Rembulan memandang bibir pantai dari hutan tempatnya berlari. Ia berjalan perlahan, takutnya ada tentara Jepang yang mengintai. Gadis itu termasuk nekat, atau mungkin putus asa. Bulan berlarian dengan cepat ingin menggapai air asin yang berdebur di malam hari. Angin laut amat sangat dingin tapi diabaikan olehnya. Namun, satu hal yang gadis bermata abu-abu itu lupakan. Lukanya yang belum mengering terasa perih terkena air asin. “Bahkan aku tak bisa mengungkapkan kerinduan pada alam tempatku dibesarkan.” Basah celana gadis itu ketika air asin menerjangnya. Bulan berjalan kembali dan duduk di bawah pohon kelapa tanpa peduli entah dirinya ditemukan oleh siapa pun. Bulan tertidur oleh buaian angin laut yang dingin dan menusuk tulang. Begitu lelap hingga ia tak merasakan gangguan. Namun, ketika sebuah bedil ditodongkan di pelipisnya, Rembulan terbangun juga. “Mata sipit bedebah, untuk apa kalian menggangguku.” Ada sekitar lima tentara Jepang yang menghadangnya. Tidak, tepatnya empat dan
Lelaki berambut pirang dan bermata biru itu bernama Smith William, pangkatnya kolonel di angkatan laut Inggris Raya di bawah kepemimpinan Ratu Elizabeth II. Lelaki itu mendapatkan sebuah tugas, dikatakan rahasia benar juga, tapi ia dan kesatuannya datang secara terang-terangan di hadapan Jepang. Ketika jembatan kayu terulur dan menghubungkan dua kapal perang, Smith—begitu ia kerap disapa berjalan tanpa rasa takut jatuh sama sekali. Ia memperhatikan tentara mata sipit dan kepala botak licin itu. Seluruh dunia tahu Jepang sedang membangun kekaisaran dengan cara keji. Mereka mengibarkan permusuhan termasuk pada America dan Inggris. “My name is Smith. I’m sorry if my warship disturbing you and your entire army.” Tidak ada tentara Jepang yang mengerti. Kecuali Bulan yang masih mempelajari situasi. “I’d like to meet the ship leader,” ucapnya lagi. Semua masih saling memanadang. Bulan belum mau ikut campur. Intinya Smith ingin bertemu pimpinan kapal. Kemudian seorang tentara Inggris ma
Rembulan dibangunkan oleh seorang pelayan wanita. Ia diminta menghadap Smith untuk membicarakan tentang misi mereka datang kembali ke Aceh. Sebelumnya Bulan diminta ganti baju terlebih dahulu. Gadis bermata abu-abu itu diberikan baju khas pelayan Inggris dengan model rok panjang tapi bagian dadanya agak terbuka. Bulan merobek kain selimut dan ia lipat model segi tiga kemudian ia tutupi dari kepala sampai leher setelahnya ia baru berani menemui kolonel berambut pirang itu. “Kau sudah datang,” ucap Smith ketika melihat cara berpakaian Bulan. Ya, dia sempat diberi tahu soal keyakinan penduduk setempat oleh ayahnya. “Apa yang harus aku kerjakan, Mr Kolonel.” “Just call me Smith.” “Ya, terima kasih, akan aku pikirkan.” Di dalam sana tidak hanya ada Bulan dan Smith saja. Melainkan beberapa tentara Inggris yang ikut dalam misi menyelamatkan sisa-sisa keluarga bangsawan yang tertinggal. Bulan melebarkan matanya ketika disebutkan lokasi tempat penyelamatan. Tidak jauh dari Bukit Gayo te
Sampan dikayuh perlahan hingga turun di tepi laut di hari yang amat berkabut. Bulan dan rombongan tentara Inggris yang lain melompat sampai basah kain celana mereka. Lalu semua berbaris dan mengikuti instruksi dari lelaki yang berpangkat paling tinggi. Bulan akan berada di depan karena berperan sebagai penunjuk jalan. “Ingat, waktu kita tidak banyak. Maksimal hanya satu purnama saja,” ucap wakilnya Smith. “Apa? Tidak mungkin, ini tidak masuk akal,” sahut Bulan yang memperhitungkan jarak menuju Bukit Gayo, belum lagi kemungkinan bertemu musuh sangat besar. “Well, Miss Bulan we call this is mission impossible. Actually we kill our selves.” Lelaki berambut pendek yang baru saja menghidupkan rokok itu menjelaskan. “Yes, I understand, but one month too early, Sir.” “Misi akan tetap dijalankan baik kita kembali hidup atau mati, inilah kita yang dibayar demi negara. Kalau kita kembali hidup-hidup tanpa keluarga bangsawan, kita bisa dipenggal oleh ratu. Bersiap semuanya! Miss Bulan silak
Medis memeriksa tentara yang lengannya dipatuk ular berbisa. Bulan memperhatikan dari kejauhan. Kalau dengan Kenanga akan diberi tumbukan daun setelah bisanya ditekan dan dikeluarkan menggunakan benda tajam serta panas. Namun, pengobatan modern yang dilakukan tenaga medis sekarang memang mengandalkan jarum serta obat-obatan minum saja. Datang seorang tentara merangkap medis ke hadapan Smith. Bulan mendengar dengan seksama percakapan mereka dan gadis itu memejamkan mata abu-abunya. “Well, kau tidak usah ikut berjalan lagi, istirahat saja sampai lukamu pulih di sini. Kami berjanji akan menjemputmu,” ucap Smith pada bawahannya. “Apakah kalian akan meninggalkanku mati di sini. Letnan, tolong berikan obat untukku, sakit sekali dan aku mulai tak bisa merasakan tanganku.” “Tenanglah, kau tidak akan mati, kau akan baik-baik saja. Tapi racun ular ini melemahkan semua tulang dan dagingmu. So, good bye.” Smith memberikan hormat pada anak buahnya. Dalam beberapa keadaan ia akan demikian seba
Dendam Akira pada Bulan masih belum tuntas. Sampai ia temukan sendiri jasad gadis yang membuatnya terluka atau ia bunuh langsung dengan kedua tangannya. Akira dan Osamu kini menduduki sebuah bangunan semi permanen yang dibangun Belanda dulunya. Berdua ninja itu dan kekasihnya melakukan eksekusi mati terhadap tentara Belanda atau pejuang Aceh yang tertangkap. “Akira, pemeriksaan akan segera dimulai, kau ikut atau tidak?” Osamu mengetuk pintu. “Iya.” Begitu saja jawaban dari Akira. Osamu kemudian meninggalkan kamar kekasihnya. Akira tidak akan secara terang benderang muncul di depan orang ramai. Melainkan ia akan mengendap-endap, entah memanjat dinding, kayu, atau besi dan tak akan dikenali siapa pun.“Keluarkan mereka semua dari penjara!” perintah Osamu pada tiga tentara di depannya. Satu demi satu lekaki mata sipit dan kulit putih membuka jeruji besi. Lalu sekitar tujuh orang pejuang bercampur tentara Belanda yang sudah disiksa habis-habisan diseret dan dilempar ke tanah. Osamu
“Easy, tetap luruskan pandangan.” Smith tahu Bulan ketakutan, sebab mereka baru saja melewati teror makhluk mengerikan. Bulan menenangkan debar di dadanya. Beberapa langkah lagi saja dan akhirnya mereka sampai di pinggir hutan di depan jalan setapak yang telah dilewati banyak orang. “Istirahat sebentar dan tenangkan pikiran kalian semua.” Smith duduk terlebih dahulu dan mengembuskan napas berat. Di antara semua perang, tanah Aceh letnan itu akui memiliki semua keunikan walau belum 24 jam di sana. Selama menjadi tentara ia selalu berhadapan dengan manusia biasa kalau tidak ya persenjataan modern. Bahkan Smith pernah terjun dari jet tempur ketika duduk di belakang karena mesin yang mati lalu ia jatuh di perairan. Di dalam laut ia memang takut ikan hiu, tetapi nasibnya masih beruntung karena ditemukan oleh tim penyelamat walau sempat terombang ambing. Di hutan tadi tidak ada belas kasihan sama sekali. “You okay?” Smith melirik Bulan yang memejamkan mata, gadis itu mengangguk saja.
Akira melompat dari dahan pohon. Matanya semakin sipit ketika melihat begitu banyak mayat bergelimpangan dan tertancap ratusan panah kecil-kecil. Cara kematian yang amat sangat sadis.Sadar dirinya ada dalam bahaya, ninja Jepang itu kemudian berlari dengan cepat tanpa menoleh ke belakang lagi. Selayaknya di Jepang ada hutan yang sangat menyeramkan maka baginya di Aceh pun ada. Akira tak mau menoleh ke belakang ketika ia mendengar suara-suara aneh. Harapannya hanya satu, tidak bertemu makhluk atau roh hutan yang bisa membuatnya ketakutan lalu mati menderita. Air mata ninja Jepang itu mengalir deras ketika terdengar suara kaki yang menginjak tanah hingga bergetar. Wanita berpakaain serba hitam itu terjatuh. Ia bangkit lagi dan tak mau terkurung di dalam sana. Beberapa kali Akira menabrak pohon, bahkan kepalanya menghantam dahan dan berdarah. Belum lagi bajunya tersangkut di duri tajam hingga kulitya terluka. “Agh!” ucap Akira ketika pipinya robek karena duri. Darah mengalir di pipi
Pergolakan berdarah yang mengatas namakan agresi militer Belanda kedua usai sudah. Yang tersisa hanyalah membangun ulang kembali daerah-daerah yang hancur akibat perlawanan yang sengit. Angkasa dan Bulan juga masih belum tahu akan bagaimana ke depannya. Mereka tak punya tempat tinggal seperti halnya pengungsi yang lain. Meski sebelumnya mereka berdua adalah pejuang, tapi tak semua pejuang juga nasibnya baik. Bahkan banyak yang jatuh miskin pasca perang. Keduanya telah meninggalkan tenda karena Angkasa sudah bisa berjalan tanpa tongkat. Tidak hanya mereka berdua saja tapi yang lain juga. Lalu karena ketiadaan tempat tinggal mereka ditempatkan dahulu di bangunan luas tanpa sekat dan bergabung bersama orang lain sembari menunggu bantuan tiba, mungkin saja ada yang berbaik hati. “Sampai kapan kita akan begini terus, Bang? Aku tidak terlalu nyaman berbaur dengan orang ramai terlalu lama.” Bulan menghela napas panjang. Cobaan hidupnya belum juga berakhir. “Bersabarlah, Sayang. Abang j
Agresi militer Belanda belum benar-benar berakhir. Tapi perlawanannya masih bisa ditekan. Angkasa mendapat perawatan yang baik selama di dalam tenda. Bulan tak selalu bisa menemani, sebab ia harus bantu-bantu yang lain apa saja yang wanita itu bisa. Angkasa mencoba turun dari ranjang besi itu. Ia ingin tahu apakah kakinya masih bisa digunakan berjalan atau tidak. Jika ia benar cacat maka Angkasa akan meminta Bulan menjalani hidup sendirian daripada ia jadi beban saja. Satu kakinya berhasil ia turunkan. Terasa sakit, berat dan kaku sekali untuk melangkah. Selama ini urusan buang air diurus oleh Bulan sepenuhnya. Satu kaki lagi Angkasa turunkan. Agak oleng dan hampir jatuh, tapi lelaki yang kini rambutnya sudah panjang itu memegang pinggiran kasur untuk bertahan. “Bismillah, aku harus kuat, aku laki-laki. Aku seorang pemimpin.” Berpeluh tubuh Angkasa mencoba untuk melangkah. Hampir ia jatuh karena tak bisa menjaga keseimbangan, kemudian … “Abang!” Bulan datang masuk ke dalam tenda.
Agresi militer Belanda jilid kedua memang menimbulkan banyak pertentangan dan perlawanan di tanah air. Tak hanya jalan peperangan saja yang ditempuh tapi jalan diplomasi juga. Berbagai macam kongres perdamaian terus diupayakan agar Belanda angkat kaki dari Indonesia.Nyatanya tidak mudah, negara itu terus saja merongrong kemerdekaan Indonesia. Aceh merupakan salah satu bentuk perlawanan yang paling sengit sejak dulu. Bisa dikatakan daerah paling istimewa merupakan yang paling tidak pernah istirahat tenang sejak didatangi Portugis, sampai Belanda kalah, datang Jepang lalu kalah lagi dan Belanda kembali merampas semuanya. Satu dari sekian banyak pejuang yang ada yaitu Angkasa dan Bulan. Sepasang suami istri yang harus terpisahkan karena keadaan. Bulan menjalani berbagai macam pelarian dari satu tempat ke tempat lain. Tidak, dia bukan pengecut yang tak pandai berjuang. Hanya saja dia tak akan sanggup sendirian melawan tentara Belanda yang membawa perlengkapan sangat banyak. Bulan tak
Natali mendatangi salah satu tentara Inggris yang akan memimpin pasukan bergabung dalam agresi militer Belanda II di Indonesia. Tentara itu tahu siapa yang datang. Lalu ia bangkit dan mempersilakan tuan putri duduk di kursinya dan sesegera mungkin memberi hormat. Siapa yang tidak kenal bagaimana Natali bertangan dingin. “Ada yang bisa aku bantu, Madam?” tanyanya dengan sikap tegak. “Duduklah. Pembicaraan ini tidak resmi, tapi aku memberikan tugas ini tidak main-main untukmu, tentu saja aku akan memberikanmu upah.” Natali mengeluarkan beberapa lembar uang miliknya. Jumlah yang membuat tentara itu membelalakkan mata. “Siap. Sebutkan saja apa tugasnya, Madam.” “Kalau sampai gagal, kau yang akan aku tembak.” Wanita berambut pirang itu mengeluarkan lukisan wajah Bulan yang dibuat oleh Smith.Diam-diam ia mengulik barang pribadi milik suaminya ketika lelaki itu tidak sedang di rumah. Dari mana Natali tahu keberadaan Bulan? Dari suaminya yang sering mengigau dan meracau nama yang sama b
Anak Smith telah lahir. Ia merupakan seorang putri yang amat sangat cantik dan memiliki mata seindah dirinya. Amora, begitu princess itu diberi nama, dan keluarga kerajaan menyambut dengan penuh suka cita. Juga sejak kelahiran Amora, Smith tak lagi memikirkan tentang Bulan. Baginya harapan itu terlalu usang untuk dikejar. Lebih baik hidup dengan apa yang ada di depan mata saja. Natali menjadi pengusaha berlian yang amat kaya raya. Sudah tak terhitung berapa banyak korban yang berjatuhan di tangannya. Ia tak segan-segan menurunkan militer dan membayar menggunakan uang pribadinya. Anaknya pun lebih sering diurus oleh baby sitter. Lain hal dengan Smith yang sejak tidak bekerja lagi di rumah sakit kini menjadi salah satu agen PBB dalam organisasi baru yang dibentuk dan berurusan dengan kehidupan manusia. Perang di Aceh telah mengubah cara pandangnya menjadi lebih dermawan. Smith dan istrinya memiliki perbedaan yang terlalu mencolok. Lelaki bermata biru itu sangat aktif membela hak-hak
Tubuh Bulan yang tidak sadarkan diri diseret paksa oleh seorang tentara Belanda dan memasuki rumah kosong. Wanita itu terkena pukulan di bagian kepala hingga mengakibatkannya jatuh pingsan. Tentara Belanda yang melihatnya jadi tergiur. Bentuk tubuh Bulan yang ramping membuatnya gelap mata meski wajah wanita itu rusak. Dengan tangan tergesa-gesa lelaki itu mulai melucuti selendang dan kain panjang yang melilit di pinggang Bulan. Ia sudah tak sabar menikmati tubuh molek dari seorang pejuang yang pasti rasanya luar biasa. Hanya saja ketika kain Bulan mulai disingkap. Sebuah peluru menembus kaca rumah dan tertancap di kepala tentara Belanda tersebut. Mata hijau itu terbelalak dan ia pun roboh di sebelah tubuh Bulan. Peperangan di luar sana masih terus berlanjut ketika Bulan tak sadarkan diri. Hari sudah gelap ketika wanita itu sadar. Ia terkejut dan langsung berdiri ketika kain di pinggangnya terbuka dan roknya tersingkap, ditambah selendangnya yang tersangkut di jendela. Apalagi a
Indonesia tahun 1947 Bulan sedang mendengar radio milik Angkasa yang dibawa masuk ke dalam rumah. Pada dasarnya, wanita yang baru saja menggenapi usia 19 tahun itu memang rajin belajar dan tekun seperti halnya sang kakek dulu. Melalui radio pula ia mencatat beberapa poin penting untuk disampaikan nanti pada Angkasa. Suaminya sibuk mencari nafkah dengan memanfatkan truk miliknya. Tak banyak uang yang didapatkan tapi cukup untuk hidup berdua saja. Mereka juga belum memiliki anak. Pena yang diberikan oleh Smith beberapa tahun lalu akhirnya habis juga isi tintanya, bersamaan dengan rampungnya informasi yang dicatat oleh Bulan di atas kertas usang. Membelinya sangat susah ditambah harganya mahal, jadi kalau basa-basah sedikit kena air lebih baik dijemur saja. Angkasa pulang di sore hari dengan tubuh berpeluh. Seharusnya pengalaman keduanya sebagai pejuang tangguh mampu menghantarkan Angkasa dan Bulan menjadi salah satu tentara resmi dengan seragam khusus. Namun, hal itu tak mereka amb
Sepasang kekasih yang hidup bersama itu menghadiri perjamuan di mana ratu juga datang. Ada orang tua Smith dan Natali juga. Pembicaraan yang sangat serius. Kalau sudah ratu mengambil keputusan maka tidak akan bisa dibantah lagi oleh siapa pun. Keputusan untuk menikahkan Smith dan Natali diambil sudah. Sang jenderal bintang dua hanya bisa pasrah walau tak rela atas pernikahan kedua putrinya. Rumor sudah pasti tersebar dan sulit untuk dibendung. Tadinya Natali ingin mengatakan tentang kehamilannya, tapi Smith memberikan kode padanya agar jangan gegabah. Ia paham bagaimana raut wajah beberapa orang yang kecewa. Tidak dengan William yang senang sekali ketika putranya akan menikah. Ia menepuk bahu putranya dan memberikan sedikit nasehat. “Jalani saja hidupmu di sini dan jangan pernah memikirkan gadis itu lagi. Dia pasti sudah bahagia dengan orang lain seperti halnya Cempaka yang membohongiku.” Smith mengangguk saja. Benar, bisa jadi Bulan telah menikah dan tak memikirkannya lagi. Tap
Antara malu dan mau yang pada akhirnya mengantarkan Bulan dan Angkasa benar-benar menjadi suami istri di malam dingin di wilayah pesisir. Di kamar peninggalan mendiang Kenanga. Sepasang pejuang itu merasakan hal yang berbeda hingga terlelap dalam tidurnya dan bangun ketika hari hampir pagi. Bulan yang mandi belakangan setelah Angkasa, berdiam diri di rumah ketika suaminya memutuskan pergi ke surau terdekat. Wanita bermata abu-abu itu kini mengemas tas milik Angkasa dan membereskan barang-barang miliknya. Secara tak sengaja buku harian dan pena peninggalan Smith jatuh di lantai. “Apa kabar dia, ya? Katanya ingin kembali menemuiku dan melarang menikah dengan Angkasa. Mana ada, penipu! Tapi terima kasih atas pertolongan dan salepmu. Meski wajahku tak secantik dulu, tapi setidaknya lukanya tak terlalu kasar.” Untung saja Bulan tak mudah dirayu oleh Smith. Apalagi mengikuti saran letnan itu untuk tak menikah dengan Angkasa. Satu-satunya alasan yang membuat Smith belum jadi berangkat ke