Selepas tinggal di wilayah pesisir, Bulan membantu keseharian Kenanga. Apa saja, termasuk menyembuhkan penyakit orang. Mak syiknya itu tak pernah memasang tarif atau menerima bayaran seikhlasnya saja, meski hidup mereka bukanlah orang berada. Terkadang hasil panen warga diantar ke rumah wanita bisu dan tuli itu. Kenanga tahu Bulan merasa suntuk. Wanita berusia hampir kepala enam itu meminta cucunya untuk menikah saja supaya ada yang bisa menjaganya. Namun, Bulan enggan, hatinya masih tertinggal pada Angkasa. Ia tak meminta lelaki itu pula untuk menyusul, alhasil harapan semu saja yang gadis bermata abu-abu tersebut miliki. Lalu waktupun berjalan selama beberapa bulan lamanya, tepatnya pada purnama ketiga. Pada suatu sore ketika Bulan baru saja menangkap ikan di pantai, seorang lelaki menegurnya. “Nona,” panggil Anderson yang nekat menyusulnya ke sana. “Kau mengagetkanku.” Bulan memotong ikan dan memberi makan elang-elang di langit dengan suara siulan. “Boleh aku duduk di sebelahm
Ternyata, orang yang berada di balik baju hitam itu bukanlah Akira melainkan wanita lain yang postur tubuhnya persis. Bulan mendecih, pergerakan Akira memang sulit ditebak. “Anakku, apa yang terjadi dan kau baik-baik saja, bukan?” tanya guru ngaji itu pada Bulan. “Baik, Tuan. Laporkanlah kejadian ini pada pemimpin kita. Bulan tak bisa berlama-lama di sini.” Gadis itu menutup wajah ninja hitam dengan kain hitam miliknya, setelah itu Bulan berjalan kembali ke rumah. Namun, ia berpapasan dengan Anderson yang sedang patroli. “Nona, kenapa kau ke luar rumah, situasi sedang tidak aman,” ucap lelaki berambut pirang tersebut. “Justru aku keluar untuk mengamankan keadaan,” jawab Bulan tanpa memandang wajah penjajah itu. “Nona, kembalilah, aku akan mengantarmu pulang.” “Aku akan pulang tapi tidak usah diantar.” “Dasar keras kep—” Perkataan Anderson terhenti begitu saja. Awalnya Bulan tidak peduli, tetapi ketika ia menoleh ke belakang, ternyata Anderson telah roboh ke tanah. Gadis itu m
Kantor Gubernur Aceh Kota telah dirampas oleh Jepang. Dan kini mereka menduduki dan mengibarkan bendera putih dengan corak merah bulat di bagian tengah. Wajah-wajah putih dan mata sipit itu begitu beringas. Jika dulu Belanda datang dengan agenda kerja rodi, sekarang Jepang kembali dengan romusha. Berkali-kali lipat lebih kejam daripada Belanda. Anak kecil bahkan diminta menggali tanah dengan kedua telapak tangannya. Jika ada yang sakit tak sembuh juga maka akan ditikam sampai mati. Yang perempuan bahkan mengalami kejadian lebih buruk. Para pejuang bukan tidak melawan, mereka kekurangan senjata. Bahkan Jepang datang dengan pesawat tempur yang amat canggih. Seseorang dengan pakaian serba hitam datang dan masuk ke dalam kantor gubernur Jepang. Lelaki berkumis tebal dan menggunakan kacamata itu mengembuskan asap rokok. Akira membuka penutup wajahnya, lalu ia memberikan hormat pada Gubernur Hitoshi. Perempuan jepang itu tangannya telah berlumuran darah. “Bagaimana?” tanya Hitoshi samb
Angkasa memberhentikan truknya di tengah hutan, sesuai dengan rute kabur yang ia dan teman-temannya buat. Lelaki itu menurunkan tutup truk di bagian belakang. Ia membantu satu demi satu warga yang berhasil ditolong, termasuk Rembulan. “Bulan, maafkan abang,” ucapnya ketika gadis itu tak peduli dengannya. Wajah Bulan sembab, matanya bengkak sebab tadi dipaksa meninggalkan Kenanga melawan tentara Jepang. “Sudahlah,” jawab Bulan. Mak syiknya sudah mati, apa mau dikata lagi. Bertambah kebencian gadis itu terhadap Jepang. Akan ia habisi siapa pun yang berani melukainya. “Entah kenapa semakin sulit rasanya aku menggapaimu, Bulan.” Angkasa menarik napas panjang. Seorang teman seperjuangan menepuk bahunya. “Sudahlah, masih banyak gadis lain yang lebih bisa diatur daripada Bulan, macam tak ada orang lain saja. Berapa tahun kau menunggunya? Dia pun tak ada rasa kasihan sedikit saja denganmu. Jangan mengemis, Uda, kita laki-laki ini pemimpin, perempuan yang harus menurut dengan kita,” ucap
Akira berkumpul bersama delapan orang ninja lainnya. Tidak ada perintah lain termasuk menawan gadis yang masih bisa dipakai. “Bunuh semua tanpa ampun, mengerti?” Akira menekan kembali pada kesemua anggota. Delapan yang lain menjawab sambil menundukkan kepala. Mereka telah dididik untuk patuh. Pantang para ninja pulang tanpa membawa hasil. Lebih baik mati bunuh diri daripada membawa rasa malu karena gagal. “Berpencar. Ingat gadis yang paling tangguh adalah milikku. Panggil aku kalau kalian bertemu dia. Menyebar!” Akira memberikan isyarat. Kesembilan ninja itu berlari dalam remang-remang sinar mentari yang mulai turun dan desir angin hutan yang menyejukkan. Saking tenang gerakan para ninja, binatang melata pun tak merasakan perubahan sama sekali. Mereka mengatur napas agar panas tubuh mereka tidak bisa dikenali para pemburu alami.Akira dan kedelapan lainnya telah sampai di sekitar kediaman Angkasa. Para pejuang dan warga menunggu dievakuasi oleh para pejuang lainnya. Akira memuta
Bulan membuka matanya perlahan. Gadis bermata abu-abu itu bangun. Yang pertama kali ia lakukan ialah memandang cermin. Wajahnya terluka, ia bukan bulan yang indah seperti dulu. “Tidak apa-apa, aku masih hidup saja sudah sangat bersyukur.” Gadis itu menyisir rambut lalu memakai kerudung. Sudah satu bulan lebih ia tinggal di pengungsian bersama yang lain termasuk Angkasa. Pemuda berdarah Minang Aceh itu tak lagi mempertanyakan apa masih bersedia Bulan menjadi istrinya. Bulan maklum saja, toh dia tidak pernah mengikat Angkasa dari dulu.Seperti orang tidak kenal, begitulah ketika keduanya berjumpa. Angkasa ingin menyapa Rembulan, tapi isi kepala pemuda berambut ikal itu mulai dipengaruhi teman-temannya. Bulan yang juga sebenarnya memendam perasaan sejak lama pun tak mau berharap apa pun. Luka di wajahnya saja masih perih, tiada obat, hanya daun-daun saja yang ditempelkan itu pun Bulan tak semahir Kenanga. “Andai Mak Syik masih hidup.” Bulan menuangkan air pada daun yang ia tumbuk. K
Rembulan memandang bibir pantai dari hutan tempatnya berlari. Ia berjalan perlahan, takutnya ada tentara Jepang yang mengintai. Gadis itu termasuk nekat, atau mungkin putus asa. Bulan berlarian dengan cepat ingin menggapai air asin yang berdebur di malam hari. Angin laut amat sangat dingin tapi diabaikan olehnya. Namun, satu hal yang gadis bermata abu-abu itu lupakan. Lukanya yang belum mengering terasa perih terkena air asin. “Bahkan aku tak bisa mengungkapkan kerinduan pada alam tempatku dibesarkan.” Basah celana gadis itu ketika air asin menerjangnya. Bulan berjalan kembali dan duduk di bawah pohon kelapa tanpa peduli entah dirinya ditemukan oleh siapa pun. Bulan tertidur oleh buaian angin laut yang dingin dan menusuk tulang. Begitu lelap hingga ia tak merasakan gangguan. Namun, ketika sebuah bedil ditodongkan di pelipisnya, Rembulan terbangun juga. “Mata sipit bedebah, untuk apa kalian menggangguku.” Ada sekitar lima tentara Jepang yang menghadangnya. Tidak, tepatnya empat dan
Lelaki berambut pirang dan bermata biru itu bernama Smith William, pangkatnya kolonel di angkatan laut Inggris Raya di bawah kepemimpinan Ratu Elizabeth II. Lelaki itu mendapatkan sebuah tugas, dikatakan rahasia benar juga, tapi ia dan kesatuannya datang secara terang-terangan di hadapan Jepang. Ketika jembatan kayu terulur dan menghubungkan dua kapal perang, Smith—begitu ia kerap disapa berjalan tanpa rasa takut jatuh sama sekali. Ia memperhatikan tentara mata sipit dan kepala botak licin itu. Seluruh dunia tahu Jepang sedang membangun kekaisaran dengan cara keji. Mereka mengibarkan permusuhan termasuk pada America dan Inggris. “My name is Smith. I’m sorry if my warship disturbing you and your entire army.” Tidak ada tentara Jepang yang mengerti. Kecuali Bulan yang masih mempelajari situasi. “I’d like to meet the ship leader,” ucapnya lagi. Semua masih saling memanadang. Bulan belum mau ikut campur. Intinya Smith ingin bertemu pimpinan kapal. Kemudian seorang tentara Inggris ma
Pergolakan berdarah yang mengatas namakan agresi militer Belanda kedua usai sudah. Yang tersisa hanyalah membangun ulang kembali daerah-daerah yang hancur akibat perlawanan yang sengit. Angkasa dan Bulan juga masih belum tahu akan bagaimana ke depannya. Mereka tak punya tempat tinggal seperti halnya pengungsi yang lain. Meski sebelumnya mereka berdua adalah pejuang, tapi tak semua pejuang juga nasibnya baik. Bahkan banyak yang jatuh miskin pasca perang. Keduanya telah meninggalkan tenda karena Angkasa sudah bisa berjalan tanpa tongkat. Tidak hanya mereka berdua saja tapi yang lain juga. Lalu karena ketiadaan tempat tinggal mereka ditempatkan dahulu di bangunan luas tanpa sekat dan bergabung bersama orang lain sembari menunggu bantuan tiba, mungkin saja ada yang berbaik hati. “Sampai kapan kita akan begini terus, Bang? Aku tidak terlalu nyaman berbaur dengan orang ramai terlalu lama.” Bulan menghela napas panjang. Cobaan hidupnya belum juga berakhir. “Bersabarlah, Sayang. Abang j
Agresi militer Belanda belum benar-benar berakhir. Tapi perlawanannya masih bisa ditekan. Angkasa mendapat perawatan yang baik selama di dalam tenda. Bulan tak selalu bisa menemani, sebab ia harus bantu-bantu yang lain apa saja yang wanita itu bisa. Angkasa mencoba turun dari ranjang besi itu. Ia ingin tahu apakah kakinya masih bisa digunakan berjalan atau tidak. Jika ia benar cacat maka Angkasa akan meminta Bulan menjalani hidup sendirian daripada ia jadi beban saja. Satu kakinya berhasil ia turunkan. Terasa sakit, berat dan kaku sekali untuk melangkah. Selama ini urusan buang air diurus oleh Bulan sepenuhnya. Satu kaki lagi Angkasa turunkan. Agak oleng dan hampir jatuh, tapi lelaki yang kini rambutnya sudah panjang itu memegang pinggiran kasur untuk bertahan. “Bismillah, aku harus kuat, aku laki-laki. Aku seorang pemimpin.” Berpeluh tubuh Angkasa mencoba untuk melangkah. Hampir ia jatuh karena tak bisa menjaga keseimbangan, kemudian … “Abang!” Bulan datang masuk ke dalam tenda.
Agresi militer Belanda jilid kedua memang menimbulkan banyak pertentangan dan perlawanan di tanah air. Tak hanya jalan peperangan saja yang ditempuh tapi jalan diplomasi juga. Berbagai macam kongres perdamaian terus diupayakan agar Belanda angkat kaki dari Indonesia.Nyatanya tidak mudah, negara itu terus saja merongrong kemerdekaan Indonesia. Aceh merupakan salah satu bentuk perlawanan yang paling sengit sejak dulu. Bisa dikatakan daerah paling istimewa merupakan yang paling tidak pernah istirahat tenang sejak didatangi Portugis, sampai Belanda kalah, datang Jepang lalu kalah lagi dan Belanda kembali merampas semuanya. Satu dari sekian banyak pejuang yang ada yaitu Angkasa dan Bulan. Sepasang suami istri yang harus terpisahkan karena keadaan. Bulan menjalani berbagai macam pelarian dari satu tempat ke tempat lain. Tidak, dia bukan pengecut yang tak pandai berjuang. Hanya saja dia tak akan sanggup sendirian melawan tentara Belanda yang membawa perlengkapan sangat banyak. Bulan tak
Natali mendatangi salah satu tentara Inggris yang akan memimpin pasukan bergabung dalam agresi militer Belanda II di Indonesia. Tentara itu tahu siapa yang datang. Lalu ia bangkit dan mempersilakan tuan putri duduk di kursinya dan sesegera mungkin memberi hormat. Siapa yang tidak kenal bagaimana Natali bertangan dingin. “Ada yang bisa aku bantu, Madam?” tanyanya dengan sikap tegak. “Duduklah. Pembicaraan ini tidak resmi, tapi aku memberikan tugas ini tidak main-main untukmu, tentu saja aku akan memberikanmu upah.” Natali mengeluarkan beberapa lembar uang miliknya. Jumlah yang membuat tentara itu membelalakkan mata. “Siap. Sebutkan saja apa tugasnya, Madam.” “Kalau sampai gagal, kau yang akan aku tembak.” Wanita berambut pirang itu mengeluarkan lukisan wajah Bulan yang dibuat oleh Smith.Diam-diam ia mengulik barang pribadi milik suaminya ketika lelaki itu tidak sedang di rumah. Dari mana Natali tahu keberadaan Bulan? Dari suaminya yang sering mengigau dan meracau nama yang sama b
Anak Smith telah lahir. Ia merupakan seorang putri yang amat sangat cantik dan memiliki mata seindah dirinya. Amora, begitu princess itu diberi nama, dan keluarga kerajaan menyambut dengan penuh suka cita. Juga sejak kelahiran Amora, Smith tak lagi memikirkan tentang Bulan. Baginya harapan itu terlalu usang untuk dikejar. Lebih baik hidup dengan apa yang ada di depan mata saja. Natali menjadi pengusaha berlian yang amat kaya raya. Sudah tak terhitung berapa banyak korban yang berjatuhan di tangannya. Ia tak segan-segan menurunkan militer dan membayar menggunakan uang pribadinya. Anaknya pun lebih sering diurus oleh baby sitter. Lain hal dengan Smith yang sejak tidak bekerja lagi di rumah sakit kini menjadi salah satu agen PBB dalam organisasi baru yang dibentuk dan berurusan dengan kehidupan manusia. Perang di Aceh telah mengubah cara pandangnya menjadi lebih dermawan. Smith dan istrinya memiliki perbedaan yang terlalu mencolok. Lelaki bermata biru itu sangat aktif membela hak-hak
Tubuh Bulan yang tidak sadarkan diri diseret paksa oleh seorang tentara Belanda dan memasuki rumah kosong. Wanita itu terkena pukulan di bagian kepala hingga mengakibatkannya jatuh pingsan. Tentara Belanda yang melihatnya jadi tergiur. Bentuk tubuh Bulan yang ramping membuatnya gelap mata meski wajah wanita itu rusak. Dengan tangan tergesa-gesa lelaki itu mulai melucuti selendang dan kain panjang yang melilit di pinggang Bulan. Ia sudah tak sabar menikmati tubuh molek dari seorang pejuang yang pasti rasanya luar biasa. Hanya saja ketika kain Bulan mulai disingkap. Sebuah peluru menembus kaca rumah dan tertancap di kepala tentara Belanda tersebut. Mata hijau itu terbelalak dan ia pun roboh di sebelah tubuh Bulan. Peperangan di luar sana masih terus berlanjut ketika Bulan tak sadarkan diri. Hari sudah gelap ketika wanita itu sadar. Ia terkejut dan langsung berdiri ketika kain di pinggangnya terbuka dan roknya tersingkap, ditambah selendangnya yang tersangkut di jendela. Apalagi a
Indonesia tahun 1947 Bulan sedang mendengar radio milik Angkasa yang dibawa masuk ke dalam rumah. Pada dasarnya, wanita yang baru saja menggenapi usia 19 tahun itu memang rajin belajar dan tekun seperti halnya sang kakek dulu. Melalui radio pula ia mencatat beberapa poin penting untuk disampaikan nanti pada Angkasa. Suaminya sibuk mencari nafkah dengan memanfatkan truk miliknya. Tak banyak uang yang didapatkan tapi cukup untuk hidup berdua saja. Mereka juga belum memiliki anak. Pena yang diberikan oleh Smith beberapa tahun lalu akhirnya habis juga isi tintanya, bersamaan dengan rampungnya informasi yang dicatat oleh Bulan di atas kertas usang. Membelinya sangat susah ditambah harganya mahal, jadi kalau basa-basah sedikit kena air lebih baik dijemur saja. Angkasa pulang di sore hari dengan tubuh berpeluh. Seharusnya pengalaman keduanya sebagai pejuang tangguh mampu menghantarkan Angkasa dan Bulan menjadi salah satu tentara resmi dengan seragam khusus. Namun, hal itu tak mereka amb
Sepasang kekasih yang hidup bersama itu menghadiri perjamuan di mana ratu juga datang. Ada orang tua Smith dan Natali juga. Pembicaraan yang sangat serius. Kalau sudah ratu mengambil keputusan maka tidak akan bisa dibantah lagi oleh siapa pun. Keputusan untuk menikahkan Smith dan Natali diambil sudah. Sang jenderal bintang dua hanya bisa pasrah walau tak rela atas pernikahan kedua putrinya. Rumor sudah pasti tersebar dan sulit untuk dibendung. Tadinya Natali ingin mengatakan tentang kehamilannya, tapi Smith memberikan kode padanya agar jangan gegabah. Ia paham bagaimana raut wajah beberapa orang yang kecewa. Tidak dengan William yang senang sekali ketika putranya akan menikah. Ia menepuk bahu putranya dan memberikan sedikit nasehat. “Jalani saja hidupmu di sini dan jangan pernah memikirkan gadis itu lagi. Dia pasti sudah bahagia dengan orang lain seperti halnya Cempaka yang membohongiku.” Smith mengangguk saja. Benar, bisa jadi Bulan telah menikah dan tak memikirkannya lagi. Tap
Antara malu dan mau yang pada akhirnya mengantarkan Bulan dan Angkasa benar-benar menjadi suami istri di malam dingin di wilayah pesisir. Di kamar peninggalan mendiang Kenanga. Sepasang pejuang itu merasakan hal yang berbeda hingga terlelap dalam tidurnya dan bangun ketika hari hampir pagi. Bulan yang mandi belakangan setelah Angkasa, berdiam diri di rumah ketika suaminya memutuskan pergi ke surau terdekat. Wanita bermata abu-abu itu kini mengemas tas milik Angkasa dan membereskan barang-barang miliknya. Secara tak sengaja buku harian dan pena peninggalan Smith jatuh di lantai. “Apa kabar dia, ya? Katanya ingin kembali menemuiku dan melarang menikah dengan Angkasa. Mana ada, penipu! Tapi terima kasih atas pertolongan dan salepmu. Meski wajahku tak secantik dulu, tapi setidaknya lukanya tak terlalu kasar.” Untung saja Bulan tak mudah dirayu oleh Smith. Apalagi mengikuti saran letnan itu untuk tak menikah dengan Angkasa. Satu-satunya alasan yang membuat Smith belum jadi berangkat ke