****
Pagi-pagi sekali, Anton tengah bersiap di kamarnya. Setelah sholat shubuh, ia membuat dua lapis roti dan segelas susu. Setelahnya, ia juga minum multivitamin, agar tubuh, hati dan pikirannya, mampu menghadapi segala kemungkinan yang terjadi setelah ia sampai di kampung Parmi nanti. Alhamdulillah, Iqbal setuju untuk mengantarnya hari ini. Sehingga bisa menambah kekuatan dan semangatnya untuk menghadapi keluarga Parmi, nanti. Anton menyisir rambutnya yang sudah gondrong lalu mengolesi minyak tawon di pangkal hidung, keningnya yang setiap hari tertempel koyo juga ia olesin. Serta tengkuknya yang selalu saja terasa kesemutan.
Jangan lupa, bahwa ia masih mengalami mual muntah ya. Sehingga ia juga memasukkan satu pack kantong plastik hitam ke dalam tasnya, sebagai antisipasi jika ia mabuk dan muntah di jalan nanti. Ia juga membawa antimo, tolak angin cair, balsam dan juga minyak kayu putih.
(Cem nenek-nenek mau piknik ya,rempongš¤£š¤£š¤£)
Iqbal memijat kepalanya dengan keras. Ini sudah pemberhentian kesepuluh yang ia lakukan, karena Anton sepupunya, benar-benar kepayahan dalam mengontrol rasa mual muntahnya. Perjalanan Jakarta-Sleman yang harusnya memakan waktu kurang lebih delapan jam.Tampaknya akan lebih panjang. Karena setiap satu jam sekali Anton meminta Iqbal menepikan mobil di rest area atau di pom bensin atau dimana saja, yang penting harus berhenti sesaat. Sepanjang jalan Anton menahan mulutnya agar tidak muntah, tubuhnya juga terlihat sudah sangat lemas.Iqbal menyarankan agar mereka kembali saja ke Jakarta, jika Anton telah pulih, maka Iqbal berjanji akan menemani Anton kembali ke kampung Parmi. Namun, Anton tetap bersikeras melanjutkan perjalanan sampai di kampung Parmi.Ia harus segera menemukan Parmi. Bayang-bayang Parmi dengan perut buncitnya, selalu hadir dalam mimpinya. Wajah sang istri terlihat sendu meskipun tampak sesekali tertawa. Tidak, ia harus segera menemukan Parmi.
Langit mulai gelap, suara jangkrik menemani suasana magrib yang kian syahdu di perkampungan Parmi. Suara gemericik air dari kamar mandi yang berada di belakang rumah, tak membuat seorang pria dewasa sadar dari pingsannya. Bahkan ini sudah lebih dari tiga jam.Seorang wanita paruh baya keluar dari kamar mandi yang hanya ditutupi pintu yang terbuat dari seng. Wajahnya sudah lebih segar dan tenang. Ia memakai kaus kebesaran berwarna hitam, di pinggangnya terlilit kain batik yang sudah memudar warnanya. Ia berjalan melewati Iqbal yang sedang menunggui Anton yang masih belum sadar, sehabis pingsan tadi. Kepalanya yang dengan keras di keplak oleh mertuanya, membuat ia roboh seketika."Baru pake tangan dikeplak udah pingsan tiga jam, gimana kalau saya keplak pake arit saya? Mana baru diasah pula. Saya jamin, saudara kamu ini langsung almarhum," ucap sinis Bu Parti yang melirik ke arah Anton dan Iqbal. Lelaki yang sedari tadi menunggui Anton, hanya bisa menel
Parmi di kamarnya sedang memijat pelan kakinya. "Kaki Parmi apa kaki gajah ya? Gede banget," gumamnya sambil memperhatikan kedua kakinya yang kian membengkak. Matanya turun ke perut besarnya. Sudah hampir enam bulan usia kandungannya, alhamdulillah sehat.Parmi tersenyum hangat sambil mengusap perutnya sayang. Ia turun dari ranjang. Berjalan ke arah lemari, membuka salah satu laci lemari disana. Ia mengeluarkan selembar kertas hasil USG pertama kali yang ia lakukan. Hasil yang tadianya ingin ia perlihatkan kepada suaminya bersamaan dengan garis dua tes pack. Parmi memandang kertas USG dalam diam."Kita pasti bisa tanpa ayah ya," bisiknya pelan sambil mengusap air matanya. Sampai saat ini ia tidak tahu. Bagaimana nanti setelah ia melahirkan. Siapa yang akan mengurusnya?bagaimana nanti saat ia harus bekerja untuk memberi makan anaknya."Teh...," suara Ali dari balik pintu kamar Parmi. Dengan cepat Parmi mengusap air matanya."Iya, Den." Parmi membukak
Ga pake target vote, asal ada yang baca saja sudah alhamdulillahš š š Selamat membaca.Sudah sebulan berlalu, sejak terakhir kali Anton melihat Parmi malam itu. Lelaki itu masih setia menyusuri jalan sekitaran restoran cepat saji. Mulai dari jam sepuluh pagi, hingga menjelang ashar. Ia masih berkendara dengan motor maticnya. Matanya jeli memperhatikan setiap sudut gang atau jalan besar, berharap ia menemukan Parmi disana. Namun, tidak ada pertanda apapun.Anton berhenti sejenak di rumah makan padang, perutnya yang sudah sangat keroncongan, benar-benar minta diisi. Wajahnya masih terlihat pucat, meskipun sudah lebih segar dari kemarin. Ia memesan nasi dengan lauk ikan mujaer serta kuah gulai. Ia juga memesan air teh tawar hangat untuk menghilangkan dahaganya.Bepp..beeep..Ponselnya berdering. Ada panggilan masuk dari nomor tidak dikenal. Keningnya berkerut, khawatir Susi yang kembali menghubunginya. Walaupun ia sudah tiga kali memblokir nomo
Lelaki yang memperkenalkan diri sebagai Ali Hakim Ramadhan, kini berjalan santai meninggalkan ruang kelasnya. Mumpung masih ada waktu istirahat selama setengah jam, ia berniat menyusul beberapa temannya untuk sarapan di kantin. Sedangkan pria dewasa yang masih terduduk di kelas, mencoba menetralkan rasa mualnya dengan minum air jahe yang ia bawa dari rumah.Ia memperhatikan kotak bekal makanan yang diberikan oleh mahasiswanya yang bernama Ali. Garis bibirnya tertarik ke atas. Dalam hati mengucap syukur pada Allah untuk awal hari yang sangat baik."Saya permisi, sampai jumpa besok," pamitnya pada beberapa mahasiswa yang masih berada di dalam kelas. Sambil menggendong tas punggungnya dan membawa kotak bekal tadi. Anton berjalan keluar kelas menuju ruang dosen, yang letaknya cukup jauh dari kelas tempat ia mengajar jam pertama tadi.Sesampainya di ruang dosen, tampak ada enam orang dosen sedang sibuk dengan aktifitas masing-masing. Ada yang fokus di lap
Selamat membaca.Anton mencoba dengan keras mengingat dimana ia pernah melihat mobil yang sangat mirip dengan mobil mahasiswanya itu. Sepanjang perjalanan, Anton kurang fokus sehingga hampir saja menyerempet seorang wanita.Ckkiiit!"Astaghfirulloh!" Pekik Anton tertahan, ia kaget melihat seorang wanita tengah hamil berdiri sangat dekat dengan motornya saat ini. Bahkan wanita itu seketika berwajah pucat, kedua lengannya ia letakkan di atas perutnya."Ya Allah, maaf, Bu." Anton mematikan mesin motornya, ia turun sambil menghampiri wanita tersebut. Jalanan tidak terlalu ramai, sehingga tidak ada yang menyadari kejadian saat Anton hampir saja menabrak wanita hamil."Ibu, mari saya antar ke rumah sakit." Anton gemetaran memapah wanita yang tengah hamil besar itu. Bahkan Anton semakin ngeri, tatkala melihat wanita tersebut mengaduh sakit.Langkah wanita itu pasrah, saat Anton memapahnya naik ke atas motornya. Beberapa orang la
Seperti dejavu, pertanyaan dosennya tadi sontak membuat Ali terdiam."Apa kamu mengenal wanita bernama Parmi?"Refleks kepala Ali menggeleng lemah. Namun, matanya masih menelisik wajah Anton tanpa berkedip. Apa ini suami teh Parmi?tanyanya dalam hati. Seketika tubuhnya lemas, aduh. Saingan berat kalau gini. Mana nih dosen cakep lagi."Ali.""Ah...iii..iya, Pak. Saya tidak kenal," sahut Ali sekali lagi, kali ini ekspresi wajahnya ia bikin seserius mungkin."Semalam saya melihat kamu di sebuah rumah sakit yang tidak jauh dari sini, bersama seorang wanita yang sepertinya saya kenal," cecar Anton, yang masih belum percaya jika Ali tidak mengenal Parmi."Oh...iya, Pak. Itu Teteh saya. Namanya Paramita, sedang hamil. Suaminya sedang kerja di luar negeri dan saya kebagian tugas mengantarnya memeriksa kandungan," terang Ali dengan penuh keyakinan, sehingga membuat Anton kembali lemas tak bertenaga.Mungkin benar, ia memang s
Anton terus saja memencet bel rumah Ali. Namun, tak kunjung ada yang membukakan pintu pagar tinggi itu. Anton mencoba mengintip ke dalam, namun tidak bisa. Karena benar-benar tidak ada celah kosong, untuk Anton melihat ke dalam rumah Ali. Semenjak kasus rumahnya hampir saja kemalingan, dokter Alan mengganti pagar rumahnya dengan yang lebih kokoh dan tinggi. Sehingga orang luar benar-benar tidak bisa melihat keadaan di balik pagar tersebut.Sudah lima belas menit Anton berdiri disana, namun tak ada tanda bahwa rumah itu berpenghuni. Anton tidak tahu saja, di balik pagar tinggi itu, ada Ali yang memang sengaja tidak membukakan pagar untuknya. Ali malah asik duduk di lapangan basket rumahnya sambil memainkan gawai. Parmi mengintip dari jendela dapur, aneh. Kok ada tamu tidak dibukakan pintu, tadi katanya tuan mudanya itu yang akan melihat siapa tamunya. Parmi bermonolog, sambil merasakan tendangan dari dalam perutnya, seakan yang di dalam perut sedang bersorak sorai."Adu
Empat bulan berlalu semenjak kejadian tragis itu. Berdasarkan pasal 340 KUHP, barang siapa yang sengaja dengan rencana terlebih dahulu, yang bisa mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, maka pertanggung jawabannya adalah hukuman mati atau penjara seumur hidup, atau paling lama dua puluh tahun. Hakim memutuskan, Safira akhirnya dihukum dua puluh tahun penjara, sedangkan bik Isah dihukum selama lima belas tahun.Parmi yang masih merasa sangat khawatir, memilih mengajak ibu dan tetehnya untuk tinggal bersama. Suatu keharuan tersendiri bagi Parmi. Saat suaminya memberikan kunci rumah baru untuk Parmi. Rumah yang sudah ia beli dengan kerja kerasnya. Kini ia berikan atas nama Parmi, istrinya.Anton juga mendatangkan seorang lagi saudara Parmi yang bisa membantu untuk menjaga si kembar."Apa?teteh pacaran dengan mas Iqbal!" pekik Parmi tidak percaya, saat Parni membisikkan sesuatu di telinga Parmi."Huuusstt....jangan denger Anton, teteh malu." Parni menu
Parmi menangis sejadi-jadinya di depan ruang NICU, ketiga bayi kembarnya tidak sadarkan diri, setelah keracunan obat yang mengandung obat tidur. Bahkan Parmi pingsan hingga dua kali. Betapa hancur hatinya melihat di tubuh ketiga puterinya, dipasang alat. Untuk membantu mereka tetap bernafas dan membantu mereka mengeluarkan racun dari dalam tubuh.Bu Rasti yang baru saja tiba, ikut menangis hingga terduduk di lantai tepat di depan ruang NICU. Ia sangat kaget, saat ditelepon oleh bibik, kalau si Kembar mengeluarkan busa dari dalam mulutnya. Bu Rasti yang saat itu sedang ada rapat dengan Kementrian Agama, meninggalkan ruang rapat begitu saja. Kakinya serasa tidak menapak, pikiran buruk berkecamuk di kepalanya. Ia tidak sanggup jika harus kehilangan cucu kembar tiganya."Mamah, anak saya, Mah," lirih Parmi dengan lemah menghampiri ibu mertuanya. Mereka berpelukan erat."Kenapa bisa seperti ini, Mi?""Ada yang sengaja memasukkan obat tidur ke dalam badan
Hari ini, Parmi dan Bu Rasti membawa Angkasa, juga si kembar pergi bermain ke Taman Margasatwa Ragunan. Bik Isah dan bibik tentu saja diajak. Sedangkan Anton tidak bisa meninggalkan kelas, karena sedang mengawas mahasiswa yang sedang ujian.Angkasa nampak antusias, melihat aneka hewan disana. Bahkan seolah tiada lelah, ia berlarian kesana-kemari agar cepat sampai dari satu kandang ke kandang lainnya. Angkasa sangat senang, saat berada di depan kandang gajah. Ada empat ekor gajah besar disana. Dan satu ekor gajah berukuran lebih kecil. Angkasa mengambil foto hewan-hewan tersebut dengan ponselnya. Ia juga memotret Parmi, nenek dan ketiga adiknya.Foto-foto keseruan disana, Angkasa kirimkan kepada mommy dan juga papanya. Eh iya, kepada daddy Xander, ayah sambungnya juga ia kirimkan fotonya."Bibik, kenapa?" tanya Angkasa saat tanpa sengaja melihat bik Isah memegang hidung Andrea.Bik Isah yang memang kebagian menggendong Andrea, karena Andrea tidak mau
Hujan rintik-rintik membasahi tanah pedesaan. Air mulai menggenang di selokan tanah yang berlubang. Harumnya begitu memesona, karena bercampur aroma daun segar yang ikut tersapu air hujan. Parni masih fokus dengan kegiatan merajutnya. Sesekali ia tersenyum malu-malu, sambil melirik ponselnya. Sepertinya ia sedang menunggu pesan dari seseorang.Ting! ting!Parni kaget, bahkan benang rajutnya yang bewarna merah itu, terlempar ke lantai rumah. Bunyi pesan masuk berbunyi, wajah Parni tampak gembira. Dengan cekatan, ia membuka pesan yang masuk.["De Parni sedang apa?ganggu ga kalau saya telpon."]Parni mesem-mesem, wajahnya pun merona bahagia. Apakah ia jatuh cinta?Ragu Parni mengetik balasan pesan dari seseorang itu. Ponsel masih ia genggam dengan tangan sedikit berkeringat. Jujur setelah luka lama yang menganga bertahun-tahun lalu, baru kali ini ia coba membuka hati."Udah sana masuk kamar, kalau mau teleponan!" Bu Parti tersenyum menggoda Parni
Parmi dan Anton sudah berada di bandara. Menunggu kedatangan penerbangan dari Belanda. Anton dan Parmi sudah tidak sabar melihat Angkasa. Sedari turun dari mobil, Parmi dan Anton selalu bergandengan tangan. Persis pasangan yang sedang dimabuk asmara. Anton juga tidak jengah sesekali mencium kepala Parmi."Jangan dicium terus rambutnya, Mas!" rengek Parmi, merasa cukup jengah dengan tingkah alay suaminya."Kenapa sih, Sayang? Wangi kok rambutnya," sahut Anton, sambil memegang rambut panjang Parmi."Ntar kutunya nempel di bibir, baru tahu rasa!" Anton menelan salivanya, cepat ia meraba bibirnya. Merasa kurang puas, ia mengambil ponselnya lalu membuka menu kamera depan. Ia bercermin dari layar ponselnya, memeriksa kembali bibirnya. Apakah ada kutu rambut yang menempel di sana? Tapi sepertinya tidak, bibirnya masih terlihat segar dan sedikit bengkak, efek digigit oleh Parmi.Anton bergidik ngeri bila nengingat semalam, betapa ganas istrinya. Kopi yang i
Parmi keluar dari kamar, sayup-sayup ia mendengar suara ibu mertuanya seperti sedang berbicara di teras. Ia berjalan menghampiri dan melihat ada siapa disana."Eh, Parmi sini, Nak." Bu Rasti menepuk kursi kosong di sampingnya, bermaksud agar Parmi ikut duduk. Parmi menurut, duduk di samping ibu mertuanya.Wanita paruh baya yang sedang duduk di lantai. Memerhatikan gerak gerik Parmi dengan seksama, sambil menyunggingkan senyum tipis."Ini, Mi. Kenalkan ibu Isah namanya, dia sedang mencari pekerjaan. Jadi mama menawarkan untuk menjaga si kembar. Bagaimana kamu mau?" bu Rasti memperkenalkan ibu yang sedang duduk di lantai pada Parmi."Emang Ibu rumahnya di mana?" tanya Parmi dengan ramah."Keluar komplek ini gang sebelah kanan, Non.""Oh deket ya, jadi ilIbu nginep apa pulang pergi kerjanya?""Saya datang pagi, lalu pulang malam. Sehabis magrib.""Bagaimana Parmi, boleh ibu ini membantu?kasian dia sedang butuh pekerjaan." Bu
Bu Rasti sedang menggendong Aleta sore ini, sedangkan Andrea dan Andini sudah tertidur pulas setelah mandi sore. Aktifitas yang tidak pernah mau ia lewatkan setiap harinya, adalah menemani cucu kembar tiganya bermain. Bu Rasti akan sangat senang jika bisa menggendong ketiganya bergantian.Cukup kerepotan memang, apalagi semenjak Parni kembali ke desa, otomatis hanya bibik yang bisa membantu Parmi sebisanya. Bu Rasti sudah coba menghubungi biro tenaga kerja ART untuk mendapatkan pengganti Parni, namun hingga sekarang belum ada yang cocok.Rata-rata dari biro jasa ART itu berusia muda, sedangkan Anton tidak menginginkan ART muda yang mengasuh bayinya, Anton menginginkan ART yang seusia bibik, agar lebih awas dan hati-hati dalam mengurus bayi."Mamah, kok melamun?" Parmi datang ke teras sambil membawa air jahe hangat untuk ibu mertuanya."Mamah pusing, Mi. Belum ketemu orang untuk bantuin jaga si Kembar."Parmi meletakkan bokongnya duduk di sebe
Rumah keluarga Anton gempar shubuh ini, dikarenakan temuan kotak kado yang berisi bangkai tiga ekor tikus. Entah siapa pengirimnya, yang jelas membuat Parmi dan seisi rumah ketakutan.Parmi bahkan terus-terusan gelisah saat menyusui si kembar. Anton melihat raut ketakutan dari wajah istrinya. Ia mendekati Parmi yang saat ini tengah duduk di ranjang menyusui Aleta."Bu, jangan takut! Mungkin itu kerjaan orang iseng saja." Anton mengusap lembut lengan Parmi."Mana ada orang iseng, ngumpulin tiga bangkai tikus dan dimasukkan ke dalam kotak, dibungkus kertas kado pula? Ini pasti sengaja, Mas. Saya takut!""Ya Allah, siapa sih yang tega bener begini sama kita ya, Mas. Apa salah kita, Mas?" Parmi menghapus air mata yang turun di pipinya, ia benar-benar ketakutan.Eeekkk...hheekkk...Bayi Aleta merengek, ia pun ikut gelisah seperti ibunya. Tidak lama, Andrea dan Andini pun ikut menangis kejer. Anton dengan sigap menggendong keduanya. Me
Acara syukuran aqiqah Andrea, Aleta dan Andini berlangsung khidmat. Ada lima puluh peserta pengajian ibu-ibu yang hadir. Termasuk tetangga, teman KUA bu Rasti, karyawan pak Andi, para sanak famili dari keluarga Anton, termasuk Iqbal juga ada disana, bersama dengan kedua orangtuanya. Ada juga beberapa mahasiswa yang datang. Bahkan dokter Alan berserta istri dan anak-anaknya juga hadir disana, membawakan aneka buah tangan.Ali terperangah begitu juga dengan orangtuanya, saat melihat Parmi yang berubah jadi cantik. Bahkan saat bersalaman, mereka hampir tidak mengenali Parmi.Ibu Parmi, Bu Parti sampai tepat semalam, ia sangat senang bisa melihat Parmi, Parni dan ketiga cucu kembarnya yang sangat cantik. Air matanya tidak berhenti mengalir saat menyaksikan prosesi gunting rambut cucunya. Begitu hikmat dan syahdu, diiringi sholawat dan ada hiburan marawis dari ibu-ibu lingkungan setempat.Aneka hidangan tersedia sudah di meja prasmanan, balon-balon cantik dan aneka h