Rembulan mengantar tiga buah senjata ke markas rahasia di dalam hutan. Markas kumpulan Suku Aneuk Jamee yang dipimpin oleh Angkasa, pemuda berdarah Minang Aceh. “Kau datang tepat waktu, Bulan. Kami berhasil membajak tiga buah truk yang dulu milik Belanda. Kita mengungsi secepatnya. Kabar dari radio mengatakan Jepang akan membawa ratusan kaigunnya kemari. Cepatlah bantu kami mengangkut anak-anak dan wanita ke tempat yang aman,” ujar Angkasa sembari mengisi peluru di senapannya. “Mak syikku, bagaimana?” “Aku yang akan ke sana, wilayah paling pesisir paling pertama didatangi dengan kapal-kapal Jepang.” “Aku ikut!” “Jangan!” “Di sini lebih membutuhkanmu, percayakan padaku.” Angkasa dan dua orang temannya berlari sekuat tenaga demi menyelematkan penduduk di wilayah pesisir termasuk juga Kenanga yang sekarang tengah tertidur pulas. ***“Cut Adek, bangunlah.” Alif membelai rambut Kenanga yang tidak dilapisi kerudung. Wanita itu merasa aneh, untuk pertama kalinya ia bisa mendengar sua
Cut Annisa Rembulan. Begitulah nama putri sulung dari Lindung dan lelaki bernama Sulaiman yang merupakan orang Arab asli. Rembulan merupakan cucu perempuan Kenanga yang wajahnya paling mirip dengan mendiang Alif. Bulan—begitu kerap ia dipanggil, anak pertama yang memiliki watak keras dan sifat seorang pejuang sejati. Semua hal itu disadari oleh kedua orang tua serta neneknya. Bulan mengenyam pendidikan madrasah dari paling dasar bersama para alim ulama hingga ia menjadi muslimah yang baik. Bulan tumbuh besar pada masa penjajahan Belanda dan masa peralihan ke penjajah Jepang. “Bulan, Nak, kau mau ke mana?” tanya Lindung pada anaknya. Ia melihat Bulan mengeluarkan sepeda ontel milik ayahnya dan membawa sebuah tas yang berisikan buku serta mungkin beberapa buah batu. “Ke surau belajar ngaji, Mak,” jawab Bulan yang sudah berumur 14 tahun. “Bukahkah hari ini harusnya libur, Nak. Jangan pergi, di luar sana bahaya. Tentara Belanda bisa mengejarmu, kau tahu kan, desa kita semakin menceka
Rembulan memelankan laju sepedanya. Ia agak tenang ketika tidak diikuti oleh Anderson lagi. Namun, sebenarnya sedikit waswas karena bisa saja justru Jepang yang mengejarnya. “Sampai kapan kira-kira mereka menjajah tanahku. Apa mereka tidak puas dengan tanah di kampung halaman mereka.” Rembulan menggerutu sambil tetap memegang stang sepeda. Kini ia memasuki jalan menurun. Gadis itu melihat pintu depan rumahnya terbuka begitu saja. Aneh, biasanya ketika hari gelap, emaknya akan menutup rapat pintu apalagi ketika hari turun hujan. Bulan pun meletakkan sepedanya asal-asalan saja. “Assalammualaikum, Mak, Abu, Bulan pulang,” ucap gadis bermata abu-abu itu sambil mendorong pintu. Hening sekali tidak ada jawaban apa pun. Mata gadis itu membesar ketika melihat ada bercak darah di lantai dan dinding rumahnya. “Emak, Abu.” Remban berlari ke kamar. Pintu kamarnya roboh dan ia temukan ibunya terbaring di kasur dengan mata terbuka serta di leher ada bekas tebasan. “Emaaak!” Gadis itu mendeka
Rembulan menerjang rombongan orang-orang setelah ia bersusah payah mencari tahu di mana keluarganya dimakamkan. Ia mengayuh sepeda walau bahunya sakit. Sedangkan Anderson mengikutinya sambil berlari, tentu saja tubuh lelaki berambut pirang itu basah keringat. “Bulan, kau seharusnya beristirahat.” Paman Ahmad memegang tangan keponakannya. “Bulan ingin mengujungi mereka untuk yang terakhir kali, Paman,” ucapnya perlahan setelah kelelahan. “Baik, Paman akan menunggumu. Setelah itu kau ikut Paman tinggal di rumah, kau tidak aman tinggal sendirian.” “Baik, Paman.” “Dan mungkin kau akan Paman nikahkan, walau bukan bersama Angkasa.” Ahmad mengambil keputusan sendirian. Bulan hanya diam saja sebab belum ada memikirkan apa pun sama sekali. Di depan lima makam yang baru dibuat dan ternyata masih di halaman rumahnya sendiri, Bulan terduduk sesaat. Ia menangis, tapi tak lupa juga doa-doa dikirimkan. Gadis itu menatap batu nisan dengan bola mata abu-abunya dan berjanji suatu hari nanti akan
Selepas tinggal di wilayah pesisir, Bulan membantu keseharian Kenanga. Apa saja, termasuk menyembuhkan penyakit orang. Mak syiknya itu tak pernah memasang tarif atau menerima bayaran seikhlasnya saja, meski hidup mereka bukanlah orang berada. Terkadang hasil panen warga diantar ke rumah wanita bisu dan tuli itu. Kenanga tahu Bulan merasa suntuk. Wanita berusia hampir kepala enam itu meminta cucunya untuk menikah saja supaya ada yang bisa menjaganya. Namun, Bulan enggan, hatinya masih tertinggal pada Angkasa. Ia tak meminta lelaki itu pula untuk menyusul, alhasil harapan semu saja yang gadis bermata abu-abu tersebut miliki. Lalu waktupun berjalan selama beberapa bulan lamanya, tepatnya pada purnama ketiga. Pada suatu sore ketika Bulan baru saja menangkap ikan di pantai, seorang lelaki menegurnya. “Nona,” panggil Anderson yang nekat menyusulnya ke sana. “Kau mengagetkanku.” Bulan memotong ikan dan memberi makan elang-elang di langit dengan suara siulan. “Boleh aku duduk di sebelahm
Ternyata, orang yang berada di balik baju hitam itu bukanlah Akira melainkan wanita lain yang postur tubuhnya persis. Bulan mendecih, pergerakan Akira memang sulit ditebak. “Anakku, apa yang terjadi dan kau baik-baik saja, bukan?” tanya guru ngaji itu pada Bulan. “Baik, Tuan. Laporkanlah kejadian ini pada pemimpin kita. Bulan tak bisa berlama-lama di sini.” Gadis itu menutup wajah ninja hitam dengan kain hitam miliknya, setelah itu Bulan berjalan kembali ke rumah. Namun, ia berpapasan dengan Anderson yang sedang patroli. “Nona, kenapa kau ke luar rumah, situasi sedang tidak aman,” ucap lelaki berambut pirang tersebut. “Justru aku keluar untuk mengamankan keadaan,” jawab Bulan tanpa memandang wajah penjajah itu. “Nona, kembalilah, aku akan mengantarmu pulang.” “Aku akan pulang tapi tidak usah diantar.” “Dasar keras kep—” Perkataan Anderson terhenti begitu saja. Awalnya Bulan tidak peduli, tetapi ketika ia menoleh ke belakang, ternyata Anderson telah roboh ke tanah. Gadis itu m
Kantor Gubernur Aceh Kota telah dirampas oleh Jepang. Dan kini mereka menduduki dan mengibarkan bendera putih dengan corak merah bulat di bagian tengah. Wajah-wajah putih dan mata sipit itu begitu beringas. Jika dulu Belanda datang dengan agenda kerja rodi, sekarang Jepang kembali dengan romusha. Berkali-kali lipat lebih kejam daripada Belanda. Anak kecil bahkan diminta menggali tanah dengan kedua telapak tangannya. Jika ada yang sakit tak sembuh juga maka akan ditikam sampai mati. Yang perempuan bahkan mengalami kejadian lebih buruk. Para pejuang bukan tidak melawan, mereka kekurangan senjata. Bahkan Jepang datang dengan pesawat tempur yang amat canggih. Seseorang dengan pakaian serba hitam datang dan masuk ke dalam kantor gubernur Jepang. Lelaki berkumis tebal dan menggunakan kacamata itu mengembuskan asap rokok. Akira membuka penutup wajahnya, lalu ia memberikan hormat pada Gubernur Hitoshi. Perempuan jepang itu tangannya telah berlumuran darah. “Bagaimana?” tanya Hitoshi samb
Angkasa memberhentikan truknya di tengah hutan, sesuai dengan rute kabur yang ia dan teman-temannya buat. Lelaki itu menurunkan tutup truk di bagian belakang. Ia membantu satu demi satu warga yang berhasil ditolong, termasuk Rembulan. “Bulan, maafkan abang,” ucapnya ketika gadis itu tak peduli dengannya. Wajah Bulan sembab, matanya bengkak sebab tadi dipaksa meninggalkan Kenanga melawan tentara Jepang. “Sudahlah,” jawab Bulan. Mak syiknya sudah mati, apa mau dikata lagi. Bertambah kebencian gadis itu terhadap Jepang. Akan ia habisi siapa pun yang berani melukainya. “Entah kenapa semakin sulit rasanya aku menggapaimu, Bulan.” Angkasa menarik napas panjang. Seorang teman seperjuangan menepuk bahunya. “Sudahlah, masih banyak gadis lain yang lebih bisa diatur daripada Bulan, macam tak ada orang lain saja. Berapa tahun kau menunggunya? Dia pun tak ada rasa kasihan sedikit saja denganmu. Jangan mengemis, Uda, kita laki-laki ini pemimpin, perempuan yang harus menurut dengan kita,” ucap