"Aku yang akan membiayai semua pengobatan Tiana!" Monica berdiri menatap angkuh pada Shela yang berada berdua saja dengannya. Wanita itu memaksa meskipun Shela menolaknya, tapi uang Shela, menjual toko pun kalau untuk pengobatan kedepannya tidak akan cukup. "Kau tidak punya apa-apa lagi kan? Mama dan Papamu juga mana? Tidak bisa kau hubungi saat kau butuh! Sebastian, mana? Dia malah pergi ke luar negeri dan tidak ada kabarnya juga, kan?!" Monica bersedekap dan tersenyum menyeringai. "Kalau kau menolak tawaranku, apa kau akan membiarkan Tiana menjadi mayat di atas ranjang kamar rumah sakit?!" Iris cokelat mata Shela seketika menajam. "Jaga ucapan Nyonya!" sinis Shela. "Terserah kau saja!" Monica tersenyum tipis dan menantang. "Aku rasa kau tidak mau Tiana mati, kan?"Shela ingin menangis dalam keadaan ini. Ditengah kegaduhannya dengan Monica, tiba-tiba Dokter Marisa datang. Wanita dengan jas putih itu menatap Shela. "Apa golongan darah Nyonya O, sama dengan Tiana?" tanya Dokter M
Shela kembali ke rumah sakit diantarkan oleh sahabat Sebastian yang memang mendapatkan perintah dari sahabatnya itu untuk menjaga Shela. Dan saat tiba di rumah sakit, Shela disambut oleh Monica. Wanita itu menghadang langkah Shela yang hendak menuju lorong di mana Tiana dirawat di ujung ruangan sana. "Semuanya sudah lunas, bahkan saat Tiana benar-benar harus transplantasi hati, sudah aku bayar semuanya!" Monica menyerahkan selembar kertas hasil pembayaran pada Shela. Di sana, Shela mengerjapkan kedua matanya bagai orang yang sangat kebingungan. "A-apa maksud Nyonya? Tidak perlu membayar semua ini karena Sebastian akan pulang," jawab Shela menggeleng dan menolak. "Tapi semuanya sudah terbayar, kalau tidak aku bayar pasti cucuku, Tiana sudah mati!" seru Monica, kejamnya manusia yang satu ini. "Dokter memberikanmu waktu sampai pagi tadi kan? Dan aku sudah membayarnya, berarti aku yang bertanggung jawab atas Tiana." "A-apa maksud Nyonya?" Shela menekan kuat-kuat asumsi buruknya. De
"Tante, Tino sama Tiano kangen Mami. Kapan kita boleh bertemu sama Mami?" Tino memeluk Morsil yang tengah menidurkan kedua anak itu. "Tiano juga kangen Adik Tiana," lirih Tiano sedih. Morsil mengembuskan napasnya pelan. Wanita itu mengusap pucuk kepala kedua bocah laki-laki yang tidur di sisi kanan dan kirinya. "Besok pasti Mami akan pulang, kalian tidur gih... Besok kan harus sekolah." Morsil selalu mengalihkan pembicaraan mereka. "Kita besok mau ke rumah sakit saja, tidak mau sekolah." "Loh, jangan begitu dong. Kalau kalian tidak sekolah berarti kalian tidak sayang sama Mami? Tidak kasihan Mami kerja buat kalian tapi kalian malah bolos!" seru Morsil pada si kembar. Kedua anak laki-laki itu kini pun meringkuk memeluknya tanpa berkata apapun lagi. Merawat mereka tiga hari bersama Bibi, Morsil merasakan di posisi Shela. Sangat lelah bukan main, sekuat itulah Shela selama bertahun-tahun ini. Selang beberapa menit lamanya, Tino dan Tiano sudah lelap dalam alam mimpinya. Morsil pu
"Tino, Tiano... Bangun Sayang, lihat itu yang datang siapa." Suara bisikan lembut itu membuat dua anak kembar laki-laki itu terbangun dengan wajah sembab dan mata kiyip mengantuk. Mereka berdua masih malas-malasan dan tidak langsung bangun sampai pintu kamarnya terbuka dan nampaklah dua orang yang langsung membuat mereka membuka mata lebar-lebar. "Oma...!" "Opa...!" Tino dan Tiano sontak bangkit dari duduknya melihat Ferdi dan Stavani datang ke rumahnya. Dua orang itu tersenyum manis dan merentangkan kedua tangannya pada si kembar. Kedua anak itu berdiri di atas ranjang dan memasang wajah sedih begitu Oma dan Opanya memeluk mereka. "Kangen Opa," bisik Tino dalam pelukan Ferdi. Laki-laki itu mengangguk. "Sama, Opa juga kangen dengan Tino dan Tiano. "Mami tidak pernah pulang-pulang, kita tidak tahu Mami di mana! Mami jangan-jangan bawa adik Tiana kabur! Papi juga tidak pulang! Kita tidak pernah diurus lagi!" teriak Tiano sambil menangis menggigit ujung jarinya. "Ssshhhtttt...
Sesampainya di rumah, Shela langsung membersihkan tubuhnya dengan air hangat dan mengganti pakaiannya dengan baju hangat.Gadis itu duduk di tepi ranjang memeluk boneka ikan paus milik Tiana. Sehari-harinya selalu didominan menjaga Tiana, Shela merasakan patah hati terberatnya adalah sekarang."Sayang, istirahatlah," ujar Sebastian begitu laki-laki itu masuk ke dalam kamar. "Aku kepikiran Tiana," jawab Shela memeluk erat boneka milik putrinya. Sebastian pun mendekat, laki-laki itu memeluk Shela dan membimbingnya untuk berbaring di atas ranjang besar di kamar mereka. "Tiana akan baik-baik saja, aku sangat percaya pada Adam dan Janice." Wajah Shela sudah terlihat lelah, Sebastian juga tidak istirahat sama sekali sejak dia datang ke Birmingham dua hari yang lalu. Hanya dalam hitungan detik Shela sudah terlelap dalam pelukannya. Dipeluknya erat-erat oleh Sebastian, laki-laki itu mengecupi wajah Shela dengan perasaan yang amat sedih. 'Maafkan aku Shela, aku tidak tahu kalau kepergian
Sejak beberapa jam lamanya Shela dan Sebastian berdua di depan ruang operasi. Mereka berdua hanya terdiam dan terus berdoa penuh harap dan meminta yang terbaik untuk putri mereka. Shela tidak henti-hentinya meremas tangan Sebastian dengan kedua mata terpejam dan bibir yang tak berhenti memohon pada Tuhan. "Kenapa lama sekali," lirih Shela mengusap wajahnya."Sabar Sayang, pasti dokter akan melakukan semuanya dengan baik," bisik Sebastian merangkul pundak Shela. "Iy, tapi ini sudah lama sekali. Tiana... Bagaimana dengan Tiana," lirih Shela memeluk Sebastian. Tidak ada jawaban apapun dari laki-laki itu, dia tahu betapa paniknya Shela saat ini. Mereka berdua sudah berjam-jam lamanya hingga hari kini menjelang pagi, namun dokter belum keluar juga. Bohong kalau Sebastian tidak cemas dan bingung. Namun keberadaannya saat ini adalah menenangkan Shela dan membuat gadis itu tidak larut terlalu dalam pada kesedihannya. "Dokter!" pekik Shela saat melihat dua dokter keluar dari lorong ruang
Beberapa Hari Kemudian...Pagi ini Shela masih tertidur dengan posisi duduk di sisi kiri brankar di mana Tiana terbaring, di sisi kanannya ada Sebastian yang sama tertidurnya dengan posisi duduk. Namun perlahan Shela merasakan sentuhan kecil yang lembut di kepalanya. Pergerakan yang lembut dan lambat. "Mami..." Suara kecil dan mungil pelan menyapa pendengaran Shela dan Sebastian. Detik itu juga Shela langsung terbangun dan mengangkat kepalanya. Wajahnya masih terkejut dan ia langsung tersenyum manis menyambut Tiana. "Iya Sayang, kenapa nak? Ada yang sakit? Kenapa, Sayang?" Shela mengecup pipi anak itu. Sebastian pun ikut bangun dan ia menatap wajah mungil Tiana. "Papi," lirihnya, Tiana memegangi tangan Sebastian. "Ya Sayang, Papi di sini. Kenapa Sayang?" Sebastian tersenyum mengecupi pipi Tiana. Anak itu tersenyum balik, Tiana mengusap pipi Sebastian dan juga pipi Shela. Anak itu mengembuskan napasnya pelan dan pendek. Dia tidak banyak bicara setelah tersadar, bahkan satu min
"Dengar, hari ini Tiana akan pulang, Tino dan Tiano jangan nakal! Ingat apa yang Oma katakan, paham!" Stevani menatap dua Cucunya yang baru saja turun dari dalam mobil setelah pulang sekolah. Kedua anak itu melihat ada mobil milik Papinya di depan rumah, tandanya Tiana sudah pulang setelah sangat lama dirawat di rumah sakit. "Oma, Tiana tidak boleh diajak main ya?" tanya Tino menggandeng tangan Stevani. "Tidak boleh, Sayang." "Kita hanya boleh melihat Tiana saja," sahut Tiano. Mereka berdua berjalan masuk ke dalam rumah, di sana mereka melihat Tiana sedang bersama dengan Sebastian di depan akuarium besar baru yang Ferdi belikan. "Tiana!" teriak Tino dan Tiano berlari mendekati kembarannya. "Eitts... Tidak boleh peluk dulu!" pekik Sebastian menghentikan mereka berdua. "Pi, kita kan kangen banget!" protes Tiano cemberut. "Adik kan sakit, Sayang." Tiana tersenyum pada dua kembarannya. Anak itu menunjuk akuarium di depannya. "Beli ikan tidak bilang-bilang," seru Tiana terkikik
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut