"Aku akan memberikan lima permintaan, dan apapun itu akan aku berikan padamu." Sebastian berdiri di hadapan Shela, sedangkan wanita itu duduk di sebuah pagar tembok di tepi jalanan taman. Shela yang sibuk menikmati minuman cokelat hangatnya. Kedua mata wanita itu mengerjap. 'Ya ampun, dia ini royal sekali. Padahal dari sore sampai malam begini aku sudah meminta beberapa hal padanya, apa dia punya sumber uang yang tidak bisa habis?' batin Shela menelisik wajah Sebastian. "Kenapa malah menatapku seperti itu?" Sebastian memeluk pinggang Shela dengan kedua tangannya. "Sudah cukup. Aku sudah membeli banyak barang, bukan?" Shela menatap wajah suaminya. "Nanti kalau uangmu habis, bagaimana?" Laki-laki itu terkekeh, konyol sekali permintaan Shela yang mengatakan kalau uang Sebastian akan habis. "Rupanya istriku ini sedang meremehkan aku," ucap Sebastian menyipitkan kedua matanya. Shela cemberut mendengarnya, ia langsung turun dari tempat itu dengan bantuan Sebastian. Wanita itu berdi
"Tiana kangen rumah lama kita, Mami." Tiana berucap sedih, bersama dua kembarannya dan juga Sebastian, mereka kini berdiri di depan sebuah rumah di mana tempat itu dulunya tempat Shela membesarkan ketiga buah hatinya. "Mami juga, Tiana," jawab Shela membalas genggaman tangan Tiana."Dulu kita sering main di teras sini, ya kan? Tiana naik sepeda kecil, terus Tiano yang dorong," ujar Tiano menatap teras rumah itu. Sebastian tersenyum tipis mendengarnya mereka berbicang. Kali ini mereka mengunjungi rumah lamanya setelah Monica pergi kembali ke Prancis. Pintu rumah dibuka oleh Sebastian, si kembar berlari lebih dulu masuk ke dalam sana. Anak-anak itu mendapati beberapa mainannya masih ditata rapi. "Papi... Lihat, ini mainan Tino waktu masih bayi kata Mami," ujar anak itu menunjukkan sebuah boneka kecil. "Iya Sayang. Jangan main di luar ya," tegas Sebastian pada mereka. "Iya Pi." Kompak ketiganya menjawab. Sebastian merangkul pinggang Shela dan mengajaknya berjalan ke lantai dua.
Malam yang sunyi pukul sebelas malam, semua penerangan rumah sudah mati. Shela berdiri di depan dinding kaca yang berada di lantai dua rumahnya. Wanita itu menunggu Sebastian yang kini sedang bertelepon dengan rekan bisnisnya di ruang kerja. Suaminya adalah orang yang sibuk, dan semuanya juga demi Shela. 'Dia mengenalkan aku sebagai pemilik perusahaan Milory, padahal aku tidak melakukan apapun.' Shela menyandarkan kepalanya di kaca. "Pantas saja Nyonya Monica semarah itu padaku, aku tidak tahu kalau Sebastian sudah sejauh ini menentang keluarganya," gumam lirih Shela. "Demi aku." Hening kembali menyapanya. Shela tersentak saat tiba-tiba telapak tangan dingin menyentuh pipinya dari belakang. "Astaga!" Wanita itu menoleh cepat. "Sebastian!" Laki-laki itu tersenyum manis. "Kenapa melamun saja, hem?" Sebastian merangkul Shela. "Tidak papa. Hanya kepikiran waktu tadi kau mengenalkan aku sebagai pemilik perusahaan. Aku canggung sekali, kau tahu!" Shela cemberut. "Kan memang kau yang
"Ayo ambil ini... Ambil kalau bisa!" Suara tawa anak-anak di tepi jalanan malam itu terdengar menjengkelkan di telinga Tiana. Di depan gedung sekolah kursus bahasa, teman-temannya merebut botol minum milik Tiana dan mereka ingin Tiana lompat untuk mengambilnya. "Mana, kembalikan. Itu punyaku, tahu! Kembalikan dong, Alice!" teriak Tiana mengejar temannya, yang jelasnya mereka berusia sama seperti Tiana. "Kembalikan!" teriak Tiana mengejarnya. Tiga anak perempuan itu membawa lari botol minum milik Tiana. Jelas Tiana tidak mampu mengejar mereka, dia tidak boleh terlalu lelah. Berusaha berlari cepat, Tiana tersandung dan terjungkal hingga kaca matanya terpental dan jatuh. "Kaca mataku... Di mana?" Tiana mengulurkan tangannya dan merayap mencari-cari dalam kegelapan. "Kaca matanya, ambil kaca matanya Tiana!" Suara itu membuat Tiana semakin kesal. Ia mencoba merayapkan tangannya lagi. "Ayo mana kaca matamu, Tiana!" seru Abelle menendang pelan kaca mata Tiana. Suara bunyi benda it
"Aku juga berusaha berubah seperti yang kau mau, Shela! Aku bingung kau menginginkan lelaki yang seperti apa!" Suara amukan Sebastian pada Shela, membuat Tiana menangis. Anak itu langsung berdiri memeluk sang Mama dengan erat. Shela menatap Sebastian berkaca-kaca, laki-laki itu tidak akan pernah tahu bagaimana menjadi seorang perempuan bila dibentak. "Ayo pergi, Mami... Ayo ke pergi!" teriak Tiana keras-keras. Shela menyeka air matanya. "Iya, ayo Sayang. Diam dulu, jangan nangis," bisik Shela. Wanita itu melangkah ke arah pintu, lengannya tiba-tiba ditahan oleh Sebastian. "Mau ke mana? Ini sudah malam!" seru Sebastian. Shela mengabaikan Sebastian dan menarik lengannya. "Aaaaa... Papi jangan sentuh Mamiku!" teriak Tiana marah pada Sebastian. "Sudah Tiana, jangan teriak-teriak," bisik Shela mendekap putrinya. Sebastian terus mengikuti istrinya dengan perasaan kalut. Dia tahu ia kelewatan, membentak Shela di depan Tiana. "Shela-""Diam!" pekik Shela mengulurkan jari telunjukny
Shela sibuk di toko rotinya, dia bahkan tidak menghubungi Sebastian sama sekali hari ini. Dan Sebastian yang ingin melihat istri dan anaknya, dia datang dan masih berdiam diri di dalam mobil menatap ke arah toko di mana Shela sedang sibuk menata bunga-bunga, juga melayani pembeli di depan, dan si kembar berada di dalam toko. "Shela," lirih Sebastian menatapnya lekat. Laki-laki itu turun dari dalam mobilnya dan melangkah mendekati toko. Shela menatapnya dan ia menatap lekat pada suaminya. "Mau apa?" tanya Shela dengan nada kesal. "Aku ingin bertemu dengan anak-anak." Laki-laki itu menjawab tak acuh. Sebastian pun membuka pintu toko, di sana si kembar kompak menatapnya dengan tatapan marah. Anak-anak itu cemberut pada sang Papa. Terutama Tino dan Tiana yang sudah terlanjur kesal pada Sebastian. "Papi mau ngapain ke sini? Tiano sama Tino dan Tiana tidak mau bertemu Papi. Semalam kata Adik Tiana, Papi baru nakalin Mami, ya?!" seru Tiano, anak itu memeluk dia kembarannya. "Tiana m
"Shela, kau ini bagaimana sih! Pak Wiliam ke sini ingin mengambil pesanan roti untuk sarapan! Tapi kenapa kau tidak mengabariku sama sekali!" Suara panggilan dengan amukan itu membuat Shela menepuk keningnya, dia bingung apa yang Morsil maksud sebenarnya. "Tu-tunggu, aku tidak tahu kalau dia mengabariku, Morsil!" pekik Shela kesal. "Sebastian yang menjawab pesannya, dia tidak menyampaikannya padamu?!" Shela menghela napasnya panjang. Pasti Morsil marah padanya, pelanggan juga pasti akan kecewa. "Ya sudah, biar nanti aku jelaskan pada Pak Wiliam, dia pasti mengerti," ujar Shela. Panggilan itu pun tertutup. Shela menyibak selimutnya dan ia menatap ranjang sampingnya di mana anak-anak masih tidur. Memasuki musim liburan, mereka akan lebih sering bangun siang dan tidur sedikit lebih malam. Shela mengambil ponselnya, ternyata benar ada pesan dari Wiliam dan Sebastian yang membalasnya. "Astaga, suamiku... Dia juga tidak bilang padaku," lirih Shrla menepuk keningnya pelan. Shela be
"Mami, tadi yang sama Papi itu siapa ya?" Tiana menepuk-nepuk pipi Shela, putri cantiknya itu padahal sudah mengantuk berat, tapi dia masih sempat-sempatnya bertanya. "Teman kerjanya Papi, Sayang. Kenapa memangnya?" Shela mengusap punggung kecil Tiana. Bibir tipis Tiana cemberut. Jemarinya memainkan kancing blouse yang Shela pakai, dia menggeleng-geleng kepala. "Tiana tidak suka, Papi nolak makan sama kita," cicit anak itu manyun. "Hei Cantikku, dengar... Papi kan kerja buat kita semua. Kita tidak boleh berprasangka buruk. Papinya Tiana itu orang yang sangat sibuk, Sayang." Shela mengusap pucuk kepala Tiana dan mendekapnya. "Nanti bagaimana kalau Papi bentak-bentak Mami lagi?" Anak itu mendongak dengan ekspresi melas. "Mami bentak balik dong!" "Beneran ya, Mami... Janji dulu sama Tiana!" Jari kelingking mungilnya diangkat. Shela langsung menautkan jarinya tanpa ragu, kedua terkikik geli dan mereka memutuskan untuk tidur. Si kembar laki-laki menolak ditidurkan oleh Shela, ked