Selama tiga hari Cempaka tak keluar dari kamarnya. Baginya, tempat itu lebih buruk daripada penjara sekalipun meski terlihat megah dan tertata rapi. Ia juga memaksa para pelayan wanita untuk menjahit pakaian baru untuknya. Pakaian panjang, tipis dan banyak hiasan bunga-bunga berukuran besar tak cocok untuknya. Para pelayan tak ada yang berani membantah, sebab mereka mendengar sendiri bagaimana keberanian Cempaka yang membunuh satu demi satu serdadu yang berani mendekatinya. Juga pesan yang ditinggalkan meneer agar melayani gadis itu sebaik-baiknya. Tiga pasang baju dengan kantong bagian depan telah ia pakai, ditambah celana panjang yang menutup sampai mata kakinya dan kerudung segiempat dengan pengait besi kecil menutupi seluruh rambut dan leher Cempaka. Pagi itu ia berjalan menuju tempat lelaki yang ia lupa siapa namanya. Gadis bermata tajam itu harus bergerak cepat. Sebelum Daalen kembali dari perjalanannya, ia harus pergi dari tempat itu. Cempaka menarik napas berulang kali unt
Lelaki asal Inggris itu kembali memberi beberapa lembar gulden dengan angka lima pada para marsose. Ia hanya ingin jalan berdua saja dengan Cempaka sebab, tempat yang dituju juga sangat rahasia. Sekaligus dalam keheningan dokter itu bisa mengagumi kecantikan Cemapaka. Liam sangat ingin menggenggam tangan gadis itu dan membawanya berkeliling sambil bercerita, persis seperti kebiasaan lelaki dan perempuan di negaranya. Akan tetapi, sakit di telapak tangannya yang diputar oleh Cempaka masih membekas di ingatan Liam. Langkah demi langkah dua orang itu berjalan, hanya William saja yang bercerita dan dijawab oleh senyuman oleh Cempaka. Gadis itu sama sekali tak tertarik, ia memperhatikan lingkungan yang atap rumahnya telah roboh dan beberapa bahkan hancur. Pemandangan yang mengingatkannya dengan kampung halaman. “Sini, aku tunjukkan sesuatu padamu.” Liam membuka sebuah pintu dan mengajak Cempaka untuk mengikutinya. Gadis itu mengerutkan keningnya. Ia harus mawas dengan segala pergerakan
Beberapa minggu telah mereka lewati untuk mencari keberadaan Cempaka. Namun, belum juga menampakkan hasil. Tak jarang Kenanga, Alif dan sahabatnya harus berhadapan dengan serdadu Belanda terlebih dahulu. Banyaknya marsose yang dikirim oleh Daalen untuk membunuh sisa-sisa pejuang membuat mereka kerepotan. Kenanga lebih sering memainkan perannya sebagai seorang tabib. Ia harus mengobati luka-luka yang diderita oleh para pemuda dari pesisir. Terkadang rombongan itu terpaksa mundur jika persejataan yang dibawa Belanda jauh lebih lengkap dari mereka. Seperti sekarang, hampir dua minggu mereka menetap di balik bukit kecil yang belum dijangkau oleh para serdadu. Demam yang mendera tubuh Kenanga menjadi sebab. Untuk mengisi waktu sambil menunggu sembuhnya sang tabib, para pemuda pesisir itu membuat ragam senjata seperti tombak dan panah. Sudah satu minggu gadis bisu itu demam. Panas dan dingin secara bersamaan singgah di tubuhnya. Sakit yang bukan disebabkan racun atau luka-luka, melainkan
Mereka berempat menunggu beberapa waktu lamanya, Kenanga bergerak cepat terlebih dahulu hingga membuat jantung para pemuda pesisir itu nyaris copot. Gadis itu kembali dengan satu buah senapan panjang. Matanya sedikit memerah terkena sisa-sisa asap yang belum mereda. “Ayo, kita pergi dari sini. Aku khawatir marsose lain akan menemukan kita,” perintah Alif sambil menerima senapan dari Kenanga. Sang pangeran risau luar biasa, gadis itu baru saja sembuh dari demamnya dan sudah terkena racun lagi. *** Wakil Daalen yang diperintahkan untuk membunuh sisa-sisa gerilyawan yang masih berjuang tiba di tepi sungai. Ia bersama puluhan serdadunya menemukan bawahannya mati terbujur kaku begitu saja tanpa sebab yang jelas. “Cari terus di sekitar hutan ini. Aku yakin ini bukan perbuatan binatang berbisa.” Sersan itu mengobrak-abrik tumpukan daun yang telah mengering. Ada sedikit bau yang membuatnya sesak napas. Serdadu yang berjumlah puluhan nyaris ratusan mulai bergerak, mereka menyiagakan masin
Adrian Van Mook---lelaki dengan satu pangkat lebih rendah daripada Daalen, berdiri di hadapan dua laki-laki dan satu orang perempuan yang membawa senjata masing-masing di tangannya. Lelaki dengan bekas luka di pipi kanannnya membuka peti kecil yang berisikan lembaran gulden dan beberapa keping emas hasil jarahan dari Kerajaan Pesisir Aceh. Ia membuka sebuah gulungan kertas yang bergambarkan wajah keturunan raja terakhir yang masih hidup dan berkeliaran. “Bawa kepala lelaki keturunan bangsawan ini ke hadapanku. Setelah itu berlembar-lembar gulden dan puluhan keping emas akan menjadi milik kalian.” Adrian mengembuskan asap cerutunya. “Namanya Teuku Alif Muda, lelaki yang merusak wajahku.” Tiga orang pembunuh bayaran itu pergi setelah menerima uang panjar dari Adrian. Mereka melacak jejak demi jejak yang ditinggalkan Alif berserta gerilyawan yang ia pimpin. Salah satu dari pembunuh bayaran itu adalah seorang wanita yang kerap memikat lawan dengan pesonanya. Tiga orang itu kini telah b
“Kau berurusan dengan yang gaib, bukan? Pusaran angin tadi, apa kau yang memanggilnya?” Alif menahan tangan Kenanga yang berusaha menghindari pembicaraan. Enggan berdebat, gadis itu mengempas genggaman di tangannya dan berusaha lari. Namun, terlebih dahulu bahunya ditahan oleh Alif. “Kau tak boleh pergi sampai semuanya jelas!” Sang pangeran mendesak.Kenanga mendorong Alif, tetapi lelaki itu bergeming. Ia tahu gadis bisu itu pasti tak akan memberi penjelasan sedikit pun. Tabib muda itu mengepalkan tangannya, ia mengarahkan tepat ke dada Alif, tetapi terlebih dahulu berhasil diempaskan oleh sang pangeran. “Aku tak mau mencari keributan denganmu. Aku hanya minta kau menjelaskan semuanya. Mengapa kau tak terluka saat tertembak? Mengapa selama kita berjalan bersama kau juga tak pernah terluka walau hanya sedikit?” tanya Alif sekali lagi.Gadis itu tahu apa yang ingin Alif cari tahu darinya. Hanya saja ia sedang tak ingin membahas perihal perjanjian gaibnya dengan Datok Panglima. Namun,
“Kaphe Ulanda. Cuih! Sampai mati pun aku tak akan pernah mengakui kemenangan kalian.” Snouck Hurgronje mengembuskan asap cerutunya ketika mengingat makian dari Cut Nyak Dien yang ditujukan padanya. Wanita pejuang sekaligus ulama itu telah ditangkap dan diasingkan ke Sumedang. Lelaki itu lanjut menorehkan dawatnya, memanipulasi banyak catatan sejarah Islam di bumi nusantara. Pintu ruang kerjanya diketuk ketika ia menyalin catatan dua ulama penting yang sangat disegani. Gegas lelaki yang mendapat kepercayaan besar dari Pemerintah Hindia Belanda itu berdiri dan membuka pintu. Dua orang yang ia perintah telah hadir, Van Daalen dan Ivan. “Bagaimana perkembangan genosida warga Gayo Alas?” Tanpa berbasa basi Snouck lansung membuka perbincangan. Ia mempersilakan dua bawahannya duduk dan menuangkan sendiri minuman beraroma pekat ke gelas kristal mewah. “Aku sudah banyak membunuh warga Gayo. Lucu sekali melihat mereka berjuang hanya dengan pisau, pedang, dan tombak, terlalu sombong dan akh
Siang ba’da dzuhur, Liam mengajak Cempaka untuk berkeliling dengan kereta tentu dengan pengawalan beberapa marsose bersenjata lengkap. Lelaki berkebangsaan Inggris itu menunjukkan rute perjalanan yang akan mereka tempuh ke pelabuhan. Ketatnya penjagaan di rumah Daalen membuat dua orang itu akan pergi dengan waktu yang berbeda.“Supaya tak menimbulkan kecurigaan, aku akan pergi sore hari setelah menyelesaikan tugasku di rumah sakit. Kau bisa pergi pada malam hari saat pertukaran penjaga. Manfaatkan kekosongan waktu selama setengah jam. Kau gadis pemberani dan pintar, aku yakin kau bisa,” bisik Liam perlahan agar tak didengar para penjaga. “Baik, demi kebebasanku, aku bisa lakukan apa saja.” Senyum palsu terkembang dari bibir Cempaka. Ia memberi seikat dusta pada William agar bisa keluar dari rumah Daalen. Dua hari lagi lelaki itu akan sampai di rumahnya. “Jalan belok ke kiri menuju pelabuhan, ke kanan menuju wilayah perbukitan. Kau bisa menunggang kuda, bukan?” “Bisa,” jawab Cempaka