Akira berkumpul bersama delapan orang ninja lainnya. Tidak ada perintah lain termasuk menawan gadis yang masih bisa dipakai. “Bunuh semua tanpa ampun, mengerti?” Akira menekan kembali pada kesemua anggota. Delapan yang lain menjawab sambil menundukkan kepala. Mereka telah dididik untuk patuh. Pantang para ninja pulang tanpa membawa hasil. Lebih baik mati bunuh diri daripada membawa rasa malu karena gagal. “Berpencar. Ingat gadis yang paling tangguh adalah milikku. Panggil aku kalau kalian bertemu dia. Menyebar!” Akira memberikan isyarat. Kesembilan ninja itu berlari dalam remang-remang sinar mentari yang mulai turun dan desir angin hutan yang menyejukkan. Saking tenang gerakan para ninja, binatang melata pun tak merasakan perubahan sama sekali. Mereka mengatur napas agar panas tubuh mereka tidak bisa dikenali para pemburu alami.Akira dan kedelapan lainnya telah sampai di sekitar kediaman Angkasa. Para pejuang dan warga menunggu dievakuasi oleh para pejuang lainnya. Akira memuta
Bulan membuka matanya perlahan. Gadis bermata abu-abu itu bangun. Yang pertama kali ia lakukan ialah memandang cermin. Wajahnya terluka, ia bukan bulan yang indah seperti dulu. “Tidak apa-apa, aku masih hidup saja sudah sangat bersyukur.” Gadis itu menyisir rambut lalu memakai kerudung. Sudah satu bulan lebih ia tinggal di pengungsian bersama yang lain termasuk Angkasa. Pemuda berdarah Minang Aceh itu tak lagi mempertanyakan apa masih bersedia Bulan menjadi istrinya. Bulan maklum saja, toh dia tidak pernah mengikat Angkasa dari dulu.Seperti orang tidak kenal, begitulah ketika keduanya berjumpa. Angkasa ingin menyapa Rembulan, tapi isi kepala pemuda berambut ikal itu mulai dipengaruhi teman-temannya. Bulan yang juga sebenarnya memendam perasaan sejak lama pun tak mau berharap apa pun. Luka di wajahnya saja masih perih, tiada obat, hanya daun-daun saja yang ditempelkan itu pun Bulan tak semahir Kenanga. “Andai Mak Syik masih hidup.” Bulan menuangkan air pada daun yang ia tumbuk. K
Rembulan memandang bibir pantai dari hutan tempatnya berlari. Ia berjalan perlahan, takutnya ada tentara Jepang yang mengintai. Gadis itu termasuk nekat, atau mungkin putus asa. Bulan berlarian dengan cepat ingin menggapai air asin yang berdebur di malam hari. Angin laut amat sangat dingin tapi diabaikan olehnya. Namun, satu hal yang gadis bermata abu-abu itu lupakan. Lukanya yang belum mengering terasa perih terkena air asin. “Bahkan aku tak bisa mengungkapkan kerinduan pada alam tempatku dibesarkan.” Basah celana gadis itu ketika air asin menerjangnya. Bulan berjalan kembali dan duduk di bawah pohon kelapa tanpa peduli entah dirinya ditemukan oleh siapa pun. Bulan tertidur oleh buaian angin laut yang dingin dan menusuk tulang. Begitu lelap hingga ia tak merasakan gangguan. Namun, ketika sebuah bedil ditodongkan di pelipisnya, Rembulan terbangun juga. “Mata sipit bedebah, untuk apa kalian menggangguku.” Ada sekitar lima tentara Jepang yang menghadangnya. Tidak, tepatnya empat dan
Lelaki berambut pirang dan bermata biru itu bernama Smith William, pangkatnya kolonel di angkatan laut Inggris Raya di bawah kepemimpinan Ratu Elizabeth II. Lelaki itu mendapatkan sebuah tugas, dikatakan rahasia benar juga, tapi ia dan kesatuannya datang secara terang-terangan di hadapan Jepang. Ketika jembatan kayu terulur dan menghubungkan dua kapal perang, Smith—begitu ia kerap disapa berjalan tanpa rasa takut jatuh sama sekali. Ia memperhatikan tentara mata sipit dan kepala botak licin itu. Seluruh dunia tahu Jepang sedang membangun kekaisaran dengan cara keji. Mereka mengibarkan permusuhan termasuk pada America dan Inggris. “My name is Smith. I’m sorry if my warship disturbing you and your entire army.” Tidak ada tentara Jepang yang mengerti. Kecuali Bulan yang masih mempelajari situasi. “I’d like to meet the ship leader,” ucapnya lagi. Semua masih saling memanadang. Bulan belum mau ikut campur. Intinya Smith ingin bertemu pimpinan kapal. Kemudian seorang tentara Inggris ma
Rembulan dibangunkan oleh seorang pelayan wanita. Ia diminta menghadap Smith untuk membicarakan tentang misi mereka datang kembali ke Aceh. Sebelumnya Bulan diminta ganti baju terlebih dahulu. Gadis bermata abu-abu itu diberikan baju khas pelayan Inggris dengan model rok panjang tapi bagian dadanya agak terbuka. Bulan merobek kain selimut dan ia lipat model segi tiga kemudian ia tutupi dari kepala sampai leher setelahnya ia baru berani menemui kolonel berambut pirang itu. “Kau sudah datang,” ucap Smith ketika melihat cara berpakaian Bulan. Ya, dia sempat diberi tahu soal keyakinan penduduk setempat oleh ayahnya. “Apa yang harus aku kerjakan, Mr Kolonel.” “Just call me Smith.” “Ya, terima kasih, akan aku pikirkan.” Di dalam sana tidak hanya ada Bulan dan Smith saja. Melainkan beberapa tentara Inggris yang ikut dalam misi menyelamatkan sisa-sisa keluarga bangsawan yang tertinggal. Bulan melebarkan matanya ketika disebutkan lokasi tempat penyelamatan. Tidak jauh dari Bukit Gayo te
Sampan dikayuh perlahan hingga turun di tepi laut di hari yang amat berkabut. Bulan dan rombongan tentara Inggris yang lain melompat sampai basah kain celana mereka. Lalu semua berbaris dan mengikuti instruksi dari lelaki yang berpangkat paling tinggi. Bulan akan berada di depan karena berperan sebagai penunjuk jalan. “Ingat, waktu kita tidak banyak. Maksimal hanya satu purnama saja,” ucap wakilnya Smith. “Apa? Tidak mungkin, ini tidak masuk akal,” sahut Bulan yang memperhitungkan jarak menuju Bukit Gayo, belum lagi kemungkinan bertemu musuh sangat besar. “Well, Miss Bulan we call this is mission impossible. Actually we kill our selves.” Lelaki berambut pendek yang baru saja menghidupkan rokok itu menjelaskan. “Yes, I understand, but one month too early, Sir.” “Misi akan tetap dijalankan baik kita kembali hidup atau mati, inilah kita yang dibayar demi negara. Kalau kita kembali hidup-hidup tanpa keluarga bangsawan, kita bisa dipenggal oleh ratu. Bersiap semuanya! Miss Bulan silak
Medis memeriksa tentara yang lengannya dipatuk ular berbisa. Bulan memperhatikan dari kejauhan. Kalau dengan Kenanga akan diberi tumbukan daun setelah bisanya ditekan dan dikeluarkan menggunakan benda tajam serta panas. Namun, pengobatan modern yang dilakukan tenaga medis sekarang memang mengandalkan jarum serta obat-obatan minum saja. Datang seorang tentara merangkap medis ke hadapan Smith. Bulan mendengar dengan seksama percakapan mereka dan gadis itu memejamkan mata abu-abunya. “Well, kau tidak usah ikut berjalan lagi, istirahat saja sampai lukamu pulih di sini. Kami berjanji akan menjemputmu,” ucap Smith pada bawahannya. “Apakah kalian akan meninggalkanku mati di sini. Letnan, tolong berikan obat untukku, sakit sekali dan aku mulai tak bisa merasakan tanganku.” “Tenanglah, kau tidak akan mati, kau akan baik-baik saja. Tapi racun ular ini melemahkan semua tulang dan dagingmu. So, good bye.” Smith memberikan hormat pada anak buahnya. Dalam beberapa keadaan ia akan demikian seba
Dendam Akira pada Bulan masih belum tuntas. Sampai ia temukan sendiri jasad gadis yang membuatnya terluka atau ia bunuh langsung dengan kedua tangannya. Akira dan Osamu kini menduduki sebuah bangunan semi permanen yang dibangun Belanda dulunya. Berdua ninja itu dan kekasihnya melakukan eksekusi mati terhadap tentara Belanda atau pejuang Aceh yang tertangkap. “Akira, pemeriksaan akan segera dimulai, kau ikut atau tidak?” Osamu mengetuk pintu. “Iya.” Begitu saja jawaban dari Akira. Osamu kemudian meninggalkan kamar kekasihnya. Akira tidak akan secara terang benderang muncul di depan orang ramai. Melainkan ia akan mengendap-endap, entah memanjat dinding, kayu, atau besi dan tak akan dikenali siapa pun.“Keluarkan mereka semua dari penjara!” perintah Osamu pada tiga tentara di depannya. Satu demi satu lekaki mata sipit dan kulit putih membuka jeruji besi. Lalu sekitar tujuh orang pejuang bercampur tentara Belanda yang sudah disiksa habis-habisan diseret dan dilempar ke tanah. Osamu