“Tiga puluh koin.”Sebatang rokok terselip di bibir Vinson ketika dia merogoh dompetnya untuk mengeluarkan beberapa lembar uang tunai dari sana. Perempuan di meja kasir langsung meletakan tiga puluh koin yang diminta oleh pemuda itu. Mulut si kasir mengunyah permen karet sementara matanya tertuju kepada permainan yang sedang berlangsung di depan matanya.“Shit.” Vinson mengumpat ketika tidak menemukan selembar uang pun dari dompetnya. Dia belum mengisi ulang dompetnya dengan uang tunai dan tempat ini juga belum bisa menggunakan kartu. Namun untungnya mesin penarik uang tidak begitu jauh dari sana. “Hei, aku kehabisan uang tunai. Aku tetap akan beli koin.”Perempuan tersebut hanya angkat bahu, “Tentu saja kawan.”Vinson memutar bola matanya, dia kemudian berbalik dan hendak meninggalkan tempat itu sebelum langkah kakinya terhenti lantaran melihat tidak sengaja menubruk orang yang mengantri di belakangnya.“Hai,” sapa Grace mengangkat tangan kanannya sambil menepuk bahu pemuda yang menu
“Sebelum aku bercerita aku ingin memberikan peringatan padamu bahwa ini terjadi di masa lalu. Segala hal yang terjadi sudah terjadi, dan itu tidak akan mempengaruhi masa sekarang atau pun masa sekarang. Apa kau bisa menjaminnya?”Vinson mengangguk. Saat itu mereka sudah pindah tempat ke sebuah kafe yang tidak jauh dari arcade. Karena tempat itu bisa membayar menggunakan kartu maka Vinson mentraktir Grace minuman. Vinson memesan coklat panas, sementara Sakura memesan Strawberry milkshake. Posisi yang dipilih adalah di pojok ruangan yang diapit oleh dua sofa empuk berwarna merah.Kalau ditanya apakah Vinson ingin tahu masalah diantara mereka. Ya, tentu saja.Karena Vinson mengenal Grace sama lamanya dengan Vinson mengenal Nelsy. Kedua gadis itu sepanjang ingatan masa kecilnya adalah sahabatnya. Mereka bertiga menghabiskan waktu bersama. Terlebih karena dua gadis itu kerap datang ke peternakan Mr. Yamazaki untuk mengajak bermain. Sampai SMP pun segalanya tidak berubah, Grace dan Nelsy ad
Vinson membeku.“Aku mulai sadar bahwa saat aku mengencani Gaara paling tidak kau akan mulai melihatku. Aku pikir jika aku mulai berkencan dengan temanmu kau akan mulai bertanya-tanya apa alasanku mau mengencani dia, dan kau akan tertarik kepadaku.” Sebutir air mata bergulir dipipinya.“Aku sangat bodoh karena sampai akhir pun harapanku untuk membuatmu melihatku tidak pernah menjadi kenyataan. Sebaliknya aku malah membuat perasaan orang yang tidak berdosa ikut merasakan akibatnya. Meski Gaara tidak orang yang tidak pernah menganggap serius hubungan kami, tetapi dia tidak pernah meninggalkanku. Dia selalu ada disana saat aku mencurahkan seluruh isi hatiku bahkan saat aku menceritakan soal dirimu padanya. Dia memang bukan tipe orang yang perhatian, tetapi saat aku kesulitan dia selalu membantuku. Apa yang terjadi diantara kami hanya seperti itu, bagiku itu jauh dari kata romantis. Tetapi Gaara ternyata menganggapku lebih dari itu. Tidak sepertiku yang justru memanfaatkan dia.”Saat mem
Makan malamnya berlangsung sempurna. Maxwell bersaudara tidak henti memuji masakan Esther dan mengatakan betapa beruntungnya siapapun yang akan menjadi suami dari si sulung Rodrigo. Amber dan Jack mengaku bahwa mereka tidak bisa memasak, dan dengan alasan itu Amber malah minta Esther sering berkunjung untuk mengajarinya memasak. Topik pembicaraan mereka juga beragam, mulai dari kesibukan Elson, pekerjaan Amber, sampai rencana pertunangan Jack yang katanya akan dilakukan di Swiss pada musim panas mendatang. Makan malam itu juga membuat Esther masuk ke dalam salah satu daftar tamu undangan.Nama Gaara juga sesekali disebutkan dalam pembicaraan, tetapi selebihnya Esther merasa bersyukur bahwa kedua bersaudara itu cukup peka untuk tidak mengatakan apa pun yang dia ketahui soal adik mereka dengan Esther. Tetapi sampai acara makan malam itu berakhir, si bungsu tidak muncul juga. Bahkan sampai titik dimana Elson dan si dua bersaudara pamit pulang.“Esther, aku mau minta nomor ponselmu ya. Un
Dan tiba-tiba saja Esther sudah berada dalam taksi bersama Felix. Seperti kejadian kemarin dimana taksi pula lah yang menjadi situasi yang membuat mereka bersama.“Kamu pasti bertanya-tanya mengapa saya lebih memilih naik taksi daripada menaiki mobil pribadi?” ujar lelaki itu memecah kesunyian di dalam taksi. Memang benar sih, agak mengherankan melihat pria ini keluar tanpa mengemudi sendiri dan memilih taksi padahal dia adalah seorang multijutawan yang membeli mobil betulan sama dengan membeli mainan.“Ya, sejujurnya itu memang ada dipikiran saya.”“Saya hanya punya dua mobil saja. Satunya saya gunakan untuk kepentingan di peternakan dan satunya lagi adalah Lamborghini milik Vinson.”Tidak diduga Felix rupanya tipe-tipe orang kaya yang rendah hati dan Esther diam-diam mengagumi sikap itu. “Saya tidak suka pandangan orang lain pada saya. Pandangan yang dipenuhi kekaguman, iri, dan ada juga yang tertarik. Saya benci bila harus tanpa sadar mengartikan semua pandangan orang-orang kea rah
Secara otomatis Esther menarik tangannya dari Felix begitu pun dengan tubuhnya yang menjauh seolah mereka kedapatan melakukan sesuatu yang salah. Felix sendiri terkesiap atas tingkah pola Esther yang mendadak sampai kemudian dia menyadari ada sosok seorang pemuda yang keluar dari lift dan berdiri tepat di hadapan mereka.“Gaara! Kau datang juga?” sapa Felix ramah yang membuat air muka Esther makin pucat. Dia lupa akan satu fakta bahwa mereka berdua sudah pasti saling mengenal satu sama lain.Gaara yang terpana akan situasi yang dia hadapi bahkan tidak sadar bahwa dia melangkah keluar dari lift yang baru saja dia naiki.“Apa yang kau lakukan?” karena pandangannya berpindah-pindah dari Felix ke Esther berulang kali, pertanyaan tersebut lebih seperti dapat diartikan memiliki banyak sekali maksud terselubung.“Aku juga salah satu yang diundang ke pesta pernikahan,” jawab Felix dengan tenang.Gaara yang sudah memproses segala situasinya memaksakan diri mengluarkan tawa sumbang, dia mengang
Esther sangat terkejut begitu mengetahui bahwa mempelai wanita yang berbahagia saat itu adalah Ms. Sinta. Guru musiknya saat SMA sementara mempelai prinya sendiri adalah teman Felix yang tidak Esther kenali. Keduanya langsung tersenyum menyambut mereka dan berterimakasih sudah datang ke acara resepsi pernikahan mereka.“Senangnya bisa bertemu denganmu, Esther. Saya memang mengundang beberapa alumni juga, tapi saya belum melihat yang lain. Terima kasih ya sudah menyempatkah hadir di acara saya,” kata wanita itu dengan sumringah.“Iya, semoga pernikahannya langgeng ya.”Setelah itu Esther duduk di meja yang sudah diberi papan nama Vinson. Untuk beberapa alasan Esther tidak bisa berhenti menyeringai tiap kali melihat papan nama tersebut. Disini dia menduduki kursi yang seharusnya diduduki lelaki itu, memakan makanan yang dia makan, mencicipi red velvet terenak yang pernah Esther rasakan, juga champagne yang seharusnya di minum lelaki itu. Jamuan yang disediakan benar-benar dua kali lipat
“Oh ayolah,” sahut Gaara sambil tersenyum, berharap Esther akan ikut tersenyum saat dia melakukannya. Tetapi sayangnya harapannya jauh sekali dari kenyataan yang ada, air muka Esther malah semakin masam. “Kan sudah aku bilang waktu itu kalau aku memang sebetulnya tidak bisa.”“Ya, tapi kemudian kau menambahkan akan datang meskipun terlambat,” sahut Esther cepat. Dia memang masih mengingat betul seluruh detail percakapan mereka berdua saat di loker saat itu.“Aku memang bilang begitu, tapi aku selesai jam dua pagi saat itu. Tidak mungkin kan aku mengulang masa lalu dan mengentuk pintu rumahmu di jam itu? lagipula apa yang akan kita lakukan di jam dua pagi?”“Setidaknya katakan sesuatu,” sambar Esther lagi.“Bagaimana aku tahu kau masih bangun saat itu?” Gaara juga ikut menimpali.“Kau kan bisa telepon aku, atau kirimi aku pesan.”Gaara menyeringai mendengar jawaban gadis itu. “Jadi kau segitu inginnya bertemu denganku ya?”Esther mendongak dan menyadari bahwa dia sedang dipermainkan ol