Shela kembali ke rumah sakit diantarkan oleh sahabat Sebastian yang memang mendapatkan perintah dari sahabatnya itu untuk menjaga Shela. Dan saat tiba di rumah sakit, Shela disambut oleh Monica. Wanita itu menghadang langkah Shela yang hendak menuju lorong di mana Tiana dirawat di ujung ruangan sana. "Semuanya sudah lunas, bahkan saat Tiana benar-benar harus transplantasi hati, sudah aku bayar semuanya!" Monica menyerahkan selembar kertas hasil pembayaran pada Shela. Di sana, Shela mengerjapkan kedua matanya bagai orang yang sangat kebingungan. "A-apa maksud Nyonya? Tidak perlu membayar semua ini karena Sebastian akan pulang," jawab Shela menggeleng dan menolak. "Tapi semuanya sudah terbayar, kalau tidak aku bayar pasti cucuku, Tiana sudah mati!" seru Monica, kejamnya manusia yang satu ini. "Dokter memberikanmu waktu sampai pagi tadi kan? Dan aku sudah membayarnya, berarti aku yang bertanggung jawab atas Tiana." "A-apa maksud Nyonya?" Shela menekan kuat-kuat asumsi buruknya. De
"Tante, Tino sama Tiano kangen Mami. Kapan kita boleh bertemu sama Mami?" Tino memeluk Morsil yang tengah menidurkan kedua anak itu. "Tiano juga kangen Adik Tiana," lirih Tiano sedih. Morsil mengembuskan napasnya pelan. Wanita itu mengusap pucuk kepala kedua bocah laki-laki yang tidur di sisi kanan dan kirinya. "Besok pasti Mami akan pulang, kalian tidur gih... Besok kan harus sekolah." Morsil selalu mengalihkan pembicaraan mereka. "Kita besok mau ke rumah sakit saja, tidak mau sekolah." "Loh, jangan begitu dong. Kalau kalian tidak sekolah berarti kalian tidak sayang sama Mami? Tidak kasihan Mami kerja buat kalian tapi kalian malah bolos!" seru Morsil pada si kembar. Kedua anak laki-laki itu kini pun meringkuk memeluknya tanpa berkata apapun lagi. Merawat mereka tiga hari bersama Bibi, Morsil merasakan di posisi Shela. Sangat lelah bukan main, sekuat itulah Shela selama bertahun-tahun ini. Selang beberapa menit lamanya, Tino dan Tiano sudah lelap dalam alam mimpinya. Morsil pu
"Tino, Tiano... Bangun Sayang, lihat itu yang datang siapa." Suara bisikan lembut itu membuat dua anak kembar laki-laki itu terbangun dengan wajah sembab dan mata kiyip mengantuk. Mereka berdua masih malas-malasan dan tidak langsung bangun sampai pintu kamarnya terbuka dan nampaklah dua orang yang langsung membuat mereka membuka mata lebar-lebar. "Oma...!" "Opa...!" Tino dan Tiano sontak bangkit dari duduknya melihat Ferdi dan Stavani datang ke rumahnya. Dua orang itu tersenyum manis dan merentangkan kedua tangannya pada si kembar. Kedua anak itu berdiri di atas ranjang dan memasang wajah sedih begitu Oma dan Opanya memeluk mereka. "Kangen Opa," bisik Tino dalam pelukan Ferdi. Laki-laki itu mengangguk. "Sama, Opa juga kangen dengan Tino dan Tiano. "Mami tidak pernah pulang-pulang, kita tidak tahu Mami di mana! Mami jangan-jangan bawa adik Tiana kabur! Papi juga tidak pulang! Kita tidak pernah diurus lagi!" teriak Tiano sambil menangis menggigit ujung jarinya. "Ssshhhtttt...
Sesampainya di rumah, Shela langsung membersihkan tubuhnya dengan air hangat dan mengganti pakaiannya dengan baju hangat.Gadis itu duduk di tepi ranjang memeluk boneka ikan paus milik Tiana. Sehari-harinya selalu didominan menjaga Tiana, Shela merasakan patah hati terberatnya adalah sekarang."Sayang, istirahatlah," ujar Sebastian begitu laki-laki itu masuk ke dalam kamar. "Aku kepikiran Tiana," jawab Shela memeluk erat boneka milik putrinya. Sebastian pun mendekat, laki-laki itu memeluk Shela dan membimbingnya untuk berbaring di atas ranjang besar di kamar mereka. "Tiana akan baik-baik saja, aku sangat percaya pada Adam dan Janice." Wajah Shela sudah terlihat lelah, Sebastian juga tidak istirahat sama sekali sejak dia datang ke Birmingham dua hari yang lalu. Hanya dalam hitungan detik Shela sudah terlelap dalam pelukannya. Dipeluknya erat-erat oleh Sebastian, laki-laki itu mengecupi wajah Shela dengan perasaan yang amat sedih. 'Maafkan aku Shela, aku tidak tahu kalau kepergian
Sejak beberapa jam lamanya Shela dan Sebastian berdua di depan ruang operasi. Mereka berdua hanya terdiam dan terus berdoa penuh harap dan meminta yang terbaik untuk putri mereka. Shela tidak henti-hentinya meremas tangan Sebastian dengan kedua mata terpejam dan bibir yang tak berhenti memohon pada Tuhan. "Kenapa lama sekali," lirih Shela mengusap wajahnya."Sabar Sayang, pasti dokter akan melakukan semuanya dengan baik," bisik Sebastian merangkul pundak Shela. "Iy, tapi ini sudah lama sekali. Tiana... Bagaimana dengan Tiana," lirih Shela memeluk Sebastian. Tidak ada jawaban apapun dari laki-laki itu, dia tahu betapa paniknya Shela saat ini. Mereka berdua sudah berjam-jam lamanya hingga hari kini menjelang pagi, namun dokter belum keluar juga. Bohong kalau Sebastian tidak cemas dan bingung. Namun keberadaannya saat ini adalah menenangkan Shela dan membuat gadis itu tidak larut terlalu dalam pada kesedihannya. "Dokter!" pekik Shela saat melihat dua dokter keluar dari lorong ruang
Beberapa Hari Kemudian...Pagi ini Shela masih tertidur dengan posisi duduk di sisi kiri brankar di mana Tiana terbaring, di sisi kanannya ada Sebastian yang sama tertidurnya dengan posisi duduk. Namun perlahan Shela merasakan sentuhan kecil yang lembut di kepalanya. Pergerakan yang lembut dan lambat. "Mami..." Suara kecil dan mungil pelan menyapa pendengaran Shela dan Sebastian. Detik itu juga Shela langsung terbangun dan mengangkat kepalanya. Wajahnya masih terkejut dan ia langsung tersenyum manis menyambut Tiana. "Iya Sayang, kenapa nak? Ada yang sakit? Kenapa, Sayang?" Shela mengecup pipi anak itu. Sebastian pun ikut bangun dan ia menatap wajah mungil Tiana. "Papi," lirihnya, Tiana memegangi tangan Sebastian. "Ya Sayang, Papi di sini. Kenapa Sayang?" Sebastian tersenyum mengecupi pipi Tiana. Anak itu tersenyum balik, Tiana mengusap pipi Sebastian dan juga pipi Shela. Anak itu mengembuskan napasnya pelan dan pendek. Dia tidak banyak bicara setelah tersadar, bahkan satu min
"Dengar, hari ini Tiana akan pulang, Tino dan Tiano jangan nakal! Ingat apa yang Oma katakan, paham!" Stevani menatap dua Cucunya yang baru saja turun dari dalam mobil setelah pulang sekolah. Kedua anak itu melihat ada mobil milik Papinya di depan rumah, tandanya Tiana sudah pulang setelah sangat lama dirawat di rumah sakit. "Oma, Tiana tidak boleh diajak main ya?" tanya Tino menggandeng tangan Stevani. "Tidak boleh, Sayang." "Kita hanya boleh melihat Tiana saja," sahut Tiano. Mereka berdua berjalan masuk ke dalam rumah, di sana mereka melihat Tiana sedang bersama dengan Sebastian di depan akuarium besar baru yang Ferdi belikan. "Tiana!" teriak Tino dan Tiano berlari mendekati kembarannya. "Eitts... Tidak boleh peluk dulu!" pekik Sebastian menghentikan mereka berdua. "Pi, kita kan kangen banget!" protes Tiano cemberut. "Adik kan sakit, Sayang." Tiana tersenyum pada dua kembarannya. Anak itu menunjuk akuarium di depannya. "Beli ikan tidak bilang-bilang," seru Tiana terkikik
Malam terasa dingin saat memasuki akhir tahun dan musim dingin, Shela menyelimuti Tiana dengan selimut lembut dan tebal. Tak lupa ia memberikan kecupan di pipi putri kecilnya. Shela bahkan membelikan ranjang khusus untuk Tiana yang ia letakkan di samping ranjang besarnya. "Mimpi indah, Sayangku," bisik Shela mengusap kening Tiana. Gadis itu menoleh ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi Sebastian belum kembali ke kamar, dia masih di ruangan kerjanya. Sementara di lantai dua sudah gelap, tandanya Mama dan Papanya juga dua anak kembar Shela sudah tidur."Ke mana Sebastian," lirih Shela mencari-cari. Shela melangkah keluar dari dalam kamar, baru saja ia menampakkan kakinya keluar dari pintu, ia melihat sosok Sebastian mematikan penerangan rumah seraya berjalan ke arahnya menenteng tuxedo hitamnya.Sedangkan Shela masih berdiri di tempat seolah-olah menyambut Sebastian. "Kenapa belum tidur? Tiana rewel?" tanya laki-laki itu berdiri di hadapan Shela. Ny