini dalam hidupnya.Lima belas menit yang lalu dia benar-benar dibuat kelimpungan dan nyaris menangis gara-gara kehabisan mobil jemputan. Memang benar keputusan yang dia buat kali ini pun terbilang sangat gila seumur hidupnya. Terbang ke Australia tanpa punya kenalan satu pun, bahkan alamat yang hendak dia tuju pun Esther tak tahu. Esther hanya punya modal ingatan foto-foto lama Gaara dengan mendiang ibunya saja. Makanya rencana Esther adalah menyewa mobil dan pergi berkeliling sambil mencari rumah yang mirip dengan gambar yang pernah Esther lihat.Saat itulah mendadak pria baik hati yang Esther temui di pesawat menghampiri. Karena Esther punya pengalaman kurang baik dengan orang asing, maka Esther sempat ragu untuk mengatakan yang sebenarnya kepada orang itu. Tetapi bila mengingat kebaikan yang pria itu lakukan, Esther berasumsi bahwa orang itu bukanlah orang yang punya maksud jahat.“Ah, saya Jorge Maxwell. Orang ya
“Maaf?” balas gadis itu tampak agak kaget dengan pertanyaan yang Jorge berikan terhadapnya.“Mimpimu.”“A—ah… itu … b—bukan apa-apa,” sahutnya agak tergagap sambil menggelengkan kepala. “Maaf saja tapi itu … bukan tipik yang cukup menyenangkan untuk … dibicarakan.”Jorge mengangguk. “Baiklah kalua begitu, tapi saat melihatmu aku jadi teringat putra bungsuku yang kurasa seumuran denganmu.”Sekilas gadis itu jadi tampak sedikit tertarik. “Benarkah? Umur berapa?”“Tahun ini masuk dua puluh dua tahun.”Gadis itu menganggukan kepala. “Ah, benarkah? Saya juga.”“Jadi, kalua boleh tahu apa yang gadis sepertimu lakukan sendirian? Apa kau ingin mengunjungi seseorang?”Selama sesaat gadis itu tampak menimbang-nimbang jawabannya. Ekspresinya juga sedikit berubah. Tetapi kemudian tak selang beberapa lama dia menganggukan kepala. “Ya, begitulah.”“Keluarga?”“Ah, bukan. Hanya seorang teman.”“Kurasa dia adalah teman yang special sampai kau mau terbang sendirian seperti ini.”Jorge jadi terkekeh sa