Malam yang sunyi pukul sebelas malam, semua penerangan rumah sudah mati. Shela berdiri di depan dinding kaca yang berada di lantai dua rumahnya. Wanita itu menunggu Sebastian yang kini sedang bertelepon dengan rekan bisnisnya di ruang kerja. Suaminya adalah orang yang sibuk, dan semuanya juga demi Shela. 'Dia mengenalkan aku sebagai pemilik perusahaan Milory, padahal aku tidak melakukan apapun.' Shela menyandarkan kepalanya di kaca. "Pantas saja Nyonya Monica semarah itu padaku, aku tidak tahu kalau Sebastian sudah sejauh ini menentang keluarganya," gumam lirih Shela. "Demi aku." Hening kembali menyapanya. Shela tersentak saat tiba-tiba telapak tangan dingin menyentuh pipinya dari belakang. "Astaga!" Wanita itu menoleh cepat. "Sebastian!" Laki-laki itu tersenyum manis. "Kenapa melamun saja, hem?" Sebastian merangkul Shela. "Tidak papa. Hanya kepikiran waktu tadi kau mengenalkan aku sebagai pemilik perusahaan. Aku canggung sekali, kau tahu!" Shela cemberut. "Kan memang kau yang
"Ayo ambil ini... Ambil kalau bisa!" Suara tawa anak-anak di tepi jalanan malam itu terdengar menjengkelkan di telinga Tiana. Di depan gedung sekolah kursus bahasa, teman-temannya merebut botol minum milik Tiana dan mereka ingin Tiana lompat untuk mengambilnya. "Mana, kembalikan. Itu punyaku, tahu! Kembalikan dong, Alice!" teriak Tiana mengejar temannya, yang jelasnya mereka berusia sama seperti Tiana. "Kembalikan!" teriak Tiana mengejarnya. Tiga anak perempuan itu membawa lari botol minum milik Tiana. Jelas Tiana tidak mampu mengejar mereka, dia tidak boleh terlalu lelah. Berusaha berlari cepat, Tiana tersandung dan terjungkal hingga kaca matanya terpental dan jatuh. "Kaca mataku... Di mana?" Tiana mengulurkan tangannya dan merayap mencari-cari dalam kegelapan. "Kaca matanya, ambil kaca matanya Tiana!" Suara itu membuat Tiana semakin kesal. Ia mencoba merayapkan tangannya lagi. "Ayo mana kaca matamu, Tiana!" seru Abelle menendang pelan kaca mata Tiana. Suara bunyi benda it
"Aku juga berusaha berubah seperti yang kau mau, Shela! Aku bingung kau menginginkan lelaki yang seperti apa!" Suara amukan Sebastian pada Shela, membuat Tiana menangis. Anak itu langsung berdiri memeluk sang Mama dengan erat. Shela menatap Sebastian berkaca-kaca, laki-laki itu tidak akan pernah tahu bagaimana menjadi seorang perempuan bila dibentak. "Ayo pergi, Mami... Ayo ke pergi!" teriak Tiana keras-keras. Shela menyeka air matanya. "Iya, ayo Sayang. Diam dulu, jangan nangis," bisik Shela. Wanita itu melangkah ke arah pintu, lengannya tiba-tiba ditahan oleh Sebastian. "Mau ke mana? Ini sudah malam!" seru Sebastian. Shela mengabaikan Sebastian dan menarik lengannya. "Aaaaa... Papi jangan sentuh Mamiku!" teriak Tiana marah pada Sebastian. "Sudah Tiana, jangan teriak-teriak," bisik Shela mendekap putrinya. Sebastian terus mengikuti istrinya dengan perasaan kalut. Dia tahu ia kelewatan, membentak Shela di depan Tiana. "Shela-""Diam!" pekik Shela mengulurkan jari telunjukny
Shela sibuk di toko rotinya, dia bahkan tidak menghubungi Sebastian sama sekali hari ini. Dan Sebastian yang ingin melihat istri dan anaknya, dia datang dan masih berdiam diri di dalam mobil menatap ke arah toko di mana Shela sedang sibuk menata bunga-bunga, juga melayani pembeli di depan, dan si kembar berada di dalam toko. "Shela," lirih Sebastian menatapnya lekat. Laki-laki itu turun dari dalam mobilnya dan melangkah mendekati toko. Shela menatapnya dan ia menatap lekat pada suaminya. "Mau apa?" tanya Shela dengan nada kesal. "Aku ingin bertemu dengan anak-anak." Laki-laki itu menjawab tak acuh. Sebastian pun membuka pintu toko, di sana si kembar kompak menatapnya dengan tatapan marah. Anak-anak itu cemberut pada sang Papa. Terutama Tino dan Tiana yang sudah terlanjur kesal pada Sebastian. "Papi mau ngapain ke sini? Tiano sama Tino dan Tiana tidak mau bertemu Papi. Semalam kata Adik Tiana, Papi baru nakalin Mami, ya?!" seru Tiano, anak itu memeluk dia kembarannya. "Tiana m
"Shela, kau ini bagaimana sih! Pak Wiliam ke sini ingin mengambil pesanan roti untuk sarapan! Tapi kenapa kau tidak mengabariku sama sekali!" Suara panggilan dengan amukan itu membuat Shela menepuk keningnya, dia bingung apa yang Morsil maksud sebenarnya. "Tu-tunggu, aku tidak tahu kalau dia mengabariku, Morsil!" pekik Shela kesal. "Sebastian yang menjawab pesannya, dia tidak menyampaikannya padamu?!" Shela menghela napasnya panjang. Pasti Morsil marah padanya, pelanggan juga pasti akan kecewa. "Ya sudah, biar nanti aku jelaskan pada Pak Wiliam, dia pasti mengerti," ujar Shela. Panggilan itu pun tertutup. Shela menyibak selimutnya dan ia menatap ranjang sampingnya di mana anak-anak masih tidur. Memasuki musim liburan, mereka akan lebih sering bangun siang dan tidur sedikit lebih malam. Shela mengambil ponselnya, ternyata benar ada pesan dari Wiliam dan Sebastian yang membalasnya. "Astaga, suamiku... Dia juga tidak bilang padaku," lirih Shrla menepuk keningnya pelan. Shela be
"Mami, tadi yang sama Papi itu siapa ya?" Tiana menepuk-nepuk pipi Shela, putri cantiknya itu padahal sudah mengantuk berat, tapi dia masih sempat-sempatnya bertanya. "Teman kerjanya Papi, Sayang. Kenapa memangnya?" Shela mengusap punggung kecil Tiana. Bibir tipis Tiana cemberut. Jemarinya memainkan kancing blouse yang Shela pakai, dia menggeleng-geleng kepala. "Tiana tidak suka, Papi nolak makan sama kita," cicit anak itu manyun. "Hei Cantikku, dengar... Papi kan kerja buat kita semua. Kita tidak boleh berprasangka buruk. Papinya Tiana itu orang yang sangat sibuk, Sayang." Shela mengusap pucuk kepala Tiana dan mendekapnya. "Nanti bagaimana kalau Papi bentak-bentak Mami lagi?" Anak itu mendongak dengan ekspresi melas. "Mami bentak balik dong!" "Beneran ya, Mami... Janji dulu sama Tiana!" Jari kelingking mungilnya diangkat. Shela langsung menautkan jarinya tanpa ragu, kedua terkikik geli dan mereka memutuskan untuk tidur. Si kembar laki-laki menolak ditidurkan oleh Shela, ked
Sebastian sungguh ingin menyenangkan anak dan istrinya. Dia mengajak si kembar juga Shela pergi makan bersama di tempat yang tidak biasa. Sebuah restoran mewah yang berada di atas kapal mewah, pemandangan laut yang indah, dan suasana yang menyenangkan. "Bagus sekali ya... Nanti ke sana ya Pi, kita cari tempat nahkoda, Tiano mau foto!" seru Tiano yang berjalan digandeng Sebastian. "Iya Sayang." "Kita duduk di sana Pi, di dekat tiang itu! Biar bisa lihat air lautnya!" seru Tino menarik-narik tangan Sebastian dengan tak sabaran. Sebastian berjalan lebih dulu karena Tino dan Tiano menarik-narik tangannya dengan tidak sabar dan juga sangat kesenangan. Tapi tidak dengan Tiana, anak itu malah takut untuk naik ke atas kapal. Tiana mencengkeram erat pundak Shela dan menangis. "Kakak sudah naik di atas Sayang, ayo ke sana," bujuk Shela pada putri kecilnya. "Tiana tidak mau! Nanti kapalnya jalan, Mami... Tiana takut!" teriak anak itu dengan tegas menolaknya. "Ya ampun Sayang. Kapalnya a
"Mama sakit apa, Sayang?" Shela menatap wajah Sebastian, dia turun dari pangkuan suaminya dengan cepat. "Aku tidak tahu, Papa juga tidak tahu. Baru saja Mama dibawa ke rumah sakit." Sebastian menjelaskan. Sorot mata Sebastian memperhatikan ekspresi wajah Shela yang kini nampak cemas, dia yang selalu dijahati oleh Monica, apakah Shela masih punya maaf untuk Monica?"Aku akan ke Pranciss," ujar Sebastian."Aku ikut!" seru Shela bersikeras. "Kenapa mau ikut, hem? Mama padahal orang yang selalu jahat padamu. Apa kau peduli dengan wanita jahat sepertinya yang sedang sakit?" Harusnya Shela mengatakan tidak. Tidak peduli sama sekali!Tapi Shela Morine bukanlah seorang pendendam, dia selalu diajarkan hal-hal yang baik oleh Mamanya.Tanpa ragu dia menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku tidak punya rasa dendam apapun pada Mamamu. Seperti yang kau bilang... Kalau kita mencintai anaknya, kita harus sayang pada Ibunya." Senyuman manis terukir di bibir Sebastian. Dia beranjak dari duduknya ber