Gaara terbangun dalam kondisi kepala serasa mau pecah. Pemuda itu mengerang seraya menahan rasa sakit yang menusuk di kepala. Sambil menggertakan gigi, Gaara turun dari ranjang dan menyadari secara misterius dia telah mengenakan piyama. Dia sudah tidak ingat lagi apa yang dia kenakan semalam, dan peduli setan siapa yang mengganti pakaiannya.
Dengan malas-malasan Gaara menyeret langkahnya menuju ke bawah, berharap dapat menemukan aspirin untuk mengurangi rasa sakit yang makin menjadi-jadi. Rasa kesal kian menjadi-jadi ketika dia tidak menemukan siapapun yang dapat dia suruh untuk mengambilkannya benda itu.
“Kemana para bedebah itu berada saat aku membutuhkan mereka?” rutuk Gaara masih menyeret langkahnya yang gontai sepanjang jalan.
Ketika dia memasuki dapur, seluruh kekesalannya sirna seketika berganti dengan kebingungan tatkala mendapati sosok seorang gadis yang tidak dia kenal. Perempuan itu sedang memunggunginya, sehingga Gaara tidak bisa melihat bagaimana wajahnya. Hanya saja berkat penampakan tersebut Gaara jadi terpaksa mengingat-ingat kejadian yang barangkali dia sempat lupakan kemarin.
Rambut gadis itu pirang dengan panjang mencapai pertengahan punggung. Dia bergerak kesana kemari hanya mengenakan kaos yang Gaara kenali adalah salah satu dari miliknya. Tetapi rasanya lucu melihat pakaiannya di kenakan perempuan itu, sebab di badan si gadis kaos Gaara yang pas bisa jadi oversize untuknya bahkan panjangnya mencapai pertengahan paha. Pemandangan yang lumayan indah untuk disaksikan dipagi hari mengingat sepasang kaki gadis itu cukup elok untuk dipandangi.
“Apa kau memakai sesuatu dibalik kaos itu?” celetuk Gaara yang serta merta langsung mengagetkan si gadis yang sedang sibuk sendiri disana.
Dia bahkan nyaris menjatuhkan ketel air ditangannya bila dia tidak sigap menjaga keseimbangan. Dan begitu berbalik, barulah Gaara mengingat siapa sosok perempuan yang berada di dapurnya sekarang.
Esther?
“Selamat pagi,” sapa perempuan itu sambil menganggukan kepalanya dengan gerakan yang canggung, kedua matanya juga tampak berusaha keras untuk menghindari kontak mata yang lebih dari sedetik dengannya. “Uh … maaf aku menggunakan dapurmu. Tapi aku ingin teh hangat, tetapi aku tidak bisa menemukan siapapun jadi …”
Penjelasan darinya terputus begitu saja sebab Gaara menanggapi perkataan Esther dengan hanya sebatas mengangkat bahu. Lagipula walau dia si pemilik rumah, sejujurnya kalau ditanya kemana semua orang pergi Gaara juga tidak bisa berkomentar apa-apa atas raibnya semua orang di rumah besarnya.
“Oh ya aku membuatkan ini untukmu,” tutur Esther seraya pelan-pelan menuangkan isi ketel yang beberapa saat lalu hampir dia jatuhkan ke dalam cangkir teh yang sudah dia siapkan di atas meja dapur. “Ini manjur untuk menghilangkan hangover,” tambahnya lagi sambil mendorong cangkir tersebut agar Gaara dapat meraihnya dengan lebih dekat. Gaara hanya mengangkat alis menyadari bahwa perempuan ini cukup baik hingga memberikannya pelayanan seperti ini. Diam-diam Gaara jadi berspekulasi.
“Apa semalam aku menidurimu?” tanya Gaara santai ketika sekali lagi dia menatap penampilan Esther yang mengenakan salah satu pakaiannya dan berkeliaran di dapurnya pagi-pagi hanya untuk membuatkannya teh. Seolah dia tahu betul kondisinya semalam.
Mendengar pertanyaan Gaara yang terlalu to the point, kontan wajah Esther merah padam dia terlihat gelagapan. “T—tidak! ma—mana mungkin kan? bu—bukan begitu, ah sial! ini semua terjadi karena tengah malam kau datang ke rumahku!” tutur Esther yang untungnya lancar di akhir kalimat.
Gaara sejujurnya sedikit terhibur dengan reaksi gadis itu. Maka setelahnya untuk menutupi ekspresi sebenarnya dia meraih cangkir teh yang disajikan padanya dan menyesap cairan itu secara perlahan. Seketika ekspresinya memberenggut, itu bukan rasa yang dia harapkan. “Ini tidak enak.”
“Rasanya memang seperti itu, kalau kau mau membaik habiskan sampai tidak tersisa setetespun.”
Tanpa berkomentar, Gaara menatap wajah gadis itu secara intens. Beberapa potongan memori mulai datang menghampiri, tetapi detailnya dia masih belum meyakini. Tepat seperti yang dikatakan Esther dalam ingatannya dia memang mengunjungi rumah gadis itu. Hanya saja sisa ingatannya tidak berjalan mulus.
Kali ini Gaara memposisikan dirinya untuk duduk dan meniup cairan panas misterius buatan Esther sebelum meminumnya. “Hei, ceritakan padaku apa yang terjadi semalam setelah aku datang ke rumahmu.”
Nadanya terdengar memerintah. Bak pesuruh yang patuh, Esther menghela napasnya. Gadis itu menceritakan segalanya tetapi dia melewatkan fakta bahwa Gaara telah merenggut ciuman pertamanya. Sepanjang cerita, Esther tidak sekali pun memandang Gaara lama. Dia hanya sesekali melirik lalu kembali menatap ke arah lain. Sejujurnya Esther memang masih canggung berduaan seperti ini dengan sang berandal kampus.
“Itu saja?” sahut Garaa yang kemudian menghabiskan seluruh isi cangkir di genggamannya dalam sekali teguk.
Esther menganggukan kepala. “Ya. Hanya itu.”
“Kau yakin tidak terjadi hal-hal lain diantara kita?” selidik Gaara sekali lagi.
“Tidak ada.”
Gaara menyipitkan mata, entah dia terlalu sensitif atau memang merasa ada yang aneh saja. Tetapi dia merasa yakin bahwa ada sesuatu yang masih belum tuntas. Terlebih dari gerak geriknya, gadis itu sedikit gelisah. Gaara sebetulnya punya kesimpulannya sendiri. Hanya saja melihat Esther yang was was begini, dia jadi sedikit ingin menjahilinya sedikit.
“Kalau cuma itu, lantas kenapa kau bisa memakai bajuku?”
Esther menatap kaos yang dia kenakan sebelum menjawab. “Stella memberikan kaos ini sebagai baju ganti karena bajuku basah kuyup semalam. Jadi dia bilang sebelum bajuku kering aku harus pakai baju ganti. Dan aku dipinjami milikmu. Maaf memakainya tanpa izin lebih dulu,” sahut Esther sedikit menundukan kepalanya sebagai gesture penyesalan dan permintaan maaf yang tulus.
“Tidak masalah,” sahut Gaara.
Kalau boleh jujur walau yang dilakukan si care taker itu terbilang lancang. Tetapi Gaara tidak bisa marah padanya. Sebab berkat dia, Gaara bisa mendapatkan pemandangan indah dipagi buta. Terlebih Gaara juga tidak bisa menyangkal bahwa si Esther yang dia pikir biasa saja ini malah jadi terlihat seksi ketika memakai baju-nya. Secara naluriah, kedua mata Gaara mulai menjelajahi sekujur tubuh gadis itu dan sengaja berlama-lama menatap kedua kakinya yang tidak terbalut apa pun.
Bagaimana bisa dia tidak tahu? Bagaimana bisa dia melewatkan kedua kaki se-seksi ini di kampus?
“Well, yang aku tanyakan sejak awal adalah apa kau memakai sesuatu dibalik kaos itu? kau belum menjawabnya tadi,” ujar Gaara persisten.
“Tentu saja pakai!” Dengan sedikit sebal lantaran dituding tidak memakai apa-apa, Esther secara impulsif mengangkat sedikit kaos yang dia kenakan ke atas untuk memperlihatkan celana yang terbilang kependekan untuk dia pakai. “Ini celana punya-nya Stella.”
Gaara menyeringai melihat wajah Esther yang tiba-tiba memerah. Jelas sekali kalau dia sekarang merasa malu dan tidak nyaman karena tindakan impulsifnya sendiri.
“Terlebih Gaara ….” Esther memulai. “Mengenai project home ec kita, jika kau memang benar-benar tidak bisa mengerjakannya aku sebenarnya tidak keberatan mengerjakannya sendiri. Aku tidak bermaksud buruk untuk itu hanya saja waktu kita tinggal hari ini dan besok kita harus sudah mengumpulkan hasilnya jadi—”
“Okay, okay, aku tahu,” potong Gaara sebal. Memang betul kalau project itulah yang mengawali seluruh interaksi diantara mereka berdua dan itu pula yang membuat gadis itu sekarang ada dirumahnya. Hanya saja ketika Esther membawa topik itu dalam situasi sekarang Gaara merasa agak terganggu. “Tidak adakah hal lain yang bisa kau pikirkan selain itu?”
“Aku hanya mencoba untuk mengkonfirmasi saja, lagipula niatku baik,” cicit gadis itu lagi.
“Yasudah kita kerjakan sekarang.”
“Sekarang?” Kini giliran Esther yang mendongak kaget.
“Kau bilang besok harus dikumpulkan kan?”
“Memang benar sih, tapi apa kau tidak mau mandi dulu? maksudku kau kan masih hangover?” sahut Esther masih setengah tidak percaya.
Gaara turun dari meja dapur kemudian merenggangkan badannya. Secara ajaib sakit kepala yang beberapa saat lalu menyiksanya hilang entah kemana. Mungkinkah minuman misterius yang dibuat gadis itu benar-benar mujarab?
“Tak apa. Kalau tunggu sampai nanti, aku bisa berubah pikiran.”
Satu jam kemudian, Esther benar-benar lelah secara batin. Jika saja dia dirumahnya sendiri dia mungkin sudah melakukan apa saja untuk menyalurkan rasa frustasi berlebih yang kini sedang dia rasakan. Gaara Maxwell, benar-benar tidak bercanda ketika dia bilang bahwa pengetahuannya di bidang kuliner adalah nol besar.Mulai dari hal sesederhana memecahkan telur saja, pria itu malah berakhir meremukannya tanpa ampun. Esther sebelumnya juga yakin mewanti-wanti lelaki itu memasukan dua sendok baking soda ke dalam adonan mereka. Tetapi yang terjadi dia malah memasukan baking soda tersebut sesuka hatinya. Seakan belum cukup atas kekacauan yang dia buat, sekarang Gaara malah memprotes bentuk dari kue yang harus mereka buat.“Temanya kan paskah, Gaara. Jadi tentu saja kita harus membuat bentuk kelinci agar sesuai dengan tema,” jelas Esther lemah. Dia sudah kehilangan banyak tenaga untuk membereskan setiap kekacauan yang Gaara buat selama proses memasak.“Kau pasti bercanda, memangnya kau percaya
Teriakan yang begitu familiar segera saja langsung mengagetkan mereka berdua. Gaara langsung tersentak ke belakang, sementara Esther langsung mengambil kesempatan untuk menutupi dadanya dan beranjak turun dari meja dapur untuk menjauhkan dirinya dari si tuan mdua. Rasa kaget bercampur malu menjadi satu dalam diri Esther. Dia sangat takut Stella bisa melihat bekas mulut Gaara yang mengulum dadanya tadi.Esther melirik ke arah Gaara, ekspresi pria itu bisa dibilang terlihat geram lantaran kesenangannya harus diganggu secara paksa oleh seseorang. Dia melempar pandangan tajam ke arah asistennya yang sudah berdiri tidak jauh dari mereka.“Tunggu dulu, jangan marah padaku begitu. Tuan Gaara. Aku sengaja berteriak karena jika tidak, kau mungkin tidak akan menyadari bahwa temanmu sejak tadi sudah menunggu di depan dapur,” tutur Stella santai.Lalu seakan diberi aba-aba orang yang dimaksud teman oleh Stella muncul dari balik badannya. Dengan kedua tangan terlipat di depan dada dia memasang sen
Seorang gadis dengan rambut brunette-nya berada dalam posisi duduk di sebrangnya. Kedua kakinya yang jenjang tersilang, mengekspos keindahannya. Sementara tangan kirinya sibuk mengetikan sesuatu pada ponselnya dengan tangan kanan yang memegang sebuah rokok. Sesekali gadis itu menghisap rokoknya lalu menghembuskan asapnya ke udara dengan santai. Sesekali dia juga melemparkan senyuman menggoda ke arahnya.Nara menghembuskan napas jengkel, sejujurnya dia juga sangat ingin merokok sekarang tetapi dia masih punya otak untuk tidak melakukan hal itu di dalam ruangan. Hal yang lebih buruk baginya adalah berada dalam situasi menunggu dengan hanya berdua saja dengan gadis itu disana. Entah kebetulan atau bagaimana tetapi yang pasti Nara bisa menebak bahwa perempuan itu punya urusan yang sama dengannya.“Siapa namamu?” tiba-tiba saja perempuan itu mengajaknya bicara, sepertinya dia sudah bosan dengan ponselnya dan memilih fokus dengan dunia nyata.Nara hanya melirik sebentar sebelum akhirnya mem
Esther menemukan dua orang sedang bercumbu mesra di atas tempat tidur. Vinson (orang yang paling tidak ingin dilihatnya) sibuk melumat bibir seorang mahasiswi yang beberapa saat lalu baru saja masuk ke kelas bersamaan dengan Nara. Sebelah tangan Vinson menahan kepala gadis itu, sementara tangannya yang lain berada di dalam roknya. Ciuman itu tampak penuh gairah dan hasrat sehingga mereka nyaris tidak menyadari keberadaan Esther yang berdiri shock disana seperti orang bodoh.Esther yang menyadari bahwa mereka belum tahu keberadaannya langsung mengambil seribu langkah hendak pergi sebelum akhirnya dia mendengar suara Vinson dari balik bahunya. “Lihat siapa yang mengintip kita, apa kau menginginkannya juga Esther?”Sadar bahwa pria itu tidak akan melepaskannya, pada akhirnya meski masih dalam kondisi kaget bercampur malu Esther menghadap pria itu dan memandang nyalang kepadanya. “Bukannya kau berpacaran dengan Nelsy?” balas gadis itu.Sebetulnya itu bukan urusannya, hanya saja dia kesal
Gaara sebenarnya sama sekali tidak punya niat untuk mengejar perempuan yang telah memicu kehebohan di kafetaria, tetapi naasnya dia malah mendapati perempuan itu bersandar pada loker miliknya. Kebetulan area loker saat itu sepi, hanya ada dua atau tiga orang saja dan itu pun sibuk dengan urusan masing-masing. Namun begitu orang menyadari keberadaannya kebanyakan dari mereka memilih kabur atau pura-pura tidak melihat. Gaara sendiri tidak mengerti mengapa semua orang bersikap demikian, tetapi lebih dari itu dia tidak mau ambil pusing.Begitu Gaara mendekat, gadis itu sama sekali tidak bergeming, bahkan dia mungkin tidak menyadari kehadiran Gaara sama sekali. Karena itulah Gaara sengaja membuka lokernya yang kebetulan bersisian sampai menimbulkan bunyi cukup nyaring yang membuat gadis itu sedikit terlonjak.Dari ekor matanya Gaara bisa melihat bahwa dia agak panik dan cepat-cepat membuka loker miliknya juga, mencoba untuk menyembunyikan wajahnya. Buat Gaara sejujurnya itu hiburan tersend
Saat itu memasuki jadwal Esther berbelanja kebutuhan dapur mingguannya. Makanya pagi-pagi sekali Esther sudah membawa mobil kesayangannya untuk berbelanja. Tetapi di perjalanan dia menyadari bahwa kilometer SUV-nya telah mencapai sepuluh kilo meter lebih. Disaat yang bersamaan pula dia merasakan bahwa setir mobilnya terasa menjadi dua kali lipat lebih berat dari biasanya. Berdasarkan pengalamannya, itu berarti bahwa sang Land Rover kesayangannya sudah perlu di servis.Karena itulah disinilah dia sekarang, memarkir Discovery 4-nya di dalam sebuah bengkel lalu bergegas turun dan menyapa seorang montir yang telah menjadi langganannya sejak lama. Wajah pria paruh baya itu langsung berseri menyadari kehadiran Esther di bengkel mobilnya. “Selamat siang Nona Esther,” sapanya sambil membungkukan badan sebagai tanda menghormatinya membuat Esther tersenyum canggung.“Sudah saya bilang Paman tidak perlu sampai harus membungkuk seperti itu, anggap saja saya seperti pelanggan biasa,” kata Esther s
Seringai pria itu makin melebar ketika melihat wajah Esther tersentak dan bersemu merah. “Y—ya? Err … m—maksudku tidak begitu, tapi …ugh!” Dia menghela napas frustasi dan diam beberapa saat seolah sedang mengumpulkan kata-kata dikepalanya. Kelihatannya dia cukup jengkel lantaran dia tiba-tiba jadi gagap sendiri. “Jika kau tidak keberatan,” pungkas gadis itu pada akhirnya, terlihat agak malu-malu.Jika mengabaikan cara berpenampilan Esther, Gaara sebetulnya suka padanya karena semakin berinteraksi dia punya sisi yang … lucu? Dia memang kalah dari Elise Northway. Pembawaannya juga tidak sebersinar Nelsy sang bintang kampus. Tetapi Esther punya sesuatu yang membuat atensi Gaara terhadapnya selalu utuh.Dia suka ketika melihat bibir gadis itu bergerak ketika bicara dan gugup sendiri apalagi ketika dia gelisah. Dia bahkan menemukan dirinya turn on hanya karena menyadari gadis itu kerap membasahi bibirnya setelah menggigitnya sendiri. Seperti dia sedang mengundang Gaara untuk mencicipi bibi
Gaara mengangkat bahu. “Lalu kau sendiri bagaimana?”“Apanya yang bagaimana?” sahut Esther tidak mengerti.Gaara memutar mata mendengar jawaban gadis itu. “Hobimu.”Esther sejujurnya tidak menduga bahwa celetukan pertamanya akan benar-benar menghasilkan sebuah konversasi dua arah seperti ini. Dia bahkan tidak sama sekali berpikir bahwa Gaara akan kembali bertanya. Tetapi setitik harapan setidaknya tumbuh berkat itu, sebab sepertinya laki-laki itu menunjukan adanya sedikit ketertarikan pada pembicaraan iseng ini atau mungkin ini caranya menghargai.“Aku suka masak,” sahut Esther mengingat kegiatan yang membuat dirinya senang. Ada beberapa memang, tetapi akhir-akhir ini dia kerap kehilangan selera untuk melakukannya. “Aku juga suka seni …”Sepertinya gadis ini tipikal anak yang dicekoki banyak hal oleh orangtuanya sejak masih belia, pikir Gaara.“Ah … dan kurasa aku juga suka berenang. Sebenarnya lebih kepada aku suka dengan air,” tambah Esther lagi sambil tersenyum lemah. Untuk yang te
Baiklah ini mungkin sedikit tentang keluarga pasutri muda. sebenarnya tidak ada yang terlihat wah atau bagaimana kecuali fakta bahwa mereka mulanya adalah pasangan yang terlihat abnormal tetapi nyatanya bisa membuat sebuah keluarga yang terlampau manis bak gulali, apple candy, dan kue lapis legit. Namun terkadang juga bisa sepahit kopi, se asam lemon, se asin garam. Ya, barangkali inilah alasan mengapa hidup itu tidak selalu tentang satu rasa, sebab manis itu sendiri tidak akan pernah berarti bila tidak ada rasa yang lain. Hidup tidak melulu soal bahagia.Matahari sudah meninggi, teriknya telah menghidupkan semesta mencoba mengintip dari celah tirai jendela yang sengaja belum dibuka. Seiring dengan langkah Gaara yang sampai di ujung tengah dan lekas membuka pelan pintu kamarnya.Lelaki itu berjalan tanpa suara, seraya mengukir senyum yang paling sempurna. Kedua matanya memancarkan cahaya yang lembut, tampak sekali bahwa pria tersebut menyukai sosok wanita yang masih meringkuk nyaman d
Tidak disangka hari yang ditunggu akan tiba. Dia juga tidak habis pikir bahwa akan tiba masanya dia akan mengenakan pakaian serba putih dan didandani dengan cantik, terlebih nantinya dia akan bersanding dengan pria yang dia cintai. Senyuman manis terpatri di wajah Esther yang sudah dipoles dengan make up sedemikian rupa. Gadis itu sama sekali tidak bisa berhenti tersenyum untuk moment ini. Hari ini dia akan menikah, dengan seseorang yang dulunya adalah bad boy di kampus, lelaki yang mulanya hanya dijadikan sebagai objek taruhan antara dia dengan Vinson. Ceritanya memang selucu itu, tetapi tidak memudarkan bahwa cinta yang dia miliki kepada sang pria adalah cinta yang tulus.Setelah lulus dan berpacaran selama kurang lebih tiga tahun, Gaara datang ke kediamannya dan dengan gentle meminang Esther di depan ayahnya. Lamaran itu datang tanpa diduga sama sekali oleh Esther, dan dia teramat bahagia mendengar kesungguhan Gaara terhadapnya. Selang beberapa waktu, pria itu langsung sibuk memper
Esther terbangun karena rasa lapar di perut. Dia berbalik dan menemukan sepasang mata Gaara yang menatapnya dengan intens.Dia tertidur saat ditengah permainan, dan ranjang Gaara sekarang sudah menjadi favorit Esther. Dia tidak mau meninggalkannya.“Hei,” sapa gadis itu pada sang pemuda, dia tersenyum malu-malu.“Hei,” balas Gaara membalas senyumannya. “Kau lapar ya?”Esther mengangguk.“Aku sudah memanaskan sup dan ada sedikit roti juga. Mungkin rasanya tidak akan terlalu cocok, tapi aku pribadi memang jarang makan dirumah.”Esther terkekeh. “Kau seperti cenayang, bagaimana kau bisa tahu aku lapar?”“Aku mendengar suara perutmu.”Wajah Esther memerah, sementara Gaara malah tertawa. Mereka kemudian makan bersama di tempat tidur. Makan terakhir yang Esther makan memang hanya sarapan di pesawat. Rasa lelah membuat Esther melupakan banyak hal termasuk urusan mengisi perut. Dan meski Gaara bilang rasanya mungkin tidak sesuai, tetapi bagi Esther makanan itu adalah yang paling nikmat yang p
“Menurutmu apa aku punya pilihan Gaara?” Dia merasakan air mata membasahi pelupuk mata. “Aku sendirian. Jika ada satu kesempatan bagiku untuk bisa menyelamatkan diri, tentu aku akan melakukannya.”“Bagaimana bisa kau melakukan itu sementara—”“Siapa yang kau pikir akan menolongku saat itu? Apakah kau Gaara? Kau? Tentu saja aku tidak pernah berpikir kesana karena aku orang asing bagimu sementara Vinson adalah teman baikmu. Dan apa yang kau lakukan saat kau tahu aku kesulitan di kampus ketika Vinson membully-ku? Kau tidak melakukan apapun.” Gaara hendak memotongnya, tetapi Esther segera mengangkat tangan mencoba untuk menghentikan apapun yang akan lelaki katakan sebagai bentuk dari pada pembelaan. “Kita pernah membicarakan ini dulu sekali. Aku tidak berusaha sedang menyalahkan keadaan ini kepadamu. Faktanya, memang pada saat itu aku tidak punya seorangpun yang bisa menolongku. Pada akhirnya aku hanya harus melakukan sesuatu agar aku bisa menyelamatkan diriku sendiri. Terus terang taruha
Gaara yakin dia berhalusinasi ketika melihat sosok perempuan berambut keperakan yang berdiri di muka rumahnya.Tidak. Tidak mungkin itu Esther.Selain Gaara hanya ada dua orang yang tahu soal keberadaan rumah ini. Paman Yoshi dan ayahnya.Bahkan saat Gaara turun dari jeep dan melepas kacamata hitamnya untuk memastikan bahwa terik matahari tidak membuatnya berhalusinasi, sosok tersebut masih berada disana. Semakin mendekat, Gaara semakin yakin bahwa sosok itu memang adalah Esther.Perasaannya kian membuncah dan tidak terkendali. Tetapi diantara itu semua, Gaara tidak bisa berbohong bahwa dia bersyukur melihat Esther ada disini. Apalagi mengingat bahwa beberapa saat yang lalu dia nyaris membuat keputusan yang mungkin akan disesalinya.Ketika dia berhasil memeluk sosok itu, rasa lega segera menyebar dalam hatinya. Dia tidak tahu bagaimana caranya Esther bisa berada disini. Namun dia bersyukur bahwa sekali lagi dia masih bisa menyentuh kehangatan kulit gadis itu. Berada didekat Esther mem
Sejak meninggalkan rumah yang dahulu menjadi tempat dia menghabiskan waktu bersama sang bunda tercinta. Gaara tidak menduga bahwa akan ada saatnya dia kembali ke rumah ini. Tepat seperti dugaannya pula tidak ada satu bagian dari rumah ini yang berubah. Ayahnya pasti melakukan segala cara agar rumah tersebut tetap sama persis seperti saat masih ditinggali oleh ibunya terakhir kali. Gaara bisa melihatnya dari taman bunga dan juga gazebo tempat ibunya dulu selalu menghabiskan waktu bersama Gaara untuk membacakannya sebuah dongeng.Gaara tidak bisa membohongi dirinya. Rumah itu sangat mencerminkan kepribadian ibunya. Setiap sudutnya memaksa Gaara mengingat semua memori tentang wanita itu. Ketika Gaara pertama kali melewati pintu depan rumah tersebut, dia merasa seperti melihat hantu ibunya dari masa lalu.Dalam perjalannnya ke Australia, Gaara sebenarnya telah membayangkan ratusan skenario yang ingin dia lakukan pada rumah tersebut. Hal pertama yang mampir ke otaknya adalah membersihkan s
Sesuai dengan janji, setelah mengunjungi makam ibunya Gaara, Jorge mengantar Esther menuju ke kediaman mendiang istrinya dimana gadis itu bilang bahwa Gaara berpotensi berada disana. Jorge sebenarnya tidak yakin bahwa sang putra akan berada di rumah tua itu. Apalagi karena Gaara punya alasan yang kuat mengapa dia bersedia tinggal bersamanya dari pada tinggal dirumah itu.Namun entah bagaimana, Esther mampu mematahkan semua statement pria itu berdasarkan intuisinya yang liar.Sementara Esther sendiri kini semakin diliputi rasa bersalah yang teramat mendalam kepada Gaara. Setelah mendengar cerita Jorge tentang mendiang istrinya. Esther memahami bahwa Gaara tumbuh dengan pemahaman bahwa sang ibu meninggal karena cinta yang terlalu besar kepada ayahnya. Memang masuk akal bahwa pemuda itu akan bersikap sinis dan membenci ayahnya. Tetapi terlepas dari hal itu, Esther pun tidak bisa menjudge keduanya. Tetapi yang pasti setelah mendengar segalanya dari kedua belah pihak, Esther malah merasa k
Esther benar-benar tidak tahu bahwa dia punya keberuntungan sebesar ini dalam hidupnya.Lima belas menit yang lalu dia benar-benar dibuat kelimpungan dan nyaris menangis gara-gara kehabisan mobil jemputan. Memang benar keputusan yang dia buat kali ini pun terbilang sangat gila seumur hidupnya. Terbang ke Australia tanpa punya kenalan satu pun, bahkan alamat yang hendak dia tuju pun Esther tak tahu. Esther hanya punya modal ingatan foto-foto lama Gaara dengan mendiang ibunya saja. Makanya rencana Esther adalah menyewa mobil dan pergi berkeliling sambil mencari rumah yang mirip dengan gambar yang pernah Esther lihat.Saat itulah mendadak pria baik hati yang Esther temui di pesawat menghampiri. Karena Esther punya pengalaman kurang baik dengan orang asing, maka Esther sempat ragu untuk mengatakan yang sebenarnya kepada orang itu. Tetapi bila mengingat kebaikan yang pria itu lakukan, Esther berasumsi bahwa orang itu bukanlah orang yang punya maksud jahat.“Ah, saya Jorge Maxwell. Orang ya
“Maaf?” balas gadis itu tampak agak kaget dengan pertanyaan yang Jorge berikan terhadapnya.“Mimpimu.”“A—ah… itu … b—bukan apa-apa,” sahutnya agak tergagap sambil menggelengkan kepala. “Maaf saja tapi itu … bukan tipik yang cukup menyenangkan untuk … dibicarakan.”Jorge mengangguk. “Baiklah kalua begitu, tapi saat melihatmu aku jadi teringat putra bungsuku yang kurasa seumuran denganmu.”Sekilas gadis itu jadi tampak sedikit tertarik. “Benarkah? Umur berapa?”“Tahun ini masuk dua puluh dua tahun.”Gadis itu menganggukan kepala. “Ah, benarkah? Saya juga.”“Jadi, kalua boleh tahu apa yang gadis sepertimu lakukan sendirian? Apa kau ingin mengunjungi seseorang?”Selama sesaat gadis itu tampak menimbang-nimbang jawabannya. Ekspresinya juga sedikit berubah. Tetapi kemudian tak selang beberapa lama dia menganggukan kepala. “Ya, begitulah.”“Keluarga?”“Ah, bukan. Hanya seorang teman.”“Kurasa dia adalah teman yang special sampai kau mau terbang sendirian seperti ini.”Jorge jadi terkekeh sa