Ga pake target vote, asal ada yang baca saja sudah alhamdulillah😅😅😅
Selamat membaca.
Sudah sebulan berlalu, sejak terakhir kali Anton melihat Parmi malam itu. Lelaki itu masih setia menyusuri jalan sekitaran restoran cepat saji. Mulai dari jam sepuluh pagi, hingga menjelang ashar. Ia masih berkendara dengan motor maticnya. Matanya jeli memperhatikan setiap sudut gang atau jalan besar, berharap ia menemukan Parmi disana. Namun, tidak ada pertanda apapun.
Anton berhenti sejenak di rumah makan padang, perutnya yang sudah sangat keroncongan, benar-benar minta diisi. Wajahnya masih terlihat pucat, meskipun sudah lebih segar dari kemarin. Ia memesan nasi dengan lauk ikan mujaer serta kuah gulai. Ia juga memesan air teh tawar hangat untuk menghilangkan dahaganya.
Bepp..beeep..
Ponselnya berdering. Ada panggilan masuk dari nomor tidak dikenal. Keningnya berkerut, khawatir Susi yang kembali menghubunginya. Walaupun ia sudah tiga kali memblokir nomo
Lelaki yang memperkenalkan diri sebagai Ali Hakim Ramadhan, kini berjalan santai meninggalkan ruang kelasnya. Mumpung masih ada waktu istirahat selama setengah jam, ia berniat menyusul beberapa temannya untuk sarapan di kantin. Sedangkan pria dewasa yang masih terduduk di kelas, mencoba menetralkan rasa mualnya dengan minum air jahe yang ia bawa dari rumah.Ia memperhatikan kotak bekal makanan yang diberikan oleh mahasiswanya yang bernama Ali. Garis bibirnya tertarik ke atas. Dalam hati mengucap syukur pada Allah untuk awal hari yang sangat baik."Saya permisi, sampai jumpa besok," pamitnya pada beberapa mahasiswa yang masih berada di dalam kelas. Sambil menggendong tas punggungnya dan membawa kotak bekal tadi. Anton berjalan keluar kelas menuju ruang dosen, yang letaknya cukup jauh dari kelas tempat ia mengajar jam pertama tadi.Sesampainya di ruang dosen, tampak ada enam orang dosen sedang sibuk dengan aktifitas masing-masing. Ada yang fokus di lap
Selamat membaca.Anton mencoba dengan keras mengingat dimana ia pernah melihat mobil yang sangat mirip dengan mobil mahasiswanya itu. Sepanjang perjalanan, Anton kurang fokus sehingga hampir saja menyerempet seorang wanita.Ckkiiit!"Astaghfirulloh!" Pekik Anton tertahan, ia kaget melihat seorang wanita tengah hamil berdiri sangat dekat dengan motornya saat ini. Bahkan wanita itu seketika berwajah pucat, kedua lengannya ia letakkan di atas perutnya."Ya Allah, maaf, Bu." Anton mematikan mesin motornya, ia turun sambil menghampiri wanita tersebut. Jalanan tidak terlalu ramai, sehingga tidak ada yang menyadari kejadian saat Anton hampir saja menabrak wanita hamil."Ibu, mari saya antar ke rumah sakit." Anton gemetaran memapah wanita yang tengah hamil besar itu. Bahkan Anton semakin ngeri, tatkala melihat wanita tersebut mengaduh sakit.Langkah wanita itu pasrah, saat Anton memapahnya naik ke atas motornya. Beberapa orang la
Seperti dejavu, pertanyaan dosennya tadi sontak membuat Ali terdiam."Apa kamu mengenal wanita bernama Parmi?"Refleks kepala Ali menggeleng lemah. Namun, matanya masih menelisik wajah Anton tanpa berkedip. Apa ini suami teh Parmi?tanyanya dalam hati. Seketika tubuhnya lemas, aduh. Saingan berat kalau gini. Mana nih dosen cakep lagi."Ali.""Ah...iii..iya, Pak. Saya tidak kenal," sahut Ali sekali lagi, kali ini ekspresi wajahnya ia bikin seserius mungkin."Semalam saya melihat kamu di sebuah rumah sakit yang tidak jauh dari sini, bersama seorang wanita yang sepertinya saya kenal," cecar Anton, yang masih belum percaya jika Ali tidak mengenal Parmi."Oh...iya, Pak. Itu Teteh saya. Namanya Paramita, sedang hamil. Suaminya sedang kerja di luar negeri dan saya kebagian tugas mengantarnya memeriksa kandungan," terang Ali dengan penuh keyakinan, sehingga membuat Anton kembali lemas tak bertenaga.Mungkin benar, ia memang s
Anton terus saja memencet bel rumah Ali. Namun, tak kunjung ada yang membukakan pintu pagar tinggi itu. Anton mencoba mengintip ke dalam, namun tidak bisa. Karena benar-benar tidak ada celah kosong, untuk Anton melihat ke dalam rumah Ali. Semenjak kasus rumahnya hampir saja kemalingan, dokter Alan mengganti pagar rumahnya dengan yang lebih kokoh dan tinggi. Sehingga orang luar benar-benar tidak bisa melihat keadaan di balik pagar tersebut.Sudah lima belas menit Anton berdiri disana, namun tak ada tanda bahwa rumah itu berpenghuni. Anton tidak tahu saja, di balik pagar tinggi itu, ada Ali yang memang sengaja tidak membukakan pagar untuknya. Ali malah asik duduk di lapangan basket rumahnya sambil memainkan gawai. Parmi mengintip dari jendela dapur, aneh. Kok ada tamu tidak dibukakan pintu, tadi katanya tuan mudanya itu yang akan melihat siapa tamunya. Parmi bermonolog, sambil merasakan tendangan dari dalam perutnya, seakan yang di dalam perut sedang bersorak sorai."Adu
Terimakasih untuk antusiasnya terhadap kisah ini. Tidak ada kata yang sanggup mengungkapkan rasa kebahagiaan saya karena sangat banyak yang menyukai kisah Parmi. Semoga tidak bosan ya. Terimakasih untuk 200an lebih komentarnya 🙏🙏kalian memang ter the best🥰😘Selamat membaca."Hai anak-anak. Ada papa bersama kita," lirih Parmi sangat pelan berbicara pada perut besarnya. Namun masih jelas ditangkap oleh indera pendengaran Anton. Lelaki itu hanya bisa menggenggam tangan istrinya, tanpa bisa berkata. Air matanya sudah mengalir deras, bahkan telinganya ikut berair, eh ... salah, maksudnya hidung Anton juga berair.Brangkar Parmi ditarik masuk ke dalam ruang operasi oleh seorang perawat. Tak banyak yang bisa Anton katakan, karena ia memang tak sanggup berkata apa-apa lagi. Begitu pun juga Parmi."Aku menunggumu Parmi, lahirkan anak-anak kita dengan selamat," seru Anton pada istrinya, sebelum pintu ruang operasi itu benar-benar tertutup. Ant
Dewasa21+Ada kodok berkacamataAyyoookkk...ahhh...bacaaa.****"Sebelahnya sekarang ya, Bu?" Anton masih dengan gemetar memindahkan telapak tangannya di atas dada Parmi."Tutup lagi matanya!" Titah Parmi ketus."Eehmmm ... eehhmmm ..." Parmi berdeham kembali. Saat tangan Anton mulai memijat kembali. Nafsu sialan, bisa-bisanya dia naik saat darurat begini. Umpat Parmi pada tubuhnya sendiri."Bu, boleh ya. Sedikit aja," rengek Anton sambil meremas gemas dada istrinya.Bugh!"Aaaau!" pekik Anton tatkala Parmi meninju perutnya, menggunakan tangan yang tidak diinfus."Sakit, Bu," lirih Anton sambil memegang perutnya yang benar-benar sakit. Parmi bukannya merasa bersalah, ia malah melirik tajam Anton hingga tanpa sadar payudara yang sebelah lagi mengeluarkan air."MasyaAllah muncrat!" Anton kebingungan sendiri melihat pancuran air susu yang begitu deras. Sedangkan yang satunya lagi, j
****Parmi meneteskan air mata, saat dokter mengatakan bahwa ia sudah boleh pulang, namun belum bisa membawa ketiga bayinya. Ketiga bayi kembarnya masih memerlukan perawatan intensif terlebih dahulu, maksimal selama dua minggu. Setelah si kembar berat badannya cukup dan sudah lebih sehat, maka boleh dibawa pulang. Parmi hanya bisa memandangi Andrea, Aleta dan Andini dari balik box inkubator. Berkali-kali Parmi mencium ketiga box tersebut, seakan dia enggan berpisah. "Hiks." Parmi tersedu sambil mengusap air mata yang jatuh dengan punggung tangannya. "Sudah,Bu. Jangan sedih terus! Kita bisa kok setiap hari menjenguk mereka." Anton menenangkan istrinya dengan mengusap pundak Parmi. Namun, lagi-lagi Parmi menghindar. Anton menghela nafas panjang. "Sudah yuk, kita pulang," ajak Anton kepada Parmi. Tangan Anton menarik lembut lengan istrinya, agar keluar dari ruang NICU. Parmi mengikuti langkah suaminya dengan lemah.
Suka gak, Bu?""Yang pulang ini Parmi lho, Mas. Bukan tuan putri cantik! Kenapa romantis sekali?" tanya Parmi sendu sekaligus merasa aneh. Kakinya melangkah masuk ke dalam kamarnya. Kamar yang sama penuh dengan air mata. Sofa dan bantal serta selimut itu pun masih berada di tempatnya.Parmi melangkahkan kakinya menuju sofa tempat biasa ia beristirahat dulu."Kok di sana, Bu? Di sini saja kalau mau istirahat." Anton menunjuk ranjang yang masih bertabur kelopak mawar."Lha, kan saya juga biasanya di sofa." Parmi menautkan alisnya, tidak paham dengan perkataan suaminya."Mulai hari ini dan sampai selamanya, Ibu dan saya tidurnya di sini," bisik Anton lembut, sambil menuntun Parmi untuk duduk di atas ranjang."Saya tidak mau! Biar saya tidur di tempat biasa!""Jangan, Bu. Nanti badan Ibu sakit.""Kenapa sekarang baru peduli?kemarin-kemarin ke mana saja? Saya dibiarkan tidur kedinginan di sana, bahkan dalam keadaan